Anda di halaman 1dari 5

Gangguan Kognitif Pada Pasien Post-Stroke

Pendahuluan

Stroke merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis


yang terjadi akibat gangguan aliran darah pada otak. Perubahan neurologi ini dapat terjadi secara
mendadak dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kondisi emergensi yang
terjadi karena iskemia serebral atau hemoragik serebral dengan penurunan aliran darah dan
oksigen kejaringan serebral yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen.

Stroke iskemik disebabkan oleh trombus atau embolus, sedangkan stroke hemoragik
terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan intraserebral atau ruang
subaraknoid. Pada tahun 1991 Bamford mengklasifikasikan stroke iskemik ke dalam 4 kelompok
berdasarkan gejala klinis yang timbul sesuai lokasi otak yang terganggu. Klasifikasi stroke
iskemik menurut Bamford, antara lain: LacunarInfarct (LACI), Partial Anterior Circulation
Infarct (PACI), PosteriorCirculation Infarct (POCI), dan Total Anterior Circulation Infarct
(TACI).

Menurut World Organization Health (WHO), stroke menyerang sekitar 795.000 orang di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Jumlah ini, 610.000 diantaranya merupakan serangan stroke
pertama, sedangkan 185.000 merupakan stroke berulang. Empat juta orang Amerika Serikat yang
hidup pasca stroke, 15-30% diantaranya menderita cacat menetap. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 7 dari 1000 orang di Indonesia terkena stroke.
Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke. Prevalensi stroke di
Provinsi Aceh menurut Riskesdas (2013) adalah 10,5 per 1000 penduduk, dan survei data awal di
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara didapatkan pasien stroke pada tahun
2014 berjumlah 180 orang.

Stroke penyebab utama kecacatan jangka panjang. Angka kecacatan akibat stroke
umumnya lebih tinggi dari angka kematian, perbandingan antara kecacatan dan kematian dari
penderita stroke adalah 4 berbanding 1. Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada
kelompok usia diatas 45 tahun. Kecacatan pasca stroke dapat berupa gangguan motorik,
sensorik, otonom, maupun kognitif. Gangguan kognitif pasca stroke seringkali kurang
diperhatikan pasien, keluarga maupun tenaga kesehatan yang merawat, karena tidak menonjol
atau kurang bisa dikenali dibandingkan dengan defisit neurologis lainnya, namun demikian
gangguan kognitif secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderita stroke. Gangguan
kognitif juga menyebabkan program rehabilitasi medis tidak berjalan dengan baik dengan
keluaran indeks aktivitas sehari-hari lebih buruk.

Frekuensi gangguan kognitif pasca stroke berkisar antara 20-30% dan makin meningkat
resikonya, bahkan sampai 2 tahun pasca stroke. Ganguan kognitif pasca stroke termasuk dalam
suatu kelompok gangguan kognitif yang disebut dengan Vascular Cognitive Impairment (VCI)
meliputi gangguan kognitif ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Vascular
Cognitive NoDementia) sampai yang paling berat berupa demensia vaskuler. Gangguan kognitif
dapat mengenai satu atau lebih domain kognitif seperti atensi, bahasa, memori, visuospasial, dan
fungsi eksekutif.

Evaluasi fungsi kognitif sangat penting karena memudahkan dalam menentukan tingkat
kemampuan fungsional yang berhubungan dengan penanganan dan prognosis. Salah satu cara
untuk menilai fungsikognitif adalah dengan menggunakan MMSE (Mini Mental State
Examination). MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat yaitu antara 5-10 menit
mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta
bahasa. Tes ini mudah diaplikasikan dan telah terbukti sebagai instrumen yang dapat dipercaya
serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif. Skor maksimal
yang diperoleh dariuji MMSE adalah 30. Pasien dikatakan mengalami gangguan kognitif jika
skor <24, yaitu probable gangguan kognitif jika total nilai 17-23 dan definite gangguan kognitif
jika total nilai 0-169 . Tes tersebut diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975 dan telah banyak
digunakan di seluruh dunia termasuk Indonesia serta telah direkomendasikan oleh kelompok
studi fungsi luhur Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dengan sensivitas
dan spesifitas yang dilaporkan yakni 87% dan 76%

Penilaian fungsi kognitif pada pasien stroke dengan menggunakan MMSE perlu dilakukan
pengkajian mengingat data tentang gangguan fungsi kognitif pada pasien stroke di Indonesia
belum tersedia dan di Rumah Sakit Cut Meutia juga belum dilakukan pengkajian terhadap fungsi
kognitif pada pasien stroke. Pengkajian yang telah dilakukan hanya sebatas pada kemampuan
bergerak dan tingkat kesadaran.

Fungsi kognitif

Fungsi kognitif, seperti memori, bicara dan bahasa, proses berpikir,


organisasi, reasoning, ataupun pengambilan keputusan dapat mengalami penurunan pada pasien-
pasien stroke ataupun post stroke. Penurunan fungsi kognitif pada pasien post stroke dapat
muncul dalam bentuk yang ringan seperti mild cognitive impairment sampai dengan kepada yang
berat seperti demensia. Tipe dan keparahan gangguan kognitif yang muncul bermacam-macam
tergantung dengan lokasi otak yang terkena dan seberapa parah jaringan otak yang rusak (Blake
et al, 2002).

Akumulasi infark-infark lakunar, lesi-lesi iskemik dan hipoperfusi serebral merupakan


penyebab utama gangguan kognitif/demensia post stroke. Tipe stroke yang terjadi umumnya
melibatkan koneksi-koneksi antara area-area pada korteks yang mengasosiasikan berbagai
macam informasi, sehingga disrupsi pada bagian itu akan menyebabkan gangguan kognisi.

Secara kuantitatif, volume stroke/lesi stroke sebesar 10 ml sampai dengan 50 ml (1% -


4% volume otak) sudah cukup untuk menimbulkan gangguan kognitif atau demensia. Gangguan
kognitif atau demensia juga dapat terjadi pada volume lesi yang lebih kecil jika terjadi pada area
hipotalamus, talamus, batang otak atau hipokampus.

Tipe-tipe gangguan kognitif yang sering muncul pada pasien post stroke adalah
gangguan atensi, gangguan bahasa, sulit untuk mengingat kembali informasi di masa lalu,
kesulitan untuk menganalisa atau menginterpretasi informasi baru, kesulitan dalam
mengorganisasikan dan merencanakan sesuatu sebagai respon terhadap informasi yang didapat.

Risiko terjadinya gangguan kognitif pada pasien post stroke akan semakin meningkat
bila pasien tersebut juga memiliki dibarengi risiko seperti hipertensi, hiperlipidemia,
aterosklerosis, homosisteinemia, diabetes mellitus, sakit jantung, hipotensi, inaktivitas fisik,
obesitas, koagulopati, riwayat merokok, konsumsi alkohol, pernah mengalami stroke sebelumnya
dan stroke pertama kali saat usia lebih dari 50 tahun.
Screening untuk gangguan kognitif pada pasien post stroke sangat penting, karena
semakin awal gangguan kognisi terdeteksi maka lebih awal pula kita dapat memberikan
manajemen untuk mengurangi progresivitas gangguan kognitif ataupun demensia.

Ada beberapa metode screening yang dapat digunakan untuk deteksi awal gangguan
kognitif seperti mini mental state examination (MMSE), Raven’s Coloured Progressive
Matrices (RCPM) dan Sheffield Screening Test for Acquired Language Disorders(SST). Tes-tes
tersebut dapat dilakukan dalam waktu singkat, mudah dilakukan sehingga cocok untuk evaluasi
gangguan kognitif pada pasien post stroke.

MMSE misalnya, dalam menilai fungsi kognitif tes ini terbagi dalam 2 aspek utama.
Yang pertama adalah aspek yang meliputi orientasi, memori dan atensi. Sedangkan yang kedua
adalah aspek yang meliputi kemampuan untuk mengikuti perintah verbal dan tertulis, nama,
menulis sebuah kalimat dengan spontan dan meniru bentuk gambar poligon. Sebagai sarana
pemeriksaan gangguan kognitif tes ini menunjukkan diskriminasi yang baik antara yang
terganggu dan yang normal, dan telah terbukti validitas dan reliabilitasnya (Blake et al., 2002)

Tes SST dikembangkan sebagai alat bantu klinis bagi non spesialis untuk mendeteksi
adanya disfasia dan memberikan rujukan segera ke terapis bahasa dan bicara. Tes ini menilai
kemampuan reseptif dan expresif bahasa seorang pasien.

Tes RCPM merupakan penilaian non verbal terhadap intelegensi pasien berdasarkan
kemampuan persepsi visual dan reasoning analogis (Blake et al., 2002)

Selain tes-tes screening yang disebutkan di atas, dapat juga dilakukan tes
neuropsikologi. Tes neuropsikologi merupakan pemeriksaan kognitif mendetail yang meliputi
penilaian appearance, mood, anxietas, delusi/halusinasi, daya ingat kata ataupun visual, atensi,
orientasi, bahasa, kemampuan untuk mengikuti instruksi, berpikir abstrak,reasoning dan
pemecahan masalah. Manfaat tes neurologis ini sangat luas yaitu memberikan informasi
prognostik, memberikan dasar untuk perencanaan remediasi kognitif dan rekomendasi untuk tim
yang menangani ataupun dasar untuk pemberian edukasi pada pihak keluarga. Namun tes ini
memiliki kekurangan, karena memerlukan biaya yang cukup tinggi dan proses yang lama,
sehingga menyebabkan tes seperti MMSE jauh lebih aplikatif untuk menilai gangguan kognitif
(Blake et al., 2002)

Manajemen gangguan kognitif pada pasien post stroke bertujuan untuk mengurangi
progresivitas gangguan kognitif. Manajemen meliputi pemberian terapi medikamentosa dan non
medikamentosa. Pemberian terapi medikamentosa ditujukan untuk mengelola faktor-faktor risiko
yang dimiliki pasien post stroke. Contoh obat-obat yang diberikan adalah antihipertensif,
antiplatelet, antidepresan dan obat untuk menurunkan kolesterol. Sementara itu, terapi non
medikamentosa adalah pemberian edukasi pada pasien dan keluarga pasien meliputi modifikasi
gaya hidup dan tingkah laku (behavior changing interventions).

Anda mungkin juga menyukai