Stroke adalah suatu keadaan ketika terdapat tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler (WHO, 2006). Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu stroke
perdarahan dan stroke iskemik. Dua kategori ini merupakan suatu kondisi yang berlawanan.
Pada stroke hemoragik, kranium yang tertutup mengandung darah terlalu banyak, sedangkan
pada stroke iskemik terjadinya gangguan ketersediaan darah pada suatu area di otak dengan
kebutuhan oksigen dan nutrisi area tersebut. Setiap kategori dari stroke dapat dibagi menjadi
beberapa subtipe, yang masing-masing mempunyai strategi penanganan yang berbeda (Gofir,
2011).
Stroke merupakan masalah kesehatan utama di dunia karena menjadi penyebab kematian
ketiga di dunia dan menjadi penyebab pertama kecacatan (Gofir, 2011). Kemajuan teknologi
kedokteran telah berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke. Namun, angka
kecacatan pasca stroke tetap bahkan cenderung meningkat. Kecacatan pasca stroke dapat
berupa gangguan motorik, sensorik, otonom, maupun kognitif (Misbach, 2011).
Gangguan kognitif pasca stroke seringkali kurang diperhatikan pasien, keluarga, maupun
tenaga kesehatan yang merawat, karena tidak menonjol atau kurang bisa dikenali
dibandingkan dengan defisit neurologis lainnya. Namun demikian, gangguan kognitif secara
signifikan menurunkan kualitas hidup penderita stroke (Legge S D, et al, 2010).
Pasca stroke, sebanyak 55% orang mengalami defisit memori episodik, 40% menunjukkan
defisit fungsi eksekutif dan 23% dengan defisit bahasa. Selain itu, defisit dalam memori
episodik, fungsi eksekutif, perhatian visual dan bahasa dikaitkan dengan kesulitan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari/ ADL (activities of daily living) dan IADL (instrumental
activities of daily living). Dengan demikian stroke menyebabkan sejumlah defisit kognitif
yang memiliki dampak signifikan pada kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari
(Oros RI, et al, 2016).
Kejadian defisit kognitif meningkat tiga kali lipat setelah stroke dan sekitar 25% pasien
stroke berkembang menjadi demensia. Beberapa pasien sembuh total dari cacat fisik setelah
stroke namun seringkali tidak mampu untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
penurunan nilai kognitif.
Memahami hubungan kompleks antara stroke dan defisit kognitif secara lebih baik mungkin
memberikan pilihan tambahan pencegahan terhadap gangguan kognitif pasca stroke.
Identifikasi faktor risiko penurunan kognitif pada fase akut stroke adalah pendekatan yang
baik dalam deteksi dini pasien dengan peningkatan risiko kerusakan kognitif dan merupakan
usaha dalam pencegahan perkembangan gangguan kognitif pasca stroke (Danovska M, et al,
2012).
Gangguan kognitif pasca stroke termasuk dalam satu kelompok gangguan kognitif yang
disebut dengan Vascular Cognitive Impairment (VCI) yang meliputi gangguan kognitif
ringan dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari (Vascular Cognitive Impairment No
Dementia = VCIND) sampai paling berat berupa demensia vaskular.
Gangguan kognitif dapat mengenai satu atau lebih domain kognitif seperti atensi, bahasa,
memori, visuospasial dan fungsi eksekutif (Legge S D, et al, 2010). Perkembangan menjadi
demensia vaskular mencapai 20% dalam 1 tahun pertama setelah stroke (Pendlebury ST, et
al, 2009).
Ada banyak faktor risiko yang memengaruhi terjadinya gangguan kognitif pasca stroke.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi keparahan gangguan kognitif pada pasien stroke.
Faktor risiko tersebut meliputi faktor demografi dan faktor risiko yang bisa dimodifikasi.
Faktor demografi meliputi usia lanjut, sifat genetik, pendidikan yang rendah, karakteristik
dari stroke (meliputi: TIA, stroke berulang, multipel infark, lokasi infark yang strategis,
keparahan stroke) serta neuroimaging lesi otak (meliputi: infark otak silent, lesi white matter,
atrofi lobus temporal, dan cerebral microbleeds). Adapun faktor risiko yang bisa dimodifikasi
yang mempengaruhi gangguan kognitif pasca stroke meliputi hipertensi, atrial fibrilasi, DM
tipe 2, dislipidemia, cardiac and carotid artery diseases, high homocysteine, obesitas, dan
sindrom metabolik (Kalaria RN, et al, 2016).
Skrining fungsi kognitif pasca stroke sangat diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan
kognitif yang akan berpengaruh pada kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Dengan mengetahui gangguan kognitif pada pasien pasca stroke lebih dini, maka dapat
dilakukan upaya untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi kognitif pasien dan akhirnya
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien pasca stroke.
Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-INA) adalah salah satu alat skrining
singkat yang dirancang secara original untuk mengidentifikasi gangguan kognitif pada pasien
di klinik memori. MoCA terdiri dari satu lembar halaman pemeriksaan, 30 point tes,
dilakukan kurang lebih 10 menit, dan item yang dievaluasi adalah: kemampuan visuospasial,
fungsi eksekutif, recall memori jangka pendek, atensi, konsentrasi, memori kerja, bahasa, dan
orientasi waktu serta tempat. Pemeriksaan MoCA-INA ini sangat mudah dilakukan di
poliklinik dan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui adanya gangguan kognitif
pada pasien pasca stroke. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan tersebut dapat mengetahui
apakah fungsi kognitif pada pasien normal atau terdapat gangguan yang ringan hingga berat.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara berkala setiap 6 bulan untuk mengevaluasi fungsi
kognitif pasien pasca stroke.
Aktivitas yang dapat menstimulasi kognitif tersebut antara lain adalah kegiatan berupa:
- Permainan halma, catur, teka-teki silang, kartu, atau sudoku secara teratur
- Mengerjakan hobi
- Membaca buku, majalah, koran, menonton siaran berita, atau menonton siaran televisi/
bioskop
Selain itu asupan nutrisi yang bergizi, berolah raga secara rutin, serta menjaga tekanan darah
agar tetap normal dan berhenti merokok juga harus dilakukan. Dan yang tidak kalah penting
yaitu jangan lupa untuk kontrol rutin dan mengonsumsi obat stroke secara teratur sesuai
anjuran dari dokter spesialis saraf.