PTERIGIUM OD STADIUM II
Oleh :
17014101246
Residen Pembimbing
Supervisor Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
MANADO
201
LEMBAR PENGESAHAN
Residen Pembimbing
Supervisor Pembimbing
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang artinya sayap.1
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang berkembang
menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea yang bersifat
degeneratif dan invasif.2 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.2 Pterigium dapat
mengenai kedua mata dengan derajat pertumbuhan yang berbeda. Pterigium dapat
menyebabkan terganggunya penglihatan jika pterigium sudah mencapai area
pupil.3 Pterigium juga berhubungan dengan masalah kosmetik.3
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
2
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Histologi Konjungtiva
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata
secara merata di seluruh prekornea.6
5
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva
Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan
cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin
“cornum” artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel7.
6
Gambar 4. Anatomi Kornea
B. Definisi
Gambar 5. Pterigium
C. Epidemiologi
7
Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium sehingga prevalensi pterigium lebih
tinggi pada negara-negara yang berada dekat daerah ekuator atau Negara dengan
iklim tropis termasuk Indonesia.1 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan
paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi
dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta
(0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.5
Etiologi
Faktor Resiko
8
dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang erat,
risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun.9
E. Patofisiologi
9
tumor limbus yang melapisi pinguikula dari fibroblast dan menghasilkan
berbagai matrix metalloproteinase (MMP). 8
10
Faktor lingkungan (11actor, debu) menyebabkan kerusakan sel
basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini
akan memproduksi matriks 11actor11proteinase untuk merusak matriks
ektrasel, sehingga pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga dapat
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem sel
ini juga akan memproduksi sitokin sambil juga menyembuhkan kornea.
Sitokin dan berbagai growth 11actor akan mempengaruhi stem sel di
limbus sehingga terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel yang
akhirnya akan menimbulkan pterigium.8
F. Klasifikasi
11
Grade 0 : tidak ada pterigium
Grade I : puncak pada konjungtiva bulbi
Grade II : puncak lewat limbus tapi belum melewati setengah
jarak antara limbus dan pupil.
Grade III : puncak melewati setengah jarak antara limbus dan
pupil tetapi belum melewati pupil.
Grade IV : puncak sudah melewati pupil.
G. Gejala Klinis
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
12
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers).
Penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.1,11,12
2. Non medikamentosa
a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan
pada pterigium11:
1) Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan
kembalikonjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon
rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2) Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3) Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap
4) Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
b. Menjaga kebersihan mata
13
c. Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.
3. Terapi Tambahan
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian12:
1. Komplikasi
a. Penurunan penglihatan
b. Kemerahan
c. Iritasi
a. Infeksi
14
b. Reaksi alergi terhadap bahan jahit
c. Diplopia
e. Parut konrea
2. Pencegahan
J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.2 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien
dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa
tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal autografts atau
transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.12
15
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Umur : 54 tahun
Pekerjaan : IRT
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Agama : Kristen
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
16
Riwayat penyakit disangkal pasien. Riwayat alergi obat tidak ada.
Ada keluarga pasien yang mengalami sakit seperti ini yaitu kakak
pasien.
6. Riwayat kebiasaan
7. Riwayat Trauma
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
17
D. Pemeriksaan Khusus/Status Oftalmologis
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF
Status Lokalis Okulus Dextra Okulus Sinistra
(OD) (OS)
Visus 6/6 6/6
Tekanan Intra Okuler 17’3 mmHg 17,3 mmHg
Posisi Bola Mata Ortoforia Ortoforia
Gerakan Bola Mata
Segmen Anterior OD OS
Silia Normal Normal
Palpebra Warna Normal Normal
Bentuk Normal Normal
Edema - -
Pegerakan Normal Normal
Tumor - -
18
Kornea Kekeruh - -
an
Sikatriks - -
Permuka Jaringan -
an fibrovaskuler yang
memiliki puncak
di limbus.
COA Cukup Dalam Cukup Dalam
Iris kripta Normal Normal
Pupil Bentuk Bulat Bulat
Refleks + +
Lensa Kekeruhan - -
Segmen Posterior OD OS
Refleks fundus (+) uniform (+) uniform
perdarahan (-), eksudat (-), perdarahan (-), eksudat (-),
Retina
cotton wool spot (-) cotton wool spot (-)
Bulat, batas tegas, warna Bulat, batas tegas, warna
Papil N. II
vital, CPR 0,2-0,3 vital,CPR 0,2-0,3
Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)
19
Gambar 7. Foto klinis Pasien
E. RESUME
Seorang perempuan 54 tahun datang berobat ke poliklinik mata RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan.
Rasa mengganjal pada mata kanan dirasakan penderita sejak ± 8 tahun. Penderita
juga mengeluh mata berair dan rasa perih. Penderita merupakan seorang ibu
rumah tangga yang bekerja menjaga toko didepan rumahnya. Riwayat trauma
pada mata disangkal. Riwayat penyakit mata lainnya disangkal. Riwayat alergi
obat tidak ada. Penderita baru kali ini menderita sakit seperti ini dan dalam
keluarga ada yang menderita sakit seperti ini. Riwayat kebiasaan mengendarai
motor tanpa menutup kaca helm atau memakai kaca mata, bekerja tanpa memakai
pelindung mata, dan kebiasaan mengucak mata. Status oftalmologi, segmen
anterior orbita dextra terdapat jaringan fibrovaskular yang memuncak di limbus.
DIAGNOSIS
OD : Pterigium stadium II
OS : Emetropia
DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
Pinguekula
20
TERAPI
Artificial tear drop 4x1 gtt OS
Operasi (jika pterigium sudah sangat mengganggu)
PROGNOSIS
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad vitam : bonam
EDUKASI
Menggunakan kacamata atau tutup kaca helm saat mengendarai motor
Menghindari pajanan dari lingkungan sekitar seperti asap, debu, dan sinar
matahari
Menjaga higiene mata
Kontrol ke poli mata secara teratur.
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyebab pterigium yang pasti sampai saat ini belum jelas, tetapi diduga
disebabkan oleh iritasi faktor eksternal, yaitu sinar ultraviolet atau inframerah,
disamping debu, angin dan udara panas. Hal inilah yang dapat menerangkan
mengapa pterigium lebih banyak ditemukan di daerah ekuator atau tropis,
termasuk Indonesia. Mereka yang beresiko terkena penyakit ini adalah mereka
yang sering beraktivitas di luar rumah dimana paparan terhadap sinar matahari
langsung dan debu serta angin sangat memungkinkan untuk terjadi.5
Negara yang dekat daerah ekuator mendapat intensitas sinar ultraviolet lebih
tinggi sehingga dapat menyebabkan perubahan seluler pada limbus kornea bagian
medial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cameron yang menyatakan angka
kejadian pterigium semakin meningkat bila mendekati daerah ekuator. Sinar
ultraviolet dapat menyebabkan perubahan histologis sel epitel, jaringan konjugtiva
submukosa dan destruksi sel stem pada limbus, akibatnya fungsi barier limbus
tidak ada sehingga konjugtiva yang mengalami inflamasi dan degenerasi dapat
dengan mudah menjalar melewati limbus menuju kornea dan membentuk jaringan
pterigium di daerah interpalpebra (celah kelopak) biasanya bagian nasal. Namun,
22
menurut punjabi dkk, ultraviolet bukanlah penyebab utama pterigium, para
pekerja yang berhubungan dengan debu menunjukkan prevalensi pterigium yang
lebih tinggi.1,5.12
23
kekuningan keabu-abuan
24
menjadi terbatas karena terbentuk jaringan ikat yang membungkus muskulus
ekstraokuler.
Pada penderita ini dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau
topi pelindung jika hendak keluar rumah untuk menghindari kontak dengan sinar
matahari, debu, udara, panas dan angin.
25
BAB IV
SIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
27
9. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam
Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The
Indonesian Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.
11. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
28