Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang merugikan manusia,terbatas yang
bukan parasit diantaranya antibiotika, antiseptika, khemoterapeutika, preservative.
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang dalam
konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme
lain. Antibiotik bersifat toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak toksik pada sel inang
(host).

Penggolongan antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel.
Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor DNA
dan RNA) dan senyawa-senyawa lain yang dipelukan untuk pertumbuhan seluler dan
replikasi. Untuk banyak mikroorganisme, asam p-amino benzoate (PABA) merupakan
metabolit utama. Antimikroba seperti sulfonamide secara struktur mirip dengan
PABA, asam folat, dan akan berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam
folat, Jika senyawa antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka akan
terbentuk asam folat non fungsional yang akan mengganggu kehidupan
mikroorganisme.
Contoh obat: Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat
2. Penghambatan sintesis dinding sel
Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi lemah dank arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau lisis
sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin, sefalosforin, sikloserin,
vankomisin, basitrasin, dan antifungi gol. Azol.
3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel
Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang mempengarui
permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme,
sehingga sel mengalami kerusakan bahkan mati. Contoh Obat : polimiksin, nistatin,
dan amfoteresin B
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible
Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan menghambat reaksi
transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari
situs aseptor kesitus donor yang menyebabkan sitesis protein terhenti.
Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, dan
pristinamisin
5. Pengubahan sintesis protein
Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, yang pada
akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Contoh obat : aminoglikosida
6. Penghambatan asam nukleat
Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri, contoh obat : gol.
Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase , dan yang menghambat
topoisomerase Contoh obat : golongan kuinolon
7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol :
 Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA polimerase virus
(asiklovir ),
menghambat transkriptase balik (zidovudin)
 Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin)
 Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor protease HIV atau
neuranidase
influenza.

Berdasarkan spektrumnya
1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis mikroba
2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif maupun gram negatif.
Contoh obat: tetrasiklin, amfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifampisin, turunan
penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbanesilin, hetasilin, pivampisilin,
sulbenisilin, dan tirkasilin), dan sebagian besar turunan sefalosporin
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram positif. Contoh obat:
basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin sprt benzilpenisilin, penisilin G
prokain, penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat, dan
beberapa turunan sefalosporin.
4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram negatif. Contoh obat:
kolkistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae (antituberkulosis).
Contoh obat: streptomisin, kanamisin, sikloserin, rifampisin, viomisin, dan kapreomisin
6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat: griseofulvin, dan
antibiotik polien seperti nistatin, amfoterisin B, dan kandisidin
7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh obat: aktinomisin,
bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin

Berdasarkan Struktur kimianya


1. Antibiotik β-laktam
2. Turunan amfnikol
3. Turunan tetrasklin
4. Aminoglikosida
5. Makrolida
6. Polipeptida
7. Linkosamida
8. Polien
9. Ansamisin
10. Antrasiklin

Berdasarkan Aksi utamanya


1. Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan mikroba. Contoh obat : Penisilin,
Aminoglikosid, Sefalosporin, Kotrimoksasol, Isoniasid, Eritromisin (kadar tinggi),
Vankomisin
2. Bakterisida: membunuh / memusnahkan mikroba. Contoh obat : Tetrasiklin, Asam
fusidat, Kloramfenikol, PAS, Linkomisin, Eritromisin kadar rendah), klindamisin
Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisida
bila kadar antimikroba ditingkatkan melebihi KHM dan menjadi KBM.
Kadar Hambat Minimal (KHM): kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan organism. Kadar Bunuh Minimal (KBM): kadar minimal yang diperlukan untuk
membunuh mikroorganisme.
Berdasarkan Tempat kerjanya
1. Dinding sel, menghambat biosintesis peptidoglikan, Contoh obat: penisilin, sefalosporin,
basitrasin, vankomisin, sikloserin.
2. Membran sel, fungsi dan integritas membran sel, Contoh obat: nistatin, amfoteresin,
polimiksin B.
3. Asam nukleat, menghambat biosintesis DNA, mRNA, biosintesis DNA dan mRNA
Contoh obat: mitomisin C, rifampisin, griseofilvin
4. Ribosom, menghambat biosintesis protein (subunit 30S prokariotik contoh: aminosiklitol,
tetrasiklin, subunit 50S prokariotik contoh: amfenicol, makrolida, linkosamida.

Efek Samping Penggunaan Antimikroba


1. Reaksi Alergi: reaksi ini dapat ditimbukan oleh semua antibiotik dengan melibatkan
sistem imun tubuh hospes.
2. Reaksi idiosinkrasi: gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetic
terhadap pemberian antimikroba tertentu.
3. Reaksi toksik: AM pada umumnya bersifat toksik – selektif, tetapi sifat ini relative. Selain
itu yang turut menentukan terjadinya reaksi toksik yaitu fungsi organ/system tertentu
sehubungan dengan biotransformasi dan eksresi obat.
4. Perubahan biologik dan metabolik ; penggunaan AM, terutama yang bersepektrum luas
dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang
meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik
mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran cerna, nafas kulit dan kelamin.

B. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh
antimikroba. Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup.
Pembagian resistensi :
a. Resistensi genetic
1. Mutasi spontan
gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur resisten bermultiplikasi,
yang peka terbasmi, tersisa populasi resisten
2. Resistensi dipindahkan
- Transformasi
- Transduksi
- Konjugasi
b. Resistensi silang
Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga memperlihatkan resistensi
terhadap Antimikroba yang lain terjadi :
- antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip
- antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip
Mekanisme resistensi :
1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel
3. Inaktivasi obat oleh mikroba
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh mikroba
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, yaitu
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci
(VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan
Extended-Spectrum BetaLactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii
dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al.
2005). Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak
bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas
pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study)
terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja
antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui
mekanisme transport aktif ke luar sel.
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL) yang mampu
menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan
tahap awal menuju resisten.
Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada
Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari
pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan pada pasien
terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998).
Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen penyandi protein
(Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan
menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2 cara,
yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure.
Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit
(untuk bakteriyang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi
oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya
penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit.

2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid.


Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang
lain.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak
(prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan meningkatkan
ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).
C. PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA

Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek
antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi
Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya
kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya
disingkat KPRA adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka
mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan
di masyarakat.
Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan masalah
kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya antibiotik yang tidak
rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya resistensi
antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap
sekelompok antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit (health care associated infection).
Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan
timbul dampak yang merugikan seperti pada era preantibiotik.
Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO) telah secara pro aktif
menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah disusun antara lain intervensi
edukasi berupa edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan literatur ;
intervensi managerial seperti penyusunan formularium rumah sakit, panduan/pedoman
pengobatan, kebijakan penggunaan antibiotik, supervise klinik, audit medik dan sebagainya,
serta intervensi regulasi di kalangan profesi medis dan paramedic seperti registrasi dan ijin
praktek tenaga dokter.
Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan multidisiplin baik dalam
perencanaan maupun implementasi di lapangan agar promosi penggunaan antimikroba secara
optimal dan penanggulangan infeksi dapat terwujud. Kebijakan WHO ini juga ditanggapi
positif oleh pemerintah Indonesia melalui seperangkat kebijakan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 8 tahun
2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit antara lain yaitu
penilaian infrastruktur rumah sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA) di tingkat rumah sakit.
Tugas dan fungsi Tim pelaksana PPRA antara lain:
1. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba
2. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan
pengaduan penggunaan antibiotik di rumah sakit
3. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba
4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan
program pengendalian resistensi antimikroba
5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi
6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaanya terhadap antibiotik
7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik
8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip
pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan
terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba
10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada
Kepala/Direktur rumah sakit
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dibentuk melalui
keputusan kepala/direktur rumah sakit. Susunan tim pelaksana Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Kualifikasi
ketua tim PPRA merupakan seorang klinisi yang berminat di bidang infeksi. Dalam
melaksanakan tugasnya, tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
bertanggung jawab langsung kepada kepala/direktur rumah sakit.
Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba harus
merupakan tenaga kesehatan yang kompeten. Bila dalam hal pelaksanaanya terdapat
keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten, keanggotaan tim pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba disesuaikan dengan unsur tenaga kesehatan yang
tersedia. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah
sakit paling sedikit terdiri atas unsur:
a. klinisi perwakilan SMF/bagian;
b. keperawatan;
c. instalasi farmasi;
d. laboratorium mikrobiologi klinik;
e. komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan
f. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT).
Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan metode audit kuantitas
penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik. Pemantauan atas muncul dan
menyebarnya mikroba multiresisten di rumah sakit dilakukan melalui surveilans mikroba
multiresisten. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit dilakukan melalui:

a. evaluasi penggunaan antibiotik; dan

b. pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten.


Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit meliputi :

a. Perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik

b. Perbaikan kualiatas penggunaan antibiotik

c. Perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola resistensi antimikroba

d. Penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkanoleh mikroba


multiresisten

e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui forum kajian
kasus infeksi terintegrasi

Berdasarkan hasil penelitian tentang Implementasi Program Pengendalian Resistensi


Antimikroba dalam mendukung Patient Safety menunjukan bahwa Sosialisasi PPRA ternyata
memberikan dampak peningkatan kesadaran klinisi untuk memeriksakan kultur, yaitu dari
29,75 % menjadi 64,56 % dan setelah ditunjang oleh kesiapan tim mikrobiologi klinik,
terdapat 79,26 % hasil kultur kelompok PPRA yang dilaporkan kepada tim klinisi,
penggunaan antibiotik pada kelompok pasca-sosialisasi PPRA sebesar 84% lebih banyak
dibandingkan pra sosialisasi PPRA sebesar 53,12% dan hal ini karena diagnosis kasus infeksi
yang disebabkan bakteri lebih banyak pada pascasosialisasi PPRA., serta sosialisasi PPRA
mampu menghemat pengeluaran belanja antibiotic sebesar Rp203.000 per pasien selama
rawat inap dibandingkan pra-sosialisasi PPRA.

Strategi pengendalian resistensi antimikroba yaitu :


a. Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)
Penggunaan antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik yang sesuai dengan
penyebab infeksi dengan rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping
minimal, dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten. Oleh sebab itu
pemberian antibiotik harus disertai dengan upaya menemukan penyebab infeksi dan pola
kepekaannya. Penggunaan antibiotik secara bijak memerlukan kebijakan pembatasan
dalam penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik yang bebas
digunakan oleh semua klinisi (non-restricted) dan antibiotik yang dihemat dan
penggunaannya memerlukan persetujuan tim ahli (restricted dan reserved).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan mencegah
infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi bekteri pada tindakan
pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu (profilaksis medik).
Antibiotik tidak diberikan pada penyakit non-infeksi dan penyakit infeksi yang dapat
sembuh sendiri (self-limited) seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau
berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada antibiotik
berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection pressure). Penggunaan
antibiotik empiris berspektrum luas masih dibenarkan pada keadaan tertentu, selanjutnya
dilakukan penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan mikrobiologi
(streamlining atau de-eskalasi). Beberapa masalah dalam pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit perlu diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium
mikrobiologi yang memadai, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam
kegiatan perlu ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan
penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman
penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan
penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit
infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti
mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-
limited). Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan
klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara
bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada
laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang
berkaitan dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotic secara bijak yang
bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di
tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.
b. Kebijakan Pengguanaan Antibiotik di Rumah Sakit
Pengendalian penggunaan antibiotik dalam upaya mengatasi masalah resistensi
antimikroba dilakukan dengan menetapkan “Kebijakan Penggunaan Antibiotik di Rumah
Sakit”, serta menyusun dan menerapkan “Panduan Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan
Terapi”. Dasar penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit
mengacu pada Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran, dan Pola mikroba dan kepekaan antibiotik setempat.
1. Kebijakan Umum
a. Kebijakan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin.
b. Kebijakan pemberian antibiotik terapi meliputi antibiotik empirik dan definitif
Terapi antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau diduga
infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
Terapi antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.
c. Kebijakan pemberian antibiotik profilaksis bedah meliputi antibiotic profilaksis atas
indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi sebagaimana tercantum dalam
ketentuan yang berlaku.
Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan
paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan
tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong dalam
pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik profilaksis
2. Kebijakan Khusus
a. Pengobatan awal
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri diberi
antibiotik empirik selama 48-72 jam.
2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan laboratorium
dan mikrobiologi.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi.
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
setempat.
c. Prinsip pemilihan antibiotik.
1) Pilihan pertama (first choice).
2) Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan automatic stop
order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu profilaksis, terapi empirik,
atau terapi definitif.
e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara berkala/tahun.
2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat.
3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka diupayakan adanya
pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
c. Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten
Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit dilakukan melalui upaya
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni
mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu
dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat)
upaya berikut ini :
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face
shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak
memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien dengan pola
penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba multiresisten pada individu
pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal pada carrier MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau Multidrug-Resistant
Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),
bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), atau mikroba
multiresisten yang lain.
Apabila ditemukan mikroba multiresisten sebagai penyebab infeksi, maka laboratorium
mikrobiologi segera melaporkan kepada tim PPI dan dokter penanggung jawab pasien, agar
segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain mikroba multiresisten tersebut.
Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat dilakukan
dengan uji resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh
mikroorganisme, terutama mikroba yang patogen. Metode yang biasa dipakai adalah
metode Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara untuk menentukan sensitifitas antibiotik
untuk bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona
hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah:
a. Ketebalan media agar: Dapat mempengaruhi penyebaran dan difusi antibiotik yang
digunakan.
b. Umur bakteri: Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk diuji karena
mendekati kematian dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri
berumur sedang (fase eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi, pertumbuhan
cepat sehingga lebih peka terhadapa daya kerja obat dan hasilnya lebih akurat.
c. Waktu inkubasi: Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak dengan
optimal dan cepat. Waktunya minimal 16 jam.
d. pH, temperature: Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh yang
berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature yang optimal.
e. Konsentrasi antibioti: Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter
hambatannya..
f. Jenis antibiotic: setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit).

Anda mungkin juga menyukai