Oleh:
Supervisor Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing
PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan jangka panjang
yang serius di seluruh dunia, dan merupakan sumber peningkatan biaya perawatan
kesehatan. Identifikasi faktor risiko baru yang berpotensi reversibel juga mendapat
perhatian yang meningkat. Dalam konteks ini, obstructive sleep apnea (OSA) telah
disarankan.1
OSA adalah faktor risiko independen untuk stroke dan itu sangat umum pada
populasi stroke, dengan tingkat prevalensi yang dilaporkan antara 30% dan 70%2,
dari stroke.3 Sejalan dengan hipotesis ini, sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa OSA dikaitkan dengan pemulihan fungsional yang buruk, rawat inap yang
Salah satu akibat dari terjadinya stroke adalah gangguan fungsi kognitif.
Insiden gangguan fungsi kognitif meningkat tiga kali lipat setelah stroke, dan biasanya
eksekutif.5
Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi,
perhatian, kosentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan
dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan
pemecahan masalah. Gangguan fungsi kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak
5
karena kemampuan untuk berpikir akan dipengaruhi oleh otak.
kognitif pada orang tua, independen dari beberapa pembaur. Abnormalitas dalam
arsitektur tidur telah dijelaskan dalam gangguan kognitif ringan (MCI), dan mereka
TINJAUAN PUSTAKA
fungsional otak yang dapat terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik
gangguan fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
yang merupakan suatu kondisi emergensi, terjadi karena adanya iskemia serebral atau
hemoragik serebral dengan penurunan aliran darah dan oksigen ke jaringan serebral
yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.8 Klasifikasi stroke dibagi menjadi
3 yaitu stroke iskemik, stroke hemoragik, dan TIA (Transient Ischemic Attack). Stroke
iskemik disebabkan oleh trombus pembuluh darah otak akibat aterosklerosis, maupun
penyakit pembuluh darah kecil di otak. Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah akibat aterosklerosis maupun peningkatan tekanan darah yang tak
terkontrol. TIA merupakan defisit neurologis yang berlangsung kurang dari 24 jam
Faktor risiko stroke di bagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko stroke yang
tidak dapat dimodifikasi adalah umur, faktor keturunan, ras, jenis kelamin dan adanya
riwayat stroke sebelumnya atau TIA. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah
Gangguan kualitas tidur dalam beberapa tahun terakhir ini dipandang sebagai
faktor potensial penyebab terjadinya stroke. Tidur yang cukup sangat penting untuk
gangguan tidur berkaitan erat dengan faktor-faktor risiko stroke seperti diabetes,
hipertensi, dan obesitas. Ketidakcukupan kualitas dan kuantitas tidur juga dapat
merusak memori dan kemampuan kognitif, jika hal ini berlanjut hingga bertahun-tahun
maka akan berdampak pada tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, hingga
Gangguan tidur yang paling banyak ditemukan (>50%) pada stroke akut Sleep-
disorder Breathing (SDB) terutama yang berjenis Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan
nocturnal oxygen desaturation. OSA merupakan faktor risiko terjadinya stroke dan
Semakin meningkatnya derajat sleep apnea pada pasien maka peningkatan resiko
terjadinya stroke dan kematian juga turut meningkat. Beberapa komorbiditas yang
muncul bersamaan dengan gangguan tidur sebelum stroke ialah obesitas, diabetes,
Dirk M. Hermann dan Claudio L. Bassetti pada tahun 2016 melakukan sebuah
(SWD) sebagai suatu faktor risiko dan konsekuensi dari stroke yang mempengaruhi
pemulihan stroke, hasil, dan kekambuhan. Hasilnya beberapa penelitian telah
membuktikan SDB merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Selain itu, baik
pengurangan dan peningkatan durasi tidur, serta hipersomnia, insomnia, dan Restless
Legs Syndrome (RLS), juga dapat meningkatkan risiko stroke. Studi eksperimental
meningkatkan risiko stroke pada populasi umum dan mempengaruhi pemulihan dan
mempelajari faktor-faktor risiko yang terkait dengan stroke iskemik pada usia muda
dan pengaruh kualitas tidur terhadap stroke iskemik. Sampel yang terpilih berjumlah
223 pasien, usia 18 hingga 45 tahun yang dirawat di Puyang People's Hospital dari
Juni 2011 hingga Februari 2013 dengan kejadian stroke iskemik untuk pertama kalinya.
158 orang muda dengan pemeriksaan fisik normal dipilih sebagai kelompok kontrol.
korelasi antara kualitas tidur dan insidensi stroke iskemik muda. National Institutes of
Health Stroke Scale (NIHSS) dan Modified Ranking Scale (MRS) digunakan untuk
menilai keadaan penyakit dan prognosis kasus pada tiga bulan setelah kejadian stroke
bahwa hubungan faktor-faktor risiko ini dengan insidens stroke iskemik pada usia
homocysteine tinggi, kualitas tidur, riwayat keluarga stroke, dan alkoholisme. Kualitas
tidur yang buruk menduduki peringkat kelima di antara semua faktor risiko dan
berkorelasi positif dengan prognosis yang buruk untuk pasien stroke iskemik usia
muda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas tidur merupakan faktor penting
Pada stroke terjadi pelepasan berlebihan dari glutamat serta penurunan sekresi
serotonin dan melatonin. Selain itu lokasi lesi tertentu dapat menyebabkan gangguan
pada sentral lokomotor dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Berbagai
perubahan dan kerusakan inilah yang menyebabkan gangguan tidur pada stroke berupa
insomnia, hipersomnia atau parasomnia tergantung dari letak kelainannya, meski tidak
kantuk di siang hari yang berlebihan. Sedangkan stroke hemisferik akan menimbulkan
kelainan tidur REM. Dalam salah satu penelitian mengenai stroke hemisferik, sepertiga
pasien stroke tidur berlebihan, dan sepertiga lainnya mengalami penurunan waktu tidur
dibandingkan dengan waktu tidur sebelum stroke. Jika kerusakan terjadi pada inti
defisit lain.15
prospektif antara durasi tidur dan risiko mortalitas stroke di kalangan 63.257 orang
dewasa Cina yang berusia 45 hingga 74 tahun. Hasilnya adalah didapatkan peningkatan
risiko kematian stroke dengan durasi tidur pendek (≤5 jam per hari) maupun durasi
tidur panjang (≥9 jam per hari) pada subjek dengan riwayat hipertensi, tetapi tidak pada
Suatu penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Yue Lang et al pada tahun 2015
bertujuan untuk mempelajari hubungan antara durasi tidur dan kejadian stroke pada
populasi Inggris dengan 9.692 partisipan berusia 42–81 tahun yang bebas dari stroke.
Para peserta melaporkan durasi tidur pada tahun 1998-2000 dan 2002-2004, dan semua
kasus stroke dicatat hingga 31 Maret 2009. Setelah 9,5 tahun masa tindak lanjut, terjadi
346 kasus stroke. Risiko stroke lebih tinggi ditemukan di antara mereka yang
melaporkan tidur panjang terus-menerus atau peningkatan durasi tidur yang besar
melaporkan durasi tidur yang rata-rata. Penelitian prospektif dan meta-analisis ini
mengidentifikasi bahwa durasi tidur yang lama menjadi faktor risiko dalam
meningkatkan kejadian stroke di masa depan pada populasi lansia yang tampaknya
sehat.17
kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan
antara kecacatan dan kematian dari penderita stroke adalah 4 berbanding 1. Gejala
paling umum dari stroke yaitu kelemahan mendadak salah satu sisi tubuh pada wajah,
lengan, dan kaki. Kerusakan sel-sel otak pasca stroke menyebabkan kecacatan fungsi
mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri, kegiatan sehari-hari dan berkomunikasi
dengan orang sekitar secara normal. Gangguan kognitif pasca stroke secara signifikan
Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi,
perhatian, kosentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan
dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan
pemecahan masalah.19,20 Penderita stroke iskemik memiliki risiko yang tinggi untuk
mengalami gangguan kognitif. Hal ini disebabkan rupturnya plak arteri yang dapat
menimbulkan trombus, sehingga aliran darah menuju otak menurun. Penurunan aliran
darah otak yang berlangsung lama mengakibatkan gangguan kognitif pada penderita
Insiden gangguan fungsi kognitif meningkat tiga kali lipat setelah stroke.
Ganguan kognitif pasca stroke termasuk dalam suatu kelompok gangguan kognitif
yang disebut dengan Vascular Cognitive Impairment (VCI) meliputi gangguan kognitif
sampai yang paling berat berupa demensia vaskuler.21 Gangguan kognitif berupa
gangguan aspek pragmatis pada cara berkomunikasi dan berkurangnya atensi. Kelainan
kognitif yang muncul akibat dari kerusakan otak yaitu adanya kelainan persepsi atensi,
fungsi kognitif dari seorang individu. Penelitian yang dilakukan oleh Jane Ferrie et al
pada tahun 2010 menyatakan bahwa faktor risiko dalam perjalanan hidup dari awal
hingga pertengahan dan akhir masa dewasa seorang individu adalah penting sesuai
peneliti mengadopsi pendekatan tersebut dan menerapkan tidur sebagai faktor risiko
untuk fungsi kognitif yang buruk. Dalam penelitian ini, dijelaskan mengenai pengaruh
perubahan tidur selama periode lima tahun, dimulai pada usia menengah akhir, pada
fungsi kognitif di kemudian hari.23 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Seiko Miyata et al pada tahun 2012 yaitu didapatkan pada hasil penelitian bahwa
durasi tidur dan kualitas tidur dapat memainkan peran dalam kinerja kognitif pada
Adapun penelitian yang dilakukan oleh June C. Lo et al pada tahun 2015 yaitu
didapatkan bahwa durasi tidur, pendek maupun panjang, sebagaimana dinilai oleh self-
report, berhubungan dengan kinerja fungsi kognitif yang lebih buruk pada orang
dewasa yang lebih tua. Penelitian ini menunjukkan kemungkinan bahwa membangun
kebiasaan tidur yang baik sejak dini dapat mengurangi defisit kognitif yang terkait
dengan penuaan.25 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert D.
Nebes et al yaitu tentang hubungan antara kualitas tidur dan kinerja kognitif pada orang
dewasa yang lebih tua, tanpa memperhitungkan komorbiditas medis umum. Peserta
penelitian adalah relawan masyarakat dengan variabilitas dalam kualitas tidur. Peserta
dengan tidur yang cukup dan peserta dengan tidur yang kurang memiliki perbedaan
hasil pada tes kerja memori, tes perubahan konsentrasi, dan pemecahan masalah
abstrak tetapi tidak pada kecepatan pemrosesan, fungsi penghambatan, atau memori
episodik. Dalam penelitian juga peneliti menyatakan bahwa tidur yang kurang juga
fungsional (misalnya, penurunan konsentrasi) dan tidak untuk suasana hati (misalnya,
sedih). Hubungan antara kualitas tidur dan fungsi kognisi tidak dijelaskan dengan
berkontribusi terhadap variabilitas kinerja antara individu lansia tetapi hanya dalam
hubungan antara kualitas tidur dan kuantitas dan kinerja tes kognitif di antara individu
yang lebih tua dari enam negara berpenghasilan menengah (China, Ghana, India,
Russian Federation, South Africa, dan Mexico). Dalam hasil penelitian didapatkan
bahwa individu dengan jangka waktu tidur menengah (> 6-9 jam / malam)
menunjukkan skor kognitif yang lebih tinggi secara signifikan daripada individu
dengan tidur singkat (0-6 jam / malam; p <0,001) atau durasi tidur yang panjang (> 9
jam / malam; p <0,001). Dilaporkan kualitas tidur berkorelasi positif dengan skor z
memiliki kualitas tidur dan skor kognitif yang lebih tinggi, sementara wanita
dilaporkan memiliki durasi tidur yang lebih lama. Dengan demikian, dengan
yang kurang dengan defisit fungsi kognitif pada wanita berusia tua, menyatakan bahwa
secara objektif, bukan durasi tidur yang singkat yang mempengaruhi fungsi kognitif
melainkan gangguan tidur yang konsisten yang berhubungan dengan penurunan fungsi
kognitif. Temuan ini mungkin menunjukkan bahwa kualitas tidur lebih mempengaruhi
penurunan fungsi kognitif daripada kuantitas tidur, dalam hal ini yaitu durasi waktu
tidur.28
tentang hubungan gangguan tidur dengan gangguan fungsi kognitif ringan, menyatakan
bahwa gangguan tidur merupakan hal lazim dan dapat di prediksi pada orang tua
individu tersebut, dan sebaiknya individu dengan gangguan tidur harus menjalani
Masalah dalam kualitas tidur yang mempengaruhi fungsi kognitif tidak hanya
berepengaruh pada individu dengan semua usia, hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Mari S. Machi et al pada tahun 2012, penelitian ini meneliti tentang
hubungan antara shift kerja, tidur dan fungsi kognitif pada dokter-dokter IGD di
Pittsburgh, Pennsylvania. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil penelitian yaitu
bahwa dokter-dokter IGD menunjukkan penurunan kinerja kognitif pada siang hari dan
juga saat shift malam. Ingatan jangka pendek adalah cognitif domain yang paling
menurun pada dokter-dokter IGD selama jam shift kerja. Dokter-dokter IGD tersebut
didapatkan lebih rentan terhadap gangguan di akhir jam shift. Efek ini diperburuk
ketika bekerja shift malam, tanpa adanya kemajuan signifikan dari ritme sirkadian
(seperti dinilai dengan kortisol peak). Gangguan tidur yang dilaporkan adalah hal yang
biasa terjadi pada dokter-dokter yang bekerja di IGD karena harus bekerja pada siang
hari dan juga shift malam.30 Adapula penelitian yang dilakukan oleh Évelyne Touchette et
al tentang hubungan antara durasi tidur dengan perilaku atau fungsi kognitif pada anak-anak
dengan usia masuk sekolah. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa durasi tidur yang
dipersingkat, terutama sebelum usia 41 bulan, dihubungkan dengan masalah eksternal seperti
Hyperactivity-Impulsivity dan kinerja kognitif yang lebih rendah pada tes perkembangan saraf.
Hasil menyoroti pentingnya memberi anak kesempatan untuk tidur setidaknya 10 jam per
Justine Aaronson, et al pada tahun 2015 melakukan studi kasus kontrol tentang
efek OSA pada fungsi kognitif setelah stroke. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
untuk membandingkan pasien stroke dengan dan tanpa OSA pada status kognitif dan
fungsional saat masuk ke rehabilitasi rawat inap. Sampel yang digunakan berjumlah
147 pasien stroke yang dirawat di Pusat Rehabilitasi Heliomare, Belanda antara
September 2011 dan Agustus 2014. Kriteria inklusi yang digunakan pada penelitian ini
sebagai berikut: (1) stroke dikonfirmasi oleh ahli saraf, (2) usia antara 18 dan 85 tahun,
(3) masuk antara 1 minggu dan 16 minggu setelah stroke, (4) mampu berpartisipasi
dalam studi tidur dan penilaian neuropsikologis, dan (5) cukup fasih berbahasa
Belanda. Kriteria eksklusi adalah: (1) kondisi medis yang berat, tidak stabil, gagal
napas, atau riwayat gagal jantung kongestif berat, (2) cedera otak traumatis, (3) aphasia
berat, kebingungan, atau komorbiditas psikiatri berat, atau (4) central sleep apnea atau
oleh dua skala neurologis dan ukuran kemandirian fungsional. Hasilnya adalah terdapat
80 pasien stroke dengan OSA dan 67 pasien stroke tanpa OSA. Pasien OSA berusia
lebih tua dan memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi daripada pasien tanpa
OSA. Pasien OSA memiliki hasil yang buruk pada tes perhatian, fungsi eksekutif,
OSA. Tidak ada perbedaan ditemukan untuk kewaspadaan, memori, dan bahasa.32
fungsional yang lebih rendah, dan periode rawat inap yang lebih lama di unit
neurorehabilitation dibandingkan pasien tanpa OSA. Status OSA tidak terkait dengan
tipe atau klasifikasi stroke. OSA menjadi faktor prognostik yang penting terhadap
stroke dan berhubungan dengan status kognitif dan fungsional yang lebih rendah pada
tekanan saluran udara positif secara terus menerus, tetapi sering tidak terdiagnosis. Jika
tidak diobati, OSA dapat turut berkontribusi terhadap penurunan pemulihan dari
stroke.4 Sejalan dengan hipotesis ini, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
OSA dikaitkan dengan pemulihan fungsional yang buruk, rawat inap yang
Selain itu, OSA juga ditemukan dapat memberikan efek negative terhadap
fungsi kognitif dimana suatu studi menemukan adanya hubungan antara OSA dengan
Justine Aaronson, et al pada tahun 2015 didapatkan bahwa OSA terkait dengan
gangguan kinerja yang lebih rendah dalam domain perhatian, memori verbal, dan
visuopersepsi. Sebuah penelitian yang lebih besar pada pasien dengan cedera otak
traumatis juga menunjukkan hasil yang sama, dimana OSA dikaitkan dengan gangguan
fungsi kognitif yang lebih banyak mempengaruhi perhatian dan memori dari pasien
stroke.12, 32
Daftar Pustaka
1. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et
al. Heart Disease and Stroke Statistics--2013 Update: a report from the
2. Yaggi HK, Concato J, Kernan WN, Lichtman JH, Brass LM, Mohsenin
V. Obstructive sleep apnea as a risk factor for stroke and death. N Engl J
Med 2005;353:2034-41.
3. Johnson KG, Johnson DC. Frequency of Sleep apnea in sroke and TIA patients:
Pasien Stroke di Irina F BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado, Jurnal E-
Clinic 2014;2:2.
2:S5–13.
8. Lidia C. Hubungan kualitas tidur dan kejadian stroke iskemik di bangsal
12. Jennum P, Cano JS, Bassetti C, Clarenbach P, Hogl B, Mathis J, et al. Sleep
disorders in neurodegenerative disorders and stroke. In: Gilhus NE, Barnes MP,
13. Hermann DM, Bassetti CL. Role of sleep-disordered breathing and sleep-wake
2016;87:13
Jaya; 2014
16. Pan A, Silva DA, Yuan JM, et al. Sleep Duration and Risk of Stroke Mortality
17. Leng Y, Cappuccio FP, Wainwright NW, et al. Sleep duration and risk of fatal
18. Mustikawati AP. Hubungan antara stroke iskemik dengan gangguan fungsi
Surakarta;2016
19. Lisnaini. Senam Vitalisasi Otak Dapat Meningkatkan Fungsi Kognitif Usia
20. Yoo Chanuk., Mi-hYun Yong., JaeYeop Chung., Yeongae Yang. Effect of
21. Cristy I. Asosiasi genotip apoliprotein E dengan fungsi kognitif pada pasien
Diponegoro.
22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman rehabilitasi kognitif. In
23. Ferrie JE, Shipley MJ, Akbaraly TN, Marmot MG, Kivimäki M, Singh-Manoux
2011;34:365-73A
Society 2013;22:535-41.
25. Lo J, Groeger JA, Cheng GH, Dijk DJ, Chee MWL. Sleep Medicine: Self-
26. Nebes RD, Buysse DJ, Halligan EM, Houck PR, Monk TH. Self-Reported Sleep
27. Gildner TE, Liebert MA, Kowal P, Chatterji S, Snodgrass JJ. Associations
between Sleep Duration, Sleep Quality, and Cognitive Test Performance among
Older Adults from Six Middle Income Countries: Results from the Study on
Global Ageing and Adult Health (SAGE). Journal of Clinical Sleep Medicine
2014;10:613-21.
28. Blackwell T, Yaffe K, Ancoli-Israel S, Schneider JL, Cauley JA, Hillier TA, et al.
2006;61A:405-10
29. Silva R. Science Direct: Sleep disturbances and mild cognitive impairment: A
30. Machi MS, Staum M, Callaway CW, Moore C, Jeong K, Suyama J, et al. The
31. Touchette É, Petit D, Séguin JR, Boivin M, Tremblay RE, Montplaisir JY.
32. Aaronson JA, Bennekom CAM, Hofman WF, et al. Obstructive Sleep Apnea
2015;38:1431–7