Duh, Rabbi … Maafkanlah semua kealpaan kami. Bahkan seorang guru pernah
berkata, “Jika dalam satu hari kita tidak bisa meluangkan waktu untuk
membaca Al-Qur’an, bukan karena kita tidak punya waktu untuk membacanya.
Tapi Al-Qur’an sudah tidak lagi ridha dibaca oleh kita.” Maka, apalagi yang bisa
kita perbuat jika pedoman dan pelipur lara itu tak lagi ridha dibaca oleh kita?
Apalagi bagi Para Penjaga Cahaya. Memang butuh proses agar hati kita bisa
terpaut dengan Al-qur’an. Proses itu adalah dengan terus menerus berinteraksi
dengan Al-Qur’an. Hingga jika satu hari kita tak membacanya, akan timbul rasa
rindu ingin berinteraksi kembali padanya.
Pernahkah kita melihat adik kecil yang sedang belajar menaiki sepeda? Meski
terjatuh ataupun terluka, ia terus saja belajar. Jatuh, bangkit lagi. Menabrak
pagar, kaget sebentar lantas mengubah posisi sepeda lalu mengayuh lagi.
Begitu terus sampai anak kecil tadi benar-benar bisa menaiki sepeda, tanpa
perlu terjatuh atau menabrak pagar tetangga sebelah. Lalu apa yang terjadi
selanjutnya? Dapat dipastikan adik kecil tadi akan semakin senang menjelajah
dengan sepedanya. Bersepada tanpa kenal waktu. Matahari tunggang gunung,
ia baru bergegas pulang ke rumah. Tak mempedulikan omelan Bunda. Tak apa,
asal ia masih bisa bersepeda ke tempat-tempat lain esok hari.
Begitu pula dengan kita, Para Penjaga Cahaya yang masih meniti jalan
kerinduan dengan Cahaya yang kita jaga. Jika kita menyerah sekarang lantas
tak lagi melanjutkan, bukannya tidak mungkin cahaya-cahaya itu akan pergi
dari hati kita.