Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah tanda-tanda klinis


yang berkembang secara cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global
karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih tanpa penyebab lain selain
gangguan vaskular (Coupland et al., 2017).
Jumlah kasus stroke di dunia mengalami peningkatan yang cukup signifikan
mulai dari tahun 1990 hingga 2013. Terdapat sekitar 25,7 juta penderita stroke ,
6,5 juta kematian akibat stroke dan 10,3 juta kasus baru stroke di dunia pada tahun
2013. Stroke merupakan masalah utama kesehatan di Asia, dimana terdapat lebih
dari 60% populasi manusia dunia dan kebanyakan negara di Asia merupakan
negara berkembang (Feigin et al., 2015). Selain menimbulkan masalah kesehatan
stroke juga menjadi beban ekonomi dan sosial di negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (Yan et al., 2016). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2018 menunjukkan peningkatan angka kejadian stroke di Indonesia yang
terdiagnosis 7 dari 1.000 individu pada tahun 2013 menjadi 10,9 dari 1.000
individu pada tahun 2018. Prevalensi stroke tertinggi menurut umur adalah usia 75
tahun ke atas sebesar 50,2% dan terendah pada usia 15-24 tahun sebesar 0,6%
(Riskesdas, 2018).
Stroke dikatergorikan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
iskemik terjadi akibat adanya penyumbatan pembuluh darah di otak sehingga
dapat menyebabkan infark serebral. Sedangkan stroke hemoragik terjadi karena
adanya perdarahan di dalam otak dan ruangan lainnya di sistem saraf pusat
(Ropper et al., 2014).
Pola hidup seperti merokok, diet yang tidak sehat, dan aktivitas fisik yang
kurang beserta hipertensi, diabetes, obesitas dan atrial fibrilasi merupakan salah
satu faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi, sedangkan umur, jenis kelamin,
1
genetik dan ras merupakan faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi
(Boehme et al., 2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 25 Rumah Sakit
di Sumatera Utara, hipertensi (88,4%) merupakan faktor risiko stroke terbanyak
diikuti dengan merokok (34,3%), dislipidemia (28,6%), diabetes mellitus (27,6%)
dan penyakit jantung (17,4%) (Rambe et al., 2013).
Stroke merupakan penyebab terbanyak terjadinya kecacatan pada orang
dewasa (Elyse Friedman, 2012). Di sisi lain, stroke juga dapat berdampak pada
fungsi kognitif seseorang sehingga pemeriksaan fungsi kognitif sangat penting
pada pasien stroke untuk menilai komponen kognitif lalu dapat ditentukan
penangangan selanjutnya yang akan dilakukan (Kemenkes, 2010). Faktor risiko
yang berhubungan dengan menurunnya fungsi kognitif dan kejadian stroke antara
lain hipertensi dan diabetes mellitus (Rostamian et al., 2014). Penurunan fungsi
kognitif juga meningkat kejadiannya pada pasien stroke dengan umur di atas 65
tahun (Sun et al., 2014). Penelitian Jacquin et al. (2014) didapatkan hasil bahwa
47,3% penderita stroke mengalami gangguan kognitif setelah 3 bulan dari mulai
terserang stroke pertamanya dan terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan
dengan terjadinya gangguan kognitif tersebut antara lain usia tua, tingkat
pendidikan yang rendah, riwayat diabetes mellitus dan silent infarcts. Penelitian
dengan subyek berjumlah 50 penderita stroke dengan 37 orang menderita stroke
iskemik dan 13 orang menderita stroke hemoragik didapati hasil 36 orang orang
(72%) mengalami gangguan kognitif, selain itu peningkatan risiko mengalami
gangguan kognitif berhubungan dengan adanya lesi hemisfer kiri, silent infarcts
dan atrofi kortikal (Renjen et al., 2015).
Blackburn et al. (2013) dalam penelitiannya mendapatkan 35 dari 50 pasien
stroke (70%) mengalami penurunan fungsi kogntif. Penelitian yang dilakukan oleh
Hasra et al. (2013) di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou dengan subyek penelitian
berjumlah 35 penderita stroke didapatkan bahwa 67,5% mengalami gangguan
fungsi kognitif. Penelitian di Kanada didapatkan 76,3% penderita stroke sub akut
dan 67,3% penderita stroke kronis mengalami gangguan ≥ 1 aspek kognitif
dengan gangguan pada fungsi eksekutif dan visuospasial merupakan hal yang
umum ditemukan setelah terserang stroke (Middleton et al., 2014).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Stroke

2.1.1 Definisi

Stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan adanya defisit neurologis
yang terjadi secara tiba-tiba disebabkan dan berlangsung selama minimal 24 jam
yang disebabkan oleh gangguan vaskular, baik perdarahan spontan pada otak
maupun suplai darah yang inadekuat pada otak yang disebabkan oleh adanya
penyumbatan di pembuluh darah otak. Manifestasi klinis atau gangguan saraf
yang timbul akibat stroke tergantung dengan daerah otak yang pembuluh darahnya
terkena (Hammer dan McPhee, 2018).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi stroke di dunia pada tahun 2016 adalah sebanyak 80,1 juta dengan
84,4% kasus merupakan stroke iskemik. Sementara itu jumlah kasus baru stroke
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2013 dengan 10,3 juta
kasus baru menjadi 13,7 juta kasus baru di tahun 2016. Jumlah kematian akibat
stroke di dunia pada tahun 2016 sebesar 5,5 juta, 2,7 juta kematian diakibatkan
oleh stroke iskemik dan 2,8 juta kematian akibat stroke hemoragik. Sebagai
konsekuensinya stroke menjadi penyebab kematian terbanyak kedua setelah
penyakit jantung iskemik. Stroke menyebabkan kematian lebih banyak pada laki-
laki sebanyak 2,9 juta kematian daripada perempuan dengan angka kematian 2,6
juta di dunia (Johnson et al., 2019).

2.1.3 Klasifikasi

a. Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat adanya penyumbatan di pembuluh darah arteri


berupa trombosis atau emboli, akibatnya dapat menggangu aliran darah menuju
ke suatu bagian tertentu di otak sehingga menghasilkan manifestasi klinis sesuai
bagian otak yang terganggu fungsinya akibat penurunan suplai darah (Hammer
dan McPhee, 2018). Infark atau kematian sel otak dapat terjadi jika penurunan
aliran darah menuju otak yang berlangsung lebih dari beberapa menit (Hauser dan
Josephson, 2017).

b. Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik merupakan stroke yang terjadi akibat robek atau pecahnya
pembuluh darah di otak mengakibatkan perdarahan di sekitar otak sehingga
terbentuk massa yang menekan jaringan otak dan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial (Hauser dan Josephson, 2017). Sroke hemoragik dapat dibagi
menjadi
2 yaitu perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Penyebab
perdarahan intraserebral paling sering pada dewasa adalah hipertensi, sedangkan
rupturnya aneurisma merupakan penyebab tersering (85%) terjadinya perdarahan
subarakhnoid (Smith dan Eskey, 2011).

2.2 Fungsi Kognitif

2.2.1 Definisi

Kognitif adalah aktivitas fisik dan mental yang diformulasikan dengan


kemampuan berpikir, mengingat, belajar dan bahasa yang merupakan proses kerja
otak terdiri dari atensi, memori, visiospasial, bahasa dan fungsi eksekutif
(Kemenkes RI, 2010). Fungsi kognitif manusia merupakan kemampuan untuk
mengintegrasikan masukan persepsi dengan cepat (Huettig et al., 2012). Otak
tersusun atas 100 miliar neuron yang membentuk anyaman kompleks yang
memungkinkan untuk melakukan fungsi-fungsi kognitif luhur misalnya berpikir
dan mengingat. Kognisi merujuk kepada tindakan atau proses “mengetahui”,
termasuk kesadaran dan penilaian (Sherwood, 2014).
Gangguan fungsi kognitif merupakan kondisi kesulitan dalam mengingat,
mempelajari hal-hal baru, membuat keputusan atau berkonsentrasi yang dialami
seorang individu dan dapat menggangu kehidupan sehari-harinya. Tingkatan
gangguan fungsi kognitif mulai ringan hingan berat. Gangguan fungsi kognitif
yang ringan terjadi ketika seseorang masih dapat melakukan aktivitas sehari-
harinya tetapi sudah menyadari adanya perubahan pada fungsi kognitif, sedangkan
gangguan yang berat dapat menyebabkan hilangnya kemampuan seseorang dalam
berbicara atau menulis dan pemahaman terhadap sesuatu sehingga tidak dapat
hidup secara mandiri (CDC, 2010).

2.2.2 Aspek Fungsi Kognitif

a. Bahasa

Bahasa adalah salah satu aktivitas manusia yang kompleks dan sangat penting.
Bahasa merupakan suatu bentuk komunikasi yang kompleks ketika kata yang
ditulis atau diucapkan menyimbolkan benda dan menyampaikan gagasan. Bahasa
melibatkan integrasi dua kemampuan berbeda, yaitu ekspresi (kemampuan
berbicara) dan pemahaman yang masing-masing berkaitan dengan bagian tertentu
di korteks. Pada sebagian besar individu (sekitar 95%), area terkait bahasa terletak
di korteks asosiasi frontalis dan temporoparietalis hemisfer kiri, yang biasanya
kontralateral terhadap tangan kanan yang dominan (kanan). Namun, beberapa
aspek penting bahasa, termasuk komponen emosionalnya (afektif), diatur oleh
hemisfer kanan.
Pusat yang mengendalikan kemampuan berbicara terdapat di regio basalis
lobus frontalis kiri (area Broca, area 44) berdekatan dengan daerah motorik
korteks yang mengontrol otot-otot untuk artikulasi sedangkan pusat yang
berkaitan dengan pemahaman bahasa terletak di bagian posterior lobus temporalis
pada pertautannya dengan lobus parietalis (area Wernicke, area 22). Area
Wernicke menerima masukan dari korteks penglihatan di lobus oksipitalis, suatu
jalur untuk memahami tulisan dan menjelaskan benda yang dilihat, serta dari
korteks auditorius di lobus temporalis, suatu jalur untuk memahami bahasa lisan
(Sherwood, 2014). Bahasa merupakan fungsi kognitif dasar bagi komunikasi pada
manusia. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa merupakan
hal yang sangat penting. Adanya gangguan dalam berbahasa akan mengakibatkan
suatu hambatan bagi seseorang (Kemenkes, 2010).
b. Memori

Memori merupakan kemampuan untuk menyimpan informasi dan


mengingatnya kembali di lain waktu sehingga memori merupakan suatu hal yang
penting dalam kelangsungan hidup manusia. Memori dapat diklasifikasikan
menjadi dua berdasarkan durasi yaitu memori jangka pendek dan memori jangka
panjang. Memori jangka pendek merupakan kemampuan untuk menyimpan dan
mengingat informasi dalam waktu yang singkat biasanya selama beberapa detik,
sedangkan memori jangka panjang menyimpang informasi untuk periode yang
lama, kadang-kadang bertahan selama seumur hidup. Memori juga dapat
diklasifikasikan menjadi memori deklaratif (eksplisit) dan memori prosedural
(implisit). Memori deklaratif ialah memori yang dapat diingat kembali dengan
secara sadar misalnya memori tentang fakta dan orang dan prosesnya melibatkan
lobus temporal medial dan hipokampus, sedangkan serebelum berperan dalam
memori prosedural yang menyimpan informasi suatu keterampilan, misalnya
bermain piano dan mengemudi mobil (Bisaz et al., 2015).
Tabel 2.1 Perbedaan Memori Jangka Pendek dan Memori Jangka Panjang (Sherwood, 2014)
Karakteristik Memori Jangka Pendek Memori Jangka Panjang
Waktu Segera Belakangan; harus dipindahkan dari
penyimpanan ingatan jangka pendek ke jangka
setelah akuisi panjang melalui konsolidasi,
informasi baru diingatkan oleh latihan atau daur
ulang informasi melalui cara jangka
pendek
Durasi Berlangsung dalam hitungan detik Dipertahankan dalam hitungan

hingga jam harian hingga tahunan


Kapasitas Terbatas Sangat besar

penyimpanan
Waktu mengingat Cepat Mengingat kembali lebih lambat,
kembali kecuali untuk ingatan yang telah
tertanam kuat, yang cepat kembali
diingat
Ketidakmampuan Ingatan cepat hilang, kecuali Biasanya tidak dapat diingat hanya
mengingat terkonsolidasi menjadi ingatan secara transien; jejak ingatan relatif
kembali (lupa) jangka panjang stabil
Mekanisme Melibatkan modifikasi transien Melibatkan perubahan fungsional
penyimpanan fungsi sinaps yang ada, misalnya atau struktural yang relatif
perubahan jumlah neurotransmitter permanen antara neuron-neuron
yang dikeluarkan yang sudah ada, misalnya
pembentukam sinaps baru; sintesis
protein baru berperan
penting

c. Visuospasial

Visuospasial adalah kemampuan untuk menunjukkan dan mengkonsep


gambaran - gambaran visual dan hubungan spasial/jarak pada saat pembelajaran
atau melakukan aktivitas. Visuospasial merupakan fungsi kognitif yang kompleks
tentang kemampuan tata ruang, termasuk menggambar 2 atau 3 dimensi. Pada
gangguan visuospasial penderita mudah tersesat di lingkungannya (Kemenkes,
2010).
d. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif menggambarkan kemampuan kognitif dalam mengontrol


serta mengatur kemampuan dan perilaku lainnya agar perilaku memiliki tujuan
dan arah yang jelas termasuk di dalamnya kemampuan untuk memulai dan
menghentikan tindakan, untuk memonitor dan mengubah perilaku seperti yang
diinginkan dan untuk merencanakan perilaku berikutnya ketika berhadapan
dengan situasi yang baru (Kemenkes,2010)
e. Atensi

Istilah atensi mengacu pada serangkaian proses kognitif yang memungkinkan


seorang individu dalam mengatasi perubahan lingkungan internal dan eksternal
sambil mempertahankan tujuannya. Kondisi neurologis tertentu dapat
menyebabkan gangguan atensi yang sering terjadi pada pasien stroke akut, selain
itu dapat dijumpai juga pada kondisi lainnya seperti trauma kepala, tumor otak dan
penyakit yang berhubungan dengan neurodegeneratif (Husai dan Schott, 2016).

2.2.3 Evaluasi Fungsi Kognitif

Evaluasi fungi kognitif pada penderita stroke merupakan hal yang penting
karena dengan adanya gangguan kognitif dapat mempengaruhi proses
penyembuhan dan rehabilitasi. Salah satu tes yang dapat digunakan pada penderita
stroke untuk mengukur fungsi kognitif adalah Montreal Cognitive Assesstment
(MoCA) (Pasi et al., 2013). MoCA merupakan alat skrining yang dikembangkan
oleh Nasreddine dalam mendeteksi gangguan kognitif ringan pada individu yang
memiliki skor masih dalam rentang normal pada tes MMSE (Nasreddine 2005,
dalam Fujiwara et al., 2010). MoCA dapat dikerjakan dalam waktu 10 menit
dengan total skor 30 poin dan mencakup delapan macam domain fungsi kognitif
yaitu memori, fungsi eksekutif, visuospasial, bahasa, atensi dan konsentrasi,
orientasi, kemampuan abstrak dan penamaan (Nasreddine et al, 2005 dalam Tb et
al., 2013). Pada 90% kasus stroke, MoCA dapat diselesaikan dalam kurun waktu
kurang dari 10 menit (Blackburn et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Dong et al. (2010) menunjukkan bahwa 18 dari

57 penderita stroke dengan skor MMSE dalam rentang normal mengalami


gangguan kognitif yang diukur dengan MoCA, sedangkan hanya 2 dari 41
penderita stroke dengan skor MoCA dalam rentang normal yang memiliki skor
rendah pada pemeriksaan MMSE. MoCA lebih sensitif dalam mendeteksi
gangguan kognitif pada penderita stroke maupun transient ischemic attack
daripada MMSE yang menunjukkan adanya gangguan pada beberapa aspek fungsi
kognitif seperti fungsi eksekutif, atensi dan delayed recall (Pendlebury et al.,
2010). Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuiesioner
MoCA karena lebih sensitif mendeteksi fungsi kognitif ringan pada penderita
stroke.

2.3 Hubungan Stroke Iskemik dengan Gangguan Fungsi Kognitif

Otak membutuhkan pasokan darah yang konstan agar dapat mengangkut


oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan agar otak berfungsi dengan normal. Sejumlah
pembuluh arteri berperan dalam hal tersebut. Jika pada salah satu atau beberapa
arteri terjadi penyumbatan atau perdarahan yang dapat menyebabkan stroke
iskemik atau stroke hemoragik, maka regio tertentu di otak akan mengalami
kerusakan yaitu di daerah korteks hemisfer kanan dan korteks hemisfer kiri yang
dapat dilokalisasi lebih jauh ke lobus frontal, lobus temporal , lobus parietal dan
talamus. Dengan demikian, regio otak yang tidak mendapatkan pasokan darah
akan mulai mengalami kerusakan sehingga biasanya dapat menyebabkan
timbulnya gangguan kognitif (Al-qazzaz et al., 2014).
Gangguan kognitif yang terjadi tergantung dari volume dan lokasi infark,
jumlah lesi, penyakit penyerta lainnya dan lokasi susbtansia alba yang mengalami
iskemia (Grysiewicz dan Gorelick, 2012). Munculnya gangguan kognitif
berhubungan dengan adanya infark pada substansia alba di lobus frontal, ganglia
basalis dan talamus serta keterlibatan dorsolateral prefrontal cortex anterior
cingulate (Wang et al., 2016). Penurunan fungsi kognitif secara signifikan
meningkat pada penderita stroke daripada sebelum menderita stroke dan dapat
meningkatkan risiko kematian. Kondisi penurunan fungsi kognitif ini meningkat
1,9 kali lipat setelah terserang stroke (Rajan et al., 2014). Adanya infark serebral
juga dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif.
Penderita yang memiliki infark multipel dikaitkan dengan
terganggunya fungsi eksekutif, memori dan penurunan kecepatan
pemrosesan informasi (Saczynski et al., 2009).
Sekitar 25-30% penderita stroke iskemik dapat mengalami
gangguan kognitif vaskular atau demensia vaskular. Gangguan
kognitif dan demensia pada penderita stroke diperngaruhi oleh
beberapa faktor risiko, yaitu usia tua, riwayat keluarga, genetik,
status pendidikan rendah, adanya penyakit penyerta vaskular, riwayat
TIA ataupun riwayat stroke berulang (Kalaria et al., 2016).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
STROKE

3.1 Konsep Asuhan Keperawatan Stroke


3.1.1 Pengkajian

a. Identitas klien
Meliputi: nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
b. Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak badan
sebagian , bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke seringkali berlangsung sangat mendadak.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang
sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separuh
badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung,
anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
obat-obat adiktif dan kegemukan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi
ataupun diabetes militus.

Tabel 3.1.1 Pemeriksaan GCS atau tingkat kesadaran


Nilai Keterangan
Respon Mata
Spontan 4 Mata terbuka
secara spontan
Rangsangan 3 Mata terbuka
Suara dengan perintah
verbal
Rangsangan 2 Mata terbuka
Nyeri dengan
rangsangan
nyeri
Tidak Ada 1 Tidak membuka
mata
Respon
Motorik
Mematuhi 6 Bereaksi
Perintah terhadap
perintah verbal
Melokalisasi 5 Mengidentifikasi
nyeri yang
terlokalisasi
Menarik 4 Fleksi dan
menarik dari
rangsangan
nyeri
Fleksi 3 Membentuk
posisi
dekortokasi
Ekstensi 2 Membentuk
Abnormal posisi
deserebrasi
Tidak ada 1 Tidak ada
respon
Respon
verbal
Orientasi 5 Orientasi baik
baik dan mampu
berbicara
Bingung 4 Disorientasi
bingung
Kata-kata 3 Disorientasi dan
yang tidak bingung
baik
Kata-kata 2 Meregang atau
yang tidak merintih
jelas
Tidak ada 1 Tidak ada
respon

f. Aktivitas/ Istirahat
1. Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi
atau paralisis (hemiplegia),
2. Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).
3. Gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan tingkat kesadaran.

g. Sirkulasi
1. Adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.
2. Hipotensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi
3. vaskuler,
4. Frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.
h. Integritas Ego
1. Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
2. Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira,
3. Kesulitan untuk mengekspresikan diri.
i. Eliminasi
1. Perubahan pola berkemih
2. Distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
j. Makanan/ Cairan
1. Nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut,
2. Kehilangan sensasi pada lidah, dan tenggorokan,
3. Disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
4. Kesulitan menelan, obesitas.
k. Neurosensori
1. Sinkope/pusing, sakit kepala,
2. Kelemahan/ kesemutan,
3. Hilangnya rangsang sensorik kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun,
4. Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
5. Status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis,
6. Gangguan tingkah laku (letargi, apatis, menyerang),
7. Gangguan fungsi kognitif (seperti penurunana memori, pemecahan masalah).
8. Ekstremitas: kelemahan/paralisis kontrralateral, genggaman tidak sama, refleks
tendon melemah secara kontralateral
9. Pada wajah terjadi paralisis, afasia, kehilangan kemampuan untuk mengenali
masuknya rangsang visual, pendengaran, taktil (agnosia), seperti gangguan
kesadaran terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelainan pada bagian tubuh yang
terkena, gangguan persepsi.
10. Kehilangan kemampuan menggunakan kemampuan motorik (apraksia). Ukuran/
reaksi pupil tidak sama.
11. Kekakuan.
12. Kejang.

l. Kenyamanan / Nyeri
1. Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
2. Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
m. Pernapasan
1. Merokok
2. Ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas,
3. Timbulnya pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.
n. Keamanan
1. Masalah dengan penglihatan,
2. Perubahan sensori persepsi terhadap orientasi tempat tubuh,
3. Tidak mampu mengenal objek,
4. Gangguan berespons terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan,
5. Gangguan dalam memutuskan.
o. Interaksi Sosial
1. Masalah bicara,
2. Ketidakmampuan untuk berkomunikas

3.1.2 Diagnosa keperawatan


Diagnosa yang mucul pada pasien dengan penyakit stroke yaitu:
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke otak
b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskular
c. Defisit perawatan diri: makan, mandi,berpakaian, toileting b.d kerusakan neurovaskuler
d. Nyeri b.d gangguan suplay O2, peningkatan TIK
e. Gangguan komunikasi verbal b.d kerusakan serebral

2.2.2 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa NOC NIC Rasionl
Keperawatan
1 Ketidakefektifan Goal : Pasien akan 1) Lakukan 1) untuk
perfusi jaringan mempertahankan pengkajian menskrining
serebral b.d aliran daraha ke neurologis penurunan
penurunan aliran otak setiap 1-2 jam tingkatan
darah ke otak yang efektif pada awalnya kesadaran dan
selama 2) Ukur ttv status
dalam perawatan pasien setiap neurologis
Objektif : Dalam 1-2 jam pada 2) untuk
jangka waktu 3x24 awalnya. mendeteksi
jam pasien akan 3) Atur posisi secara dini
1). Tekanan pasien tanda-tanda
systole 1530°c. penurunan
dan diastole 4) tekanan perfusi
dalam rentang Pertahankan serebral
yang diharapkan lingkungan 3)untuk
(120/80 mmHg) dan pasien menurunkan
2).Tidak ada tetap tenang tekananarteri
tandatanda 5) dengan
peningkatan Pertahankan meningkatkan
tekanan tirah baring drainase dan
intrakranial 6) Anjurkan meningkatkan
(tidak lebih dari pasien untuk sirkulasi
15 mmHg) mengurangi 4)untuk
3). Pasien tidak kecemasan mengurangi
pusing 7) Ajarkan peningkatan
4. Tidak terapi TIK
mengalami relaksasi dan 5) istirahat
nyeri kepala napas dalam total dan
8) Kolaborasi ketenangan
pemberian mungkin
analgetik diperlukan
9) Beri 6)untuk
kesempatan mengurangi
pasien untuk tingkatan stres
beristirahat yang membuat
tekanan darah
meningkat.
7)untuk
mengurangi
ketergantungan
terhadap
analgetik
8)untuk
mengurangi
rasa nyeri
9)untuk
mengurangi
keletihan
2 Hambatan Goal:Pasien 1) Bantu 1)untuk
mobilitas fisik akanmempertahan pasien membantu
b.d ka untuk mencegah
kerusakan n mobilitas fisik merubah kerusakan
neuromuskular yang efektif posis setiap 2 integritas kulit
selama jam sekali. dengan
dalam perawatan 2) Bantu mengurangi
Objektive : Dalam pasien tekanan
jangka waktu 1x24 unTuk latihan 2) untuk
jam pasien akan : ROM. mencegah
1) Mengatakan 3) Beri konstaksi sendi
kepuasan dukungan dan dan atrofil otot
2) Pasien dapat dorongan 3) untuk
melakukan pada pasien. membantu
3) latihan ROM 4) Observasi pasien
secara perlahan TTV (tekanan membangun
darah, nadi, kemandirian
suhu, RR). 4)untuk
5) Beri mengetahui
kesempatan tingkat
pasien untuk kekurangan
beristirahat. kandungan Hb,
albumin dalam
tubuh
5)untuk
menghindari
keletihan
3 Defisit perawatan Goal : Pasien akan 1) Jalin 1) Untuk
diri meningkatkan hubungan mendapatkan
:makan,mandi,ber perawatan diri saling kepercayaan
p selama dalam percaya. 2) Untuk
akaian dan perawatan 2) Dorong membantu
toileting Objektif : Dalam pasien pasien
b.d kerusakan jangka waktu 10- untukmengun mencapai
neurovaskuler 15 g tingkatan
menit pasien akan: kapkan fungsiona;
1) Mampu perasaan dan tertinggi
untukmembersi keluhan kemampuan
hkan tubuh mengenai 3) Untuk
sendiri secara defisit meningkatkan
mandiri dengan perawatan harga diri
atau tanpa diri. 4) Untuk
bantuan. 3) Berikan meningkatkan
2) Kulit pasien privasi. perasaan
tampak bersih 4) Bantu mandiri
3) Rambut tampak sebagian 5) Untuk
Rapih atau menghindari
sepenuhnya keletihan
saat mandi
setiap hari
5) Beri
kesempatan
pasien untuk
beristirahat.
4 Nyeri b.d Goal : pasien akan ) Pantau 1) untuk
gangguan bebas dari nyeri keluhan nyeri mengetahui
suplay O2, selama dalam 2) Kaji apakah
peningkatan Tik perawatan tingkatan nyeri itu masih
Objektif : dalam nyeri muncul atau
waktu 1x24 jam 3) Observasi tidak
pasien akan: tanda-tanda 2) mengetahui
1) Keluhan nyeri vital lokasi, durasi,
berkurang/hilang 4) Beri intensitas dan
2) Rileks kesempatan karakteristik
3) Tekanan darah untuk nyeri
dalam batas beristirahat dan
normal 5) Ajarkan mengidentifika
4) Tidak meringis teknik si
kesakitan relaksasi masalah dalam
6) Kolaborasi menetapkan
pemberian intervensi
anlgetik 4) untuk
mengurangi
keletihan 5)
untuk
mengurangi
ketergantungan
terhadap
analgetik
6) untuk
mengurangi
nyeri
5 Gangguan Goal: pasien akan 1) Kaji 1) Untuk
komunikasi komunikasi yang kemampuan perubahan
verbal efektif selama komunikasi dalam kognitif
b.d kerusaksn dalam 2) Berikan dan bicara
serebral perawatan. metode merupakan
Objektif: dalam alternatif indkator dari
waktu 3x24 jam, komunikasi: derajat
pasien akan : gunakan gangguan
1) Tampak kertas dan verbal
peningkatan pensil 2) Untuk
kemampuan 3) Minta membantu isi
berkomunikasi pasien pesan yang di
2) Tidak frutasi untuk maksud
mengikuti 3) Melakukan
perintah yang penilaian
sama terhadap
4) Beri adanya
lingkungan kerusakan
yang tenang sensori
5) untuk 4) Agar pasien
mengurangi nyaman
ketergantunga
n
terhadap
analgetik
6) untuk
mengurangi
nyeri

( Sumber: NIC & NOC edisi 2015-2017)

2.2.3 Implementasi keperawatan


Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan.

2.2.4 Evaluasi keperawatan


1. Perfusi jaringan cerebral yang efektif dengan kriteria hasil: TTV dalam
batas normal TD: 120/80 mmHg, nadi: 60-100 kali/menit, suhu: 36,5 –
37,5 , RR: 12-20 kali/menit, mampu pertahankan tingkat kesadaran, fungsi
sensorik dan motorik membaik.
2. Mobilitas fisik dengan kriteria hasil: TTV dalam batas normal TD: 120/80
mmHg, nadi: 60-100 kali/menit, suhu: 36,5 – 37,5 , RR: 12-20 kali/menit,
pasien mengatakan kepuasan dan dapat melakukan latihan ROM.
3. Perawatan diri mandi dengan kriteria hasil : TTV dalam batas normal TD: 120/80
mmHg,nadi: 60-100 kali/menit,suhu: 36,5 – 37,5 , RR: 12-20 kali/menit, pasien tampak
bersih dan rapih, kulit tampak bersih dan rambut tampak rapih.

Anda mungkin juga menyukai