Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

PTERIGIUM OD STADIUM II

Oleh :

Boy Andre Imanuel Paendong

17014101246

Residen Pembimbing

dr. Marcella W. Politton

Supervisor Pembimbing

dr. Yamin Tongku, SpM

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

201
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul

“Pterigium OD Stadium II”

telah dikoreksi, disetujui dan dibacakan pada Maret 2018

di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUD Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Residen Pembimbing

dr. Marcella W. Politton

Supervisor Pembimbing

dr. Yamin Tongku, SpM


BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya sayap.1
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang
menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea yang bersifat
degeneratif dan invasif.2 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.2 Pterigium dapat
mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Pterigium dapat
menyebabkan terganggunya penglihatan jika pterigium sudah mencapai area
pupil.3 Pterigium juga berhubungan dengan masalah kosmetik.3

Secara keseluruhan prevalensi pterigium berkisar antara 0,3-0,7% di


dunia. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya.4 Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas
40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Prevalensi
pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian yang dilakukan di
Victoria, Australia menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi
usia lebih dari 40 tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari
20 tahun.4

Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta

2
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu


neoplasma, radang ataupun degenerasi, diduga disebabkan oleh iritasi yang terus
menerus dari angin, sinar matahari, udara yang panas dan debu. Pada tahap awal,
penderita sering sering mengeluhkan matanya terasa panas, perasaan mengganjal
seperti ada benda asing, mata merah, dan adanya gangguan penglihatan.1

Tatalaksana untuk pterigium meliputi terapi konservatif dan pembedahan.


Terapi konservatif misalnya untuk mencegah mata kering diberikan air mata
buatan. Tindakan pembedahan diindikasikan bila pterigium sudah mengganggu
penglihatan akibat terjadinya astigmatisme iregular atau pterigium telah menutupi
media penglihatan.1

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis pterigium


grade III okulus sinistra pada pasien yang datang berobat ke poliklinik Mata
RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva dan Kornea

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata


bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu6 :

 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar


digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya.
 Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.

Gambaar 1. Anatomi konjungtiva

4
Histologi Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata
secara merata di seluruh prekornea.6

Gambar 2. Anatomi konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri


palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.6

5
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva

Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan
cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin
“cornum” artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel7.

1. Lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva


bulbaris).
2. Membrane Bowman.
3. Stroma.
4. Membrane Descemet.
5. Lapisan Endotel

6
Gambar 4. Anatomi Kornea

B. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium adalah


proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaannya.1

Gambar 5. Pterigium

C. Epidemiologi

Secara keseluruhan prevalensi pterigium berkisar antara 0,3-0,7% di


dunia. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah diatas
40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Prevalensi
pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian yang dilakukan di
Victoria, Australia menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi
usia lebih dari 40 tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari
20 tahun.4,6

7
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5

D. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar


matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.7 Pterigium diduga
merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan
dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterigium
antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke
dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.

Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium


yaitu:

1. Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya


asosiasi antara paparan yang lama terhadap sinar matahari pada daerah-
daerah geografis dengan kejadian pterigium.9

2. Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi


pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai

8
dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang erat,
risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun.9

3. Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya


hubungan yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi
masih belum diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium
ataupun sebaliknya.

4. Pekerjaan, salah satu pekerjaan yang memiliki risiko terjadinya pterigium


adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti petani, nelayan
ataupun pelaut.10

E. Patofisiologi

Sampai saat ini, patogenesis dari pterigium belum mendapatkan suatu


kejelasan yang pasti. Berbagai teori telah diajukan terhadap penyakit ini seperti
pengaruh inflamasi, degenerasi jaringan ikat, instabilitas genetik, angiogenesis,
radikal bebas, penyembuhan luka yang tidak sempurna, gangguan metabolisme
lemak, infiltrasi sel mast, dan disfungsi stem sel.

Terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis


dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup :

1. Paparan terhadap sinar UV

Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan


terjadinya perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan
produksi dari interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα.
Selain itu, terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat
peningkatan pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar
yang lebih tinggi daripada tissue inhibitors. Beberapa teori menyatakan
bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor gen tumor
TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel limbus.
Dikarenakan adanya mutasi pada gen tersebut, maka otomatis akan tejadi
gangguan pada kematian sel. Gangguan apoptosis ini menyebabkan
terjadinya mutasi gen-gen yang lain sehingga terbentuk pterigium dan sel

9
tumor limbus yang melapisi pinguikula dari fibroblast dan menghasilkan
berbagai matrix metalloproteinase (MMP). 8

Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga


disebutkan bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana
sekresi berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis.8,9

Pada saat sel pterigium mencapai kornea, maka MMP akan


menghancurkan 10actor10p bowman serta TGF-B yang akan
menyebabkan peningkatan monosit dan kapiler dalam epitel. Kemudian,
terdapat sel fibroblast yang terletak di ujung epitel limbus untuk
menghasilkan MMP-1 dan MMP-3 yang membantu dalam penghancuran
10actor10p bowman. Fibrobalst ini akan diaktifasi oleh TGF-B dan
sitokin-sitokin untuk bermigrasi ke 10actor10p basal kornea dan
membentuk pulau-pulau fibroblast.8

2. Teori Growth Factor dan Sitokin Proinflamasi

Pterigium memiliki komponen 10actor10p yang dapat menginvasi


ke jaringan mata. Komponen 10actor10p ini timbul melalui proses
angiogenesis yang dirangsang oleh VEGF (Vascular Endothelial Growth
factor). Inflamasi kronis pada pterigium merangsang keluarnya berbagai
growth factor dan sitokin seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan TNF-α serta
VEGF yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks ektra
sel dan angiogenesis. Selain meningkatnya growth factor ditemukan
menurunnya 10actor penghambat pertumbuhan seperti TSP-I.8

3. Teori Stem Cell

10
Faktor lingkungan (11actor, debu) menyebabkan kerusakan sel
basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini
akan memproduksi matriks 11actor11proteinase untuk merusak matriks
ektrasel, sehingga pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga dapat
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem sel
ini juga akan memproduksi sitokin sambil juga menyembuhkan kornea.
Sitokin dan berbagai growth 11actor akan mempengaruhi stem sel di
limbus sehingga terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel yang
akhirnya akan menimbulkan pterigium.8

Beberapa penelitian juga memberikan hasil yang serupa dimana


radiasi sinar UV akan menyebabkan mikro trauma yang menyebabkan
timbulnya lesi inflamasi. Gen p53 diduga memegang peranan utama dalam
patogenesis pterigium, sedangkan faktor lain seperti “debu, angin, panas,
dan kekeringan” merupakan faktor yang sekunder. Keseluruhan faktor ini
akan menyebabkan kerusakan lapisan lemak pada lapisan air mata yang
akan menyebabkan meningkatnya penguapan dan kekeringan konjugtiva
(dellen). Dellen akan merangsang timbulnya respon sikatriks disertai
dengan proliferasi dari jaringan konjungtiva yang mengalami inflamasi.8

Proliferasi sel, inflamasi, modifikasi jaringan konjungtiva, dan


angiogenesis dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor pertumbuhan seperti
FGF, PDGF, TGF, dan TNF-α. Peranan angiogenesis juga dijumpai pada
patogenesis pterigium dimana dijumpai adanya peningkatan ketebalan
pembuluh darah mikro dan dijumpai kadar VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor) yang meningkat pada pterigium dibandingkan dengan
konjugtiva normal.8

F. Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan stadium,


lesi, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:9

11
 Grade 0 : tidak ada pterigium
 Grade I : puncak pada konjungtiva bulbi
 Grade II : puncak lewat limbus tapi belum melewati setengah
jarak antara limbus dan pupil.
 Grade III : puncak melewati setengah jarak antara limbus dan
pupil tetapi belum melewati pupil.
 Grade IV : puncak sudah melewati pupil.

Gambar 6. Stadium Pterigium

G. Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan dengan keluhan mata


merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat diperparah
dengan adanya peradangan akut pada pterigium. Selain gejala ini, pasien juga
mengeluhkan masalah kosmetik.9

Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular


berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai
kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari
jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang
merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya
jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal.10

H. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

12
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers).
Penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.1,11,12

2. Non medikamentosa

a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan
pada pterigium11:
1) Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan
kembalikonjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon
rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2) Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3) Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap
4) Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
b. Menjaga kebersihan mata

13
c. Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.
3. Terapi Tambahan
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian12:

a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,


bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
I. Komplikasi dan Pencegahan

1. Komplikasi

Komplikasi dari pterigium antara lain12 :

a. Penurunan penglihatan

b. Kemerahan

c. Iritasi

d. Parut pada konjungtiva dan kornea

e. Diplopia akibat keterlibatan otot ekstraokular yang akan


menghambat pergerakan bola mata.

f. Pada pasien yang belum menjalani operasi, parut pada rektus


media merupakan penyebab tersering.

Komplikasi pasca operatif12:

a. Infeksi

14
b. Reaksi alergi terhadap bahan jahit

c. Diplopia

d. Tidak bersatunya graft konjungtiva

e. Parut konrea

f. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata,


perdarahan vitreus, atau retinal detachment

2. Pencegahan

Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab utama


pterigium adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium yang
utama adalah dengan meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi
pasien merupakan pencegahan utama untuk pterigium. Pasien di edukasi
mengenai pemakaian topi dan kacamata dengan lensa yang dilapisi untuk
mencegah masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini sangat penting
terutama pada individu yang tinggal atau beraktivitas di daerah tropis dan
subtropis dan pekerjaan yang berisiko tinggi seperti nelayan, petani,
pekerja bangunan, dan lain-lain.1,12

J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien
dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.12

15
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. MJH

Umur : 54 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Alamat : karombasan selatan, ling II

Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia

Agama : Kristen

Tanggal Pemeriksaan : 17 Desember 2017

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama

Terasa seperti ada yang mengganjal di mata kanan.

2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang berobat ke Poliklinik Mata dengan keluhan


utama rasa mengganjal pada mata kanan. Rasa mengganjal pada mata
kanan dirasakan penderita sejak ± 8 tahun. Penderita juga mengeluh
mata kanan merah, berair dan terasa perih. Awalnya penderita merasa
gatal pada mata kanan yang kemudian diikuti dengan rasa perih yang
disertai dengan pengeluaran air mata. Keluhan tersebut biasa timbul
saat mata penderita terpapar debu, angin atau sinar matahari. Tidak
ditemukan pandangan kabur, sekret, benda asing, dan riwayat trauma.
3. Riwayat penyakit sistemik

16
Riwayat penyakit disangkal pasien. Riwayat alergi obat tidak ada.

4. Riwayat penyakit dahulu

Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya.

5. Riwayat penyakit keluarga

Ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini yaitu kakak
pasien.

6. Riwayat kebiasaan

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang bekerja sampingan


menjaga toko kecil yang ada di depan rumahnya. Pasien sering
kemana-mana menggunakan motor. Pasien sering suka mengucak
matanya kalau terasa gatal.

7. Riwayat Trauma

Pada pasien tidak ada riwayat trauma

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 72 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu Badan : 36,30C

Jantung dan Paru : Dalam batas normal

Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal

17
D. Pemeriksaan Khusus/Status Oftalmologis

 PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
Status Lokalis Okulus Dextra Okulus Sinistra
(OD) (OS)
Visus 6/6 6/6
Tekanan Intra Okuler 17’3 mmHg 17,3 mmHg
Posisi Bola Mata Ortoforia Ortoforia
Gerakan Bola Mata

Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Benjolan/tonjolan - -

Segmen Anterior OD OS
Silia Normal Normal
Palpebra Warna Normal Normal
Bentuk Normal Normal
Edema - -
Pegerakan Normal Normal
Tumor - -

Konjungtiva Warna Normal Normal


Sekret - -
Edema - -
Benjolan Jaringan -
fibrovaskuler yang
memiliki puncak
di limbus.
Injeksi - -
Sklera Warna Normal Normal
Perdarahan - -
Benjolan - -

18
Kornea Kekeruh - -
an
Sikatriks - -
Permuka Jaringan -
an fibrovaskuler yang
memiliki puncak
di limbus.
COA Cukup Dalam Cukup Dalam
Iris kripta Normal Normal
Pupil Bentuk Bulat Bulat
Refleks + +
Lensa Kekeruhan - -

Segmen Posterior OD OS
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
perdarahan (-), eksudat (-), perdarahan (-), eksudat (-),
Retina
cotton wool spot (-) cotton wool spot (-)
Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
Papil N. II
vital, CPR 0,2-0,3 vital,CPR 0,2-0,3
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

19
Gambar 7. Foto klinis Pasien

E. RESUME
Seorang perempuan 54 tahun datang berobat ke poliklinik mata RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan.
Rasa mengganjal pada mata kanan dirasakan penderita sejak ± 8 tahun. Penderita
juga mengeluh mata berair dan rasa perih. Penderita merupakan seorang ibu
rumah tangga yang bekerja menjaga toko didepan rumahnya. Riwayat trauma
pada mata disangkal. Riwayat penyakit mata lainnya disangkal. Riwayat alergi
obat tidak ada. Penderita baru kali ini menderita sakit seperti ini dan dalam
keluarga ada yang menderita sakit seperti ini. Riwayat kebiasaan mengendarai
motor tanpa menutup kaca helm atau memakai kaca mata, bekerja tanpa memakai
pelindung mata, dan kebiasaan mengucak mata. Status oftalmologi, segmen
anterior orbita dextra terdapat jaringan fibrovaskular yang memuncak di limbus.

DIAGNOSIS
 OD : Pterigium stadium II
 OS : Emetropia

DIAGNOSIS BANDING
 Pseudopterigium
 Pinguekula

20
TERAPI
 Artificial tear drop 4x1 gtt OS
 Operasi (jika pterigium sudah sangat mengganggu)

PROGNOSIS
Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam

Ad vitam : bonam

EDUKASI
 Menggunakan kacamata atau tutup kaca helm saat mengendarai motor
 Menghindari pajanan dari lingkungan sekitar seperti asap, debu, dan sinar
matahari
 Menjaga higiene mata
 Kontrol ke poli mata secara teratur.

21
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan oftalmologis. Pada anamnesis didapatkan keluhan rasa
mengganjal pada mata kanan yang dirasakan penderita sejak ± 8 tahun yang lalu.
Penderita juga mengeluh mata kanan merah, berair dan terasa perih. Awalnya
penderita merasa gatal pada mata kanan yang kemudian diikuti dengan rasa perih
yang disertai dengan pengeluaran air mata. Keluhan tersebut biasa timbul saat
mata penderita terpapar debu, angin atau sinar matahari. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa pada tahap awal pterigium penderita
sering mengeluhkan mata terasa panas, perasaan mengganjal seperti ada benda
asing, sering merah dan terjadi kemunduran tajam penglihatan akibat astigmat
kornea.1

Penyebab pterigium yang pasti sampai saat ini belum jelas, tetapi diduga
disebabkan oleh iritasi faktor eksternal, yaitu sinar ultraviolet atau inframerah,
disamping debu, angin dan udara panas. Hal inilah yang dapat menerangkan
mengapa pterigium lebih banyak ditemukan di daerah ekuator atau tropis,
termasuk Indonesia. Mereka yang beresiko terkena penyakit ini adalah mereka
yang sering beraktivitas di luar rumah dimana paparan terhadap sinar matahari
langsung dan debu serta angin sangat memungkinkan untuk terjadi.5

Negara yang dekat daerah ekuator mendapat intensitas sinar ultraviolet lebih
tinggi sehingga dapat menyebabkan perubahan seluler pada limbus kornea bagian
medial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cameron yang menyatakan angka
kejadian pterigium semakin meningkat bila mendekati daerah ekuator. Sinar
ultraviolet dapat menyebabkan perubahan histologis sel epitel, jaringan konjugtiva
submukosa dan destruksi sel stem pada limbus, akibatnya fungsi barier limbus
tidak ada sehingga konjugtiva yang mengalami inflamasi dan degenerasi dapat
dengan mudah menjalar melewati limbus menuju kornea dan membentuk jaringan
pterigium di daerah interpalpebra (celah kelopak) biasanya bagian nasal. Namun,

22
menurut punjabi dkk, ultraviolet bukanlah penyebab utama pterigium, para
pekerja yang berhubungan dengan debu menunjukkan prevalensi pterigium yang
lebih tinggi.1,5.12

Dari anamnesis, Pasien sering mengendarai motor dan terkadang tidak


menggunakan kaca mata atau pun menutup kaca helm. Selain itu, pasien juga
bekerja sampingan menjaga toko didepan rumahnya yang berada langsung di
pinggir jalan, sehingga memberikan resiko timbulnya pterigium.

Pada pemeriksaan slit lamp didapatkan kornea jernih, permukaan tidak


rata ditutupi oleh membran berbentuk segitiga yang puncaknya sampai limbus,
COA cukup dalam dan lensah jernih
Pada kepustakaan pterigium didefinisikan sebagai suatu perumbuhan
mikrovaskular konjungtiva yang bersihat degeratif dan invasif yang membentuk
suatu membran segitiga dengan dasar pada konjugtiva bulbi dan puncak di daerah
konea. Pada awalnya pterigium tampak sebagai suatu jaringan dengan banyak
pembuluh darah sehingga berwarna merah, yang kemudian menjadi satu membran
tipis dan berwarna putih. Bagian sentral yang melekat pada kornea dapat tumbuh
memasuki kornea dan menggantikan epitel, juga membran bowman dengan
jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini berlanjut dan mendekati pupil, yang
dapat memperparah gangguan penglihatan pada seseorang dengan pterigium

Pterigium bisa didiagnosis banding dengan pseudopterigium dan


pinguekula. Pterigium dan pseudopterigium jika dilihat secara sekilas terlihat
hampir mirip. Berikut ini perbedaan pterigium dengan diagnosis bandingnya :13
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium

Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan


fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga

Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan

23
kekuningan keabu-abuan

Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah


bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya

♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀

Progresif Sedang Tidak Tidak

Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada


kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya

Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal


darah
konjungtiva

Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di


diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus

Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan


dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva

Komplikasi yang dapat terjadi akibat pterigium meliputi menurunnya


ketajaman penglihatan, iritasi mata yang berat, terbentuk jaringan ikat yang
bersifat kronik pada konjugtiva dan kornea dan pada keadaan lanjut motilitas mata

24
menjadi terbatas karena terbentuk jaringan ikat yang membungkus muskulus
ekstraokuler.

Penanganan yang diberikan meliputi penatalaksanaan medikamentosa dan


non medikamentosa. Penanganan medikamentosa meliputi pemberian air mata
buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers), penggunaan jangka pendek tetes
mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala
lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien
dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5-7 hari. Penanganan non medikamentosa meliputi pembedahan.
Pembedahan dilakukan jika pterigium dirasakan sudah saat mengganggu pasien
dan juga sudah menyebabkan gangguan penglihatan.14

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Menurut kepustakaan


umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali menyebabkan
kerusakan yang bermakna, karena itu prognosisnya baik.

Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau
topi pelindung jika hendak keluar rumah untuk menghindari kontak dengan sinar
matahari, debu, udara, panas dan angin.

25
BAB IV
SIMPULAN

Seorang perempuan 54 tahun datang berobat ke poliklinik mata RSUP


Prof. Dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan.
Rasa mengganjal pada mata kanan dirasakan penderita sejak ± 8 tahun. Penderita
juga mengeluh mata berair dan rasa perih. Penderita merupakan seorang ibu
rumah yangga yang memiliki kerja sampingan menjaga toko di depan rumahnya.
Riwayat trauma pada mata disangkal. Riwayat penyakit mata lainnya disangkal.
Riwayat alergi obat tidak ada. Penderita baru kali ini menderita sakit seperti ini
dan dalam keluarga ada yang menderita sakit seperti ini. Riwayat kebiasaan
mengendarai motor tanpa menutup kaca helm atau memakai kaca mata, bekerja
tanpa memakai pelindung mata, dan kebiasaan mengucak mata. Status
oftalmologi, segmen anterior orbita dextra terdapat jaringan fibrovaskular yang
memiliki puncak di limbus. Pasien didiagnosis dengan Pterigium OS stadium I
dan diberikan terapi berupa lyteers dan direncanakan untuk dilakukan operasi
apabila pterigium sudah sangat megganggu. Pasien diedukasi untuk memakai alat
pelindung mata berupa kacamata.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics


Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) :
308-13.

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.

hal:2-6, 116 – 117

3. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf . Desember 2017.

4. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In


Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

5. Erry. Mulyani UA, Susilowatu D. Distribusi dan Karakteristik


Pterigiumndi Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Jakarta: 2010.

6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.

hal:2-6, 116 – 117

7. Djajakusli Shintya, Rukiagh Syawal, Junaedi Sirajuddin, Noor Syamsu.


The Profile of Tear Mucin Layer and Impresssion Cytology in Pterygium
Patients. Jurnal oftamologi Indonesia (JOI), Vol 7. No. 4 Desember 2010:
139-43.

8. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

27
9. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam
Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The
Indonesian Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.

10. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular surface disease, medical surgical


management, 2002.

11. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.

12. Ptergygium In Handbook of Ocular Diseases Management. Dikutip dari :


http://www.revoptom.com/handbook/sectzi.thm. Diakses tanggal 22
Januari 2018.

13. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi


Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika.2000.hal 5-6.111 Solomon A.S.
Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online]. 2010. [Cited
January 2018]. Availble From :
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.

14. Biswell R, MD. Kornea. In: Vaughan DG, Asbury T, Riordan P,


ed. Oftalmologi Umum 14th ed. Jakarta : Widya Medika; 2000, 129-52

28

Anda mungkin juga menyukai