Anda di halaman 1dari 15

Lansia saat Terjadi Bencana

Lansia merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental,
dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).

Dampak Bencana Pada Lanjut Usia

Kelompok lanjut usia (lansia) terbentuk dari setiap individu yang


dipengaruhi oleh gaya hidup, ciri khas keluarga, sumber daya sosial dan ekonomi,
budaya dan adaptasi, lingkungan, struktur gen, dan sebagainya. Peningkatan usia
akan menurunkan homeostasis, penurunan fungsi berbagai organ tubuh, daya
kesiapan dan daya adaptasi menurun, melemah dan sering sakit karena banyak
stresor akan bermunculan pada saat bencana.Efek dari bencana akan berbeda
tergantung pada level penurunan fungsi tubuh, homeosatits, adaptasi dan
sebagainya.

Lansia selama hidupnya telah memiliki beberapa pengalaman kehilangan.


Bencanapun akan menambah pengalaman kehilangan. Respon dari lansia ada
beberapa hal yang sama dengan anak, yakni menjadi emosional, mengasingkan
diri, bertindak seakan-akan kembali ke masa kanak-kanak. Respon pada saat
kejadian pun beraneka ragam seperti kegelisahan dan ketakutan baik yang disadari
maupun tidak disadari.
Lansia juga mengalami kesendirian dalam menjalani kehidupan sehari-hari
karena sudah kehilangan pasangan atau berpisah dari anak/cucu yang sudah
menikah dan memiliki kehidupan rumah tangga sendiri. Dilihat dari kartu
keluarga yang ada di Jepang, jumlah lansia yang menjadi kepala keluarga sekitar
20% dari seluruh kepala keluarga.Struktur seperti ini mempersulit perolehan
keamanan dan bantuan (support) dari orang-orang yang dekat.

Jika melihat sisi ekonomi, penyokong nafkah lansia adalah lansia itu
sendiri, dan banyak yang hidup dari uang pensiunan. Kehilangan rumah dan harta
akan mengakibatkan kehilangan harapan untuk membangkitkan kehidupan dan
harapan untuk masa depan.

 Dampak bencana berdasarkan penggolongan sebagai berikut:


a. Masalah Perilaku
1) Menarik diri dan memisahkan diri dari lingkungan social.
2) Keterbatasan mobilitas
3) Masalah-masalah penyesuaian diri pada tempat baru
4) Menghindari aktivitas atau tempat yang dapat memicu
ingatan terhadap bencana
5) Ketidakmampuan untuk merelakan/menerima apa yang
telah terjadi
b. Masalah Fisik
Pertambahan usia adalah normal, dan fungsi fisiologis menurun secara
perlahan-lahan. Namun demikian, derajat tersebut tidak smadan terdapat
perbedaan anatara setiap individu. Oleh karena itu, pengaruh dari
bencana terhadap lansia pun beragam sesuai dengan fungsi fisiologis
yang dimiliki oleh setiap individu.
1) Bertambah parahnya penyakit-penyakit kronis
2) Gangguan tidur
3) Gangguan-gangguan ingatan
4) Simptom-simptom somatis
5) Lebih sensitif terhadap hypo- dan hyperthermia (suhu
badan yang abnormal)
6) Keterbatasan sensoris dan fisik (penglihatan, pendengaran)
dapat mengganggu proses penyembuhan
7) Kelelahan
8) Meningkatnya tekanan darah dan jantung berdebar
c. Masalah Emosional dan Psikologis
Lansia telah memiliki beberapa pengalaman kehilangan. Bettis
mengatakan bahwa pada proses menua terdapat dua proses, yakni proses
yang memungkinkan beradaptasi diri pada kehilangan dan proses yang
membuat yang bersangkutan sulit mengadaptasikan diri pada kehilangan.
1) Khawatir akan keselamatan
2) Kekecewaan/kesedihan yang mendalam akibat kehilangan
3) Hilang semangat dan simpati
4) Bingung, disorientasi
5) Rasa curiga
6) Mudah tersinggung, marah
7) Kecemasan pada lingkungan yang tidak dikenal
( lingkungan baru )
8) Mimpi buruk
9) Rasa percaya diri yang rendah
10) Depresi

Penanganan Berdasarkan Kebutuhan pada Kelompok Lansia


Menurut Japanese Red Cross Society dan PMI (2009) penanganan kebutuhan
berdasarkan kebutuhan pada kelompok lansia adalah:

1. Penanganan pada kelompok lansia


 Ciri khas lansia dan bencana
Kelompok lansia terbentuk dari setiap individu dengan dipengaruhi
sejumlah unsur, seperti gaya hidup, ciri khas, keluarga, sumber daya
sosial dan ekonomi, budaya dan adaptasi, lingkungan, struktur gen, dan
sebagianya.
 Ciri khas fisik dan bencana
Peningkatan usia adalah sebuah proses yang normal dan fungsi
fisiologis menurun secara perlahan-lahan. Pengaruh dari bencana
terhadap lansia beragam sesuai dengan fungsi fisiologis yang dimiliki
oleh setiap individu. Ciri khas fisik yang disebabkan oleh peningkatan
usia adalah:
(a) Penurunan hemostatis. Hemostatis adalah sebuah fungsi
untuk mengendalikan dan mempertahankan kondisi dalam tubuh
dengan menggunakan segala daya tahan, daya kesiapan, dan daya
adaptasi pada saat adanya tekanan dari luar (stresor) yang
beraneka ragam. Ketika stresor lansia besar seperti bencana
misalnya, maka daya kesiapan dan daya adaptasi menurun dan
melemah secara drastis. Karena banyak stresor akan bermunculan
pada saat bencana maka diperlukan menghilangkan atau
mengurangi stresor dan mempertahnkan fungsi fisik lansia.
(b) Penurunan fungsi organ. Efek dari bencana akan berbeda
tergantung pada level penurunan fungsi, lansia akan dipersulit
oleh adaptasi yang tidak atau kurang berfungsi. Kurangnya
perhatian pada lansia dalam penanganan daruratpun menjadi
penyebab utama terjadinya tidak dapat beradaptasi, sehingga
menghilangkan kemandirian fisik dari lansia dan mengakibatkan
penurunan fungsi tubuh.

 Ciri khas mental dan bencana


Bencana akan menjadi pengalam kehilangan bagi lansia. Menurut
Bettis bahwa ada proses menua terdapat dua proses yakni proses yang
memungkinkan beradaptasi diri pada kehilangan dan proses yang
membuat yang bersangkutan sulit beradaptasi diri pada kehilangan.
Sootoka berpendapat bahwa lansia merespons pada keadaan kerugian
dengan baik, maka pada kehilangan keluarga lansia memperlihatkan
pemulihan daripada usia yang lebih muda. Identifikasi, menggali dan
mengetahui kondisi mental seperti kegelisahan dan ketakutan pada
lansia.

 Ciri khas sosial dan bencana


Ada beberapa struktur keluarga yang mempersulit lansia memperoleh
keamanan dan bantuan (support) dari orang-orang terdekat. Jika
melihat dari sisi ekonomi, penyokong nafkah lansia kebanyakan
adalah lansia itu sendiri yaitu bertahan menggunakan upah pensiunan.
Kehilangan rumah dan harta akan mengakibatkan kehilangan harapan
untuk membangkitkan kehidupan dan harapan untuk masa depan.

2. Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa pasca akut
a. Perawatan didalam siklus bencana
1) Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa akut
Perioritas pada saat bencana adalah memindahkan lansia ketempat
yang aman. Lansia sulit memperoleh informasi karena penurunan
pada pendengaran maupun penglihatan. Lansia cenderung memiliki
rasa cinta yang dalam pada tanah dan rumahnya, maka tindakan untuk
mengungsi cenderung terlambat. Oleh karena itu penting bagi perawat
untuk mengetahui keberadaan lansia dan kondisi fisik mereka sebelum
melakukan tindakan penyelamatan lansia agar evakuasi dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat pada saat bencana. Segera dilakukan
triase, treatment, dan transportation dengan cepat dapat menuragi
komplikasi pada lansia mengingat struktur dan fungsi orga lansia
yang sudah mengalami penurunan.
2) Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa pasca
akut
a) Lansia dan perawatan pada pengungsian
Perubahan lingkungan hidup ditempat pengungsian membawa
berbagai efek pada lansia
(1) Perubahan lingkungan dan adaptasi
Lansia adalah objek yang relatif mudah dipengaruhi oleh
lingkungan. Jika kebutuhan dari lingkungan melebihi daya
adaptasi yang dimiliki lansia maka terjadilah ketidakcocokan
(unfit) dan keadaan tersebut bisa memunculkan perasaan
yang negatif. Perubahan lingkungan pasca bencanadapat
membawa beban pearasaan, gangguan tidur dan gangguan
ingatan sebagai gangguan fungsi otak sementara. Identifikasi
demensia dan penanganan yang tepat melalui pengkjian
fungsi kognitif dan perilaku. Perlunya menata lingkungan
yang mudah untuk lansia beradaptasi melalui analisis
keadaan lingkungan dengan menerapkan pengetahuan
keperawatan dan mngetahui pengaruh pada kemandirian dan
fungsi organ lansia.
(2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit
sekunder
Dalam memanajemen penyakit dan pencegahan penyakit
sekunder pada lansia penting adanya pemanfaatan
keterampilan keperawatan dasar seperti observasi,
pengukuran dan mendengarkan. Selain itu harus berusaha
untuk memulai pemeriksaan kesehatan dan konsultasi
kesehatan secepat mungkin untuk mengidentifikasi keadaaan
dan kebutuhan kesehatan lansia serta memungkinkan untuk
menemukan penyait baru. Penting mempertimbangkan
pengobatan dan manajemen penyakit kronis dan memantau
metode pengobatan.
(3) Mental care
Sangat penting adanya upaya untuk memahami ciri khas
lansia yang tampak kontradiksi, mendengarkan apa yang
lansia ceritakan, membantu lansia mengekspresikan
perrasaannya sehingga diharpkan dapat meringankan stres.
Secott menjelaskan kemungkinan akan memperkuat reaksi
stres dari interaksi antara individu dan lingkungan.
Olehkarena itu penting mengatasi berbagai penyebab seperti
permasalahan lingkungan hidup yang akan memperburuk
stres dan perlu memperhatikan gejala stres.

3. Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa kronis


Terdapat 2 kelompok lansia pada fase ini yaitu :
a. Lansia dan perawatan pada kehidupan dirumah sendiri
Memberikan informasi mengenai relawan terutama pada keluarga yang
memiliki lansia diaman keluarga tersebut memrlukan bantuan orang lain.
Selain itu diperlukan koordinasi agar relawan dapat beraktivitas
membantu lansia. Mengidentifikasi keadaan dan kesehatan lansia,
mempertimbangkan perlu atau tidaknya bantuan dan memfasilitasi lansia
dan memberikan sosial support.

b. Lansia dan perawatan pemukiman sementara


1) Perubahan lingkungan dan adaptasi
Lansia yang masuk ke pemukiman semnetara terpaksa harus
mengadaptasikan atau harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan
baru. Jika komunitasnya berubah lansia akan kehilangan bantuan
dari orang terdekat atau yang ia kenal, dan sulit menciptakan
hubungan yang baru, maka mudah beubah menjadi pergaulan yang
dangkal, menyendiri dan terisolasi. Selain itu perlu diperhatikan
bahwa kematian karena kecelakaan dapat disebabkan oleh
pemukiman sementara itu sendiri.
Diperlukan pengkajian lingkungan dari sudut pandang keperawatan
dengan mengingat ciri khas lansia lalu melaksanan intervensi seperti
mengusulkan pemanfaatan peralatan kesejahteraan dan perbaikan
rumah sesuai dengan keadaan masing-masing lansia.
2) Manajemen diri sendiri pada penyakit
Dalam hal ini penting sekali memberikan informasi mengenai sarana
medis terdekat dan membantu untuk membangun hubungan dengan
dokter agar proses pengobatan berjalan lancar. Selain itu diperlukan
pula adanya pendidikan kesehatan untuk melengkapi daya dan upaya
untuk mempertahankan kesehatan dengan diri sendiri.

c. Mental care
Kegelisahan nyata seperti kehilngan fondasi kehidupan dan masalah
ekonomi serta masalah rumah untuk masa depan akan muncul sebagai
masalah realistis. Selain itu tekanan mental/stres dari pengalaman yang
menakutkan dari bencana, pengalaman kehilangan rumah dan tanah,
kelelahan fisik dan mental karena kehidupan ditempat pengungsian yang
berlanjut lama, dan perubahan lingkungan dengan pindah rumah, maka
dapat menyebabkan depresi pada lansia dengan semua masalah yang ada.
Pada fase ini diperlukan upaya berkelanjutan untuk mendengarkan
pengalaman dan perasaan dari lansia sebagai bantuan upaya fisik dan
mental agar lansia tersebut dapat beristirahat dengan baik. Perlu juga
adanyan pendekatan pada lansia yang ssering menyendiri atau bertambah
konsumsi rokok dan minuman keras untuk didorong berpartisipasi pada
kegiatan yang lebih produktif, misalnya jalan-jalan dan sebagainya.

4. Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa rehabilitasi


a. Rekontruksi kehidupan
Pemukiman rekontruksi memiliki keunggulan disisi keamanan dan
lingkungan dalam rumah yang dapat meningkatkan kualitas tidur atau
istirahat lansia. Keadaan ekonomi lansia tidak hanya secara langsung
mempengaruhi mutu kehidupan, tetapi juga bisa mengakibatkan
penurunan fungsi fisk, memperburuk penyakit dan memunculkan
penyakit baru. Diperlukan melihat penanganan dari pemerintah seperti
keringanan dalam biaya sewa dan memberikan bimbingan kehidupan
tepat yang sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebiasaan hidup dari
lansia.
b. Mental care.
Stres terbesar bagi lansia pada saat bencana adalah kematian keluarga
dan saudara. Ikeda mengatakan bahwa peranan keluarga sangat penting
bagi lansia karena masalahkesehatan paling banyak adalah stres
mengenai kehidupan. Selain itu menurut penelitian penurunan self-care
lansia seperti kontrol penyakit dan gejala , tindakan untuk mengikuti
pemeriksaan dan minum obat upaya untuk kesehatan dan penanganan
stres, sejumlah dukungan seperti dorongan mental dan penanganan dari
orang terdekat, agama harapankepada kehidupan masa depan dan
pemanfaatan pelayanan kesejjahteraan menjadi penyebab utama untuk
meningkatkan self-care.

5. Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa persiapan


a. Rekontruksi komunitas
Diperlukan penyusunan perencanaan bantuan pengungsian yang konkret
dan bekerja sama dengan komunitas untuk mengetahui lokasi dimana
lansia berada, menetukan orang yang membantu pengungsian,
mendirikan jalur penyampaian informasi, menentukan isi dari bantuan
yang dibutuhkan secara konkret berdasarkan keadaan fisik masing-
masing sebagai kesiapsiagaan pada bencana.
b. Persiapan untuk memanfaatkan tempat pengungsian kesejahteraan
Adanya peraturan mengenai penempatan “tempat pengungsian
kesejahteraan (tempat pengungsian sekunder). Hal bermaksud untuk
memanfaatkan saranayang sudah ada perhatian khusus seperti Pusat
Kesejahteraaan Lansia dan Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi orang-orang
yang membutuhkan perawatan jika UU penyelamatan bencana
diterapkan. Pemanfaatan seperti ini belum pernah ada, namun diperlukan
menginspeksi lingkungan tempat pengungsia kesejahteraan dari
pandangan keperawatan lansia agar sarana-sarana tersebut bisa segera
dimanfaatkan jika terjadi bencana. Selain itu diperlukan upaya untuk
menyusun perancanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan
keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat akan
tercapai.

Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia


 Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan
penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya,
dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut
kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga
mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan
pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)

 Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon
pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa.

 Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia,
diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan
kegiatan-kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati
dan interaksi orang muda dan lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator
dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi
fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia,
tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan
kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan
generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu
yang singkat
5) Mental Care
Lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh
stressor. Namun demikian, lansia itu berkecenderungan sabar
dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.

Penanganan Gizi Pada Kelompok Lansia


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak (2012) menjelaskan bahwa Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) merupakan penanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana.
Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kementerian Kesehatan
merupakan unsur dari BNPB dalam penanggulangan masalah kesehatan dan gizi
akibat bencana. Pengelola kegiatan gizi Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota merupakan bagian dari tim penanggulangan masalah kesehatan
akibat bencana yang dikoordinasikan PPKK, PPKK Regional dan Sub regional,
Dinas Kesehatan Provinsi serta Kabupaten dan Kota. Penanganan gizi pada situasi
bencana melibatkan lintas program dan lintas sektor termasuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) nasional maupun internasional.

Dalam pelaksanaannya, upaya penanganan gizi dalam situasi bencana


merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana
(pra bencana), pada situasi bencana yang meliputi tahap tanggap darurat awal,
tahap tanggap darurat lanjut dan pasca bencana. Kegiatan penanganan gizi pada
tahap tanggap darurat awal adalah kegiatan pemberian makanan agar pengungsi
tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya, sementara penanganan
kegiatan gizi pada tahap tanggap darurat lanjut adalah untuk menanggulangi
masalah gizi melalui intervensi sesuai masalah gizi yang ada.

Kegiatan penanganan gizi pada situasi bencana perlu dikoordinasikan agar


efektif dan efisien, antara lain sebagai berikut:

a. Penghitungan kebutuhan ransum.


b. Penyusunan menu 2.100 kkal, 50 g protein dan 40 g lemak.
c. Penyusunan menu untuk kelompok rentan dan berisiko.
d. Pendampingan penyelenggaraan makanan sejak dari
persiapan sampai pendistribusian.
e. Pengawasan logistik bantuan bahan makanan.
f. Pelaksanaan surveilans gizi untuk memantau keadaan gizi
pengungsi.
g. Pelaksanaan tindak lanjut atau respon sesuai hasil
surveilans gizi.
h. Pelaksanaan konseling gizi.
i. Suplementasi zat gizi mikro.

Lansia merupakan salah satu kelompok rentan yang masih seringkali


terabaikan. Padahal faktor–faktor risiko gizi yang mengurangi akses lansia ke
makanan karena proses menua termasuk penyakit dan kecacatan, stress psikologis,
serta keadaan darurat justru membutuhkan perhatian khusus dalam pemberian
makanannya. Dengan demikian, angka rata-rata dalam pemberian jatah umum
perlu mempertimbangkan kebutuhan gizi bagi lansia ditambah perhatian khusus
dalam perawatan mereka. Secara lebih rinci, prinsip dalam pemberian makan bagi
lansia dalam keadaan darurat adalah sebagai berikut:

a. Lansia harus mampu mengakses sumber-sumber pangan termasuk


bantuan pangan dengan lebih mudah.
b. Makanan disesuaikan dengan kondisi lansia serta mudah disiapkan
dan dikonsumsi/ makanan dalam porsi kecil tetapi padat gizi dan
mudah dicerna.
c. Makanan yang diberikan pada lansia harus memenuhi kebutuhan
protein tambahan serta vitamin dan mineral.
d. Dalam pemberian makanan pada usia lanjut harus memperhatikan
faktor psikologis dan fisiologis agar makanan yang disajikan dapat
dihabiskan.
e. Dalam kondisi tertentu, kelompok usia lanjut dapat diberikan
bubur atau biskuit.

Prinsip Menangani Lansia


Secara umum dalam menangani lansia, professional maupun relawan
harus memahami prinsip-prinsip berikut :

1. Berikan keyakinan yang positif secara verbal dan berulang-ulang

2. Dampingi dalam pemulihan fisik, buat kunjungan-kunjungan secara


berkala, atur untuk pertemuan-pertemuan.
3. Berikan perhatian yang special untuk mendapatkan kenyamanan pada
lokasi penampungan, idealnya tempatkan pada lingkungan yang ia kenali
(misalnya tetangga atau keluarga yang selamat)

4. Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga maupun


lingkungan social lainnya

5. Dampingi untuk mendapatkan pengobatan dan bantuan keuangan

Referensi :

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar III:


Keperawatan Bencana pada Lansia. Jakarta : Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.

Japanese Red Cross Society. 2009. Keperawatan Bencana. Banda Aceh :


Kerjasama Palang Merah Jepang - Palang Merah Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi dan


Kesehatan Ibu dan Anak. 2012. Pedoman Kegiatan Gizi dalam
Penanggulangan Bencana. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report
2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai