Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)merupakan suatu leukemia akut
yang ditandai dengan terjadinya proliferasi abnormal dari sel-sel limfoblast pada
sumsum tulang disertai dengan anemia, febris, pendarahan dan infiltrasi organ lain
sehingga dapat terjadi organomegali (Guyton, 1996). Leukemia merupakan
penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang ditandai oleh
proliferasi sel-sel darah putih dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam
darah tepi (Permono, 2005).
1.2 Patofisiologi
Hematopoiesis normal terdiridaribeberapaperkembangan sel. Kelompok
stem selpluripotenmengalamidiferensiasi, proliferasi,
danmaturasimenjadibentukseldarah yang maturpadasirkulasidarahperifer. Sel stem
darilimfoidberdiferensiasimenjadilimfosit B dan T. Pada leukemia
terjadikegagalanuntukmempertahankankeseimbanganantaraproliferasidandiferensi
asikemudianproliferasiseltidakterkontrol (Leather, 2008).
1.3 Manifestasi Klinik
Gejala pertama biasanya non-spesifik dan meliputi anoreksia, iritabel dan
letargi, anemia, perdarahan (trombositopenia), demam (neutropenia), kenaikan
tekanan intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah yang menunjukkan
keterlibatan selaput otak (Crist, 2000), limfadenopati, pengecilan testis, sindrom
meningeal dan hepatosplenomegali (Drew, 2003).
1.4 Prognosis
Terapi merupakan faktor prognostik tunggal yang paling penting. Hitung
leukosit awal mempunyai hubungan linier terbalik dengan kemungkinan sembuh.
Umur pada waktu diagnosis dapat dipercaya (reliabel). Penderita berumur lebih
dari 10 tahun dan kurang dari 12 bulan yang mempunyai penyusunan kembali
(rearrangement) kromosom yang menyangkut regio 11q23 jauh lebih buruk
dibanding anak dari kelompok umur pertengahan (Crist, 2000).

1
1.5 Penatalaksanaan Terapi
1. Kemoterapi
Berikut ini merupakan regimen kemoterapi pada ALL anak (Leather,
2008).

2
2. Terapi suportif.
Profilaksis transfusi platelet diberikan jika jumlah platelet < 10 x 109/l.
Perdarahan yang terjadi merupakan akibat dari trombositopenia dan harus
segera diatasi dengan infusi plasma darah beku (fresh frozen plasma).
Transfusi pack red cell (PRC) segeradiberikanbilaterdapattanda-tanda
anemia. Infeksi yang
seriusmerupakanpenyebabutamakematianpadapasien leukemia
akutsehinggapemberianantimikrobasecaraintravenaharussegeradiberikanp
adakeadaandemamatautanda-tandainfeksi lain. Hidrasi yang adekuat dan
pemberian allopurinol sangat penting untuk menurunkan resiko
hiperkalemia, hiperurisemia dan kerusakan ginjal (Drew, 2003).

3
BAB II
PROFIL PASIEN
NAMA An R/4,5 th
BB/TB/LPT 17,1 kg/107 cm/0,71 m2
DIAGNOSA AWAL S Acute leukemia+ pansitopenia
DIAGNOSA AKHIR ALL-L1 fase induksi mnggu ke 0+ neutropenia
MRS / KRS 27 Juni 2013
ALASAN MRS MRS di Bangkalan saat itu Hb 7,5 Leukosit 40600,
trombosit 58000, perdarahan (-), riwayat nyeri di kaki
kanan (+) 3 hari sebelum MRS. Riwayat panas (+)<
pucat (+) sejak 3 hari sebelum MRS, mimisan, BAB
hitam dirujuk ke RS Dr Soetomo

Data klinik
DATA Tanggal (2013)
KLINIK
27/6 28 29 1/7 2 3 4 5 6 7 8 10
TD 100/70 110/80
KU Cukup
Nadi 120 112 124 98 100 90 92 90 90 90 92 96
RR 30 28 24 26 24 26 24 24 24 24 18 18
Suhu 37 36,2 36,1 36,8 37 36,8 36,8 36,8 36,5 36,7 36.7
Gusi berdrh -
perdarahan - - - - - - -
Sakit perut + + +

4
Data Laboratorium
Data Lab Nilai Normal
27/6 29/6 9/7
3
WBC 4,5-10,5 x10 /µl 1000 2140 6190
Neu 1,63-6,96 .271 1,15
RBC 4-6.106/ µl 5,51 5,32
Hb 13,5-16,5 g/dl 2,9 16,8 15,3
Hct 41-50 %
ANC 100 225
Kreatinin <1,5 mg/dl 0,4
BUN 10-20 mg/dl 9
SGOT 14-59 U/L 35
SGPT 9-27 U/L 50
kalium 3,8-5.0 mEq/L 4
Natrium 136-144 mEq/L 138
Plt 150-450 x103/µl 85000 57980 134000

Hasil kultur 27/6/2013 keluar hasil 29/6/2013


Kultur usap rektum : Escherecia coli (ESBL +)
Sensitif : amikacin, tobramicin, gentamicin, tetraciclin
Resisten :amoxiclav, ampisilin, ampisulbaktam, cefazolin, ceftazidim, ceftriaxone, cefo-
sulbactam, cotromoxazole, chloramphenicole
Kultur urin , Kultur darah (jamur) steril
Hasil kultur 27/6/2013 keluar hasil 2/7/2013
Kultur darah : Buskholderia cepacia
Sensitif :ceftazidim, cefoperazone sulbaktam,cotromoxazole, chlormaphenicole, meropenem
Resistensi : amikacin, tobramicin, gentamicin, amoxiclav,ampisulbac
Hasil BMA 2/7/2013
Hiposelular : aktifitas sistem eritropoietik terdesak , aktifitas sistem granulopoietik terdesak
Megakariosit tidak dijumpai
Sumsum tulang didominasi sel mononukleus dengan sitoplasma tipis tanpa anak inti ± 70 %
Kesimpulan : ALL-L1

5
BAB III
PROFIL PENGOBATAN

Tanggal Pemberian okt-nov (2013)

Inj ampisilin sulbactam 4x375 mg 27/6------------(7 hari)-------3/7


Transfusi PRC 200cc 28/6
Farmadol 150 mg Bila t >38,5 C
Cloxacillin 4x250 mg 2/7------(7 hari)----8/7
Inj vit K 2 mg i.m Selama 2 hari 10/7---11/7
MTX i.t 12 mg 11/7
Prednison p.o 3-3-2 11/7-----(8 hari)------28/7
VCR i.v 1,06 mg +PZ100cc/1jm 28/7
DNR i.v 21,3 mg+PZ 250 cc/4 jm 28/7

6
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien An R sebelum masuk RS Dr Soetomo sudah menjalani perawatan
di Bangkalan saat itu Hb 7,5 Leukosit 40600, trombosit 58000, dan mengalami
mimisan, BAB hitam lalu diputuskan untuk dirujuk ke RS Dr Soetomo. Pada saat
menjalani perawatan di RS Dr Soetomo pasien menjalani BMA (Bone Marrow
Aspration) karena tanda dan gejala klinis pasien mengarah ke leukemia, setelah
hasil keluar ternyata pasien menderita Leukemia limfoblas akut dengan tipe L1.
Kecurigaan adanya leukemia jika sumsum tulang berisi blast lebih dari
5%. Pada pasien An R ini hasil pemeriksaan BMA terlihat bahwa ditemukan blast
sebanyak 70 %. The National Cancer Institute membuat stratifikasi resiko ALL
untuk menetapkan standar perbandingan pada anak-anak. Terapi induksi
ditentukan melalui klasifikasi ini, dimana membagi pasien kedalam kategori
standar risk dan high risk berdasarkan usia dan hitung sel darah putih awal
(gambar 1.1). Selain itu juga mempertimbangkan jenis inti sel. Usia masih
merupakan prediktor hasil terapi pada anak usia 1 – 9 tahun yang mempunyai
event-free survival (EFS) terbaik (Poon & Brundage 2011).

7
Gambar 1.2 Klasifikasi Resiko dan Respons pada ALL anak
(Poon & Brundage 2011)
Terkait dengan protokol pengobatan, maka pasien ALL bisa dikatagorikan
dalam dua golongan yaitu pasien ALL dengan resiko standart (SR) dan resiko
tinggi (HR). Tingkatan resiko ini berhubungan dengan pengobatan yang akan
diterima pasien, karena terkait langsung dengan protokol pengobatan untuk ALL.
Adapun criteria untuk menentukan apakah pasien termasuk ke dalam golongan
resiko standart atau tinggi, seperti yang tersaji pada tabel berikut ini.
Tabel 1.1 Pembagian Kriteria resiko pada pasien ALL (Poon & Brundage 2011)
Resiko Standart (SR) Resiko Tinggi (HR)
∑ Leukosit Awal < 50.000 / mm3 ≥ 50.000 / mm3
Masa Mediastinum Tidak ada Ada
Leukemia SSP Tidak ada Ada
Tipe ALL L1 Selain L1
Umur 1 – 10 tahun < 1 / > 10 tahun

Dari pembagian di atas pasien An R masuk dalam kelompok terapi standar risk.

8
Terapi ALL anak-anak dibagi menjadi 5 fase: (a) induksi; (b) konsolidasi;
(C) penjagaan intermediate; (d) intensifikasi tertunda; dan (e) terapi penjagaan
(gambar 1.3). Profilaksis susunan saraf pusat juga merupakan bagian dari regimen
terapi ALL dan diberikan secara longitudinal selama seluruh fase pengobatan.
Durasi pengobatan ALL berkisar 2 – 3 tahun. Intensitas terapi induksi berdasarkan
aspek biologis ALL, dan sekarang ini variabel utama yang menentukan fase ini
adalah umur anak dan hitung leukosit pada saat diagnosis ditegakkan. Fase
induksi didesain untuk menginduksi remisi lengkap, dan biasanya berlangsung
selama 28 hari. Setelah fase induksi, fase selanjutnya adalah terapi postinduksi
yang dibedakan menjadi beberapa fase yakni fase konsolidasi, intensifikasi
tertunda, dan penjagaan intermediet. Fase kemoterapi intensif biasanya
menggunakan kombinasi yang berbeda dengan terapi induksi, dan didesain untuk
membunuh sel leukemia dalam siklus sel yang belum dirusak pada fase induksi.
Fase ketiga disebut fase penjagaan dan merupakan fase kemoterapi terlama,
biasanya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Fase penjagaan biasanya tidak
terlalu intensif dibandingkan dengan fase sebelumnya, dan terdiri dari kemoterapi
oral berkelanjutan dan kemoterapi intravena dan terapi SSP yang lebih jarang
(Henry et al. 2012). Pasien An R ini setelah ditegakan diagnosis ALL maka pasien
menjalani kemoterapi standart risk fase induksi minggu ke- 0 dan minggu ke-1
Protokol kemoterapi yang digunakan di RS Dr Soetomo menggunakan
protokol dari Ikatan Dokter Anak Indonesia. Protokol ALL dibedakan menjadi
Standar risk (Gambar 1.2; Gambar 1.3)

9
Gambar 1.2 Protokol kemoterapi ALL Standar Risk Fase Induksi dan
Konsolidasi yang digunakan di RSU Dr. Soetomo

Gambar 1.3 Protokol kemoterapi ALL Standar Risk Fase Maintenance I dan II
yang digunakan di RSU Dr. Soetomo

10
Berikut pembahasan mengenai masing-masing kemoterapi yang didapatkan oleh
pasien :
1) Metotrexate
Methotrexate merupakan obat kemoterapi golongan antimetabolit yang
memiliki cara kerja sebagai antagonis dari folat. Tetrahidofolat merupakan
bentuk aktif dari asam folat yang dibutuhkan untuk sintesis purin dan
timidilat. Asam folat direduksi menjadi tetrahidrofolat oleh enzim
dihidrofolat reduktase (DHFR). Mekanisme sitotoksik dari methotrexate
dihasilkan dari tiga aksi : inhibisi dari DHFR, inhibisi timidilat dan
perubahan dari transport asam folat yang sudah direduksi. Inhibisi DHFR
menghasilkan defisiensi timidilat dan purin sehingga terjadi penurunan
sintesis DNA, replikasi dan perbaikan sel. Seperti digambarkan dibawah
ini

Gambar 1.4 Mekanisme aksi dari metotrexate (Lullman,2000)


Afinitas dari DHFR dengan methotrexate jauh lebih besar dibanding
dengan afinitas dari asam folat atau asam dihidrofolat, oleh karena
pemberian secara simultan asam folat dalam dosis besar tidak dapat
merubah efek dari MTX (BCCA, 2011).
Pemberian kemoterapi intrathekal menyebabkan beberapa
toksisitas, yakni inflamasi akut pada daerah arachnoid (arachnoiditis) yang
dapat terjadi pada 12 – 24 jam setelah injeksi. Manifestasi arachnoiditis ini

11
dapat berupa nyeri kepala, mual, muntah dan beberapa tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Sedangkan pemberian metotreksat intrathekal sendiri
dapat menyebabkan efek samping ini dengan prosentase 38%. Untungnya,
efek samping ini akan membaik dengan sendirinya dan dapat dikurangi
dengan pemberian dosis berdasarkan usia pasien (Henry et al. 2012).
Efek samping dari methotrexate adalah efek hematologik dari
methotrexate meliputi leukopenia, trombositopenia dan anemia. Penurunan
kadar Hb mencapai puncaknya pada hari ke 6-13, sedangkan retikulosit
pada hari 4-7 dan trombosit pada hari 5-12. Efek pada gastrointestinal
berupa nausea, muntah dan anoreksia biasanya terjadi lebih awal.
Ginggivitis, glositis, faringitis, stomatitis dan ulserasi mukosa mulut dan
gastrointestinal dapat terjadi. Apabila terjadi ulserasi stomatitis atau diare,
terapi methotrexate harus dihentikan dulu untuk mencegah perdarahan
usus yang berat atau perforasi usus. Pada pemakaian dosis tinggi dapat
terjadi gagal ginjal tetapi dapat dicegah dengan alkalinisasi urin dan
rehidrasi intravena (Rasjidi, 2007)
2) Vincristine
Merupakan vinca alkaloid yang bekerja pada saat metafase dengan
jalan merusak protein mikrotubule yang berbentuk gumpalan mitotik.
Pemakain vincristin berhubungan dengan terjadinya efek samping pada
neuropati autonom seperti penurunan motalitas dari gastrointestinal.
Konstipasi sering terjadi disertai dengan rasa nyeri pada perut dan gejala
ini timbul biasanya 3-10 hari setelah pemberian dan akan hilang setelah
beberapa hari. Oleh sebab itu diperlukan monitoring efek samping ini dan
apabila dibutuhkan untuk bisa diberikan laksatif untuk mengatasi efek
samping ini (Henry et al. 2012)
3) Daunorubicine
Daunorubicin merupakan antibiotik antrasiklin yang merusak DNA
dengan cara melakukan interkalasi antara sepasang basa yang mennghasilkan
uncoiling of the helix sehingga menghambat sintesis DNA dan sisntesis DNA
yang tergantung dengan RNA. Daunorubicin juga bekerja dengan menghambat

12
aktivitas polimerase, dan pada regulasi ekspresi gen (BCCA, 2013). Seperti
dijelaskan pada gambar di bawah ini

Gambar 1.5. mekanisme kerja dari daunorubicin ( Lullman, 2000)


Pemakaian obat ini pada anak-anak akan meningkatan risiko terjadinya
kardiotoksisitas pada dosis akumulasi 300 mg/m2 pada anak usia > 2tahun atau
lebih tua dan pada dosis 10 mg/kg untuk anak usia < 2 tahun. Oleh sebab itu
Cardiology Committe of Children’s cancer Group merekomendasikan monitoring
fungsi jantung pada pasien yang mendapatkan terapi ini, monitoring yang dapat
dilakukan adalah :
 Pemeriksaan echocardiogram pada nilai baseline
 Perlu dimonitoring kembali setelah 3,6 dan 12 bulan setelah terapi.
 Pemeriksaan echo sebelum pemberian daunorubicin dengan dosis
akumulatif ≥ 300 mg/m2 (BCCA, 2013)
Pada tanggal 27, 29 pasien mengalami leukopenia, dengan nilai WBC yang
rendah, yakni 1000 sel/mm3, 2140 sel/mm3. Selain itu dari data klinis tanggal 13,
pasien juga mengalami demam dengan suhu 37,5⁰C. Sehingga pasien ini bisa
digolongkan menjadi neutropenia low risk. Kegagalan mempertahankan jumlah
neutrofil yang normal dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu kelianan

13
perkembangan sumsum tulang dan pelepasan leukosit di sirkulasi darah,
penurunan lama hidup leukosit di sirkulasi darah atau kombinasi dari kedua
mekanisme tersebut. Pada manajemen pasien kanker anak dengan demam
neutropenia, maka diasumsikan bahwa semua pasien beresiko untuk mengalami
bakteremia, sehingga memerlukan perawatan dan antibiotic broad-spectrum
parenteral. Untuk pasien afebrile neutropenia, ASCO guidelines
merekomendasikan pemberian antibiotik golongan fluoroquinolon untuk
mencegah infeksi bakteri gram negatif., namun pemberian golongan quinolon
dikontraindikasikan pada anak usia dibawah 18 tahun karena efek samping
hambatan pada pertumbuhan kartilago. Oleh karena itu pada tanggal 27 pasien
diberi antibiotik ampisilin sulbaktam dengan dosis 4 x 250 mg sebagai terapi
empirik demam neutropenia. Ampisilin sulbaktam (golongan beta laktam) dipilih
karena ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang luas (Katzung, 2010). Setelah
7 ahri pemberian ampisilin sulbaktam pasien dilakukan kultur darah dan
didapatkan bakteri Buskholderia cepacia yang sensitif dengan antibioti ceftazidim,
cefoperazone sulbaktam,cotromoxazole, chlormaphenicole, meropenem dan Resistensi
dengan antibiotik amikacin, tobramicin, gentamicin, amoxiclav,ampisulbactam. Namun
pasien inimendapatkan penggantian amipisilin sulbaktamadalah cloxacilin, sehingga
penggantian ini dikatakan kurang sesuai karena tidak di dasarkan oleh hasil kultur.
Terapi yang lain yang didapatkan pasien adalah prednison. Mekanisme
prednisone yang termasuk dalam glukokortikoid memiliki dua mekanisme yaitu
genomik dan non genomik yang dijelaskan melalui gambar di bawah ini

14
Gambar 1.6. Mekanisme aksi dari glukokortikoid (Buttgereit, F.,et al.
2008)
Mekanisme genomik dari prednisolone adalah melakukan translokasi ke
dalam nukleus (lihat no.1 gambar 2) yang selanjutnya akan terjadi
beberapa proses seperti yang digambarkan di bawah ini yang mana hasil
akhir dari proses-proses tersebut adalah menghasilkan efek antiinflamasi,
imunomodulasi.

Gambar 1.7. Mekanisme genomik dari methylprednisolone


(Buttgereit, F.,et al. 2008)
Gambar diatas menjelaskan mekanisme genomik glukokortikoid setelah
mencapai nukleus. Pada gambar (a,b) terjadi transaktivasi via positif GREs
dan transrepression via negatif GRE (c,d) glukokortikoid akan

15
berinteraksi dengan faktor transkripsi yang mana tidak menghambat
sintesis tetapi memodulasi aktivitas dari AP-1, NF-kB (nuclear factor kB)
dan NF-AT (Nuclear Factor for Activated T cells) yang akhirnya
menghasilkan penghambatan terhadap sitokin inflamasi dan
imunoregulator serta menghambat trnaslokasi dan atau fungsi dari faktor
transkripsi ini.
Sedangkan pada mekanisme nongenomik, glukokortikoid akan
berinteraksi dengan membran sel atau melalui membran yang terikat
dengan reseptor glukokortikoid (mGCR) (lihat no 3 gambar 2) atau
melalui interaksi nonspesifik dengan membran sel (lihat no 4 gambar 2).
yang pada akhirnya juga akan menghasilkan efek yang sama seperti pada
mekanisme genomik yaitu terjadi efek antiinflamasi.

Perbandingan pemakaian prednison dengan dexamethasone pada kasus


ALL, dimana dexamethasone memiliki kemampuan penetrasi ke susunan st=yaraf
pusat lebih tinggi dibanding dengan prednison sehingga terjadiya relaps lebih
rendah pada pasien yang menggunakan dexamethasone tetapi pemakaian
dexamethasone selama fase induksi akan menyebabkan peningkatan risiko
komplikasi infeksi khususnya sepsis bahkan kematian oleh sebab itu pilihan terapi
tetap menggunakan prednison (Henry et al. 2012).

16
BAB V
KESIMPULAN
1. Terapi ALL anak-anak dibagi menjadi 5 fase: (a) induksi; (b) konsolidasi;
(C) penjagaan intermediate; (d) intensifikasi tertunda; dan (e) terapi
penjagaan
2. Terapi induksi ditentukan melalui klasifikasi ini, dimana membagi pasien
kedalam kategori standar risk dan high risk berdasarkan usia dan hitung
sel darah putih awal
3. Fase induksi didesain untuk menginduksi remisi lengkap, dan biasanya
berlangsung selama 28 hari

17
DAFTAR PUSTAKA
Buttgereit,F., et al. 2008. Glucocorticoids. In: Clinical Immunology
Principle&Practice. British: Mosby Elsivier

Crist, W.M., and Pui, C.H., 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15.Vol 3.
Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC, hal 1772-1775.

Daunorubicin Monograph, BC Cancer Agency Cancer Drug Manual, 2013

Drew, P., 2003,ABC of Clinical Haematology, 2nd Edition, BMJ Books, BMA
House, Tavistock Square, London WC1H9JR

Guyton, 1996, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, ECG Jakarta.

Henry, D.W., Holdsworth, M.T. & Kaiser, N.A., 2012. Pediatrics Malignancies.
In B. K. Alldredge et al., eds. Koda Kimble and Young’s Applied Therapeutics:
The Clinical Use of Drugs. Philadelphia: LIPPINCOTTWILLIAMS &WILKINS,
aWOLTERS KLUWER business Two Commerce Square, pp. 2143–71.

Leather, H.L., and Poon, B.B., 2008. Acute Leukemias. In: DiPiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (Eds.).

18
Pharmacotherapy A Patophysiologic Approach. Ed. 7th, New York: Mcgraw-
Hill Co, pp. 2259-2266.

Lullmann, H., 2000. Color Atlas of Pharmacology, New York; Thieme

Metotrexate Monograph, BC Cancer Agency Cancer Drug Manual, 2013

Permono, B., Ugrasena, IDG., 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak.


Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hal 236-237.

Poon, B.B. & Brundage, D.M., 2011. Acute Leukemia. In J. T. Dipiro et al., eds.
Pharmacotherapy A Patophysiology Approach. New York: McGraw-Hill

Rasjidi, I. (2007). Kemoterapi Kanker Ginekologi dalam Praktek Sehari-hari.


Jakarta: CV. Sagung Seto.

19

Anda mungkin juga menyukai