Anda di halaman 1dari 25

SISTEM PELAYANAN DAN PENANGGULANGAN TERPADU

(KEPERAWATAN BENCANA)

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
(KELAS 7A):
Adinda Nurul Ridhah M ( 2018720002 )
Dwi Nur Luthfiyah ( 2018720012 )
Erika Liyanti Mayadi ( 2018720013 )
Fitri Handayani ( 2018720017 )
Kamilia Yasmin ( 2018720023 )
Nabila Alfaisha ( 2018720029 )
Nindha Amelia ( 2018720031 )
Nuraenida Febrianti ( 2018720032 )
Nurhasanah Rahmanda ( 2018720033 )
Putri Yana ( 2018720134 )
Rizki Amelia Koswara ( 2018720039 )
Sarah Luthfiyatul Azis ( 2018720040 )
Tri Puji Lestari ( 2018720146 )
Uswatun Khasanah ( 2018720047 )
Winda Ajeng Ramadhani ( 2018720149 )

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana).

Bencana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja di seluruh penjuru dunia.
Bencana dapat berdampak kepada individu, keluarga dan komunitas. Bencana
merupakan gangguan serius yang mengganggu fungsi komunitas atau penduduk yang
menyebabkan manusia mengalami kerugian, baik kerugian materi, ekonomi atau
kehilangan penghidupan yang mana berpengaruh terhadap kemampuan koping
manusia itu sendiri.

Indonesia dengan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana alam
maupun karena ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya bencana
ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor-faktorlain seperti keragaman
sosial budaya dan politik.
Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia, seringkali dan
tidak terduga, yaitu di antaranya gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan gunung
berapi, banjir, dan kekeringan (CFE-DM, 2018). Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mencatat pada 2017 terjadi 2.862 kejadian bencana alam,
diantaranya banjir (34,2%), puting beliung (31%), tanah longsor (29,6%), kebakaran
hutan dan lahan (3,4%), gempa bumi (0,7%), kekeringan (0,6%), gelombang
pasang/abrasi (0,4%), dan letusan gunung api (0,1%) (BNPB, 2018).

1.2. Latar belakang ( pengantar SPGDT)

Kejadian gawat darurat tentunya tidak bisa kita prediksi, kapanpun dan
Dimanapun seseorang dapat mengalami kejadian kegawatdaruratan yang
Membutuhkan pertolongan segera. Keterlambatan dalam penanganan dapat Berakibat
kecacatan fisik atau bahkan sampai kematian. Banyak hal yang dapat Menyebabkan
kejadian gawat darurat, antara lain kecelakaan, tindakan anarkis Yang membahayakan
orang lain, kebakaran, penyakit dan bencana alam yang Terjadi di Indonesia. Kondisi
ini memerlukan penanganan gawat darurat yang Tepat dan segera, sehingga
pertolongan pertama pada korban/pasien dapat Dilakukan secara optimal.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) Nomor 19 tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) yang bertujuan meningkatkan akses dan mutu Pelayanan
kegawatdaruratan dan mempercepat waktu penanganan (respon Time) korban/ pasien
gawat darurat serta menurunkan angka kematian dan Kecacatan. SPGDT berpedoman
pada respon cepat yang menekankan time Saving is life and limb saving, yang
melibatkan pelayanan oleh masyarakat, Tenaga kesehatan, pelayanan ambulans gawat
darurat dan sistem komunikasi. Di Indonesia SPGDT atau yang di negara lain disebut
EMS (Emergency Medical Services) belum menunjukkan hasil maksimal, sehingga
banyak Dikeluhkan oleh masyarakat ketika mereka membutuhkan pelayanan
kesehatan.
Keberhasilan penanganan korban/pasien gawat darurat ini tergantung Pada
beberapa komponen, yaitu pada penyelenggaraan SPGDT yang terdiri Atas sistem
komunikasi gawat darurat, sistem penanganan korban/ pasien gawat Darurat dan
sistem transportasi gawat darurat yang harus saling terintegrasi satu Sama lain. Dinas
Kesehatan Jakarta pusat sebagai salah satu organisasi Yang menangani bidang
kesehatan khususnya mengenai kegawatdaruratan Dituntut untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat. Salah satu Adalah dengan pembentukan Public
Safety Center (PSC).

1.3. Organisasi Yang Termasuk Dalam Penanggulangan Bencana (Spgdt)

Focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat untuk penanggulangan


bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sedangkan focal
point penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:

1. Tingkat Nasional : Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana (BaKorNas)


atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Susunan Organisasi BNPB terdiri atas:


a. Kepala, mempunyai tugas memimpin BNPB dalam menjalankan tugas dan fungsi
BNPB.
Kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan dapat dijabat oleh Pegawai
Negeri Sipil, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, atau profesional.

b. Unsur pengarah, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.


Tugas : memberikan masukan dan saran kepada Kepala dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Fungsi : perumusan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional,
pemantauan, dan evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

c. Unsur pelaksana, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala.


Tugas : melaksanakan penanggulangan bencana secara terintegrasi yang
meliputi prabencana, saat keadaan darurat bencana, dan pascabencana.
Fungsi : koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana, komando
penyelenggaraan penanggulangan bencana, dan pelaksana dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.

2. Tingkat Propinsi : Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana (Satkorlak)


3. Tingkat Kabupaten/Kota : Satuan Laksana Penanggulangan Bencana (Satlak)
a.       Satgas Kesehatan
b.      Satgas Pekerjaan Umum
c.       Satgas Keamanan dan ketertiban Masyarakat
d.      Satgas Sosial

Susunan Organisasi Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah berdasarkan


Perda Nomor 11 Tahun 2010 terdiri dari :

a. Kepala BPBD, dijabat (ex-officio) oleh sekretaris daerah


b. Unsur Pengarah penanggulangan bencana
c. Unsur Pelaksana penanggulangan bencana

BPBD mempunyai fungsi :


a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh.

BPBD mempunyai tugas :


a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah
daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi
secara adil dan setara
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi
darurat bencana
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENJELASAN SPGDT

Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah mekanisme


yang dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktivitasnya
dapat dipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase, yaitu: Fase Deteksi, Fase Supresi, Fase Pra
Rumah Sakit, dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan dengan baik bila ada
ketersediaan dana yang memadai.
Secara umum, SPGDT adalah sistem koordinasi berbagai unit kerja
(multisektor), didukung berbagai kegiatan profesi (multidisiplin dan multiprofesi)
untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu penderita gawat darurat dalam keadaan
bencana maupun sehari-hari.
SPGDT berpedoman pada respons cepat yang menekankan time saving is life
and limb saving, yang melibatkan masyarakat awam umum dan khusus, petugas
medis, pelayanan ambulans gawat darurat, dan komunikasi. Sitem diperlukan untuk
mengurangi dan menyelamatkan korban bencana. Diperlukan cara penanggulangan
yang jelas (efektif, efisien, dan terstruktur) untuk mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana.

Tujuan SPGDT dan bencana adalah :


a. Mendapatkan kesamaan pola pikir/persepsi tentang SPGDT.
b. Memperoleh kesamaan pola tindak dalam penanganan kasus gawat darurat
dalam keadaan sehari-hari maupun bencana.
c. Paradigma pelayanan medis :
 Pergeseran orientasi dari proffesional driven menjadi clien driven.
 Pelayanan medik terintegrasi, holistic-continumm.
 Evidence based medicine : fakta yang benar.
 Medicine by low : industri pelayanan medik mengandung unsur ekonomi,
sosial, profesional. Undang-undang perlindungan konsumen tidak dapat
diterapkan.

Terdapat tiga subsistem dalam SPGDT, yaitu pra rumah sakit (pra-RS), rumah sakit
(RS), dan antar rumah sakit (antar-RS).
a. Sitem Pra-RS Sehari-hari
1) PSC: Poskesdes didirikan masyarakat, pengorganisasian di bawah pemerintah
daerah.
2) BSB: unit khusus pra-RS, pengorganisasian di jajaran kesehatan.
3) Pelayanan ambulans: koordinasi dengan memanfaatkan ambulanst setempat.
4) Komunikasi: koordinasi jejaring informasi.
5) Pembinaan: pelatihan peningkatan kemampuan.
 Sistem Pra-RS pada Bencana:
1) Koordinasi jadi komando: efektif dan efisien bila dalam koordinasi dan
komando.
2) Eskalasi dan mobilisasi sumber daya: SDM, fasilitas, dan sumber daya lain.
3) Simulasi: diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi.
4) Pelaporan, monitoring, evaluasi: laporan dari sistematika yang disepakati.
 Fase Acute Response:
1) Acute Emergency Response
Melaksanakan rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis, terapi definitif.
2) Emergency Relief
Menyediakan makanan minuman, tenda, jamban, dan lain-lain untuk korban
sehat.
3) Emergency Rehabilitation
Peerbaikan jalan, jembatan, sarana dasar lain untuk kelancaran pertolongan.

b. Sistem Intra Rumah Sakit


1) Sarana, prasarana, BSB,UGD,HCU,ICU, penunjang.
2) Hospital disater plan, bencana dari dalam dan luar RS.
3) Transportasi intra-RS.
4) Pelatihan, simulasi, dan koordinasi untuk peningkatan kemampuan SDM.
5) Pembiayaan dengan jumlah cukup.
 SOP minimal sehari-hari dan bencana (Hosdip=Hospital Disaster Plan):
1) Kegawatan dengan ancaman kematian.
2) True emergency.
3) Korban massal.
4) Keracunan massal.
5) Khusus: perkosaan, KDRT, child abused, kegawatan diruang rawat.
6) Ketentuan: asuransi, batasan tindakan medik, etika dan hukum, pendataan
tanggung jawab dokter pada keadaan gawat darurat.

c. Sistem Antar Rumah Sakit


1) Jejaring berdasarkan kemampuan RS dalam kualitas dan kuantitas.
2) Evakuasi antar-RS dan dari pra-RS.
3) SIM (Manajemen Sistem Informasi): untuk menghadapi kompleksitas
permasalahan dalam pelayanan.
4) Koordinasi dalam pelayanan rujukan, diperlukan pemberian informasi keadaan
pasien dan pelayanan yang dibutuhkan.
2.2. ORGANISASI PENGANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

1. Badan Koordinasi Nasional Penganggulangan Bencana dan Pengungsi


(BAKORNAS PBP), adalah wadah yang bersifat non struktural bagi
penganggulangan bencana yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden.

BAKORNAS PBP mempunyai tugas mengkoordinasikan kebijaksanaan dan


pelaksanaan penanggulangan bencana baik dalam tahap sebelum, selama maupun
setelah bencana terjadi secara terpadu antar lintas sektor/instansi/masyarakat terkait,
baik preventif, represif maupun rehabilitatif yang meliputi pencegahan, penjinakan,
penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

2. Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi


(SATKORLAK PBP), adalah wadah yang besifat non struktural untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan bencana di daerah provinsi dengan
berpedoman kepada kebijaksanaan penanggulangan bencana yang digariskan oleh
BAKORNAS PBP.

SATKORLAK PBP bertugas melaksanakan koordinasi dan pengendalian kegiatan


penanggulangan bencana di daerahnya dengan berpedoman kepada kebijaksaan yang
telah ditetapkan oleh BAKORNAS PBP, baik tahap sebelum, pada saat, maupun
sesudah bncana terjadi, yang mencakup kegiatan pencegaha, penjinakan,
penyelamatan, rehabilitasi, dan rekontruksi.

3. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (SATLAK PBP),


adalah unit pelaksana penanggulangan bencana di kabupaten/kota.

SATLAK PBP bertugas melakukan kegiatan penanggulangan bencana di wilyahnya


sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh BAKORNAS PBP dan/ atau
petunjuk Gubernur Kepala Daerah yang meliputi tahap-tahap sebelum, pada saat dan
sesudah terjadi bencana serta mencakup kegiatan pencegahan, penjinakan,
penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

4. Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (SATGAS PBP),


merupakan organisasi kerangka yang disiapkan untuk membantu penanganan
penanggulangan bencana yang terjadi ditingkat Kabupaten/kota.

SATGAS PBP bertugas melaksanakan kegiatan operasional penanggulangan bencana


dilapangan atas perintah/petunjuk ketua SATLAK PBP.

5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah sebuah Lembaga


Pemerintah Nonkementerian yang mempunyai tugas membantu Presiden Republik
Indonesia dalam melakukan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
2.3. PERAN, PENANGANAN, PROSEDURE DALAM ORGANISASI (SPGDT)
DAN RUANG LINGKUP KEGIATAN

A. Peran Dirjen Yanmed Kemenkes RI :


1)      Kualitas pelayanan & fasilitas pelayanan.
2)      Promotif, kuratif dan rehabilitatif continuum. Pencegahan primer (health
promotion dan specific protection). Pencegahan sekunder berupa deteksi dini dan
pengobatan serta pembatasan cacad. Pencegahan tertier berupa rehabilitasi medik
maksimal.
Yanmed dasar merupakan basis dari sistem rujukan medik spesialistik

B. Penanganan Bencana :
Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana, dilaksanakan melalui
3 (tiga) tahapan sebagai berikut:
1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana dan
ketika sedang dalam ancaman potensi bencana
2. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat sedang terjadi
bencana.
3. Tahap pasca bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.

C. Tahap Pra Bencana:

1. Tahap Pencegahan dan Mitigasi

Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi serta


menanggulangi resiko bencana. Rangkaian upaya yang dilakukan dapat berupa
perbaikan dan modifikasi lingkungan fisik maupun penyadaran serta peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Tahap pencegahan dan mitigasi bencana
dapat dilakukan secara struktural maupun kultural (non struktural). Secara struktural
upaya yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana
adalah rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Sedangkan secara kultural upaya
untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah dengan cara
mengubah paradigma, meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun
masyarakat yang tangguh. Mitigasi kultural termasuk di dalamnya adalah membuat
masyarakat peduli terhadap lingkungannya untuk meminimalkan terjadinya bencana.
Kegiatan yang secara umum dapat dilakukan pada tahapan ini adalah:
1. membuat peta atau denah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana
2. pembuatan alarm bencana
3. membuat bangunan tahan terhadap bencana tertentu
4. memberi penyuluhan serta pendidikan yang mendalam terhadap masyarakat yang
berada di wilayah rawan bencana.

2. Tahap Kesiapsiagaan

Tahap kesiapsiagaan dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. Pada


tahap ini alam menunjukkan tanda atau signal bahwa bencana akan segera terjadi.
Maka pada tahapan ini, seluruh elemen terutama masyarakat perlu memiliki kesiapan
dan selalu siaga untuk menghadapi bencana tersebut.

Pada tahap ini terdapat proses Renkon yang merupakan singkatan dari
Rencana Kontinjensi. Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan
akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi
berarti suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada
keadaan kontinjensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi
mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak terjadi.
Secara umum, kegiatan pada tahap kesiapsiagaan antara lain:

1. menyusun rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan


persediaan dan pelatihan personil.

2. menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana


evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana
berulang.

3. melakukan langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum  peristiwa


bencana terjadi dan ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan
layanan, dan kerusakan saat bencana terjadi.

3. Tahap Tanggap Darurat


Tahap tanggap darurat dilakukan saat kejadian bencana terjadi. Kegiatan pada
tahap tanggap darurat yang secara umum berlaku pada semua jenis bencana antara
lain:
1. Menyelamatkan diri dan orang terdekat.
2. Jangan panik.
3. Untuk bisa menyelamatkan orang lain, anda harus dalam kondisi selamat.
4. Lari atau menjauh dari pusat bencana tidak perlu membawa barang-barang apa pun.
5. Lindungi diri dari benda-benda yang mungkin melukai diri.

4. Tahap Rehabilitasi Dan Rekonstruksi


Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi biasa dilakukan setelah terjadinya bencana.
Kegiatan inti pada tahapan ini adalah:

1. Bantuan Darurat
• Mendirikan pos komando bantuan
• Berkoordinasi dengan Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan Bencana
(SATKORLAK PBP) dan pemberi bantuan yang lain.
• Mendirikan tenda-tenda penampungan, dapur umum, pos kesehatan dan pos
koordinasi.
• Mendistribusikan obat-obatan, bahan makanan dan pakaian.
• Mencari dan menempatkan para korban di tenda atau pos pengungsian.
• Membantu petugas medis untuk pengobatan dan mengelompokan korban.
• Mencari, mengevakuasi, dan makamkan korban meninggal.
2. Inventarisasi kerusakan
Pada tahapan ini dilakukan pendataan terhadap berbagai kerusakan yang terjadi, baik
bangunan, fasilitas umum, lahan pertanian, dan sebagainya.

3. Evaluasi kerusakan
Pada tahapan ini dilakukan pembahasan mengenai kekurangan dan kelebihan dalam
penanggulangan bencana yang telah dilakukan. Perbaikan dalam penanggulangan
bencana diharapkan dapat dicapai pada tahapan ini.

4. Pemulihan (Recovery)
Pada tahapan ini dilakukan pemulihan atau mengembalikan kondisi lingkungan yang
rusak atau kacau akibat bencana seperti pada mulanya. Pemulihan ini tidak hanya
dilakukan pada lingkungan fisik saja tetapi korban yang terkena bencana juga
diberikan pemulihan baik secara fisik maupun mental.

5. Rehabilitasi (Rehabilitation)
• Mulai dirancang tata ruang daerah (master plan) idealnya dengan memberi
kepercayaan dan melibatkan seluruh komponen masyarakat utamanya korban
bencana. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pemetaan wilayah bencana.
• Mulai disusun sistem pengelolaan bencana yang menjadi bagian dari sistem
pengelolaan lingkungan
• Pencarian dan penyiapan lahan untuk permukiman tetap
• Relokasi korban dari tenda penampungan
• Mulai dilakukan perbaikan atau pembangunan rumah korban bencana
• Pada tahap ini mulai dilakukan perbaikan fisik fasilitas umum dalam jangka
menengah
• Mulai dilakukan pelatihan kerja praktis dan diciptakan lapangan kerja
• Perbaikan atau pembangunan sekolah, sarana ibadah, perkantoran, rumah sakit dan
pasar mulai dilakukan
• Fungsi pos komando mulai dititikberatkan pada kegiatan fasilitasi atau
pendampingan.

6. Rekonstruksi
Kegiatan rekonstruksi dilakukan dengan program jangka menengah dan jangka
panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya

7. Melanjutkan pemantauan
Wilayah yang pernah mengalami sebuah bencana memiliki kemungkinan besar akan
mengalami kejadian yang sama kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan
terus-menerus untuk meminimalisir dampak bencana tersebut.
Dalam keseluruhan tahapan Penanggulangan Bencana tersebut, ada 3 (tiga)
manajemen yang dipakai yaitu :
1. Manajemen Risiko Bencana
Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor
yang mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada
saat sebelum terjadinya bencana dengan fase-fase antara lain :
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana
• Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana
• Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
2. Manajemen Kedaruratan
Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor
pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan pengungsi secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat terjadinya bencana
dengan fasenya yaitu Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana Manajemen Pemulihan.
Pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor
yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena
bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana secara
terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya bencana dengan
fase-fasenya nya yaitu :

• Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik


atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana  dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana

• Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,


kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.

D. Organisasi Penanggulangan Bencana


Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:
1.      Tingkat Nasional 
Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana
2.      Tingkat Propinsi            
Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana
3.      Tingkat Kabupaten        
Satuan Laksana Penanggulangan Bencana
a.       Satgas Kesehatan
b.      Satgas Pekerjaan Umum
c.       Satgas Keamanan dan ketertiban Masyarakat
d.      Satgas Sosial

Penanggulangan bencana memerlukan manajemen pada tahapannya, yaitu:


1.      Tahap Persiapan (Preparedness)
• Pengembangan SPGDT
•  Pengembangan SDM
• Pengembangan Sub sistem Komunikasi
•  Pengembangan Sub sistem Transportasi
•  Latihan Gabungan
•  Kerjasama lintas sektor
2.      Tahap Akut (Acute response)
• Rescue – triage
• Acute medical response
• Emergency relief
• Emergency rehabilitation

E.  prosedur
Sehari-hari dan Bencana (Hosdip, Hospital Diasater Plan) :
a.         Kegawatan dengan ancaman kematian
b.         True emergency
c.         Korban massal
d.       Keracunan missal :, Khusus :Perkosaan, KDRT, child abused, Persalinan Tidak
Normal, Kegawatan

F. Ruang Lingkup  Spgdt


Pelayanan kesehaan ( Health services) dalam SPGDT  (IEMSS) meliputi;

1. Sistem  Pelayanan pra Rumah sakit (Prehospital medical services  system)

2. Sistem Pelayanan di Rumah sakit  (Hospital service system) 

3. Sistem Pelayanan antar Rumah sakit ( Interhospital  service system)

Permenkes pasal 4, Ruang lingkup penyelenggaraan SPGDT meliputi: 

1. Pelayanan gawat darurat.

2. Pembentukan pusat komando.

3. Sistem transportasi kegawatdaruratan.

2.4. HOSPITAL DISASTER PLAN

Pengertian Hospital Disaster Plan

Hospital Disaster Plan merupakan pedoman bagi rumah sakit dalam


melakukan perencanaan dan penyiagaan terhadap kejadian bencana. Tujuannya
adalah agar setiap rumah sakit dapat meningkatkan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana yang datang dari dalam ataupun dari luar rumah sakit. Agar
dapat terlaksana perlu perencanaan pengorganisasian (dengan membentuk
Organisasi Tim Penanganan Bencana Rumah Sakit), sistem komunikasi, sistem
evakuasi dan transportasi, penyiapan logistik, mobilisasi dan aktivasi SDM, serta
tata kerja operasional (Pedoman Perencanaan Penyiagaan Bencana bagi Rumah
Sakit, 2009).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang
Kesehatan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam hal penanganan bencana antara
Rumah Sakit Jiwa dengan Rumah Sakit Umum. Hal ini ditunjukkan bahwa
pedoman penanganan bencana disusun dengan maksud untuk memberikan
gambaran tentang peran semua unit jajaran kesehatan, sedangkan tujuannya agar
semua unit jajaran kesehatan tersebut dapat mempelajari, memahami dan
melaksankan tugas penanganan bencana dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
peran dan fungsi masing-masing. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
(2007) menambahkan bahwa teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana sesuai dengan standar teknis pelayanan kesehatan dalam penanganan
krisis kesehatan akibat bencana dan standar pengelolaan bantuan kesehatan, data
dan informasi penanganan krisis kesehatan akibat bencana.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat didefinisikan sebagai upaya atau


langkah untuk mengantisipasi bencana (Purwana, 2013). Oleh sebab itu,
kesiapsiagaan tersebut menjadi lebih tepat diwujudkan sebelum bencana terjadi,
meskipun dapat pula dilakukan setelah terjadinya bencana sebagai bagian dari
evaluasi atas bencana yang pernah terjadi. Tujuan dari kesiapsiagaan menghadapi
bencana adalah menumbuhkan ketangguhan di tengah potensi bencana yang ada,
sehingga terdapat kesiapan apabila bencana terjadi di kemudian hari (Purwana,
2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana
sangat penting untuk diwujudkan karena dengan kesiapan, maka akan tumbuh
ketangguhan, sehingga dampak negatif dari bencana diharapkan dapat
diminimalisasi.

Ketika terjadi bencana, selalu akan terjadi keadaan yang kacau (chaos), yang
bisa menganggu proses penanganan pasien, dan mengakibatkan hasil yang tidak
optimal. Dengan HDP yang baik, chaos akan tetap terjadi, tetapi diusahakan agar
waktunya sesingkat mungkin sehingga pelayanan dapat tetap dilakukan sesuai
standard yang ditetapkan, sehingga mortalitas dan moriditas dapat ditekan
seminimal mungkin. Dalam situasi bencana, hal-hal yang paling sering muncul di
RS adalah:

o Pada satu saat ada penderita dalam jumlah banyak yang harus dilayani
sehingga persiapan yang terlalu sederhana (“simple alarm)“ akan tidak
mencukupi, dan diperlukan persiapan yang lebih komperhensif dan intensif
(Organization for a Mass admission of Patients (OMP).

o Kebutuhan yang melampaui kapasitas RS, dimana hal ini akan diperparah
bila terjadi kekurangan logistikdan SDM, atau kerusakan terjadi infra struktur
dalam RS itu sendiri. Kedua hal tersebut diatas wajib diperhitungkan baik
untuk bencana yang terjadi diluar maupun didalam RS sendiri.

Pada situasi bencana yang terjadi diluar RS, hasil yg diharapkan dari HDP adalah:

• Korban dalam jumlah yang banyak mendapat penanganan sebaik mungkin, melalui

• Optimalisasi kapasitas penerimaan dan penanganan pasien, dan

• Pengorganisasian kerja secara profesional, sehingga

• Korban/pasien tetap dapat ditangani secara individu, termasuk pasien yg sudah


dirawat sebelum bencana terjadi.

Sedangkan untuk penanganan korban di luar RS, bantuan medis diberikan dalam
bentuk pengiriman tenaga medis maupun logistik medis yang diperlukan. Pada kasus
dimana bencana terjadi didalam RS (Internal Disaster), seperti terjadinya kebakaran,
bangunan roboh dsb, target dari HDP adalah :

a. Mencegah timbulnya kroban manusia, kerusakan harta benda maupun lingkungan,


dengan cara:

• Membuat protap yang sesuai

• Melatih karyawan agar dapat menjalankan protap tersebut

• Memanfaatkan bantuan dari luar secara optimal.

b. Mengembalikan fungsi normal RS secepat mungkin Secara umum dapat dikatakan


bahwa untuk bencana eksternal maupun internal. Konsep dasar suatu HDP adalah:
• Melindungi semua pasien, karyawan, dan tim penolong

• Respon yang optimal dan efektif dari tim penanggulangan bencana yg


berbasis pada struktur organisasi RS sehari-hari.

Oleh karena itu suatu HDP sudah seharusnya dibuat untuk mengantisipasi hal
tersebut, dan untuk itu sebaiknya disusun dengan mempertibangkan komponen-
komponen: kebijakan penunjang, struktur organisasi dengan pembagian tugas dan
sistim komando yang jelas, sistim komunikasi – informasi, pelaporan data,
perencanaan fasilitas penunjang, serta sistim evaluasi dan pengembangan. Selain itu
perencanaan dalam HDP harus sudah diuji dalam suatu simulasi, serta disosialisasikan
ke internal RS maupun institusi lainnya yang berhubungan.

Selain itu juga perlu dipersiapkan sejak awal bahwa suatu HDP merupakan
bagian integral dalam sistim penangulangan bencana lokal / daerah setempat.

Proses penyusunan HDP. Menyusun HDP merupakan perkerjaan besar yang


harus dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya mendapat hasil seperti yang
diharapkan ketika terjadi bencana yang sesungguhnya. Suatu HDP seharusnya
merupakan hasil dari suatu proses kerja yang didasari atas ancaman bencana didaerah
tersebut (Hazard Mapping), pengalaman masa lalu, ketersediaan sumberdaya
khususnya SDM, dengan mengingat kebijakan lokal maupun nasional. Penyusunan
HDP umumnya dimulai dengan dibentuknya tim penyusun HDP, dan akan bisa
memberikan hasil yang maksimal bila didasari atas komitmen dan konsistensi dari
menejemen RS. Konsistensi diperlukan mengingat penanggulangan bencana,
termasuk penyusunan HDP, merupakan proses yang kontinyu sehingga diperlukan
usaha untuk mempertahankan kinerja tim, dan hal tersebut bisa diwujudkan dengan
membentuk komite gawatdarurat dan bencana, atau institusi yg sejenis.Ruang lingkup
komite juga termasuk masalah gawatdarurat, karena bencana dan gawatdarurat
merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan yang tinggi dan memerlukan mejemen
bersama.

Tim Penyusun HDP. Tim yang ideal anggautanya merupakan gabungan dari
unsure pimpinan( minimal Kepala Bidang / Instalasi ), unsure pelayanan gawatdarurat
( kepala UGD ), unsur Rumahtangga, unsur paramedis, dan unsur lain yg dipandang
perlu. Anggauta tim sebaiknya sudah memiliki dasar-dasar mengenai Hospital
Preparedness, dan bekerja berdasar suatu guide line yang standar, serta diberikan
target waktu.

Pokok-pokok HDP. Suatu HDP diharapkan memenuhi prinsip pokok sbb:

• Organisasi PB berbasis pada organisasi RS sehari-hari. Perubahan yg terlalu


besar berpotensi gagal.

• Prosedur dalam HDP dibuat sesederhana mungkin, tapi mencakup semua yg


diperlukan

• Prosedur lengkap dibuat secara rinci, tetapi untuk pekerja lapangan perlu
dibuat checklist. Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:

1. Kewenangan untuk menggerakkan tim harus dibuat sesederhana


mungkin, jangan bergantung pada pimpinan tertinggi / direktur RS.
Proses pelimpahan wewenang harus dibuat sependek mungkin.

2. Penilaian kapasitas RS jangan hanya berdasar pada jumlah tempat


tidur, supaya tidak terjadi penilaian yg terlalu optimistic.

3. Penyiapan fasilitas dan area yang terencana dengan baik pada


masa pra-bencana. 4. Alur lalu-lintas di area RS dan sekitarnya
dipersiapkan dengan cermat.

5. Penggunaan tanda pengenal utk korban( tagging ) yang jelas.

6. Komunikasi intra RS dengan alternatifnya.

7. Sistim Triase yg sesuai.

8. Penyiapan logistic.

9. Pengamanan untuk korban dan segenap karyawan serta tim


penolong.

10. Menejemen informasi internal maupun eksternal.

11. Prosedur evakuasi RS bila diperlukan.

2.5. BENCANA YANG TERKAIT DIINDONESIA


Banyak bencana yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah gempa bumi.
Gempa bumi merupakan getaran atau getar-getar yang terjadi di permukaan bumi
akibat pelepasan energi dari dalam secara tiba-tiba yang menciptakan gelombang
seismik. Gempa Bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng
Bumi). Frekuensi suatu wilayah, mengacu pada jenis dan ukuran gempa Bumi yang
dialami selama periode waktu. Gempa Bumi diukur dengan menggunakan alat
Seismometer. Moment magnitudo adalah skala yang paling umum di mana gempa
Bumi terjadi untuk seluruh dunia. Skala Rickter adalah skala yang dilaporkan oleh
observatorium seismologi nasional yang diukur pada skala besarnya lokal 5
magnitude.

Hal-hal yang harus diperhatikan ketika gempa bumi terjadi ialah :

1. Berlindung di bawah meja dan tetap tenang

Hal pertama yang harus kamu lakukan begitu merasakan dan mengetahui
telah terjadi gempa bumi adalah berlindung di bawah meja serta melindungi kepala
menggunakan tas atau tangan. Tujuannya adalah menghindari langit-langit
rumah/kantor yang mungkin runtuh saat terjadi guncangan akibat gempa bumi.
Tetap tenang dan tidak perlu mencoba lari ke luar, terutama bila kamu berada jauh
dari pintu, karena sangat berbahaya. Tunggulah hingga gempa mereda, baru
evakuasi dirimu ke tempat terbuka.

2. Gunakan tangga darurat untuk evakuasi

Jika kamu berada di dalam gedung yang tinggi saat gempa, pilih tangga
darurat untuk mengevakuasi diri setelah guncangan berhenti. Hindari menggunakan
lift karena takutnya aliran listrik terputus dan kamu bisa terjebak di sana. Gedung-
gedung perkantoran modern dan pusat perbelanjaan pasti memiliki tangga darurat
yang menghubungkan setiap lantainya. Turuni setiap anak tangga dengan perlahan
dan tidak perlu saling dorong, ya.

3. Menjauhi bangunan tinggi

Begitu kamu berhasil keluar dari rumah atau bangunan saat terjadi gempa
bumi, nih, tetaplah waspada terhadap gempa susulan. Menjauhlah dari bangunan,
pepohonan, serta tiang-tiang tinggi yang mungkin saja rubuh saat kembali terjadi
gempa. Jangan membahayakan keselamatanmu. Kamu juga harus menghindari
daerah tebing atau jurang karena gempa terkadang menimbulkan tanah longsor.
Sebaiknya, sih, kamu segera pergi ke alam terbuka atau tanah lapang saat gempa.

4. Waspadai gempa susulan

Bukan berarti bencana langsung berakhir ketika guncangan akibat gempa


bumi berhenti. Bisa jadi, nih, akan ada gempa susulan yang mengikuti selang
beberapa waktu. Kadang gempa susulan lebih besar dari yang pertama, bahkan jauh
lebih berbahaya karena dapat berpotensi tsunami. Tetap waspada setelah gempa
berakhir, ya. Jangan dulu masuk ke dalam rumah/bangunan sampai peringatan
bahaya sudah dicabut. Untuk mengetahui informasi mengenai peringatan bahaya
tersebut kamu bisa mendengarkan radio atau memantau media sosial. Cari tahu pula
untuk instruksi yang diarahkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana).

5. Memberikan informasi tentang diri kamu

Hal terakhir yang tidak boleh kamu lupakan setelah gempa berakhir adalah
mengabari kondisimu kepada keluarga atau kerabat. Penting bagi mereka untuk
mengetahui kabar terakhirmu supaya tidak panik jika mengetahui kamu berada di
lokasi terjadinya bencana. Hal ini sekaligus dapat membantu mereka untuk
merencanakan tindakan apa yang dapat membantumu segera setelah bencana gempa
bumi berakhir.

Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta


rusaknya berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan
kesehatan masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit paskagempa, fasilitas
air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Petugas
kesehatan bersama dengan masyarakat berperan dalam penanggulangan bencana
gempa, mulai dari sesaat setelah gempa (hari ke-1 hingga hari ke-3), masa tanggap
darurat (hari ke-3 hingga sebulan) serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi (sejak
sebulan paskagempa). Beberapa faktor turut mendukung kelancaran petugas
Puskesmas dalam melakukan tindakan gawat darurat pada saat gempa, termasuk
partisipasi aktif masyarakat dan relawan dalam membantu penanganan korban.
Wewenang pemerintah pusat dalam penanggulangan bencana Pemerintah
pusat mempunyai wewenang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
meliputi: Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan
unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana. Penetapan status dan tingkatan
bencana nasional dan daerah. Penentuan kebijakan kerja sama dalam
penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan atau pihak-pihak
internasional lain. Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang
berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana. Perumusan kebijakan
mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi
kemampuan alam untuk melakukan pemulihan. Pengendalian pengumpulan dan
penyaluran uang atau barang yang berskala nasional.

Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana


meliputi:

a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan


pembangunan nasional;

b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur


kebijakan penanggulangan bencana;

c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;

d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan


negara lain, badan-badan, atau pihakpihak internasional lain;

e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi


sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;

f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya


alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan

g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang


berskala nasional.
BAB III
KESIMPULAN

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan
Peraturan Menteri

Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan


Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yang bertujuan meningkatkan akses dan mutu
Pelayanan kegawatdaruratan dan mempercepat waktu penanganan (respon Time)
korban/ pasien gawat darurat serta menurunkan angka kematian dan Kecacatan.
SPGDT berpedoman pada respon cepat yang menekankan time Saving is life and
limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat, Tenaga kesehatan,
pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi. Di Indonesia SPGDT
atau yang di negara lain disebut EMS (Emergency Medical Services) belum
menunjukkan hasil maksimal, sehingga banyak Dikeluhkan oleh masyarakat ketika
mereka membutuhkan pelayanan kesehatan. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
dapat didefinisikan sebagai upaya atau langkah untuk mengantisipasi bencana
(Purwana, 2013). Oleh sebab itu, kesiapsiagaan tersebut menjadi lebih tepat
diwujudkan sebelum bencana terjadi, meskipun dapat pula dilakukan setelah
terjadinya bencana sebagai bagian dari evaluasi atas bencana yang pernah terjadi.
Tujuan dari kesiapsiagaan menghadapi bencana adalah menumbuhkan
ketangguhan di tengah potensi bencana yang ada, sehingga terdapat kesiapan
apabila bencana terjadi di kemudian hari (Purwana, 2013).

Hal tersebut menunjukkan bahwa kesiapsiagaan menghadapi bencana sangat


penting untuk diwujudkan karena dengan kesiapan, maka akan tumbuh
ketangguhan, sehingga dampak negatif dari bencana diharapkan dapat
diminimalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.bandungkab.go.id/public/uploads/STRUKTUR_ORGANISASI_BPBD_
20131.pdf (diunduh tanggal 15 September 2020 pada pukul 21.00 WIB).
file:///C:/Users/User/Downloads/buku_pedoman_teknis_pkk_ab.pdf (diunduh tanggal
15 September 2020 pada pukul 21.30WIB)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c5b7c7fdf660/tugas-dan-fungsi-
badan-nasional-penanggulangan-bencana-bnpb/ (diunduh tanggal 15 September 2020
pada pukul 21.30 WIB).
http://perpustakaan.bnpb.go.id/index.php?p=show_detail&id=1310 (diunduh tanggal
15 September 2020 pada pukul 21.00).
https://id.123dok.com//document/6qmxdxwy-pedoman-perencanaan-penyiagaan-
bencana-bagi-rumah-sakit.html (diunduh tanggal 15 September 2020 pada pukul
21.30 WIB).

Damayanti, Ika Putri, dkk. 2015. Panduan Lengkap Keterampilan Dasar Kebidanan
II. Yogyakarta: Deepublish.
Khambali. 2017. Manajemen Penanggulangan Bencana. Yogyakarta: ANDI.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/22283/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y

bencana-kesehatan.net › filePDF Hasil web Materi Inti 1: PRINSIP HOSPITAL DISASTER PLAN -
Bencana Kesehatan http://bencana-kesehatan.net

https://www.google.com/amp/s/scalpelscars.wordpress.com/2011/02/17/hospital-disaster-
plan/amp/ (Diunduh Tanggal 15 September 2020 Pada Pukul 15.00WIB).

Anda mungkin juga menyukai