Anda di halaman 1dari 18

Etikum- Amelia Ganefianty

MAKALAH 1

1. Etika
Kata etik berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti kebiasaan, adat, cara
berfikir. Etika adalah ilmu yang mempelajari tentang pilihan moral yang dibuat oleh manusia;
keputusan baik dan buruk, benar salah, disetujui atau tidak (Dossey & Keegan, 2013). Etika
adalah ilmu yang membahas tentang moralitas dan menyelidiki tingkah laku moral,
menyimpang dari kode etik berarti tidak memiliki perilaku yang baik dan tidak memiliki
moral yang baik. (Bertens, 2007). Etika adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari cara
berperilaku manusia, memutuskan baik dan benar. (Garrett, Baillie & Garrett, 2001). Dari
beberapa pengertian diatas, etika adalah cara pandang manusia terhadap baik buruk, benar
salah, yang akan mempengaruhi tingkah laku manusia.

2. Moral
Moral berasal dari bahasa Latin “Mos” (tunggal) atau “Mores” (jamak), yang artinya
adat, kebiasaan (Bertens, 2004). Moral merupakan standar benar salah yang dipelajari
selama manusia bersosialisasi (Dossey & Keegan, 2003). “Moral” berasal dari kata ‘Moralis”
artinya kebiasaan atau cara. Kedua cara itu berarti kebiasaan, yaitu cara dasar berperilaku
yang baik yang tidak hanya bersifat kebiasaan tetapi juga benar (Tschudin,2003). Moral
merupakan cara individu berperilaku sesuai dengan nilai baik buruk yang diyakini.
Perkembangan moral menurut Kohlberg (Bertens, 2007) merupakan proses
internalisasi norma-norma masyarakat, yang semakin berkembang dan seimbang sesuai
dengan tingkat kedewasaan. Perkembangan moral didapat melalui penanaman pengertian
tentang tingkah laku yang benar salah, baik buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa
lainnya (pendidikan langsung), meniru tingkah laku atau penampilan moral yang dicontohkan
oleh orang tua dan lingkungan (identifikasi) dan melalui proses coba-coba. Ketika anak
bertingkah laku dan mendapat pujian, maka anak tersebut akan cenderung mengulangi
tingkah laku tersebut.
Moral berkembang melalui 3 tahap yaitu preconventional, conventional dan
postconventional. Tahap preconventional merupakan tingkatan terendah yang ditandai
dengan belum adanya internalisasi nilai dan pemahaman moral yang dimiliki masih
dikendalikan oleh faktor eksternal (hadiah dan hukuman). Anak mengetahui aturan benar
salah, baik buruk dan berperilaku untuk menghindari hukuman atau mendapat hadiah.
Sesuatu dianggap benar jika menimbulkan perasaan nyaman atau mendatangkan hadiah.
Tahap conventional adalah tahap menengah dimana pada masa ini sudah ada internalisasi
nilai (meski belum maksimal). Tahap ini berorientasi pada norma-norma interpersonal dan
sistem sosial moralitas. Pada norma-norma interpersonal, nilai terhadap kepercayaan, caring
dan loyalitas terhadap orang lain adalah merupakan dasar dari keputusan moral yang mereka
miliki. Anak dan remaja mengadopsi standar moral dari orangtua dan pada tahap ini mereka
ingin mendapatkan label atau sebutan sebagai anak baik dari orangtua mereka. Pada tahap
postconventional, individu memperoleh suatu pemahaman kebersamaan sosial dan kemurnian
minat tentang kesejahteraan orang lain. Individu sudah mengenali alternatif-alternatif
pembelajaran moral, mampu mengeksplorasi pilihan-pilihan moral dan dapat mengambil
keputusan atas dasar kode moral yang dimiliki.
Etikum- Amelia Ganefianty

3. Perbedaan Etik dan Moral


Beberapa perbedaan etika dan moral diantaranya adalah:
a) Etika merupakan suatu bentuk kehidupan sosial tertentu dalam interaksi dengan orang
lain pada suatu tempat, sedangkan moral adalah peraturan yang harus kita patuhi saat kita
berinteraksi dengan orang lain (Semplici, 2013)
b) Etika adalah ilmu yang mempedomani keputusan manusia tentang perilaku saat
berinteraksi, sedangkan moral adalah perilaku manusia yang disesuaikan dengan etika
yang bisa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan (Suhermi, 2004).
c) Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem
nilai yang ada.
d) Moral adalah kewajiban yang seharusnya dimiliki oleh manusia, sedangkan etika
sifatnya tidak harus namun lebih baik jika dimiliki.
e) Penerapan di masyarakat umumnya memiliki moral namun terkadang tidak
memperhatikan etika, sedangkan penerapan keduanya biasanya lebih terlihat di kalangan
pengambil kebijakan dalam hal ini misalnya pejabat.
f) Moral adalah perilaku manusia yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut, agar
menjadi manusia yang baik. Moral adalah bagian dari etika dan sangat dipengaruhi oleh
budaya.

4. Etika kepedulian
Penelitian perkembangan moral pada individu dimulai oleh Laurence Kohlberg pada
tahun 1970’an. Kohlberg merupakan filsuf, tokoh etika dan psikologi yang menyatakan
bahwa moral merupakan fenomena kognitif. Menurut Kohlberg (1981), laki-laki memiliki
penalaran yang lebih baik pada tahapan perkembangan moral. Hal ini berdasarkan pada
adanya tuntutan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan pada masa tersebut.
Perempuan hanya berkembang sampai tahap tiga pada perkembangan moral. Kohlberg
melakukan pembuktiannya melalui riset kepada responden yang berjenis kelamin laki-laki
dengan menggunakan enam tahap perkembangan moral dan menghasilkan teori keadilan
(justice).
Tokoh yang pertama kali mengenalkan tentang etika kepedulian (ethics of care)
adalah Carol Gilligan (1982). Gilligan (1982) merupakan tokoh etika, psikologi, dan filsuf
feminis, merupakan murid dari Kohlberg yang menyatakan perbedaan pandangannya melalui
buku In A Different Voice (1982) yang berisi tentang pertentangan teori dari gurunya yaitu
Kohlberg. Menurut Gilligan (1982) pemikiran gurunya tidak mencerminkan kepedulian pada
manusia secara umum dikarenakan adanya pemilihan khusus laki laki yang sebagai sampel
dalam penelitian Kohlberg atau dikenal dengan (bias gender). Kritik Gilligan terhadap
gurunya meliputi proses penelitian perkembangan moral berdasarkan hasil studi selama 20
tahun hanya menggunakan objek anak pria usia dewasa muda, sedangkan wanita tidak
termasuk dalam objek yang dipelajari Kohlberg.
Gilligan menyatakan terdapat tiga tingkatan tindakan dalam mengambil keputusan
terkait dengan moralitas yaitu : tindakan yang didasari atau didominasi pada kepentingan dan
tekanan pada diri sendiri ; tindakan didasari atau didominasi oleh pengaruh kepentingan
orang lain bagi dirinya dan tindakan yang diambil dengan menyeimbangkan keduanya antara
kepentingan diri sendiri dan orang disekitarnya. Hal tersebut memunculkan dua pndangan
Etikum- Amelia Ganefianty

moralitas menurut Gilligan yaitu justice orientation dan responsible orientation. Justice
orientation bermakna bahwa moralitas dalam pendekatan laki-laki yaitu setiap individu
memiliki hak untuk saling menghormati dan menghargai hak orang lain dan memiliki
keterbatasan. Responsible Orientation bermakna bahwa moralitas dalam pendekatan
perempuan yaitu seseorang memiliki tanggung jawab terhadap orang lain. Sehingga inilah
yang mendasari lahirnya etika kepedulian atau ethics of care dengan menggunakan
pendekatan keibuan.
Etika dan moral seringkali memberikan pengertian yang rancu, namun pada dasarnya
ada perbedaan dalam memaknainya. Menurut Rosenstand (2012) etika merupakan suatu nilai
atau keyakinan yang dimiliki oleh individu dalam menyikapi suatu fenomena dimana
seseorang akan merasa bersalah atau mendapatkan perlakuan berbeda berupa pengasingan
apabila melakukan hal yang tidak sesuai dengan etika. Sehingga etika berada pada ranah
aksiologi. Sementara moral merupakan nilai atau keyakinan yang dimiliki oleh individu dan
kelompok tertentu dan disepakati bersama, memiliki batasan yang jelas, sehingga seseorang
yang melanggar dinyatakan tidak bermoral dan patut mendapatkan hukuman karena tidak
menepati kesepakatan bersama sehingga moral berada pada ranah epistemologi.
Caring ethics memiliki makna yaitu seperangkat aturan atau kaidah yang melandasi
tentang bagaimana seseorang dalam memanifestasikan caring. Sementara caring merupakan
pengetahuan kemanusiaan yang menjadi landasan dari praktek keperawatan yang bersifat etik
dan filosofikal. Seorang perawat dituntut mampu dalam mewujudkan caring kepada klien,
namun hal ini memiliki batasan sesuai dengan etika keperawatan yang berlaku. Sebagai
contoh perawat hanya boleh hingga tahap empati dalam memberikan asuhan namun tidak
diperkenanankan lebih dari itu.

5. Keperawatan sebagai profesi (kontral sosial, dimensi, ciri profesi)


Ciri-ciri profesi
Profesional adalah karakter penuh semangat atau memiliki suatu kaidah kekhususan
yang dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki komitmen (Kozier dkk, 2012).
Profesionalitas adalah sebuah proses untuk menjadi seorang profesional atau yang memiliki
karakterisitik profesional (Kozier dkk, 2012). Sedangkan profesi didefinisikan sebagai sebuah
pekerjaan yang memiliki spesialisasi pengetahuan, keahlian, dan perencanaan (Kozier dkk,
2012).
Karakteristik-karakteristik tersebut membuktikan bahwa perawat adalah bagian dari
sebuah profesi, karena sifat-sifat yang dijelaskan dimiliki oleh seorang perawat. Berikut
Tabel Posisi Perawat Saat Ini dibandingkan antara Ciri sebagai Pekerja dan Profesi
(Diadaptasi dari Sociology of Occupations and Professions by R.M. Pavalko,1971, Itasca,
IL: F.E. Peacock):
Etikum- Amelia Ganefianty

Category Occupation Profession Perawat Saat ini


Teori Tidak ada Ada Ada
Hubungan dengan
Tidak ada Ada Ada
nilai sosial
Waktu Pendidikan Tidak spesialisasi Ada spesialisasi Ada spesialisasi
Motivasi Self-interest Social-service Sosial-service
Adanya otonomi Tidak ada Ada Ada
Berkomitmen Short-term Long-term Long-term
Peka sosial Rendah Tinggi Tinggi
Kode etik Tidak berkembang Berkembang Berkembang
Organisasi profesi Tidak ada Ada Ada

Kontrol Sosial
Ketika berbicara mengenai profesi kesehatan, hal tersebut mengacu pada dokter,
perawat, fisioterapis, psikolog, pekerja sosial, terapis okupasi, farmasis, dan nutrisian.
Compton dan Galaway menjelaskan mengenai lahirnya suatu profesi (dikutip oleh Ian
Kerridge, Michael Lowe dan John Mc Phee, 1998), yaitu bahwa profesi berkembang ketika
masyarakat mengidentifikasi masalah sosial yang kompleks yang menuntut solusi yang
menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang lebih besar dari pada yang dimiliki oleh
masyarakat biasa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Michael Eraut (2002),
bahwa konsep profesi ditemukan karena adanya kontrol sosial. Pelaku profesi perlu
menyediakan pelayanan kepada masyarakat dengan ilmu pengetahuan yang dirasa cukup ia
miliki. Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kontrol sosial berupa
tuntutan dari masyarakat menentukan perkembangan suatu profesi. Demikian juga dengan
profesi keperawatan. Tuntutan masyarakat terhadap profesi keperawatan merupakan peluang
bagi perawat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai suatu
profesi.

6. Etik dalam Keperawatan (perangkat komite etik, kode etik, prinsip etik)
Kode Etik
Kode etik adalah daftar tertulis mengenai nilai profesi dan standar praktik dimana
perawat sebagai sebuah profesi memiliki kode etik yang merupakan pernyataan kolektif
tentang harapan pada suatu kelompok serta standar perilaku (Aiken, 2004; Potter & Perry,
2013). Menurut Carnevale, et al (2009) pada tahun 1953, kode etik keperawatan internasional
pertama kali dibuat oleh International Council of Nurses (ICN). Kode etik ini memiliki 4
elemen prinsip yang menjadi standar berperilaku antara lain: (1) Perawat dengan klien, (2)
Perawat dengan praktik, (3) Perawat dengan profesi, dan (4) Perawat dengan sejawat atau
profesi lainnya. Kemudian kode etik keperawatan di Indonesia dibuat dengan nilai-nilai yang
sejalan dengan kode etik keperawatan internasional, yang dalam melaksanakan tugas
pelayanan keperawatan kepada klien, perawat memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan
derajat kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan menghilangkan
penderitaan serta memulihkan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar pelayanan paripurna,
adapun isi dalam kode etik menurut PPNI (2010), mencakup 5 elemen, yaitu: (1) Perawat dan
Etikum- Amelia Ganefianty

klien, (2) Perawat dan praktik, (3) Perawat dan masyarakat, (4) Perawat dan teman sejawat,
dan (5) Perawat dan profesi.

Prinsip Etik
Pada awalnya Beauchamp dan Childress pada tahun 1973 merancang
prinsip/peraturan/regulasi untuk melindungi hak dari partisipan yang terlibat dalam
penelitian, prinsip tersebut diantaranya menghormati keputusan manusia(autonomy),
beneficence, dan justice. Beauchamp juga memasukkan prinsip non-maleficence. Kemudian
empat prinsip ini menjadi prinsip etik yang dikenal dengan kaidah dasar bioethics (Benjamin,
1992). Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, ada beberapa ahli yang menambahkan
prinsip etik, misalnya Ludwick dan Mary (2017) yang menambahkan bahwa selain 4 prinsip
tersebut, ada lagi satu prinsip yaitu privacy and confidentialy.
Etika mempunyai prinsip, dimana prinsip etik merupakan pendekatan populer dalam
layanan kesehatan, melibatkan penggunaan prinsip etik yang disusun dari konsep moral yang
umum dan luas (Rich & Butt, 2014). Pakar keperawatan telah menetapkan prinsip-prinsip
etik keperawatan. Prinsip-prinsip tersebut yaitu (Aiken, 2004; Kozier & Erb’s, 2016):
1. Autonomy, dalam pengaturan kesehatan melibatkan kesedian penyedia layanan
kesehatan untuk menghormati hak pasien dalam membuat keputusan sendiri
2. Justice, merupakan kewajiban untuk bersikap adil kepada semua orang
3. Fidelity, dalam keperawatan mencakup kesetiaan terhadap profesi dan kesetiaan
terhadap tanggung jawab.
4. Beneficence, merupakan persyaratan bagi penyedia layanan kesehatan yang melihat
tujuan utama keperawatan sebagai hal yang baik bagi pasien.
5. Nonmaleficence, bahwa penyedia layanan kesehatan tidak membahayakan klien,
disamping itu juga melindungi klien yang tidak mampu melindungi diri sendiri.
6. Veracity, mengharuskan perawat mengatakan hal yang sebenarnya dan tidak menipu
pasien. Kejujuran juga mengacu pada mengatakan hal yang sebenarnya.
7. Accountability, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain demi
kepentingan tindakan keperawatan. Perawat mampu menjelaskan alasan tindakan dan
mengenali standar yang dilakukan.
8. Paternalisme, mengacu pada praktik yang membatasi kebebasan individu tanpa
meminta persetujuan pasien. Sikap paternalistik tidak memprioritaskan pilihan atau
keinginan individu. Pemberi pelayanan kesehatan beranggapan bahwa mereka lebih
tahu apa yang baik untuk pasien.
9. Rasionalisme, dasar dalam mengambil keputusan. Rasionalisme berfokus pada urutan
logis.
10. Pragmatisme, profesi mengklarifikasi ide atau gagasan secara objektif melalui
pemecahan masalah.
Etikum- Amelia Ganefianty

Komite Etik Keperawatan


The Joint Comission International pada tahun 2009 memberikan mandat bahwa
institusi pelayanan kesehatan harus membuat atau menyusun komite etik atau struktur yang
sama untuk menulis panduan dan kebijakan serta menyediakan edukasi, konseling, dan
dukungan pada isu etik. Komite multidisiplin ini mencakup perawat dan bisa diminta untuk
meninjau suatu kasus dan memberikan panduan pada klien yang kompeten, keluarga klien
yang tidak kompeten, dan penyedia pelayanan kesehatan (Berman & Snyder, 2012). Pada
penerapannya, di Indonesia pembentukan komite keperawatan diatur dalam Permenkes No.
49 Tahun 2013, komite keperawatan adalah wadah non-struktural rumah sakit yang
mempunyai fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga
keperawatan melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi, dan pemeliharaan etika
dan disiplin profesi. Komite keperawatan sendiri paling sedikit terdiri dari ketua, sekretaris,
dan jika sumber daya mencukupi bias ditambahkan subkomite. Tugasnya antara lain
melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga keperawatan, merekomendasikan penyelesaian
masalah pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam kehidupan profesi dan pelayanan
asuhan keperawatan, merekomendasikan pencabutan kewenangan klinis dan memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan etis dalam asuhan keperawatan. Komite ini terdiri
dari sub komite kredensial, subkomite mutu profesi, dan sub komite etik dan disiplin profesi.

11. Keputusan Etik & Standar keperawatan


Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang
memuaskan, atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding (Thompson & Thompson, 1985). Dilema etik terjadi ketika ada dua atau lebih
prinsip etik yang harus dipilih atau adanya kondisi yang bertentangan baik antar nilai atau
prinsip etik atau antara etik dengan peraturan.
Keputusan Etik / Ethical Decision Making
Pengambilan keputusan etik merupakan hal yang tak bisa lepas dari kehidupan
perawat sehari-hari, karena setiap tindakan perawat atau setiap keputusan yang dibuat untuk,
atau tentang pasien mempunyai dimensi etis (Kelly, 1987). Dibutuhkan keterampilan berpikir
secara rasional untuk dapat membuat keputusan etik yang nantinya akan berkaitan dengan
asuhan keperawatan yang diberikan (Priharjo, 2002). Ada tiga nilai dan prinsip yang
mendasari proses pengambilan keputusan etik (Bandman, 1998), yaitu The Principle of Self-
Determination, prinsip ini menjelaskan kebebasan pasien dalam menentukan nasibnya
sendiri. Yang kedua The Principle of Well-Being, menjelaskan bahwa kewajiban perawat
untuk meningkatkan kesehatan pasien digunakan sebagai prinsip pengambilan keputusan
dengan cara memberikan saran dan rekomendasi tindakan kepada pasien agar dapat
menetukan keputusan yang bermanfaat bagi kesehatannya. Yang terakhir adalah the Principle
of Equality, yang menjelaskan mengenai keadilan dalam pemberian tindakan maupun asuhan
keperawatan. Konsep keadilan disini bukan berarti memberikan tindakan yang sama pada tiap
pasien, tetapi memberikan tindakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Etikum- Amelia Ganefianty

Teori Dasar Pembuatan Keputusan Etik


Menurut Priharjo (2002), Teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila
terjadi konflik antara prinsip dan aturan. Teori etik diklasifikasikan menjadi teleologi
(utilitarianisme) dan deontologi. Teleologi merupakan suatu doktrin yang menjelaskan
fenomena berdasarkan hasil akhir yang terjadi (the end justifies means). Sementara menurut
Husted (1999), utilitarianisme juga dijelaskan sebagai sebuah konsep yang memandang
sesuatu dari “baik” dan “buruk”. Deontologi, menurut Priharjo (2002) dan Husted (1999),
berpusat pada aksi atau tindakan, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau
konsekuensi tindakan, melainkan oleh nilai moralnya.

Kerangka Pembuatan Keputusan Etik


Thompson (2006) menjelaskan model pengambilan keputusan etik mengacu pada
proses keperawatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Langkah awalnya adalah klarifikasi dan mendefinisikan sifat permasalahan, kemudian
assessment untuk mengidentifikasi fakta utama dan nilai yang dapat diaplikasikan. Kemudian
mencari cara terbaik untuk mencapai tujuan. Implementasi dilakukan dengan mengambil
tindakan yang sesuai dan efektif untuk mengimplementasikan rencana. Kemudian evaluasi
kemajuan dari tujuan yang telah direncanakan. Langkah terakhir adalah melakukan refleksi.
Adapun model lain dalam pengambilan keputusan etik adalah Model DECIDE, dimana D
(define the problem), E (Ethical review), C (Consider the option), I (investigate outcomne), D
(Decide on action), E (Evaluate the results).
Etikum- Amelia Ganefianty

MAKALAH 2: TEORI ETIK

CHARACTER ETHIC
Etika karakter, disebut juga dengan Virtue-based Ethics, yaitu Etika keutamaan.
Istilah “Virtue” berasal dari bahasa latin virtus yang artinya keunggulan, kapasitas, atau
kemampuan (Hooft, 2006). Dalam hal ini, memiliki keutamaan berarti memiliki kekuatan
atau kemampuan untuk mencapai sesuatu. Lebih umumnya, kata tersebut mengacu pada
disposisi atau pola karakter seseorang, atau kepribadian yang mengarahkan mereka untuk
bertindak secara bermoral. Hal tersebut mengacu pada sifat karakter yang kita anggap
mengagumkan. Sedangkan menurut Butts & Rich (2016) “Virtue” atau keutamaan
merupakan suatu kebiasaan meskipun tidak rutin, dan merupakan sifat baik yang
dikembangkan secara terus menerus dalam kehidupan seseorang. Contoh keutamaan meliputi
kemurahan hati, kejujuran, keberanian, kesabaran, humor, dan keramahan yang baik (Hooft,
2006), sedangkan Butts & Rich (2016) menambahkan kriteria tersebut dengan kebajikan
(benevolence) dan kasih sayang (compassion).
Etika karakter di dalam beberapa sumber tidak didefinisikan secara tersurat, namun
harus melalui pemahaman terhadap poin-poin yang mencirikan etika karakter tersebut.
Menurut Butts & Rich (2016), Virtue ethics lebih berorientasi pada pertanyaan “Saya harus
seperti apa untuk menjadi seseorang yang baik?” dibandingkan dengan pertanyaan “Apa
tugas saya?” seperti pada teori deontologi. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan
bahwa virtue ethics lebih menekankan pada ide tentang keunggulan karakter seseorang.
Seseorang dengan keutamaan, sesuai dengan gagasan Aristoteles (2002), adalah seseorang
yang menjadi teman terbaik untuk orang lain, pemikir unggulan, dan penduduk unggulan dari
suatu komunitas.Setiap kelompok masyarakat bisa saja menekankan keutamaan yang
berbeda-beda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, masyarakat yang
mengekspresikan kekaguman pada ciri-ciri karakter yang mengarah pada kesuksesan dalam
aktivitas enterpreneur, akan memuji kemauan seseorang dalam mengambil risiko dan
bersaing dengan rekan bisnis sebagai suatu keutamaan.
Pendekatan Aristoteles terhadap etika kebajikan terbagi menjadi dua kategori
keunggulan, yaitu kebajikan intelektual (intellectual virtues) dan kebajikan moral atau
karakter (character or moral virtues). Intellectual virtues seringkakali muncul dan meningkat
sebagai hasil dari mengajar (yang mengapa hal tersebut membutuhkan pengalaman dan
waktu), sedangkan moral virtues dihasilkan dari pembiasaan. Pembiasaan menurut
Aristoteles adalah sebuah intelegensi dan perhatian pikiran terhadap kebiasaan yang baik,
daripada rutinisasi perilaku yang tanpa dipikirkan.
Moral Virtue, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam Etika Nichomacea,
merupakan suatu hal yang mampu membawa kita menuju kebenaran, maka kebijaksanaan
praktis adalah sesuatu yang membuat kita mengambil langkah-langkah yang benar untuk
mencapai tujuan yang benar itu. Hubungan antara dua keunggulan ini memang sangat dekat.
Aristoteles megatakan bahwa memang kedua virtue ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Seseorang bisa saja membedakannya secara logis antara dua elemen ini, Yang pertama bahwa
moral virtue merupakan perbincangan lebih jauh mengenai jalan tengah (golden mean),
sedangkan yang kedua yakni kebijaksanaan praktis merupakan keinginan (hasrat) untuk suatu
tujuan, akan tetapi Aristoteles meyakini bahwa dari segi praktis, akan mustahil untuk
Etikum- Amelia Ganefianty

memiliki salah satu keunggulan saja tanpa keunggulan yang lainnya. Malahan, Aristoteles
menyatakan bahwa moral virtue tanpa kebijaksanaan praktis, dalam bahasa halusnya, adalah
apa yang ia sebut dengan ‘natural virtue’ (keutamaan alamiah), yakni sebuah disposisi
natural (sikap tetap alamiah) yang bahkan anak-anak dan hewan-hewan pun bisa
membaginya, akan tetapi membutuhkan latihan dan akal untuk mengembangkannya ke dalam
virtue (keutamaan).

UTILITARIANISME
Utilitarianisme berasal dari bahasa latin, yaitu “utilis” yang berarti berguna (Magnis,
1987). Utilitarianisme disebut juga dengan “prinsip utilitas” atau “prinsip kebahagiaan
terbesar”, hal ini berarti seluruh tindakan yang dipilih akan diarahkan untuk mencapai
kebahagiaan terbesar untuk orang terbanyak. (Lachman, V.D, 2006). Utilitarianisme
menegaskan bahwa dalam segala tindakan kita harus selalu memperhatikan konsekuensinya
bagi semua orang yang secara langsung atau tidak langsung terkena dampak dari tindakan
tersebut. Utilitarianisme mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua tindakan dianggap
netral. Yang memberi nilai moral terhadap tindakan-tindakan tersebut adalah tujuan dan
konsekuensinya, sejauh tujuan dan konsekuensi tersebut dapat diperhitungkan sebelumnya
(Magnis, 1987).
Utilitarianisme, dalam segala bentuknya, berpendapat bahwa benar atau salahnya
suatu tindakan selalu dilihat dari sejauh mana tindakan tersebut berkontribusi pada tujuan
untuk memaksimalkan kebaikan untuk keseluruhan yang ditafsirkan sebagai kebahagiaan
atau kesejahteraan dari keseluruhan atau rata-rata orang. Utilitarianisme masih berbicara
tentang hak dan kewajiban, namun demikian selalu berasal dari prinsip utilitarian. Statusnya,
bagaimanapun akan tergantung pada kontribusi yang terus diberikan pada tujuan utilitarian.
(Benjamin, M & Curtis, Joy, 1992).
Sebagai sistem etika normatif, utilitarianisme mendefinisikan “baik” sebagai suatu
kebahagiaan atau kesenangan. Hal ini didasarkan pada dua prinsip dasar. Prinsip pertama
dinyatakan sebagai “the greatest happiness for the greatest number” (kebahagiaan terbesar
untuk jumlah terbanyak). Prinsip kedua adalah “the end justifies the means” (hasil
membenarkan arti). (Aiken, 2004). Utilitarianisme disebut universal, karena yang menjadi
norma moral bukanlah akibatnya bagi si pelaku itu sendiri, melainkan akibatnya bagi semua
orang yang terpengaruh oleh akibat tindakan itu. (Magnis, 1987).
Untuk penganut utilitarian, maka, baik hak pasien maupun tugas perawat dan dokter
ditentukan dengan mengacu pada asas utilitarian. Kapanpun terjadi konflik antara hak atau
kewajiban dan utilitas, hak atau kewajiban kehilangan pembenarannya. Salah satu
konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa prinsip utilitarian memiliki solusi terhadap
setiap dilema moral. Semua dilema yang ditafsirkan sebagai konflik antara hak dan
kewajiban, dapat diatasi dengan berdasar pada fakta kasus dan prinsip utilitas Tindakan apa
pun yang menjanjikan untuk menghasilkan yang terbaik adalah salah satu yang seharusnya
(secara moral) untuk dilakukan . (Benjamin, M & Curtis, Joy, 1992).
Etikum- Amelia Ganefianty

LIBERAL-INDIVIDUALISM
Pada pandangan liberalisme individualisme, manusia pada dasarnya terpisah dari
konteks sosial, ekonomi, politik atau historis mereka (Brown, 1993 dalam Browne, 2001).
Individualisme liberal adalah kumpulan filosofis, doktrin politik dan ekonomi intelektual.
Pada ideologi liberal, keyakinan akan keunggulan tertinggi dari individu mengarah ke sebuah
komitmen terhadap kebebasan individu sebagai pemersatu (Heywood, 1992 dalam Browne,
2001). Individu harus bebas mengejar tujuan dan cita-cita individu seseorang mengenai
kehidupan yang baik, terlepas dari pendapat yang berbeda. Karena itu, kebebasan individu
dilindungi melalui hak-hak sipil,yang antara lain termasuk hak pemerintah, agama,
kepemilikan properti, dan kebebasan berbicara (Festenstein 1998 dalam Browne, 2001).
Perlindungan kebebasan sipil telah menyebabkan pandangan liberal ideologi sebagai toleran
(dan bahkan mendukung) pandangan yang beragam, pendapat, praktik budaya dan pilihan
moral (King 1999 dalam Browne, 2001). Negara juga tidak campur tangan dalam kehidupan
pribadi individu atau memaksakan nilai moral, budaya atau agama yang mengancam otonomi
individu (Jagger 1983 dalam Browne, 2001). Negara bersifat netral yang diperlukan untuk
memungkinkan individu dalam mengejar tujuan dan aspirasi yang dipilih secara bebas,
dengan syarat tentang kehidupan tersebut tidak mengganggu kebebasan dari orang lain
(Festenstein 1998 dalam Browne, 2001).
Menurut Parse (1997) dalam Browne (2001), manusia bebas memilih dan
bertanggung jawab dalam membuat keputusan. Pada prinsip keperawatan, dalam mengatasi
masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat, cenderung berfokus pada deskripsi keyakinan
kesehatan masyarakat, atau strategi pendidikan kesehatan daripada akar penyebabnya dari
struktur masyarakat. Fokusnya mengatasi masalah keperawatan adalah apakah
memungkinkan individu untuk mengambil kendali lebih besar atas kehidupan mereka, serta
mengasumsikan tanggung jawab lebih besar untuk kesehatan mereka dan perawatan
kesehatan (Anderson 1996 dalam Browne, 2001).
Perawat telah berkontribusi pada pendekatan individualistik terhadap promosi
kesehatan, pemberdayaan dan perawatan diri. Sebagai contoh pada model Newman (1990)
dalam Browne, 2001, dimana klien melakukan promosi kesehatan dalam kebutuhan
kesehatan dan untuk membuat pilihan sehat. Tren ini akan membutuhkan individu untuk
memiliki keterampilan kognitif dan psikomotor dalam menyediakan kesehatan. Individu
harus bertanggung jawab dalam kesehatan (Schubert et al 1999, dalam Browne, 2001).
Pengetahuan keperawatan berada pada liberalisme individualistis merupakan pandangan
individu sebagai bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri dan perawatan kesehatan,
meski kondisi sosial dan ekonomi yang tidak adil.

KOMUNITARIANISME
Komunitarianisme sangat menekankan pada pengaruh masyarakat terhadap nilai-nilai
individu dan teori tersebut berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut berakar dari sejarah dan
tradisi yang berlaku dalam masyarakat (Beauchamp and Childress, 2001). Sejarah dan tradisi
yang terkumpul dan teruji kebaikannya dalam suatu masyarakat dan dalam jangka waktu
yang lama pada akhirnya menjadi sebuah landasan nilai, keyakinan dan filosofi yang dianut
oleh sebuah masyarakat tertentu. Menurut Sandel dalam Johnson, et al. (2012)
komunitarianisme adalah sebuah filsafat sosial & politik yang menekankan kepada
Etikum- Amelia Ganefianty

pentingnya komunitas dalam fungsi kehidupan berpolitik, dalam analisis dan evaluasi
institusi politik dan dalam memahami identitas dan kesejahteraan manusia. Etika
komunitarian menekankan pentingnya masyarakat dan bagaimana anggota individu dibentuk
dan berkontribusi pada masyarakat mereka. Bagaimana individu menggunakan tradisi
masyarakat untuk membentuk pengalaman mereka dan pengalaman mereka dengan orang
lain, akan membantu menafsirkan identitas pribadi. Identitas ini akan terus terbentuk dan
dibentuk oleh masyarakat (Donovan, R. K. 2012). Sehingga bukan hanya individu yang
memiliki tanggung jawab etis, masyarakatpun memiliki kewajiban, termasuk kewajiban
untuk bersikap tanggap terhadap anggota.
Tam (1998) dalam Bennet-Woods (2005) menyatakan bahwa Communitarianism
didasarkan pada 3 prinsip. Prinsip pertama adalah berbagai pengakuan dari kebenaran
divalidasi melalui penyelidikan bersama. Kedua, komunitas dari penyelidikan bersama, yang
mewakili persebaran masyarakat, harus meyakini nilai umum yang menjadi dasar tanggung
jawab bersama. Ketiga, semua masyarakat harus berperan serta dan memiliki akses yang
sama dalam struktur kekuasaan dari masyarakat.

KANTIANISME
Etika Kantian disebut etika deontologis. Kata deontologis berasal dari kata
Yunani “deon” yang berarti kewajiban yang mengikat. Pandangan Kant dalam perspektif etis
dalam ruang lingkup filsafat etika merupakan aliran deontologi, yaitu suatu aliran filsafat
yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa kewajiban moral dapat diketahui
dengan intuitif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Pandangan Kant dalam
paham deontologi memandang bahwa perbuatan moral itu dapat diketahui dengan kata hati.
Bagi Kant, melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan baik.
Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal
baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang
berkehendak baik maka orang itu baik. Penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak
tergantung pada hal-hal diluar dirinya kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang
dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan kewajiban. Setiap tindakan yang kita
lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hukum batin yang kita taati, tindakan
itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah
keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita
nyaman atau tidak, senang atau tidak, dan cocok atau tidak (Holzey dan Mudroch, 2005).
Etika kantian menekankan peran bahwa tindakan dikatakan benar secara moral jika
dilakukan sesuai dengan tugas, hak, dan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap orang
(Putrilio, 2005). Etika kantian berpendapat bahwa kita memiliki kewajiban moralitas untuk
mengatasi permasalahan kesehatan setiap individu karena syarat penghormatan dasar bagi
manusia adalah pemenuhan kewajiban yang sama bagi semua orang, termasuk dalam aspek
kesehatan.
Etikum- Amelia Ganefianty

MAKALAH 3: ASPEK HUKUM

Aspek Hukum Dalam Keperawatan


Hukum merupakan regulasi ketatalaksanaan sosial yang dikembangkan untuk
melindungi masyarakat, atau dengan kata lain hukum adalah suatu aturan yang mengatur
perilaku manusia dalam hubungannya dengan orang lain di masyarakat dan dengan
pemerintahan (Aiken, 2014). Dalam UU No 38 Tahun 2014 Keperawatan didefinisikan
sebagai kegiatan pemberian asuhan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, atau
masyarakat baik dalam keadaan sehat maupun sakit (UU Nomor 38 Tahun 2014).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat di simpulkan bahwa hukum dalam keperawatan
adalah aturan yang mengatur kegiatan pemberian layanan keperawatan yang bertujuan
melindungi kepentingan masyarakat dan perawat dalam pelaksanaan layanan keperawatan (
Aiken, 2014; UU Nomor 38 Tahun 2014).
Aspek hukum dalam praktik keperawatan merupakan perangkat hukum, aturan hukum
yang secara khusus menentukan hal-hal yang seharusnya dilakukan atau dilarang bagi prifesi
keperawatan dalam menjalankan profesinya. Beberapa undang-undang yang mengatur
langsung praktik keperawatan adalah :
 UU No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
UU ini memilki 13 BAB dan 66 pasal. Keseluruhan dari isi undang-undang
membahas tentang, pendidikan, registrasi, kewajiban, hak, kewenangan perawat
dan klien, praktik keperawatan sampai dengan sanksi.
 UU Nomor 36 Tahun 2014 & UU Nomor 44 Tahun 2014
Berisi tentang standar praktik Asuhan Keperawatan dan Surat Tanda Registrasi
(Pasal 44 UU Nomor 36 2014 & UU Nomor 44 Tahun 2014). Dan berisi tentang
sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, denda administratif
atau pencabutan izin bagi perawat yang melakukan pelanggaran hukum (Pasal 82
UU No 36 2014).
Aspek hukum dalam keperawatan meliputi hubungan hukum dengan bidang
keperawatan dan instrumen normatif praktik keperawatan (Sudrajat, 2001).

Peraturan Perundang – Undangan Yang Terkait Keperawatan


Perawat merupakan seorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di
dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (Pasal 1 ayat 2 UU Keperawatan Nomer 38 2014). Dalam pelaksanaan tugasnya
perawat perlu diatur secara komperhensif dalam peraturan undang-undang dan peraturan
terkait lainnya guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada perawat dan
masyarakat. Dalam melaksanakan praktik asuhan keperawatan, perawat harus berasaskan
perikemanusiaan, nilai ilmiah, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan
kesehatan dan keselamatan pasien. Hal ini sebagai upaya untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan upaya kesehatan.
Untuk menjalankan praktik asuhan keperawatan, perawat wajib memiliki surat tanda
registrasi (STR) (Pasal 44 UU No 36 2014 & UU No 44 Tahun 2014) setelah memenuhi
persyaratan yang dikeluarkan konsil. Selain itu perawat juga wajib memiliki izin yang
diberikan dalam bentuk SIP yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 46 UU No 36
Etikum- Amelia Ganefianty

2014 dan Pasal 14 UU No 44 2009) atau setiap perawat yang menjalankan praktik
keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki SIKP
(PMK No. 17 Tahun 2013). Dalam pelaksanaan asuhannya perawat semestinya melakukan
pelayanan kesehatan sesuai standar profesi dan sesuai kewenangan. Jika ada perawat yang
tidak melaksanakan ketentuan tersebut akan mendapatkan sanksi administratif berupa teguran
lisan, peringatan tertulis, denda administratif atau pencabutan izin (Pasal 82 UU No 36 2014).
Sebagai tenaga kesehatan perawat memperoleh perlindungan hukum sepenjang
melaksanakan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur
operasional (Pasal 57 poin A UU No 36 2014). Di fasilitas pelayanan kesehatan perawat
wajib melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya (Pasal 26 ayat 1
UU No 36 2014) hal ini dicamkan agar perawat dapat melindungi pasien dari kerugian –
kerugian yang diakibatkan dari tindakan di luar kewenangannya. Oleh karena itu perawat
yang bekerja di fasilitas pelayanan khususnya rumah sakit harus bekerja sesuai dengan
kewenangan dan prosedur yang berlaku. Jika merugikan masyarakat yang dianggap
melakukan perbuatan yang melawan hukum dapat dikenakan Pasal 1365 KUH-Perdata.
Tidak hanya itu bagi perawat yg melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan kematian
dipidana dengan pidana penjera paling lama 5 tahun. (Pasal 84 UU No. 36 Tahun 2014).
Begitu juga Rumah Sakit ikut serta bertanggung jawab terhadap kelalaian yg dilakukan
tenaga kesehatan di rumah sakit, ini sesuai dengan Pasal 46 UU No. 44 Tahun .2009
menjelaskan bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Kelalaian
Kelalaian didefinisikan sebagai kegagalan melakukan perawatan hingga tingkat
tertentu yang dilakukan seseorang berdasarkan kebijaksanaan yang lazim jika ia berada pada
situasi serupa. Dikatakan kelalaian jika ada suatu kewajiban yang seharusnya dilakukan
terhadap orang lain, tetapi tugas tersebut tidak dilakukan sehingga menyebabkan cedera
(Helm, 2003). Kelalaian adalah perilaku yang tidak sesuai dengaan standar perawatan (Potter
& Perry, 2012). Kelalaian keperawatan adalah kegagalan memenuhi standar asuhan
keperawatan dalam memberikan tindakan kepada pasien (Aiken, 2004). Kewajiban memilliki
arti tanggung jawab hukum. Perawat bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang
gagal memenuhi standar perawatan sehingga menyebabkan kerugian.
Kelalaian medik dari aspek hukum merupakan suatu sikap kurang hati-hati menurut
ukuran yang wajar, acuh tak acuh dan cerobah. Unsur-unsur kelalaian terdiri dari adanya
suatu kewajiban, melanggar standar, tindakan di bawah standar umum dan ada kerugian, serta
sebab akibat. kelalaian terdiri dari :
 Malfeasance : melakukan tindakan tidak layak, lalai membuat keputusan;
 Misfeasance : melakukan pilihan yang tidak tepat atau lalai melaksanakan
putusan atau eksekusi;
 Nonfeasance : tidak melakukan kewajiban (Siswati, 2013).

Kelalaian dibagi menjadi kelalaian yang bersifat ringan (slinght negligence) dan yang
bersifat berat (gross negligence). Kelalaian merupakan salah satu unsur malpraktik (Siswati,
Etikum- Amelia Ganefianty

2013). Untuk menghindari terjadinya suatu kelalaian, ada beberapa hal yang dapat dilakukan,
di antaranya :
 Hindari menyalahkan tenaga kesehatan lain di depan pasien;
 Kenali permaslaahan pasien dan pecahkan masalah tersebut;
 Gunakan dokumentasi yang menyeluruh dan akurat;
 Kenali kebijakan dan prosedur pencatatan di tempat kita bekerja;
 Kenali singkatan/istilah-istilah yang sering digunakan;
 Menjaga komunikasi dan hubungan baik dengan pasien dan keluarga (Aiken,
2004).
Menurut Aiken (2004) dan ANA (2015), kelalaian perawatan secara umum
dikategorikan sebagai berikut :
 Pengobatan;
 Komunikasi;
 Dokumentasi dan rekam medik;
 Gagal bertindak sebagai advokat pasien;
 Kegagalan untuk mengikuti standar keperawatan;
 Monitoring, observasi dan pengawasan.
Dalam menetapkan sebuah kelalaian perlu dilihat beberapa aspek, saah satunya adalah
kondisi pasien. Perlu dikaji apakah kondisi pasien saat tersebut adalah akibat kelalaian
ataukah karena perkembangan alami dari penyakit atau efek samping dari pengobatan yang
dilakukan. Dalam beberapa kondisi konflik mungkin muncul di mana perawat merasa bahwa
sumber daya yang ada sanagt tidak memadai sehingga sulit untuk mempertahankan standar
pelayanan yang seharusnya. Pada kondisi seperti ini, perawat harus dapat
mengkomunikasikan hal tersebut pada pihak terkait, misalnya bidang perawatan.
Ketidakmampuan perawat untuk mengkomunikasikan hal tersebut dapat menimbulkan resiko
terjadinya kelalaian (Hunt, 2005).

Malpraktik
Malpraktik berasal dari kata “mala” yang berarti salah atau tidak semestinya,
sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional yang
sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga
dapat diartikan malpraktik adalah melakukan tindakan yang salah atau menyimpang dari
ketentuan atau prosedur yang baku (Notoatmodjo, 2010). Malpraktik adalah pelanggaran
terhadap suatu kewajiban profesional, kegagalan memenuhi standar perawatan, atau
kegagalan menggunakan keterampilan dan pengetahuan profesional (Helm, 2003). Dalam
sumber lain disebutkan bahwa malpraktik adalah pelanggaran oleh seorang profesional yang
dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, ketidakterampilan, kesalahan yang disengaja
atau praktik yang tidak etis (Advances Learner’s Dictionary of Current English (2nd ed.).,
Oxford University Press London, dalam Siswati, 2013).
Teori Sumber Perbuatan Malpraktik, yaitu :
1. Teori pelanggaran kontrak
Teori ini berprinsip bahwa seorang tenaga kesehatan tidak memiliki kewajiban
merawat seseorang apabila diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak.
Etikum- Amelia Ganefianty

2. Teori perbuatan yang disengaja


Teori ini menyatakan bahwa sesorang tenaga kesehatan dapat digugat karena adanya
kesalahan yang dibuat sengaja yang mengakibatkan seseorang mengalami cedera.
3. Teori kelalaian
Teori ini menyatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah kelalaian.
Malpraktik bukan dinilai dari hasil perbuatan, tetapi dari proses perbuatannya.
Menurut Siswati (2013), malpraktik terjadi apabila petugas kesehatan melalaikan
kewajibannya atau melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Ada
sejumlah elemen yang ada dalam kelalaian dan malpraktik, antara lain tugas atau kewajiban
perawat, pelanggaran terhadap tugas di mana terdapat unsur kegagalan memenuhi standar
asuhan yang seharusnya diberikan pada klien, penyebab kejadian yaitu hubungan langsung
antara ketidakmampuan perawat dalam memenuhi standar perawatan dengan cedera yang
terjadi pada pasien, ada tidaknya kerusakan yang membuktikan bahwa klien telah dirugikan
akibat praktek keperawatan yang tidak aman (Jacoby & Scruth, 2017; Jones, 2007), dan
kelayakan yaitu apabila perawat gagal memenuhi standar perawatan berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki sehingga menyebabkan kerugian pada klien (Jones, 2007).
Standar yang digunakan untuk menentukan malpraktik adalah: Apakah perawatan
yang seharusnya dilakukan? Apakah perawat bertindak sesuai dengan tingkat kompetensi
yang diharapkan berdasarkan standar yang ditetapkan dalam pendidikan, pelatihan
maupunruang lingkup praktik. Menyebabkan kerugian pada pasien merupakan dasar kasus
malpraktik. Perawat harus mengetahui kompetensi, konsep legal dan etik dalam keperawatan
(Jacoby & Scruth, 2017).

Ethics of empowerement and sustainability


Praktek keperawatan yang professional dikarakteristikan dengan semakin
meningkatnya kompleksitas dari pelayanan. Kompleksitas layanan ini timbul akibat adanya
perubahan dalam pengambilan keputusan yang saat ini lebih didasarkan padateori yang
kemudian di aplikasikan dalam praktek nyata. Selain itu hal ini juga timbul akibat adanya
tuntutan yang tinggi dari masyarakat social dan politik terhadap pelayanan kesehtan. Perawat
juga dituntut untuk mampu berespon terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat seperti
adanya pertumbuhan jumlah lansia yang sangat tinggi atau timbulnya kesulitan keuangan
pada masyarakat.
Pemberdayaan adalah usaha yang dilakukan untuk mendukung praktek etik sebagai
seorang perawat dengan cara meningkatkan perlindungan kita kepada pasien, sebagai bentuk
dari integritas dan akuntabilitas. Sebagai seorang individu, perawat di bentuk oleh peran,
lisensi, pengetahuan serta hubungan kita dengan pasien dan juga dengan petugas kesehatan
lain. Pemberdayaan seharusnya bukan lah sebuah tujuan yang ingin dicapai, tetapi adalah
proses pematangan dalam praktek keperawatan.Pemberdayaan dalam keperawatan
diasumsikan sebagai konsep tentang promosi kesehatan (Braunack&Louise, 2008). Dimana
melalui promosi kesehatan berfokus pada kegiatan yang berasal dari masyarakat, dimana
masyarakat mengelola, merencanakan hingga menilai sendiri keberhasilannya. Sehingga
diharapkan masyarakat memiliki kemampuan dalam meningkatkan kesehatan nya sendiri.
Etikum- Amelia Ganefianty

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, T.D. (2004). Legal, ethical, & political issues in nursing. 2nd ed. Philadelphia : Lippincott.
Bandman, Elsie L., & Bandman, Bertram. (1988). Nursing ethics through the life span. 3th ed. USA: Prentice
Hall.
Benjamin, Martin. (1992). Ethics in nursing. Oxford University Press, Inc.
Berman, A.,& Snyder, S. (2012). Kozier & Erb’s fundamentals of nursing : concepts, process, and practice. 9th
ed. New Jersey : Pearson.
Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bintang, Y. M (2009). Tanggung jawab pidana perawat dalam melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (studi di rumah sakit umum
santo antonius pontianak). Diakses pada tanggal 13 September 2017 pkl. 14.03.
Carnevale, F. A., Vissandjée, B., Nyland, A., & Vinet-Bonin, A. (2009). Ethical considerations in cross-
linguistic nursing. Nursing ethics, 16(6), 813-26. doi:http://dx.doi.org/10.1177/0969733009343622.
Chinn, P. L. and Kramer, M. K. (2008). Integrated theory and kownledge development in nursing seventh
edition. St. Louis: Mosby Elsevier.
Chitty, K.K. (1997). Professional nursing: Concept and challengessecond edition. Philadelphia. W.B Saunders
Company.
Dossey, B. M. and Keegan, L. (2003). Holistic nursing: a handbook for practice sixth edition. Burlington: Jones
& Bartlet Learning.
Eraut, Michael. (1994). Developing professional knowledge and competence. UK: Routledge Palmer.
Garrett, T. M.,Baillie, H. W. and Garrett, R. M. (2001). Health care ethics: principles and problem fourth
edition. New Jersey: Prentice-Hall.
Gillies, D.A. (1994). Nursing management: A system Approach. 3 rd Ed. Philadelphia WB saunders co.
Gilligan, C. (1993). In a different voice: psychological theory and women's development. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.
Hawley, G. (1997). Ethics workbook for nurses; issues, problems and resolutions. Wentworth Falls:
Social Press.
Husted, G.L., & Husted, J.H. (1999). Ethical decision making in nursing. 2th.Ed. USA: Mosby.
Kerridge, Ian; Lowe, Michael; Mc Phee, John. (1998). Ethcis and law for the health professional. Australia:
Ligare.
Gilligan, C. (1993). In a different voice: psychological theory and women's development. Cambridge, Mass.:
Harvard University Press.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. (2012). Kozier and Erb’s fundamentals of nursing: concepts,
process and practice. Nurse Education in Practice, 12(2), e12.
https://doi.org/10.1016/j.nepr.2011.09.002
Leddy, S., & Pepper, J.M. (1998). Conceptual bases of professional nursing. 4th Edition. United Statesof
America: Lippincott-Raven Publishers
Ludwick, Ruth dan Mary C. S. (2017).Ethics: interstate nursing practice and regulation: ethical issues for the
21st century. Journal of Issues Nursing Vol. 4.No. 2.www.Nursingworld.org.
Noddings, N. (2007). Philosophy of education. Boulder, Colo: Westview Press.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 Komite Keperawatan Rumah Sakit.
Jakarta
PersatuanPerawatNasionalIndonesia. (2000). Buku kode etik keperawatan. Jakarta.
Potter, Perry, Stockert, & Hall. (2013). Fundamentals of nurisng8th edition. Canada: Elsevier.
Priharjo, R. (1995). Pengantar etika keperawatan. Yogyakarta: Kanisius.
Rich K. & Butt J. (2014). Foundation of Ethical Nursing Practice, Role Development in Porfessional Nursing
Practice
Rosenstand, N. (2012). The moral of story :an introduction to ethics. New York: Mc Graw and Hill.
Simamora, Raymond. (2008). Buku ajar pendidikan dalam keperawatan hal 6-22. Jakarta: EGC.
Suhermi, M. E. (2004). Etika Keperawatan: Aplikasi pada praktik. Jakarta: EGC.
Thompson, I.E., et all. (2006). Nursing ethics. 5th.Ed. UK: Elsevier
Etikum- Amelia Ganefianty

Tronto, J. C. (1993). Moral boundaries: A political argument for an ethic of care. New York: Routledge.
Tschudin, V. (2003). Ethics in nursing: The caring relationship. British: Elsevier Inc.
Vati, J. ( 2013 ). Principle & practice of nursing management and administration for BSc & MSc.
Aristotle. (2002). Nichomachean ethics (C. Rowe, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Athanassoulis, N. (2014). Virtue ethics. Keele University: United Kingdom. Internet Encyclopedia of
Philosophy.
Armstrong, Alan E. (2007). Nursing ethics a virtue-based approach. (1th ed.). New York: Palgrave Macmillan
Arries, E. (2005). Virtue ethics: an approach to moral dilemmas in nursing. Curationis, 28(3), 64-72.
Butts, Janie B., & Rich, Karen L. (2016). Nursing Ethics across the curriculum and into practice. (4th ed.).
Burlington: Jones & Bartlett.
Hooft, Stan Van. (2006). Understanding virtue ethics. New York: Routledge.
Stanford Encyclopedia of Phylosophy. (2016). Virtue ethics. Diambil dari
https://plato.stanford.edu/entries/ethics-virtue/#Bib
Aiken, T.D (2004). Legal, ethical, and political issues in nursing. (edisi-2). Philadelphia: F.A Davis
Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Benjamin, M & Curtis, J. (1992). Ethics in nursing (edisi–3). : New York : Oxford University Press.
Gawronski, B., & Beer, J. S. (2017). What makes moral dilemma judgments "utilitarian" or
"deontological"?. SocialNeuroscience, 12(6),626-632. oi:10.1080/17470919.2016.1248787
Hanafiah, J.M & Amir,. (2008). Etika kedokteran & hukum kesehatan. Jakarta : EGC
Lachman, V.D. (2006). Applied ethics in nursing . New York : Springer Publishing Company
Magnis, F (1987). Etika dasar : Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta : Pustaka Filsafat
Playford, Roberts, & Playford (2014). Deontological and utilitarian ethics: a brief introduction in the context of
disorders of consciousness. Disability and Rehabilitation An international, multidisciplinary journal.
Suhaemi,M. E. (2002). Etika Keperawatan : Aplikasi pada praktik. Jakarta: EGC
Aida, Ridha. (2005). Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan Komunitas. Journal
Demokrasi,Vol. IV, No. 2.
Azmi, A. (2013). Individualisme dan Liberalisme dalam Sekularisme Media Amerika. Humanus. 2013; Vol. XII
No.1: 33-42.
Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia.
Browne, Annette J. (2001). The influence of liberal political ideology on nursing science. Nursing Inquiry. 8
(2): 118–129
Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing. Wong’s Essentials of Pediatric
Nursing.
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.
Khawaja, Irfan. (2000). Whose liberalism? Which individualism?. Reason Papers 25 (Fall 2000): 73-99.
Nogales & Wolfe. 2012. Liberalism and Marx: An interview with Domenico Losurdo. Diambil dari sumber :
http://platypus1917.org/2012/05/01/ liberalism-and-marx-domenico-losurdo/
Tannsjo, T. (2010). Understanding ethics : An introduction to moral theory. Edinburgh : Edinburgh University
Press
Thompson, I. E., Boyd, K. M., & Melia, K. M. (2006). Nursing ethics.5th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Tschudin, Verena. (2003). Ethics in nursing: The caring relationship. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun
2002 tentang kekerasan anak. 17 Oktober 2014. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
297
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Rumah Sakit. 28 Oktober 2009. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153
Ashcroft, et al. (2007). Priciples of health care etihics. 2nd ed. England: Willey.
Beauchamp and Childress. (2001). Principles of biomedical ethics. (5th ed). US: Oxford University Press.
Bell, D. A. (2010). “Communitarianism.” In Edward N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
http://plato.stanford.edu/archives/fall2010/entries/communitarianism . Dikases 7 Oktober 2017.
Etikum- Amelia Ganefianty

Benner-Wood, D. (2005). Ethics at a Glance. Colorado: Regis University Parker, M. (1999). Ethics and
Community in he Health Care Professions. London : Routledge.
Kerride, I., Lowe, M., & McPhee, J. (1998). Ethics and Law for The Health Proffessions. Australia: Social
Science Press.
Donovan, R. K. (2012). Communitarian and care ethics: A return to community in the digital age (Order No.
1546535). Available from ProQuest Dissertations & Theses Global. (1459225515). Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/1459225515?accountid=17242
Etzioni, A. (1996). The New Golden Rule: Community and Morality in a Democratic Society . New York: Basic
Books.
Gross, M. L. (1999). Autonomy and paternalism in communitarian society: Patient rights in israel. The Hastings
Center Report, 29(4), 13-20. Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/222387919?accountid=17242
Johnson, C.E. (2005). Meeting the ethical challenge of leadership: Casting light or shadow. (6th Ed). Thousand
Oaks, Calif: Sage Publications
Johnson, W. B., Barnett, J. E., Elman, N. S., Forrest, L., & Kaslow, N. J. (2012). The competent community:
Toward a vital reformulation of professional ethics. American Psychologist, 67(7), 557-569.
doi:http://dx.doi.org/10.1037/a0027206
Sandel, M. (2009). Justice: What the right thing to do?. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Seter, Paul. (2006). Communitarianism in law and society. (1st ed). Maryland: Rowman and Littlefield
Publisher Inc.
Triwibowo (2010). HukumKeperawatan. Yogyakarta: Pustaka book publisher.
Holzhey, H dan Mudroch, V. (2005). Historical dictionary of Kant and Kantianism. Toronto: The Scarecrow
Press Inc.
Jones, CM. (2010). The moral problem of health disparities. American Journal of Public Health, 100 (47-51).
Putrilo, R. (2005). Ethics theories and approach: All you need to know in ethical dimensions in the health
profession (46-78). Philladelphia: PA Elvesis.
Wood, Allen W. (2008). Kantian ethics. Newyork: Cambridge University Press.
American Nursing Association. (2015). Code of ethics for nurses with interpretive statements. Maryland: Silver
Spring.
Departemen Kesehatan RI. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah
sakit. Oktober 30, 2017. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Helm, A. (2003). Nursing malpractice : Sidestepping legal minefields. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Hunt, G. (2005). Ethical issues in nursing. New York : Taylor & Francis e-Library.
Jacoby, S. R. & Scruth, E. A. (2017). Negligence and the Nurse. Clinical Nurse Specialist, 31(4), 183–185.
Jones, R. A. P. (2007). Nursing leadership and management theories processes and practice. Philadelphia, PA:
F. A. Davis Company.
Notoatmodjo, S. (2010). Etika dan hukum kesehatan. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Peraturan Presiden. (n.d.). Undang-undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan.
Disadur pada Oktober 30, 2017 dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/peraturan/UU%20No.%2044%20Th%202009%20ttg%20Ru
mah%20Sakit.PDF. Jakarta: Kemenkes RI.
Potter, P. & Perry, A. (2012). Fundamental of nursing. St. Louis: Mosby.
Presiden RI. (2014, Sepember 25). Undang-Undang RI nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan. Disadur
pada Oktober 30, 2017 dari
http://www.pdpersi.co.id/diknakes/data/regulasi/undang_undang/uu362014.pdf.
Siswati, S. (2013). Etika dan hukum kesehatan dalam perspektif undang-undang kesehatan. Depok:
Rajagrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai