Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Dalam rangka kegiatan belajar terarah, dilaksanakan sebuah program based
learning. Pada kegiatan ini, mahasiswa diarahkan untuk memperdalam bahan yang
dipelajarinya dalam bentuk pembahasan suatu kasus. Oleh sebab itulah makalah ini
dibuat untuk menunjang proses belajar mahasiswa.

1.2 Tujuan
Makalah ini dibuat untuk membahas sejumlah bahan maupun bagian yang perlu
diperhatikan lebih dalam dari kasus yang diberikan, yaitu DBD.

1
BAB II

ISI

2.1 Identifikasi istilah

 Somnolen : keadaan mengantuk yang berlebihan.


 Myalgia : nyeri pada otot
 Akral :berkenaan dengan ekstremitas atau apeks.

2.2 Rumusan masalah

 pasien demam terus menerus sejak 5 hari disertai mual dan myalgia,mimisan,
kesadaran pasien somnolen.
 TD= 60 per palpasi. Nadi sangat lemah dan cepat. Fremitus taktil pada paru kanan
melemah dan terdengar redup saat diperkusi. Akral lembab dan dingin.
 Hb = 16 g/dl, Ht = 54%, leukosit 4000/µl, trombosit = 40000/µl

2.3 Analisi masalah

anamnesis

- Fisik
pemeriksaan
- laboratorium

Demam terus
menerus sejak Epidemiologi,etiologi,patofisiologi,gejala
5 hari dan klinis,komplikasi,prognosis,penatalaksanaan
penurunan
kesadaran
dan mimisan. - DBD
- Demam tifoid
DD - leptospirosis

diagnosis
wD DSS

2
2.4 Hipotesis

Pasien demam terus menerus , kesadaran menurun disertai mimisan menderita DSS.

2.5 Sasaran pembelajaran

 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik dan laboratorium
 DBD
 Demam tifoid
 leptospirosis

2.6 Belajar mandiri

Anamnesis

Langkah dasar yang harus kita lakukan adalah anamnesis,dari anamnesis dapat kita
ketahui langkah berikut yang akan dilakukan.

1. Identitas pasien
 Nama lengkap  Jenis kelamin
 Tempat /tanggal lahir  Umur
 Status perkawinan  Agama
 Pekerjaan  Suku bangsa
 Alamat  pendidikan
2. keluhan utama
dalam kasus ini adalah penurunan kesadaran dan demam.
 Sejakn kapan mulai panas dan penurunan kesadaran
3. riwayat penyakit sekarang
 perjalanan riwayat panas( tiba-tiba atau mendadak)
 sifat panas (terus menerus , periodic)
 intensitas (panas sekali ,hangat), serangan panas(terutama malam/
menetap sepanjang hari)

3
 keluhan –keluhan lain : nyeri kepala,nyeri otot,kulit merah-
merah.diare.muntah.
4. riwayat penyakit dahulu
 pernah dirawat dirumah sakit.
5. riwayat kesehatan keluarga
6. riwayat penyakit menahun keluarga
 alergi  jantung
 asma  ginjal
 tuberculosis  lambung
 arthritis  DM
 rematisme  Penyakit liver
 hipertensi  Stroke1

Demam berdarah dengue


1. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam
genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falivivrus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat ranati tunggal dengan berat molekul
4 x 106.
Terdapat 4 serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang dapat
menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotip tersebut ditemukan di
Indonesia, dengan DEN-3 merupakan serotip terbanyak.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan maamlia
seperti tikus, kelinci, anjing dan kelelawar. Penelitian etrhadap artropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus aedes
(stegomyia) dan toxorhynchites.

2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik dan
Karibia. Indonesia merupakan wilaayh endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air.
4
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A.aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih.
Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan trasmisi virus dengue
yaitu :
1. Vector : perkembang biakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan
vector di lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain.
2. Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.
3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.1

3. Prognosis
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, Kematian
dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi
pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh
sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih.
Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada
sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.

4. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam
berdarah. Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau
mengurangi vektor nyamuk demam berdarah.
Virus dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Cara mencegah demam berdarah dengue yang efektif adalah
pengendalian vektor penyakit yaitu nyamuk Aedes agypti dengan jalan :

5
1. fogging, atau pengasapan insektisida. Cara ini memiliki kekurangan karena
hanya dapat memberantas nyamuk dewasa, bukan larva; hanya memiliki
jangkauan 100-200 m dari pusat pengasapan serta adanya kecenderungan
nyamuk mengalami kekebalan terhadap insektisida.
2. pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan selambu, atau obat-obat
yang dioleskan ke kulit. Beberapa tanaman seperti zodia, geranium dan
lavender ternyata disebutkan dapat mencegah gigitan nyamuk.
3. pemberian obat-obatan pembasmi larva,seperti abate, pada tempat
penampungan air
4. pemberantasan sarang nyamuk, seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah
melalui program 3 M : menguras bak air, menutup tempat yang mungkin
menjadi sarang berkembang biak nyamuk, mengubur barang-barang bekas
yang bisa menampung air. Cara ini menurut beberapa penelitian adalah cara
yang paling efektif, namun paling sulit untuk dilakukan karena membutuhkan
peran serta seluruh masyarakat.

5. Patofisiologi
Terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam
terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD ialah :
1. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue
berperan mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
2. Limfosit T baik T-helper dan T sitotoksik berperan dalam respon imun
selulerterhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody. Namun proses fagositosis ini meyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.

6
4. Selain itu aktivitas komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivaasi T
helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma.
Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF, IL-6 dan histamine yang
mengakibatkan terjadnya disfungsi sel endotel dan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekkan masa hidup trombosit
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
trjadi peningkatan proses hematopoisis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan
kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit2-
4.

6. Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan darrah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adamya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR, namun karena tes ini rumit,

7
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibody total, IgM dan IgG.1
Parameter laboratories yang diperiksa antara lain :
1. Leukosit : normal atau menurun
2. Trombosit : umunya ada trombositopenia pada hari ke 3-8
3. Hematokrit : kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umunya dimulai
pada hari ke-3 demam.
4. Hemostatis : dilakuakn pemeriksaan PT, fibrinogen atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
5. Protein/albumin : dapat terjadi hipoproteinimia akibat kebocoran plasma.
6. SGOT/SGPT : dapat meningkat
7. IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
8. IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke -2.

Manifestasi klinis
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan
tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
adekuat.
Demam dengue (DD). Merupakan penyakit akut selama 2-7 hari,ditandai
dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :
 Nyeri kepala
 Nyeri retro-orbital
 Mialgia
 Ruam kulit
 Manifestasi perdarahan

8
 Leukoponia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan
pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang
sama.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO 1997 diagnosis
DBD ditegakkan bila terdapat criteria :
 Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari. Biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan :
o Uji bending positif
o Petekie, ekimosis atau purpura
o Perdarahan mukosa
o Hematemesis
 Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000)
 Terdapat minimal satu tanda – tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
o Peningkatan Ht > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin.
o Penurunan Ht > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibaningkan
dengan nilai Ht sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, aites atau
hipoprotenemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama anatara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Syndrome syok dengue. Seluruh criteria di atas untuk DBD disertai
kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah
turun (≤ 20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan
lembab serta gelisah.
7. Penatalaksanaan
Penyusun protocol penatalaksaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan criteria:
b. Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
atas indikasi.
c. Praktis dalam pelaksanaannya
d. Mempertimbangkan cost effectiveness :

9
 Protocol 1
Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
Protocol 1 dapat digunakan sbagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama penderita DBD atau yang diduga DBD.
Seseorang yang tersangka menderita DBD dilakukan
hemoglobin,hematokrit dan trombosit bila :
a. Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 -
150.000.
b. Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
c. Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat.
 Protocol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan, massif dan
tanpa syok maka diruang gawat darurat diberikan cairan infuse
kristaaloid.
 Protocol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Menunjukkan bahwa tubuh mengalami deficit cairan sebanyak 5%.
Pada keadaan ini terapi awal pemeberian cairan adalah dengan
memberikan infuse cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda – tanda Ht turun, frekuensi nadi
turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat makan julah
cairan infuse dikurangi ,menjadi 5ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi
3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan

10
nadi meningkat, keadaan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin
menurun, maka kita harus naikkanjumlah cairan infuse menjadi 10
mm/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 5ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam tetapi
bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infuse
dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda – tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindrom syok
dengue pada dewasa.
 Protocol 4
Penatalaksaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah
perdrahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna, perdarahan
saluran kencing, perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah peprdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti
ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD
tanpa syok yang lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb,
Ht dan thrombosis serta homeostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories
didapatkan tanda – tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID).
Transfuse komponen darah diberikan sesuai indikasi. PRC diberikan
bila Hb kurang dari 10 g/dl. Transfuse trombosit hanya diberikan pada
pasin DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

 Protocol 5

11
Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa
Bila kita mendapat pasien dengan sindrom syok dengue (SSD) maka
pilihan utama yang harus diberikan adalah cairan kristaloid. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan lian yang harus dilakukan adalah pemriksaan darah
perifer lengkap (DPL), hemostatis, analisis gas darah, kadar natrium,
kalium dan klorida serta ureum dan kreatinin.2

Demam Tifoid

1. Etiologi
Etiologi dari demam tifoid adalah Salmonella typhii.1 Sedangkan paratiroid
disebakan oleh organism yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis,
yaitu S.enteritidis bioserotipe paratyphi A, S.enteritidis bioserotip paratyphi B,
S.enteritidis biserotip paratifi C. kuman – kuman ini lebih dikenal dengan nama
S.paratyphi A, S.schottumuelleri dan S.hirscfeldii.

2. Epidemiologi
Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemis., lebih bersifat sporadic,
berpencar – pencar di suatu daerah dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada
orang – orang serumah. Di Indonesia penyakit ini ditemukan sepanjang tahun
insidens tertinggi pada penularan Salmonella typhii, yaitu pasien dengan demam
tifoid den lebih sering pasien karier. Insidens demam tifoid bervarisasi di setiap
daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Perbedaan insidens di
perkotaan berhubungan erat denganpenyediaan air bersih yang belum memadai
serta sanitasi lingkungan serta pembuangan sampah yang kirang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.

12
Di daerah endemic, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhii,
sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan
tersering di daerah nonendemik.

3. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhii (S.typhii)ndan Salmonella parathypii
(S.parathypii) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imun itas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik makan kuman akan menembus sel – sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Dilamina propia kuman
berkembanjg biak dan difagosit oleh sel – sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapt di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama
yang aimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelia tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ – organ ini kuman meninggalkan sel – sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi. Mengakibatkan bakteremia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda – tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S.typhii intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

13
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah seitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel – sel mononuclear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi se[erti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapsan
dan gangguan organ lainnya.1

4. Pencegahan
a. Preventif dan control penularan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kasuk luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman S.typhii sebagai agen penyakit dan factor pejamu serta factor
lingkungan.
b. Identifikasi dan eradikasi S.typhii pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan
akut.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhii ini cukup
sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun
skala nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi
sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai disuatu instansi
atau swasta.
c. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhii akut maupun
karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.typhii.
d. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemic maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung
daereahnya endemis atau non-endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu
berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta

14
golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromis maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah yaitu :
 Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
o Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
o Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan
makanan-minuman
o Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
 Bila ada kejadian epidemic tifoid
o Pencarian dan eliminasi sumber penularan
o Pemeriksaan air minum dan mandi
o Penyukuhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah
tersebut
 Daerah endemic
o Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman
yang memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C,
iodisasi dan klorinisasi)
o Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar.
o Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat
maupun pengunjung.
5. Penatalaksana
a. Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dujaga
kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta
hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang

15
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum
dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan semakin lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatakan menjadi bubur kasar dan akhirna diberikan nasi,
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring dahulu, dimaksudkan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk
rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
c. Pemberian antimikroba
Obat antimikroba yang sering dugunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah :
 KloramfeNikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan
utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah
4 x 500 mg/hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikkan
intramuscular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata –
rata 7hari.

 Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir
sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hemmatologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x
500 mg, demam rata – rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
 Kotrimoksazol

16
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1
tablet mengandung sulfametokazol 400 mg dan 800 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
 Ampisilin dan Amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfeenikol, dosis yang dianjurkan
berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
 Sefalsporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang
terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah sekitar 3-4 gram dalam sekstrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
 Golongan fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya :
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau
menjelang hari ke-4. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat
pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon
pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon
yang dikembangkan kemudian
 Kombinasi obat antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada
keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau

17
perforasi, serta syok septic, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organism dalam kultur darah selain kuman Salmonella.
 Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3x5 mg.

6. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 20
7,4 % dengan rata-rata 5,7 %.

7. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombosipenia. Pada pemeriksaan
hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju
endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, teetapi akan kembali menjadi
normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
b. Uji widal
Uji widal dilakuakan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhii.
pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhii
dengan antobodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu;
 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

18
 Aglutinin H (flagella kuman)
 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan


untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukkan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,


kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-
empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut, mula – mula
timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang
telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1

Ada beberapa factor yang mempengruhi uji Widal yaitu :

 Pengobatan dini dengan antibiotic


 Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid
 Waktu pengambilan darah
 Daerah endemic atau non-endemik
 Riwayat vaksinasi
 Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi
 Factor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen.
c. Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut :

19
 Telah mendapat terappi antibiotic. Bila pasien sebelum dlakukan
kultur darah telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negative.
 Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).
Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bias negative.
 Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan
antibody dalam darah pasien. Antibody ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negative.
 Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.

Manifestasi Klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsunng antara 10-14 haari. Gejala – gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimtmatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian.

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Psifat demam adalah meningkat perlahan – lahan dan terutama
pada sore hingga malam hari. 2,5,6

Leptospirosis

1. Etiologi
Leptospira adalah spirochaeta yang berasal dari famili Leptospiraceae. Genus
Leptospira terdiri atas 2 spesies: L.interrogans yang patogenik dan L.biflexa yang
hidup bebas. Organisme ini panjangnya 6 sampai 20 um dan lebarnya 0,1 um;

20
kurang berwarna tetapi dapat dilihat dengan mikroskop dengan pemeriksaan
lapangan gelap dan setelah pewarnaan silver. Leptospirosis membutuhkan media
dan kondisi khusus untuk tumbuh; membutuhkan waktu beberapa bulan agar
kultur menjadi positif.

2. Epidemiologi
Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang
mempengaruhi sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang
paling penting, walaupun mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan
peliharaan dan domestic dapat juga membawa mikroorganisme ini. Leptospira
meningkatkan hubungan simbiosis dengan hostnya dan dapat menetap pada
tubulus renal selama beberapa tahun.
Transmisi leptospira dapat terjadi melalui kontak langsung dengan urin, darah,
atau jaringan dari hewan yang terinfeksi atau paparan pada lingkungan; transmisi
antar manusia jarang terjadi. Karena leptospira diekresikan melalui urin dan dapat
bertahan dalam air selama beberapa bulan, air adalah sarana penting dalam
transmisinya. Epidemik leptospirosis dapat terjadi melalui paparan air tergenang
yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi. Leptospirosis paling sering
terjadi di daerah tropis karena iklimnya sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan

21
pathogen untuk bertahan hidup. Pada beberapa negara berkembang, leptospirosis
tidak dianggap sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000 kasus
dilaporkan dari Cina, dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%. Di
Brazil, lebih dari 28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama.
Manusia tidak sering terinfeksi leptospirosis. Ada beberapa kelompok
pekerjaan tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pekerja-pekerja di sawah,
pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong
hewan atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan.
Setiap individu dapat terkena leptospirosis melalui paparan langsung atau kontak
dengan air dan tanah yang terinfeksi. Leptospirosis juga dapat dikenali dimana
populasi tikus meningkat.
Aktivitas air seperti berselancar, berenang, dan ski air, membuat seseorang
mnejadi beresiko leptospirosis. Pada tahun 1998, kejadian luar biasa terjadi
diantara komunitas atlet. Diantara atlet tersebut, tertelan atau terhisapnya air
menjadi factor resiko.

3. Patofisiologi
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh.
Kemudian terjadi respon imunologi baik secara seluler maupun humoral sehingga
infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian
beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara
imunologi seperti dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai
convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira
dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah
infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan
cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang

22
terlibat pada patogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung, factor inflamasi
non spesifik, dan reaksi imunologi.

Patologi. Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan


toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.
Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ
dengan kerusakan secara histiologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur
organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan
sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan
yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal
leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk
kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan
menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang
terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada
organ :

1. Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi
akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis,
iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
menimbulkan kerusakan ginjal.

2. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal
dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,

23
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.

3. Jantung
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear
dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi
perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.

4. Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi
dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi
langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

5. Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini
akan menyebabkan uveitis.

6. Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit

7. Susunan saraf pusat


Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan
dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan
sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah
meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.

8. Weil Disease

24
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah
juga dilaporkan oleh serotype copanhageni dan bataviae. Gambaran klinis
bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, atau disfungsi vascular.10

GAMBARAN KLINIS

Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu tetapi antara 2-20 hari. Gambaran klinis
dapat dilihat pada table 2.

25
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia
akut yang diikuti fase imun. Perbedaan kedua fase ini tidak selalu jelas, dan pada
kasus-kasus ringan tidak selalu diikuti fase kedua.

Tabel 2. Gambaran klinis pada Leptospirosis

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,


conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam
kulit, fotophobi

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,


splenomegali, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis,
epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.

Fase Leptospiremia

Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan
pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati, mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaaan sakit berat, bradikardi relative, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan
fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular
atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat
dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaaan sakit
yang lebih berat, demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selam 1-3
hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun.

26
Fase imun

Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 400C disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit
yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama betis. Terdapat
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia,
ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petechiae,
epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering.
Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomosis untuk leptospirosis.

Terjadinya meningitis merupakan tanda fase ini, walaupun hanya 50% gejala
dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien.
Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya
menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.

4. Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-
40%. Leptospirosis selama kehamilan dapat meningkatkan mortality fetus.
5. Penatalakasana

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi


keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada

27
leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik
dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotic pilihan dapat
dilihat pada table 4. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena
penicillin G, amoxicillin, ampicillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan
untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin,
ampisilin atau amoksisilin maupun sepalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun
perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase
leptospiremia). Pada pemberian penisilin dapat muncul reaksi Jarisch –
Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan
adanaya aktifitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan
keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit
dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara
umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis.

6. Pemeriksaan
Ditemukannya sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan
proteinuria ringan pada leptospirosis anikterik menjadi gagal ginjal dan azotemia
pada kasus yang berat. Jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat. Pada
leptospirosis anikterik, jumlah leukosit antara 3000-26000/μL, dengan pergeseran
ke kiri ; pada Weil’s sindrom, sering ditandai oleh leukositosis. Trombositopenia
yang ringan terjadi pada 50 % pasien dan dihubungkan dengan gagal ginjal. Pada
perbandingannya dengan hepatitis virus akut, leptospirosis memiliki bilirubin dan
alkalin phospatase serum yang meningkat sama dengan peningkatan ringan dari
aminotransferase serum (sampai 200/ul). Pada Weil’s sindrom, protrombin time
dapat memanjang tetapi dapat dikoreksi dengan vitamin K. Kreatin phospokinase
yang meningkat pada 50 % pasien dengan leptospirosis selama minggu pertama

28
perjalanan penyakit, dapat membantu membedakannya dengan infeksi hepatitis
virus.
Bila terjadi reaksi meningeal, awalnya terjadi predominasi leukosit
polimorfonuklear dan diikuti oleh peningkatan sel mononuklear. Konsentrasi
protein pada LCS dapat meningkat dan glukosa pada LCS normal.

7. Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya
hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang
mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan
berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-
bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir. Pemberian
doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan
leptospirosis bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam
waktu singkat. Penelitian terhadap tentara amerika di hutan panama selama 3
minggu, ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2 % menjadi
0,2%, dan efikasi pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama
direkomendasikan tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan,
masih memrlukan penelitian lebih lanjut.2,5,6

29
BAB III

KESIMPULAN

Pada pasien dengan gejala penurunan kesadaran,demam terus menrus sejak 5 hari
lalu, mual ,myalgia, mimisan,TD =60 per palpasi, nadi sangat lemah dan cepat, fremitus
taktil pada paru kanan melemah dan terdengar redup saat diperkusi, akral dingin dan
lembab, Hb =16g/dl, Ht = 54%, leukosit 4000/µl, trombosit 40000/µl didapatkan bahwa
menderita DSS.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurnia Y, Santoso M, Rumawas JSP, Winaktu GJMT, Sylaryo TS, Adam H. Buku
panduan keterampilan medic (skill lab)semester 3. Jakarta : FK UKRIDA; 2010.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam
jilid III.Edisi ke 5. Jakarta : PUSAT PENERBITAN ILMU PENYAKIT DALAM ;
2009.
3. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke 23.Jakarta :
EGC;2007.
4. Chatim A, Sjahrurachman A, Soebandrio A, Karuniawati A, Santoso AUS, Harun
BMH, et al. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: BAGIAN MIKROBIOLOGI
FKUI;1993.
5. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi & pediatric tropis. Edisi
ke 2. Jakarta : BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI; 2002.
6. Widoyo. Penyakit tropis epidemiologi, penularan,pencegahan & pemberantasannya.
Jakarta: ERLANGGA; 2008.

31

Anda mungkin juga menyukai

  • SK 6 - Malaria
    SK 6 - Malaria
    Dokumen20 halaman
    SK 6 - Malaria
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Anestesia
    Anestesia
    Dokumen3 halaman
    Anestesia
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Tifoid
    Tifoid
    Dokumen12 halaman
    Tifoid
    Jessica Tiffany Novaria Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Tifoid Dan Malaria
    Tifoid Dan Malaria
    Dokumen45 halaman
    Tifoid Dan Malaria
    astronboyz
    Belum ada peringkat
  • SK 1 - DBD
    SK 1 - DBD
    Dokumen23 halaman
    SK 1 - DBD
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Jurding Anes Tarakan 1
    Jurding Anes Tarakan 1
    Dokumen3 halaman
    Jurding Anes Tarakan 1
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • L.fisio Peredaran Darah Tepi
    L.fisio Peredaran Darah Tepi
    Dokumen9 halaman
    L.fisio Peredaran Darah Tepi
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi
    Fisiologi
    Dokumen5 halaman
    Fisiologi
    Andrew Juanda
    Belum ada peringkat
  • Dengue
    Dengue
    Dokumen31 halaman
    Dengue
    delphine
    Belum ada peringkat
  • Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Dokumen9 halaman
    Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Valva Jantung Persarafan
    Valva Jantung Persarafan
    Dokumen14 halaman
    Valva Jantung Persarafan
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • DBD
    DBD
    Dokumen24 halaman
    DBD
    delphine
    Belum ada peringkat
  • Kuliah Pencernaan Histo 2014
    Kuliah Pencernaan Histo 2014
    Dokumen109 halaman
    Kuliah Pencernaan Histo 2014
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Dokumen9 halaman
    Lap Fisio Kesanggupan Karvas
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Appendisitis Akut
    Appendisitis Akut
    Dokumen21 halaman
    Appendisitis Akut
    Magdalena Sri Febiolita
    Belum ada peringkat
  • A9 3
    A9 3
    Dokumen29 halaman
    A9 3
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Gangguan Cairan Tubuh & Sirkulasi
    Gangguan Cairan Tubuh & Sirkulasi
    Dokumen48 halaman
    Gangguan Cairan Tubuh & Sirkulasi
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • CA Paru
    CA Paru
    Dokumen21 halaman
    CA Paru
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Psoriasis
    Psoriasis
    Dokumen17 halaman
    Psoriasis
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Tinea Cruris
    Jurnal Tinea Cruris
    Dokumen10 halaman
    Jurnal Tinea Cruris
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Tifoid
    Tifoid
    Dokumen12 halaman
    Tifoid
    Jessica Tiffany Novaria Sinaga
    Belum ada peringkat
  • Dengue
    Dengue
    Dokumen31 halaman
    Dengue
    delphine
    Belum ada peringkat
  • Pneumonia
    Pneumonia
    Dokumen34 halaman
    Pneumonia
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • A9 2
    A9 2
    Dokumen19 halaman
    A9 2
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Dengue
    Dengue
    Dokumen31 halaman
    Dengue
    delphine
    Belum ada peringkat
  • PBL Komunikasi Dan Empati
    PBL Komunikasi Dan Empati
    Dokumen3 halaman
    PBL Komunikasi Dan Empati
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Komunikasi & Empati
    Komunikasi & Empati
    Dokumen9 halaman
    Komunikasi & Empati
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Valva Jantung Persarafan
    Valva Jantung Persarafan
    Dokumen14 halaman
    Valva Jantung Persarafan
    Wilko William
    Belum ada peringkat
  • Hubungan Orangtua-Anak
    Hubungan Orangtua-Anak
    Dokumen38 halaman
    Hubungan Orangtua-Anak
    Wilko William
    Belum ada peringkat