Anda di halaman 1dari 15

1

I. PENDAHULUAN

Depresi dapat mengenai siapa saja, tetapi orang-orang dengan penyakit yang serius
seperti stroke memiliki risiko lebih tinggi. Hubungan antara gejala depresi dan penyakit
serebrovaskuler telah banyak dilaporkan. Perubahan-perubahan psikomotor, gangguan
kognitif dan gejala neurologis fokal merupakan gejala yang sering dijumpai pada depresi
pasca stroke. Seringkali depresi pascastroke kurang mendapat perhatian sehingga mudah
terlewatkan dan tidak terdiagnosis. Penderita stroke, anggota keluarga dan teman-temannya,
bahkan kadang-kadang dokter yang merawatnya dapat salah menafsirkan gejala depresi yang
dianggapnya sebagai suatu reaksi yang timbul karena penderita mendapat serangan stroke.
Padahal, diagnosis dan pengobatan depresi yang baik dapat memberikan keuntungan yang
nyata pada seseorang yang sedang dalam penyembuhan. Pengobatan terhadap depresi dapat
pula mempersingkat proses rehabilitasi dan mempercepat penyembuhan kelainan-kelainan
yang ditimbulkan akibat stroke.
Secara umum, stroke dapat terjadi pada semua kelompok umur. Tetapi tiga perempat
dari peristiwa stroke terjadi pada orang-orang yang sudah berusia 65 tahun atau lebih,
sehingga stroke mengakibatkan timbulnya disabilitas pada orang-orang tua. Dari sekitar
600.000 orang Amerika laki-laki dan perempuan yang menderita stroke untuk pertama
kalinya atau pada rekurensi, 10-27% mengalami depresi berat.
8
Umumnya gejala depresi ini
timbul dalam waktu 1-2 bulan setelah terjadinya stroke. Di antara faktor-faktor yang berperan
terhadap kejadian dan beratnya depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya
riwayat depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke. Penderita-
penderita stroke yang mengalami depresi berat seringkali kurang responsif terhadap upaya
rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan perubahan perilaku atau kepribadian.
2

Tetapi depresi adalah suatu kelainan yang harus dilihat secara terpisah dari stroke, dan harus
ditangani sedini mungkin bahkan ketika penderita sedang menjalani proses rehabilitasi.
8


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

1. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang
mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan,
dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala lainnya yaitu konsentrasi dan
perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa
depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri
atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.
2. Stroke
Stroke yang disebut juga gangguan perdarahan pembuluh darah otak
adalah sindrom gangguan serebri yang bersifat fokal akibat gangguan
sirkulasi otak. Gangguan tersebut akibat penyumbatan lumen pembuluh darah
oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak,
perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan perubahan viskositas
maupun kualitas darah sendiri. Proses ini dapat tidak menimbulkan gejala dan
akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak turun sampai tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak yang disebut ambang aktivitas fungsi
otak
.12

4

Faktor risiko penyakit ini adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus, genetik, obesitas, diet, hiperkolestrolemia,
merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
1,4,11,12
Etiologi Stroke
Ada empat kategori stroke:
1. Trombosis aterosklerotik: sering terjadi akibat interaksi dinamik antara
hipertensi dan aterosklerotik pada dinding pembuluh darah perifer, otak
dan koroner
2. Emboli serebri: stroke dapat disebabkan trombosis dari jantung yang
berjalan ke arteri karotis. Emboli bisa juga akibat plak ateromatosus dalam
karotis atau emboli udara dalam arteri karotis interna.
3. Perdarahan: terjadi pada sekitar 25% penderita sroke. Dapat disebabkan
oleh hipertensi, ruptur arteriovenous malformation (AVM).
4. Lakuna, terjadi pada sekitar 20% kasus. Biasanya terjadi akibat oklusi
arteri serebri yang kecil. Sering terdapat di talamus, ganglia basalis,
kapsula interna dan batang otak.
1

Diagnosis Stroke
Stroke sebagai suatu proses penyumbatan darah otak mempunyai sifat klinik
yang spesifik sebagai berikut:
1. Timbul mendadak
2. Menunjukkan gejala-gejala neurologis kontralateral terhadap pembuluh
yang tersumbat
5

3. Kesadaran dapat menurun terutama jika terjadi perdarahan otak. Pada
stroke iskemik hal ini jarang terjadi.
12

Anamnesis dengan pasien dan keluarga pasien menunjukkan adanya
kelumpuhan anggota sebelah badan, mulut mencong, bicara pelo dan tidak
dapat berkomunikasi dengan baik. Pada pasien stroke sering dijumpai faktor-
faktor risiko yang menyertai misalnya penyakit diabetes, hipertensi dan
penyakit jantung. Gambaran klinik yang sering terdapat pada pasien stroke
adalah defisit neurologis seperti hemiparese, afasia, gangguan kognisis dan
gangguan fungsi sensoris. Selain itu stroke juga dapat menyebabkan gangguan
perilaku dan emosi yang disebabkan oleh lesi di otak atau akibat reaksi
psikologis akibat hendaya dan disabilitasnya.
1

Pegangan klinisi untuk membuat diagnosis stroke masih memiliki
keterbatasan. Sebelum ditemukannya CT Scan ketepatan diagnosis klinis
mengenai stroke hemoragik 65% sedangkan untuk stroke non hemoragik
adalah 57%.

3. Depresi pasca Stroke
Depresi yang terjadi setelah stroke disebut juga sebagai depresi pasca
stroke. Hal ini merupakan konsekuensi yang sering terjadi, dan mempunyai
akibat yang negatif pada masa penyembuhan dari fungsi motorik dan kognitif.
Gangguan depresi mungkin merupakan gangguan emosional yang paling
sering dihubungkan dengan penyakit serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien
stroke mengalami depresi setelah serangan stroke.
1,6

6

Gejala depresi pasca stroke sama dengan gejala depresi fungsional
seperti adanya rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak bertenaga,
sulit konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido, gangguan tidur
pada malam hari dan adanya ide-ide bunuh diri. Sekitar 26 % depresi pasca-
stroke adalah penderita dengan sindrom depresi berat sedang sisanya adalah
dengan sindrom depresi ringan.
1
Suatu penelitian mengatakan bahwa pada pasien pasca stroke yang
mengalami depresi, akan terjadi peningkatan persentase mortalitas, bahkan
pada pasien yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit kronis yang
terlalu banyak dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap
tinggi pada pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis gangguan jiwa
lain akibat stroke.

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi depresi pasca-stroke berkisar antara 11-68%, tergantung dari
seleksi penderita, kriteria diagnostik yang digunakan dan lamanya waktu
pemeriksaan ulang berikutnya (follow-up) setelah terjadinya serangan stroke.
7

Prevalensi yang paling tinggi terdapat sekitar 3-6 bulan pasca-stroke dan tetap
tinggi sampai 1-3 tahun kemudian.
13
Menurut Ghoge dkk angka prevalensi
depresi pasca-stroke adalah 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-
laki.
14




7


C. ETIOLOGI
Walaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak diketahui namun beberapa
penelitian mengatakan lokasi jejas pada otak memegang peranan penting.
Penelitian melaporkan sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi
otak dengan kejadian depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri. Penelitian tersebut
juga menunjukkan adanya tingkat keparahan depresi dengan jauhnya batas
anterior lobus frontalis, walaupun demikian tidak semua lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan depresi pasca-stroke. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
pasien dengan depresi mempunyai riwayat gangguan psikiatrik atau adanya
keluarga yang menderita gangguan psikiatrik. Sebagai tambahan, hubungan
depresi dengan ketidakmampuan fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua
penelitian, sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik tidak ada
hubungannya dengan keparahan depresi.

D. PATOFISIOLOGI
Dalam dua dekade terakhir ini, para peneliti mencoba menemukan korelasi
antara lokasi lesi anatomis dan depresi pasca-stroke. Beberapa peneliti
menyokong teori hubungan lateralisasi dan depresi pasca-stroke, tetapi peneliti
lain menyatakan bahwa interaksi antara keduanya tidak signifikan. Depresi pasca-
stroke mempunya etiologi yang sifatnya multifaktorial dengan komponen reaktif
dan organic.
3,4,14
Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark
otak atau dapat terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidak-berdayaan yang
8

disebabkan oleh stroke. Pengamatan klinis oleh beberapa peneliti menunjukkan
bahwa perilaku emosional dan reaksi katastrofik lebih sering dijumpai pada
penderita-penderita yang mengalami lesi di daerah hemisfer kiri; sedangkan pada
penderita dengan kerusakan hemisfer kanan terdapat pola reaksi indiferen.
Chemerinski dan Robinson melaporkan penderita dengan lesi hemisfer kiri 64%
menunjukkan gangguan depresi ringan sampai berat sedangkan kelainan ini
hanya dijumpai pada 14% penderita dengan lesi hemisfer kanan. Mereka juga
menemukan bahwa atrofi subkortikal berkaitan dengan depresi pasca-stroke.
5,13

Penderita-penderita stroke dengan depresi dan ansietas lebih sering menunjukkan
lesi kortikal (sebelah kiri) dibandingkan dengan kelompok penderita stroke yang
hanya dengan depresi saja. Pada kelompok penderita stroke yang hanya dengan
depresi saja ini lebih banyak ditemukan kerusakan subkortikal, sedangkan
pederita stroke dengan ansietas sering berkaitan dengan lesi hemisfer kanan.
Hal ini dimungkinkan karena emosi dan tingkah laku diatur oleh ganglia basal
dari otak, yaitu system limbik. Aktivitas bagian ini serta aktivitas sistem
neurohormonal akan menimbulkan ekspresi emosional. Limbik berarti batas
yang terdiri dari jaringan kortikal di sekitar hilus dari hemisfer serebri serta terdiri
dari lobus limbicus, kompleks nuclei amygdaloideae, nuclei septalis,
hypothalamus, epithalamus, dan beberapa nuclei thalami. Istilah system limbic
diperluas lagi menjadi semua struktur saraf yang terlibat di dalam emosi dan
dorongan motivasi. Secara filogenetik sistem limbic merupakan bagian dari
korteks yang paling tua. Secara histologis, tersusun atas jaringan korteks yang
primitive disebut allokorteks, yang mengelilingi hilus hemisfer. Selain itu
9

terdapat bentuk transisi dari korteks disebut juxtakorteks yang terletak di antara
allokorteks dan hemisfer serebri. Jaringan kortikal lainnya adalah neokorteks
yang merupakan bagian yang sangat berkembang.
8

Sebaliknya Breg dkk menyatakan bahwa penderita dengan lesi hemisfer kiri
yang memperlihatkan gejala depresi jumlahnya tidak secara bermakna lebih besar
dibanding penderita lainnya.
3


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita pasca-stroke terutama jika
pasien tersebut mengalami afasia. Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan
otot wajah, apatis yang disebabkan lesi pada hemisfer kanan atau adanya aprosodi
akan menyesatkan diagnosis pada stroke. Indikasi yang dapat membantu
diagnosis depresi pada stroke antara lain bila didapatkan perubahan kepribadian
atau mood, kehilangan berat badan dalam waktu singkat, pola tidur yang kacau
dan kemajuan minimal rehabilitasi.
1. Beck Depression Inventory (BDI)
Merupakan suatu skala yang dapat digunakan sebagai alat skreening
pada pasien depresi yang timbul akibat stroke. BDI terdiri dari 21 pertanyaan
yang sering digunakan pada penelitian depresi pasca stroke. BDI mempunyai
cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 80.0, dan spesifisitas 61.4.
Pasien dengan depresi pasca stroke lebih lambat penyembuhan atau
perbaikan fungsi fisik maupun kognitifnya dibandingkan dengan pasien stroke
tanpa depresi. Juga 3 4 kali lebih cepat berakibat fatal dalam kurun waktu
10

10 tahun setelah mengalami stroke. Stroke merupakan suatu stressor
psikososial yang berat bagi penderita maupun pasangannya, yang harus
dihadapi dan diselesaikan dengan baik.
2

2. Dexamethason Suppression Test
Tes ini tidak menunjukkan kegunaan sebagai alat diagnostic yang
meyakinkan. Beberapa penilitian menunjukkan sebuah hubungan secara
statistik antara gangguan depresi pasca-stroke dengan kegagalan untuk
menekan serum kortisol dengan pemberian deksametason namun
spesifisitasnya secara umum tidak terlalu berguna untuk digunakan sebagai
alat diagnostik. Telah dikemukakan pendapat bahwa depresi pasca-stroke
berhubungan dengan hilangnya norepinefrin dan serotonin yang disebabkan
lesi frontal atau ganglia basal.
2

Sebuah studi tentang hormon pertumbuhan (growth hormone)
menemukan bahwa respon hormon secara signifikan menumpul pada pasien
depresi pasca-stroke. Hal ini menunjukkan kehilangan fungsi reseptor
adrenergik 2 merupakan pertanda yang penting untuk depresi pascastroke.
Sensitivitas tes ini 100% dengan spesifisitas 75%.
10

F. TATALAKSANA
1. Psikofarmakoterapi
Pada penderita depresi pasca-stroke dapat diberikan antidepresi. Penderita
dianjurkan untuk memulai terapi dengan dosis kecil terlebih dahulu untuk
meminimalkan efek samping. Penggunaan subterapeutik tidak dianjurkan.
11

Tidak ada satupun jenis antidepresan yang khusus untuk pengobatan depresi
pasca-stroke.
2
Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin berguna juga untuk
menghilangkan gejala pseudobulbar yaitu tertawa dan menangis patologis
yang dikaitkan dengan stroke. Penggunaan golongan trisklik yang juga
mempunyai efek antiaritmia menyebabkan obat antiaritmia lain dapat
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Fluolestine merupakan SSRI dengan efek
antikolinergik ringan yang efektif untuk pasien depresi pasca-stroke karena
kurang menimbulkan kenaikan berat badan, obat-obat ini dapat dipakai oleh
pasien depresi yang gemuk atau ada riwayat penambahan berat badan selama
pemakaian trisiklik.
1

Penderita stroke yang mengalami depresi harus diberikan antidepresan
agar tidak terjadi peningkatan mortalitas akibat stroke ataupun depresi pasca-
strokenya. Terjadi peningkatan mortalitas pada pasien stroke iskemik yang
mengalami depresi. Penggunaan antidepresan telah terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas pasien depresi pasca-stroke.
9,15
Penelitian lain
mengatakan adanya penemuan yang mengejutkan bahwa pada pasien yang
menerima pengobatan aktif dengan antidepresan terdapat kecenderungan
untuk selamat dari penyakitnya. Keuntungan pemakaian antidepresan tetap
siginifikan di atas keadaan lain yang menyertai keadaan stroke seperti usia,
tipe stroke, adanya penyerta diabetes melitus dan gangguan depresif.
15

Terapi elektrokonvulsif bisa diberikan pada penderita depresi pasca-stroke
yang tidak ada komplikasi lainnya. Psikoterapi dan terapi lainnya seperti
12

fisioterapi dan terapi okupasi diberikan bersama-sama dengan terapi
medikamentosa untuk strokenya.
12

2. Psikoterapi
Psikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi kelompok dapat diberikan
kepada pasien stroke dengan emosi.
Psikoterapi I ndividu
Adanya gangguan kognitif, perjalanan penyakit yang kronis, dan perawatan di
rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional sehingga
pasien memerlukan ventilasi, dukungan, perbaikan mekanisme dan mentolerir
terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Terapis dapat
memberikan terapi suportif seperti mengangkat kembali harga diri pasien
yang menurun.
Psikoterapi Keluarga
Adanya hubungan antara fungsi keluarga dengan kesembuhan dari gangguan
emosional pasca-stroke. Kritikan lingkungan atau lingkungan yang sangat
terlibat dapat memperlambat penyembuhan. Perbaikan atau pengurangan
perawatan di rumah sakit tergantung dari kemampuan keluarga untuk
menurunkan ekspresi emosinya. Terapi keluarga merupakan komponen
perencanaan terapi yang komprehensif pada pasien gangguan emosional
pasca-stroke. Tujuan terapi keluarga adalah untuk mengurangi disfungsi
tingkah laku pada anggota keluarga dalam berhubungan dengan pasien.


13

Terapi Kelompok
Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi, mendorong
hubungan interpersonal. Terapi dapat memperbaiki harga diri, orientasi,
tingkah laku, pemecahan masalah, mengurangi depresi dan ansietas. Suatu
terapi kelompok yang efektif ditandai dengan terbentuknya lingkungan
terapeutik yang kohesif dan berkembangnya hubungan yang saling
mendukung, sehingga dapat memberikan kesempatan perbaikan adaptasi
terhadap disabilitas yang sebenarnya dapat menimbulkan gangguan emosi.
1


G. PROGNOSIS
Terdapat beberapa penelitian tentang prognosis pasien depresi pasca-stroke.
Penelitian di rumah sakit tidak menunjukkan prognosis yang baik, tetapi menurut
penelitian komunitas didapatkan perbaikan setelah 1 tahun. Penelitian lain
mengatakan penderita stroke dengan depresi selama 1 tahun akan sulit
mengalami perbaikan.
12
Peningkatan angka kematian pada penderita depresi
pasca-stroke juga berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam rangka
pengobatan untuk keadaan akibat strokenya. Pasien juga terkadang enggan
dalam melakukan upaya promosi kesehatan untuk mencegah terjadinya
keberulangan stroke. Apalagi jika terdapat penyakit penyerta lain seperti diabetes
melitus, pasien biasanya mempunyai kepatuhan yang kurang untuk menerapkan
dietnya dalam rangka mengontrol gula darah sehingga peningkatan gula darah
menjadi tidak terkontrol dan komplikasi kardiovaskuler lebih mudah terjadi.
Dengan demikian prognosis juga menjadi kurang baik.
9

14

Peranan keluarga maupun pengertian dari penderita sendiri mengenai
stroke akan mempengaruhi prognosis, terutama pengertian tentang serangan
stroke yang tiba-tiba dan kondisi penyembuhan yang terjadi sangat lambat
perlu diterima dengan lapang dada oleh penderita dan keluarganya.
Fisioterapi, formal psikoterapi dan terapi kognitif harus direncanakan dengan
baik untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal.
12

15

III. KESIMPULAN

1. Depresi pasca-stroke merupakan kelainan neuropsikologis yang paling sering
dijumpai setelah suatu serangan stroke.
2. Depresi sebagai suatu sindrom sangat sering dijumpai pada pasien pasca-
stroke
3. Penelitian melaporkan hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak
dengan kejadian depresi pasca-stroke pada lesi dihemisfer kiri
4. Pengobatan pasien depresi pasca-stroke dapat dengan cara farmakoterapi yaitu
dengan obat-obatan anti depresan dan juga dengan psikoterapi terhadap
pasien.

Anda mungkin juga menyukai