Anda di halaman 1dari 21

Hubungan Kualitas Tidur, Stroke dan Fungsi Kognitif

Oleh:

Charity Cesillia Tololiu – 17014101031


George Richard Evert - 16014101187
Delarisa Rebeca Lindo - 17014101037

Masa KKM 3 September 2018 – 30 September 2018

Supervisor Pembimbing

dr. Sekplin Sekeon, MPH, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul:

“Hubungan Kualitas Tidur, Stroke dan Fungsi Kognitif”

Telah dikoreksi, disetujui, dan dibacakan pada tanggal September 2018

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing

dr. Sekplin Sekeon, MPH, Sp.S


BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan jangka panjang

yang serius di seluruh dunia, dan merupakan sumber peningkatan biaya perawatan

kesehatan. Identifikasi faktor risiko baru yang berpotensi reversibel juga mendapat

perhatian yang meningkat. Dalam konteks ini, obstructive sleep apnea (OSA) telah

disarankan.1

OSA adalah faktor risiko independen untuk stroke dan itu sangat umum pada

populasi stroke, dengan tingkat prevalensi yang dilaporkan antara 30% dan 70%2,

ketika tidak ditangani, OSA dianggap berkontribusi terhadap penurunan pemulihan

dari stroke.3 Sejalan dengan hipotesis ini, sejumlah penelitian telah menunjukkan

bahwa OSA dikaitkan dengan pemulihan fungsional yang buruk, rawat inap yang

berkepanjangan dan tingkat kematian yang lebih tinggi.4

Salah satu akibat dari terjadinya stroke adalah gangguan fungsi kognitif.

Insiden gangguan fungsi kognitif meningkat tiga kali lipat setelah stroke, dan biasanya

melibatkan kemampuan visuospasial, memori, orientasi, bahasa, perhatian, dan fungsi

eksekutif.5

Fungsi kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional,

termasuk proses belajar, mengingat menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan.

Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi,

perhatian, kosentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan

dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan
pemecahan masalah. Gangguan fungsi kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak
5
karena kemampuan untuk berpikir akan dipengaruhi oleh otak.

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa gangguan tidur dan sleep-wake

rhythm berhubungan dengan peningkatan risiko demensia insiden dan penurunan

kognitif pada orang tua, independen dari beberapa pembaur. Abnormalitas dalam

arsitektur tidur telah dijelaskan dalam gangguan kognitif ringan (MCI), dan mereka

mengganggu konsolidasi memori yang bergantung pada tidur, sehingga berkontribusi

pada gangguan memori.6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stroke sebagai suatu gangguan

fungsional otak yang dapat terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik

gangguan fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat

menimbulkan kematian yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.7

Istilah stroke digunakan untuk menggambarkan suatu perubahan neurologis

yang merupakan suatu kondisi emergensi, terjadi karena adanya iskemia serebral atau

hemoragik serebral dengan penurunan aliran darah dan oksigen ke jaringan serebral

yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.8 Klasifikasi stroke dibagi menjadi

3 yaitu stroke iskemik, stroke hemoragik, dan TIA (Transient Ischemic Attack). Stroke

iskemik disebabkan oleh trombus pembuluh darah otak akibat aterosklerosis, maupun

penyakit pembuluh darah kecil di otak. Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah akibat aterosklerosis maupun peningkatan tekanan darah yang tak

terkontrol. TIA merupakan defisit neurologis yang berlangsung kurang dari 24 jam

karena iskemik fokal di otak atau mata.8,9

Faktor risiko stroke di bagi menjadi 2 yaitu faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko stroke yang

tidak dapat dimodifikasi adalah umur, faktor keturunan, ras, jenis kelamin dan adanya

riwayat stroke sebelumnya atau TIA. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah

hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes mellitus, penyakit pada pembuluh arteri


karotis, penyakit arteri perifer, atrium fibrilasi, riwayat penyakit jantung, sickle cell

disease, dan kolesterol darah yang tinggi.10

Gangguan kualitas tidur dalam beberapa tahun terakhir ini dipandang sebagai

faktor potensial penyebab terjadinya stroke. Tidur yang cukup sangat penting untuk

melindungi metabolisme energi sel otak. Penelitian telah menunjukkan bahwa

gangguan tidur berkaitan erat dengan faktor-faktor risiko stroke seperti diabetes,

hipertensi, dan obesitas. Ketidakcukupan kualitas dan kuantitas tidur juga dapat

merusak memori dan kemampuan kognitif, jika hal ini berlanjut hingga bertahun-tahun

maka akan berdampak pada tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke, hingga

masalah psikologis seperti depresi dan gangguan perasaan lain.11

Gangguan tidur yang paling banyak ditemukan (>50%) pada stroke akut Sleep-

disorder Breathing (SDB) terutama yang berjenis Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan

nocturnal oxygen desaturation. OSA merupakan faktor risiko terjadinya stroke dan

kebersamaannya dengan stroke akan meningkatkan risiko terjadinya stroke berikutnya.

Semakin meningkatnya derajat sleep apnea pada pasien maka peningkatan resiko

terjadinya stroke dan kematian juga turut meningkat. Beberapa komorbiditas yang

muncul bersamaan dengan gangguan tidur sebelum stroke ialah obesitas, diabetes,

penyakit jantung koroner dan hipertensi.12

Dirk M. Hermann dan Claudio L. Bassetti pada tahun 2016 melakukan sebuah

penelitian dengan tinjauan literatur mengenai SDB dan Sleep-Wake Disturbances

(SWD) sebagai suatu faktor risiko dan konsekuensi dari stroke yang mempengaruhi
pemulihan stroke, hasil, dan kekambuhan. Hasilnya beberapa penelitian telah

membuktikan SDB merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Selain itu, baik

pengurangan dan peningkatan durasi tidur, serta hipersomnia, insomnia, dan Restless

Legs Syndrome (RLS), juga dapat meningkatkan risiko stroke. Studi eksperimental

juga menemukan bahwa SWD dapat mengganggu proses neuroplastisitas dan

pemulihan stroke fungsional, sehingga disimpulkan bahwa SDB dan SWD

meningkatkan risiko stroke pada populasi umum dan mempengaruhi pemulihan dan

hasil stroke baik jangka pendek maupun jangka panjang.13

Shunqing Zhang et al pada tahun 2014 melakukan sebuah studi untuk

mempelajari faktor-faktor risiko yang terkait dengan stroke iskemik pada usia muda

dan pengaruh kualitas tidur terhadap stroke iskemik. Sampel yang terpilih berjumlah

223 pasien, usia 18 hingga 45 tahun yang dirawat di Puyang People's Hospital dari

Juni 2011 hingga Februari 2013 dengan kejadian stroke iskemik untuk pertama kalinya.

158 orang muda dengan pemeriksaan fisik normal dipilih sebagai kelompok kontrol.

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) kuesioner digunakan untuk menganalisis

korelasi antara kualitas tidur dan insidensi stroke iskemik muda. National Institutes of

Health Stroke Scale (NIHSS) dan Modified Ranking Scale (MRS) digunakan untuk

menilai keadaan penyakit dan prognosis kasus pada tiga bulan setelah kejadian stroke

iskemik. Hasilnya analisis regresi logistik univariat dan multivariat menunjukkan

bahwa hubungan faktor-faktor risiko ini dengan insidens stroke iskemik pada usia

muda, dari tertinggi ke terendah, adalah hipertensi, hiperlipidemia, riwayat merokok,

homocysteine tinggi, kualitas tidur, riwayat keluarga stroke, dan alkoholisme. Kualitas
tidur yang buruk menduduki peringkat kelima di antara semua faktor risiko dan

berkorelasi positif dengan prognosis yang buruk untuk pasien stroke iskemik usia

muda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas tidur merupakan faktor penting

dalam patogenesis dan prognosis stroke iskemik pada usia muda.14

Pada stroke terjadi pelepasan berlebihan dari glutamat serta penurunan sekresi

serotonin dan melatonin. Selain itu lokasi lesi tertentu dapat menyebabkan gangguan

pada sentral lokomotor dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Berbagai

perubahan dan kerusakan inilah yang menyebabkan gangguan tidur pada stroke berupa

insomnia, hipersomnia atau parasomnia tergantung dari letak kelainannya, meski tidak

semua pasien stroke mengalami gangguan tidur.15

Stroke subkortikal akan mempengaruhi ganglia basal akan bermanifestasi pada

kantuk di siang hari yang berlebihan. Sedangkan stroke hemisferik akan menimbulkan

kelainan tidur REM. Dalam salah satu penelitian mengenai stroke hemisferik, sepertiga

pasien stroke tidur berlebihan, dan sepertiga lainnya mengalami penurunan waktu tidur

dibandingkan dengan waktu tidur sebelum stroke. Jika kerusakan terjadi pada inti

pengatur tidur-bangun yang tidak dapat diperbaiki, pasien mungkin mengalami

perubahan permanen seperti hipersomnia, insomnia, disregulasi sirkadian, ataupun

defisit lain.15

Pada tahun 2014, terdapat sebuah penelitian di Cina mengenai hubungan

prospektif antara durasi tidur dan risiko mortalitas stroke di kalangan 63.257 orang

dewasa Cina yang berusia 45 hingga 74 tahun. Hasilnya adalah didapatkan peningkatan
risiko kematian stroke dengan durasi tidur pendek (≤5 jam per hari) maupun durasi

tidur panjang (≥9 jam per hari) pada subjek dengan riwayat hipertensi, tetapi tidak pada

subjek tanpa hipertensi.16

Suatu penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Yue Lang et al pada tahun 2015

bertujuan untuk mempelajari hubungan antara durasi tidur dan kejadian stroke pada

populasi Inggris dengan 9.692 partisipan berusia 42–81 tahun yang bebas dari stroke.

Para peserta melaporkan durasi tidur pada tahun 1998-2000 dan 2002-2004, dan semua

kasus stroke dicatat hingga 31 Maret 2009. Setelah 9,5 tahun masa tindak lanjut, terjadi

346 kasus stroke. Risiko stroke lebih tinggi ditemukan di antara mereka yang

melaporkan tidur panjang terus-menerus atau peningkatan durasi tidur yang besar

dalam dari waktu ke waktu, dibandingkan dengan mereka yang terus-menerus

melaporkan durasi tidur yang rata-rata. Penelitian prospektif dan meta-analisis ini

mengidentifikasi bahwa durasi tidur yang lama menjadi faktor risiko dalam

meningkatkan kejadian stroke di masa depan pada populasi lansia yang tampaknya

sehat.17

Stroke dapat menyebabkan terjadinya kecacatan jangka panjang. Angka

kecacatan akibat stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan

antara kecacatan dan kematian dari penderita stroke adalah 4 berbanding 1. Gejala

paling umum dari stroke yaitu kelemahan mendadak salah satu sisi tubuh pada wajah,

lengan, dan kaki. Kerusakan sel-sel otak pasca stroke menyebabkan kecacatan fungsi

kognitif, sensorik, maupun motorik sehingga menghambat kemampuan fungsional

mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri, kegiatan sehari-hari dan berkomunikasi
dengan orang sekitar secara normal. Gangguan kognitif pasca stroke secara signifikan

dapat menurunkan kualitas hidup penderita stroke.18

Fungsi kognitif adalah kemampuan untuk memahami peristiwa yang terjadi

sehari-hari dan kemampuan membuat keputusan serta beradaptasi dengan lingkungan.

Gangguan fungsi kognitif merupakan gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi,

perhatian, kosentrasi, daya ingat dan bahasa serta fungsi intelektual yang diperlihatkan

dengan adanya gangguan dalam berhitung, bahasa, daya ingat semantik (kata-kata) dan

pemecahan masalah.19,20 Penderita stroke iskemik memiliki risiko yang tinggi untuk

mengalami gangguan kognitif. Hal ini disebabkan rupturnya plak arteri yang dapat

menimbulkan trombus, sehingga aliran darah menuju otak menurun. Penurunan aliran

darah otak yang berlangsung lama mengakibatkan gangguan kognitif pada penderita

karena rusaknya jaringan otak.18

Insiden gangguan fungsi kognitif meningkat tiga kali lipat setelah stroke.

Ganguan kognitif pasca stroke termasuk dalam suatu kelompok gangguan kognitif

yang disebut dengan Vascular Cognitive Impairment (VCI) meliputi gangguan kognitif

ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Vascular Cognitive No Dementia)

sampai yang paling berat berupa demensia vaskuler.21 Gangguan kognitif berupa

penurunan kesadaran, gangguan visuospasial, gangguan pembelajaran nonverbal,

gangguan aspek pragmatis pada cara berkomunikasi dan berkurangnya atensi. Kelainan

kognitif yang muncul akibat dari kerusakan otak yaitu adanya kelainan persepsi atensi,

bahasa, memori, emosi, dan fungsi eksekutif.22


Beberapa penelitian menemukan bahwa kualitas tidur dapat mempengaruhi

fungsi kognitif dari seorang individu. Penelitian yang dilakukan oleh Jane Ferrie et al

pada tahun 2010 menyatakan bahwa faktor risiko dalam perjalanan hidup dari awal

hingga pertengahan dan akhir masa dewasa seorang individu adalah penting sesuai

dengan pandangan "seumur hidup" terhadap demensia. Dalam penelitian tersebut,

peneliti mengadopsi pendekatan tersebut dan menerapkan tidur sebagai faktor risiko

untuk fungsi kognitif yang buruk. Dalam penelitian ini, dijelaskan mengenai pengaruh

perubahan tidur selama periode lima tahun, dimulai pada usia menengah akhir, pada

fungsi kognitif di kemudian hari.23 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Seiko Miyata et al pada tahun 2012 yaitu didapatkan pada hasil penelitian bahwa

durasi tidur dan kualitas tidur dapat memainkan peran dalam kinerja kognitif pada

orang dewasa yang lebih tua.24

Adapun penelitian yang dilakukan oleh June C. Lo et al pada tahun 2015 yaitu

didapatkan bahwa durasi tidur, pendek maupun panjang, sebagaimana dinilai oleh self-

report, berhubungan dengan kinerja fungsi kognitif yang lebih buruk pada orang

dewasa yang lebih tua. Penelitian ini menunjukkan kemungkinan bahwa membangun

kebiasaan tidur yang baik sejak dini dapat mengurangi defisit kognitif yang terkait

dengan penuaan.25 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert D.

Nebes et al yaitu tentang hubungan antara kualitas tidur dan kinerja kognitif pada orang

dewasa yang lebih tua, tanpa memperhitungkan komorbiditas medis umum. Peserta

penelitian adalah relawan masyarakat dengan variabilitas dalam kualitas tidur. Peserta

dengan tidur yang cukup dan peserta dengan tidur yang kurang memiliki perbedaan
hasil pada tes kerja memori, tes perubahan konsentrasi, dan pemecahan masalah

abstrak tetapi tidak pada kecepatan pemrosesan, fungsi penghambatan, atau memori

episodik. Dalam penelitian juga peneliti menyatakan bahwa tidur yang kurang juga

dikaitkan dengan peningkatan simtomatologi depresi tetapi hanya dalam gejala

fungsional (misalnya, penurunan konsentrasi) dan tidak untuk suasana hati (misalnya,

sedih). Hubungan antara kualitas tidur dan fungsi kognisi tidak dijelaskan dengan

faktor-faktor yang membingungkan seperti penyakit serebrovaskular, depresi, atau

penggunaan obat-obatan. Didapatkan kesimpulan bahwa masalah tidur dapat

berkontribusi terhadap variabilitas kinerja antara individu lansia tetapi hanya dalam

domain kognitif tertentu.26

Theresa E. Gildner et al juga melakukan penelitian yang mendokumentasikan

hubungan antara kualitas tidur dan kuantitas dan kinerja tes kognitif di antara individu

yang lebih tua dari enam negara berpenghasilan menengah (China, Ghana, India,

Russian Federation, South Africa, dan Mexico). Dalam hasil penelitian didapatkan

bahwa individu dengan jangka waktu tidur menengah (> 6-9 jam / malam)

menunjukkan skor kognitif yang lebih tinggi secara signifikan daripada individu

dengan tidur singkat (0-6 jam / malam; p <0,001) atau durasi tidur yang panjang (> 9

jam / malam; p <0,001). Dilaporkan kualitas tidur berkorelasi positif dengan skor z

kognitif (p <0,05). Peneliti menyatakan dalam penelitiannya bahwa laki-laki umumnya

memiliki kualitas tidur dan skor kognitif yang lebih tinggi, sementara wanita

dilaporkan memiliki durasi tidur yang lebih lama. Dengan demikian, dengan

mengoptimalkan durasi maupun kualitas tidur adalah pertimbangan yang penting


dalam studi klinis di masa depan yang bertujuan untuk mengurangi defisit fungsi

kognitif pada individu yang lebih tua.27

Penelitian yang dilakukan oleh Terri Blackwell et al tentang hubungan tidur

yang kurang dengan defisit fungsi kognitif pada wanita berusia tua, menyatakan bahwa

secara objektif, bukan durasi tidur yang singkat yang mempengaruhi fungsi kognitif

melainkan gangguan tidur yang konsisten yang berhubungan dengan penurunan fungsi

kognitif. Temuan ini mungkin menunjukkan bahwa kualitas tidur lebih mempengaruhi

penurunan fungsi kognitif daripada kuantitas tidur, dalam hal ini yaitu durasi waktu

tidur.28

Menurut Renata Alves Pachota Chaves da Silva, dalam jurnal penelitiannya

tentang hubungan gangguan tidur dengan gangguan fungsi kognitif ringan, menyatakan

bahwa gangguan tidur merupakan hal lazim dan dapat di prediksi pada orang tua

dengan penurunan kognitif atau gangguan neurodegeneratif. Namun, masalah tidur

sebaiknya diidentifikasi penyebabnya dan ditangani untuk menjaga fungsi kognitif

individu tersebut, dan sebaiknya individu dengan gangguan tidur harus menjalani

pemeriksaan lebih lanjut untuk mengidentifikasi tanda-tanda awal demensia.29

Masalah dalam kualitas tidur yang mempengaruhi fungsi kognitif tidak hanya

terjadi pada individu-individu yang berusia lanjut, namun tampaknya juga

berepengaruh pada individu dengan semua usia, hal ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Mari S. Machi et al pada tahun 2012, penelitian ini meneliti tentang

hubungan antara shift kerja, tidur dan fungsi kognitif pada dokter-dokter IGD di
Pittsburgh, Pennsylvania. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil penelitian yaitu

bahwa dokter-dokter IGD menunjukkan penurunan kinerja kognitif pada siang hari dan

juga saat shift malam. Ingatan jangka pendek adalah cognitif domain yang paling

menurun pada dokter-dokter IGD selama jam shift kerja. Dokter-dokter IGD tersebut

didapatkan lebih rentan terhadap gangguan di akhir jam shift. Efek ini diperburuk

ketika bekerja shift malam, tanpa adanya kemajuan signifikan dari ritme sirkadian

(seperti dinilai dengan kortisol peak). Gangguan tidur yang dilaporkan adalah hal yang

biasa terjadi pada dokter-dokter yang bekerja di IGD karena harus bekerja pada siang

hari dan juga shift malam.30 Adapula penelitian yang dilakukan oleh Évelyne Touchette et

al tentang hubungan antara durasi tidur dengan perilaku atau fungsi kognitif pada anak-anak

dengan usia masuk sekolah. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa durasi tidur yang

dipersingkat, terutama sebelum usia 41 bulan, dihubungkan dengan masalah eksternal seperti

Hyperactivity-Impulsivity dan kinerja kognitif yang lebih rendah pada tes perkembangan saraf.

Hasil menyoroti pentingnya memberi anak kesempatan untuk tidur setidaknya 10 jam per

malam sepanjang masa kanak-kanak.31

Justine Aaronson, et al pada tahun 2015 melakukan studi kasus kontrol tentang

efek OSA pada fungsi kognitif setelah stroke. Tujuan utama dari penelitian ini adalah

untuk membandingkan pasien stroke dengan dan tanpa OSA pada status kognitif dan

fungsional saat masuk ke rehabilitasi rawat inap. Sampel yang digunakan berjumlah

147 pasien stroke yang dirawat di Pusat Rehabilitasi Heliomare, Belanda antara

September 2011 dan Agustus 2014. Kriteria inklusi yang digunakan pada penelitian ini

sebagai berikut: (1) stroke dikonfirmasi oleh ahli saraf, (2) usia antara 18 dan 85 tahun,

(3) masuk antara 1 minggu dan 16 minggu setelah stroke, (4) mampu berpartisipasi
dalam studi tidur dan penilaian neuropsikologis, dan (5) cukup fasih berbahasa

Belanda. Kriteria eksklusi adalah: (1) kondisi medis yang berat, tidak stabil, gagal

napas, atau riwayat gagal jantung kongestif berat, (2) cedera otak traumatis, (3) aphasia

berat, kebingungan, atau komorbiditas psikiatri berat, atau (4) central sleep apnea atau

OSA yang sebelumnya didiagnosis.33

Semua pasien menjalani pemeriksaan tidur untuk diagnosis OSA. Penilaian

status kognitif dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikologis dan status fungsional

oleh dua skala neurologis dan ukuran kemandirian fungsional. Hasilnya adalah terdapat

80 pasien stroke dengan OSA dan 67 pasien stroke tanpa OSA. Pasien OSA berusia

lebih tua dan memiliki indeks massa tubuh yang lebih tinggi daripada pasien tanpa

OSA. Pasien OSA memiliki hasil yang buruk pada tes perhatian, fungsi eksekutif,

visuopersepsi, kemampuan psikomotor, dan kecerdasan daripada mereka yang tidak

OSA. Tidak ada perbedaan ditemukan untuk kewaspadaan, memori, dan bahasa.32

Pasien OSA memiliki status neurologis yang buruk, skor kemandirian

fungsional yang lebih rendah, dan periode rawat inap yang lebih lama di unit

neurorehabilitation dibandingkan pasien tanpa OSA. Status OSA tidak terkait dengan

tipe atau klasifikasi stroke. OSA menjadi faktor prognostik yang penting terhadap

stroke dan berhubungan dengan status kognitif dan fungsional yang lebih rendah pada

pasien stroke yang dirawat di unit neurorehabilitasi stroke.32

Dengan demikian gangguan tidur terutama OSA merupakan faktor risiko

independen untuk terjadinya stroke dimana tingkat prevalensi yang dilaporkan


mencapai antara 30% dan 70%. OSA dapat secara efektif diobati dengan pemberian

tekanan saluran udara positif secara terus menerus, tetapi sering tidak terdiagnosis. Jika

tidak diobati, OSA dapat turut berkontribusi terhadap penurunan pemulihan dari

stroke.4 Sejalan dengan hipotesis ini, sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa

OSA dikaitkan dengan pemulihan fungsional yang buruk, rawat inap yang

berkepanjangan dan tingkat kematian yang lebih tinggi.12,32

Selain itu, OSA juga ditemukan dapat memberikan efek negative terhadap

fungsi kognitif dimana suatu studi menemukan adanya hubungan antara OSA dengan

instrumen skrining kognitif (Mini-Mental State Examination [MMSE]), sedangkan dua

penelitian melaporkan tidak ada hubungan.33 Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Justine Aaronson, et al pada tahun 2015 didapatkan bahwa OSA terkait dengan

gangguan kinerja yang lebih rendah dalam domain perhatian, memori verbal, dan

visuopersepsi. Sebuah penelitian yang lebih besar pada pasien dengan cedera otak

traumatis juga menunjukkan hasil yang sama, dimana OSA dikaitkan dengan gangguan

fungsi kognitif yang lebih banyak mempengaruhi perhatian dan memori dari pasien

stroke.12, 32
Daftar Pustaka

1. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et

al. Heart Disease and Stroke Statistics--2013 Update: a report from the

American Heart Association. Circulation 2013;127:1-241.

2. Yaggi HK, Concato J, Kernan WN, Lichtman JH, Brass LM, Mohsenin

V. Obstructive sleep apnea as a risk factor for stroke and death. N Engl J

Med 2005;353:2034-41.

3. Johnson KG, Johnson DC. Frequency of Sleep apnea in sroke and TIA patients:

a meta-analysis. J Clin Sleep Med 2010;6:131-7.

4. Good DC, Henkle JQ, Gelber D, Welsh J, Verhults S. Sleep-disordered

breathing and poor functional outcome after stroke. Stroke 1996;27:252-9.

5. Hasrah I, Munayang H. Prevalensi Gangguan Fungsi Kognitif dan Depresi pada

Pasien Stroke di Irina F BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado, Jurnal E-

Clinic 2014;2:2.

6. Guarnieri B, Sorbi S. Sleep and Cognitive Decline: A Strong Bidirectional

Relationship. It Is Time for Specific Recommendations on Routine Assessment

and the Management of Sleep Disorders in Patients with Mild Cognitive

Impairment and Dementia. European Neurology 2015;74:43-8.

7. Deaton C, Froelicher ES, Wu LH, Ho C, Shishani K, Jaarsma T. The global

burden of cardiovascular disease. Eur J Cardiovasc Nurs. 2011 Jul;10 Suppl

2:S5–13.
8. Lidia C. Hubungan kualitas tidur dan kejadian stroke iskemik di bangsal

dan poliklinik saraf RSUD Dokter Abdul Aziz Singkawang [skripsi].

Tanjungpura: Universitas Kedokteran Tanjungpura; 2015

9. American Heart Association (AHA). Heart Disease and Stroke Statistics.

Circulation 2013; (127): e6-e245.

10. American Heart Association/American Stroke Association.

Understanding Risk. [di akses pada tanggal: 8 September, 2018].

Available from: http://www.strokeassociation.org/

11. Ferre A, Ribó M, Rodríguez-Luna D, et al. Strokes and their relationship

with sleep and sleep disorders. Neurología 2013;28:103-18.

12. Jennum P, Cano JS, Bassetti C, Clarenbach P, Hogl B, Mathis J, et al. Sleep

disorders in neurodegenerative disorders and stroke. In: Gilhus NE, Barnes MP,

Brainin M. European Handbook of Neurological Management Volume 1. Edisi

kedua. Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2011.h.529-37.

13. Hermann DM, Bassetti CL. Role of sleep-disordered breathing and sleep-wake

disturbances for stroke and stroke recovery. American Academy of Neurology.

2016;87:13

14. Shunqing Z, Cheng C, Juan Z, Song B, Fang H, Xu YM. Correlation

Analysis of Sleep Quality and Youth Ischemic Stroke. Behav Neurol.

2014;2014:246841. doi: 10.1155/2014/246841. Epub, 2014.


15. Kusumadjaja LA, Cakrasana H. Gangguan tidur pada stroke [refarat].

Suka Bumi: Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma

Jaya; 2014

16. Pan A, Silva DA, Yuan JM, et al. Sleep Duration and Risk of Stroke Mortality

Among Chinese Adults. Stroke 2014;45:1620–5.

17. Leng Y, Cappuccio FP, Wainwright NW, et al. Sleep duration and risk of fatal

and nonfatal stroke. American Academy of Neurology 2015;84:1-8.

18. Mustikawati AP. Hubungan antara stroke iskemik dengan gangguan fungsi

kognitif di RSUD Dr. Moewardi [skripsi]. Solo: Universitas Muhammadiyah

Surakarta;2016

19. Lisnaini. Senam Vitalisasi Otak Dapat Meningkatkan Fungsi Kognitif Usia

Dewasa Muda. Jakarta: Fisioterapi Universitas Kristen Indonesia; 2012

20. Yoo Chanuk., Mi-hYun Yong., JaeYeop Chung., Yeongae Yang. Effect of

computerized cognitive rehabilitationprogram on cognitive function and

activities ofliving in stroke patients. College of Biomedical Sciences and

Engineering, Inje University: Gimhae, Republic of Korea; 2015.h.2487.

21. Cristy I. Asosiasi genotip apoliprotein E dengan fungsi kognitif pada pasien

pasca stroke iskemik. Tesis. 2011. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro.
22. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman rehabilitasi kognitif. In

Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

263/Menkes/SK/II/2010. Jakarta: 2010.

23. Ferrie JE, Shipley MJ, Akbaraly TN, Marmot MG, Kivimäki M, Singh-Manoux

A. Sleep Duration And Cognitive Function. Change in Sleep Duration and

Cognitive Function: Findings from the Whitehall II Study. SLEEP

2011;34:365-73A

24. Miyata S, Noda A, Iwamoto K, Kawano N, Okuda M, Ozaki N. Poor sleep

quality impairs cognitive performance in older adults. European Sleep Research

Society 2013;22:535-41.

25. Lo J, Groeger JA, Cheng GH, Dijk DJ, Chee MWL. Sleep Medicine: Self-

reported sleep duration and cognitive performance in older adults: a systematic

review and meta-analysis. Elsevier 2016;17;87-98.

26. Nebes RD, Buysse DJ, Halligan EM, Houck PR, Monk TH. Self-Reported Sleep

Quality Predicts Poor Cognitive Performance in Healthy Older Adults. Journal

of Gerontology: Psychological Sciences 2009;64B:180–87.

27. Gildner TE, Liebert MA, Kowal P, Chatterji S, Snodgrass JJ. Associations

between Sleep Duration, Sleep Quality, and Cognitive Test Performance among

Older Adults from Six Middle Income Countries: Results from the Study on

Global Ageing and Adult Health (SAGE). Journal of Clinical Sleep Medicine

2014;10:613-21.
28. Blackwell T, Yaffe K, Ancoli-Israel S, Schneider JL, Cauley JA, Hillier TA, et al.

Poor Sleep Is Associated With Impaired Cognitive Function in Older Women:

The Study of Osteoporotic Fractures. Journal of Gerontology: Medical Sciences

2006;61A:405-10

29. Silva R. Science Direct: Sleep disturbances and mild cognitive impairment: A

review. Elsevier 2015;8:36-41.

30. Machi MS, Staum M, Callaway CW, Moore C, Jeong K, Suyama J, et al. The

Relationship Between Shift Work, Sleep, and Cognition in Career Emergency

Physicians. Academic Emergency Medicine 2012; 19; 85-91.

31. Touchette É, Petit D, Séguin JR, Boivin M, Tremblay RE, Montplaisir JY.

Associations Between Sleep Duration Patterns and Behavioral/Cognitive

Functioning at School Entry. Sleep 2007; 30; 1213-19.

32. Aaronson JA, Bennekom CAM, Hofman WF, et al. Obstructive Sleep Apnea

is Related to Impaired Cognitive and Functional Status after Stroke. Sleep

2015;38:1431–7

33. Wechsler D. WMS-IV: Wechsler Memory Scale-Administration and Scoring

Manual. New York: NY Psychological Corporation. 2009

Anda mungkin juga menyukai