Lansia merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental,
dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).
Jika melihat sisi ekonomi, penyokong nafkah lansia adalah lansia itu
sendiri, dan banyak yang hidup dari uang pensiunan. Kehilangan rumah dan harta
akan mengakibatkan kehilangan harapan untuk membangkitkan kehidupan dan
harapan untuk masa depan.
2. Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa pasca akut
a. Perawatan didalam siklus bencana
1) Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa akut
Perioritas pada saat bencana adalah memindahkan lansia ketempat
yang aman. Lansia sulit memperoleh informasi karena penurunan
pada pendengaran maupun penglihatan. Lansia cenderung memiliki
rasa cinta yang dalam pada tanah dan rumahnya, maka tindakan untuk
mengungsi cenderung terlambat. Oleh karena itu penting bagi perawat
untuk mengetahui keberadaan lansia dan kondisi fisik mereka sebelum
melakukan tindakan penyelamatan lansia agar evakuasi dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat pada saat bencana. Segera dilakukan
triase, treatment, dan transportation dengan cepat dapat menuragi
komplikasi pada lansia mengingat struktur dan fungsi orga lansia
yang sudah mengalami penurunan.
2) Lansia dan perawatan dalam keadaan bencana pada masa pasca
akut
a) Lansia dan perawatan pada pengungsian
Perubahan lingkungan hidup ditempat pengungsian membawa
berbagai efek pada lansia
(1) Perubahan lingkungan dan adaptasi
Lansia adalah objek yang relatif mudah dipengaruhi oleh
lingkungan. Jika kebutuhan dari lingkungan melebihi daya
adaptasi yang dimiliki lansia maka terjadilah ketidakcocokan
(unfit) dan keadaan tersebut bisa memunculkan perasaan
yang negatif. Perubahan lingkungan pasca bencanadapat
membawa beban pearasaan, gangguan tidur dan gangguan
ingatan sebagai gangguan fungsi otak sementara. Identifikasi
demensia dan penanganan yang tepat melalui pengkjian
fungsi kognitif dan perilaku. Perlunya menata lingkungan
yang mudah untuk lansia beradaptasi melalui analisis
keadaan lingkungan dengan menerapkan pengetahuan
keperawatan dan mngetahui pengaruh pada kemandirian dan
fungsi organ lansia.
(2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit
sekunder
Dalam memanajemen penyakit dan pencegahan penyakit
sekunder pada lansia penting adanya pemanfaatan
keterampilan keperawatan dasar seperti observasi,
pengukuran dan mendengarkan. Selain itu harus berusaha
untuk memulai pemeriksaan kesehatan dan konsultasi
kesehatan secepat mungkin untuk mengidentifikasi keadaaan
dan kebutuhan kesehatan lansia serta memungkinkan untuk
menemukan penyait baru. Penting mempertimbangkan
pengobatan dan manajemen penyakit kronis dan memantau
metode pengobatan.
(3) Mental care
Sangat penting adanya upaya untuk memahami ciri khas
lansia yang tampak kontradiksi, mendengarkan apa yang
lansia ceritakan, membantu lansia mengekspresikan
perrasaannya sehingga diharpkan dapat meringankan stres.
Secott menjelaskan kemungkinan akan memperkuat reaksi
stres dari interaksi antara individu dan lingkungan.
Olehkarena itu penting mengatasi berbagai penyebab seperti
permasalahan lingkungan hidup yang akan memperburuk
stres dan perlu memperhatikan gejala stres.
c. Mental care
Kegelisahan nyata seperti kehilngan fondasi kehidupan dan masalah
ekonomi serta masalah rumah untuk masa depan akan muncul sebagai
masalah realistis. Selain itu tekanan mental/stres dari pengalaman yang
menakutkan dari bencana, pengalaman kehilangan rumah dan tanah,
kelelahan fisik dan mental karena kehidupan ditempat pengungsian yang
berlanjut lama, dan perubahan lingkungan dengan pindah rumah, maka
dapat menyebabkan depresi pada lansia dengan semua masalah yang ada.
Pada fase ini diperlukan upaya berkelanjutan untuk mendengarkan
pengalaman dan perasaan dari lansia sebagai bantuan upaya fisik dan
mental agar lansia tersebut dapat beristirahat dengan baik. Perlu juga
adanyan pendekatan pada lansia yang ssering menyendiri atau bertambah
konsumsi rokok dan minuman keras untuk didorong berpartisipasi pada
kegiatan yang lebih produktif, misalnya jalan-jalan dan sebagainya.
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan
risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma
pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari
trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon
pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa.
Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia,
diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan
kegiatan-kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati
dan interaksi orang muda dan lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator
dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi
fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia,
tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan
kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan
generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu
yang singkat
5) Mental Care
Lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh
stressor. Namun demikian, lansia itu berkecenderungan sabar
dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.
Referensi :
Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report
2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge,
UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.