Bab Ii Ppra
Bab Ii Ppra
PEMBAHASAN
A. ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang merugikan manusia,terbatas yang
bukan parasit diantaranya antibiotika, antiseptika, khemoterapeutika, preservative.
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang dalam
konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme
lain. Antibiotik bersifat toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak toksik pada sel inang
(host).
Penggolongan antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel.
Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor DNA
dan RNA) dan senyawa-senyawa lain yang dipelukan untuk pertumbuhan seluler dan
replikasi. Untuk banyak mikroorganisme, asam p-amino benzoate (PABA) merupakan
metabolit utama. Antimikroba seperti sulfonamide secara struktur mirip dengan
PABA, asam folat, dan akan berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam
folat, Jika senyawa antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka akan
terbentuk asam folat non fungsional yang akan mengganggu kehidupan
mikroorganisme.
Contoh obat: Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat
2. Penghambatan sintesis dinding sel
Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi lemah dank arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau lisis
sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin, sefalosforin, sikloserin,
vankomisin, basitrasin, dan antifungi gol. Azol.
3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel
Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang mempengarui
permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme,
sehingga sel mengalami kerusakan bahkan mati. Contoh Obat : polimiksin, nistatin,
dan amfoteresin B
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible
Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan menghambat reaksi
transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari
situs aseptor kesitus donor yang menyebabkan sitesis protein terhenti.
Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, dan
pristinamisin
5. Pengubahan sintesis protein
Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, yang pada
akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Contoh obat : aminoglikosida
6. Penghambatan asam nukleat
Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri, contoh obat : gol.
Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase , dan yang menghambat
topoisomerase Contoh obat : golongan kuinolon
7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol :
Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA polimerase virus
(asiklovir ),
menghambat transkriptase balik (zidovudin)
Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin)
Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor protease HIV atau
neuranidase
influenza.
Berdasarkan spektrumnya
1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis mikroba
2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif maupun gram negatif.
Contoh obat: tetrasiklin, amfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifampisin, turunan
penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbanesilin, hetasilin, pivampisilin,
sulbenisilin, dan tirkasilin), dan sebagian besar turunan sefalosporin
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram positif. Contoh obat:
basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin sprt benzilpenisilin, penisilin G
prokain, penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat, dan
beberapa turunan sefalosporin.
4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram negatif. Contoh obat:
kolkistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae (antituberkulosis).
Contoh obat: streptomisin, kanamisin, sikloserin, rifampisin, viomisin, dan kapreomisin
6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat: griseofulvin, dan
antibiotik polien seperti nistatin, amfoterisin B, dan kandisidin
7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh obat: aktinomisin,
bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin
B. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh
antimikroba. Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup.
Pembagian resistensi :
a. Resistensi genetic
1. Mutasi spontan
gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur resisten bermultiplikasi,
yang peka terbasmi, tersisa populasi resisten
2. Resistensi dipindahkan
- Transformasi
- Transduksi
- Konjugasi
b. Resistensi silang
Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga memperlihatkan resistensi
terhadap Antimikroba yang lain terjadi :
- antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip
- antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip
Mekanisme resistensi :
1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel
3. Inaktivasi obat oleh mikroba
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh mikroba
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, yaitu
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci
(VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan
Extended-Spectrum BetaLactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii
dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000; Stevenson et al.
2005). Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak
bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas
pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study)
terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%).
Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja
antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui
mekanisme transport aktif ke luar sel.
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL) yang mampu
menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan
tahap awal menuju resisten.
Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada
Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari
pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan pada pasien
terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998).
Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen penyandi protein
(Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan
menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2 cara,
yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure.
Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit
(untuk bakteriyang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi
oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya
penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit.
Resistensi Antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek
antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Pengendalian Resistensi
Antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya
kejadian mikroba resisten. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang selanjutnya
disingkat KPRA adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka
mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan
di masyarakat.
Masalah resistensi antimikroba terutama resistensi antibiotik merupakan masalah
kesehatan masyarakat secara global. Penggunaan antimikro khususnya antibiotik yang tidak
rasional dan tidak terkendali merupakan sebab utama timbul dan menyebarnya resistensi
antimikroba secara global, termasuk munculnya mikroba yang multiresisten terhadap
sekelompok antibiotik terutama di lingkungan rumah sakit (health care associated infection).
Malasah yang dihadapi sangat serius dan bila tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, akan
timbul dampak yang merugikan seperti pada era preantibiotik.
Organisasi kesehatan sedunia (world health organization, WHO) telah secara pro aktif
menyikapi masalah ini. Berbagai upaya dan strategi telah disusun antara lain intervensi
edukasi berupa edukasi formal, seminar, pelatihan, penyebaran brosur dan literatur ;
intervensi managerial seperti penyusunan formularium rumah sakit, panduan/pedoman
pengobatan, kebijakan penggunaan antibiotik, supervise klinik, audit medik dan sebagainya,
serta intervensi regulasi di kalangan profesi medis dan paramedic seperti registrasi dan ijin
praktek tenaga dokter.
Semua kegiatan tersebut di atas memerlukan pendekatan multidisiplin baik dalam
perencanaan maupun implementasi di lapangan agar promosi penggunaan antimikroba secara
optimal dan penanggulangan infeksi dapat terwujud. Kebijakan WHO ini juga ditanggapi
positif oleh pemerintah Indonesia melalui seperangkat kebijakan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 8 tahun
2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit antara lain yaitu
penilaian infrastruktur rumah sakit untuk mendukung Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA) di tingkat rumah sakit.
Tugas dan fungsi Tim pelaksana PPRA antara lain:
1. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba
2. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan
pengaduan penggunaan antibiotik di rumah sakit
3. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba
4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan
program pengendalian resistensi antimikroba
5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi
6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaanya terhadap antibiotik
7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik
8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip
pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan
terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba
10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada
Kepala/Direktur rumah sakit
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dibentuk melalui
keputusan kepala/direktur rumah sakit. Susunan tim pelaksana Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Kualifikasi
ketua tim PPRA merupakan seorang klinisi yang berminat di bidang infeksi. Dalam
melaksanakan tugasnya, tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
bertanggung jawab langsung kepada kepala/direktur rumah sakit.
Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba harus
merupakan tenaga kesehatan yang kompeten. Bila dalam hal pelaksanaanya terdapat
keterbatasan tenaga kesehatan yang kompeten, keanggotaan tim pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba disesuaikan dengan unsur tenaga kesehatan yang
tersedia. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah
sakit paling sedikit terdiri atas unsur:
a. klinisi perwakilan SMF/bagian;
b. keperawatan;
c. instalasi farmasi;
d. laboratorium mikrobiologi klinik;
e. komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan
f. Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT).
Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan metode audit kuantitas
penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik. Pemantauan atas muncul dan
menyebarnya mikroba multiresisten di rumah sakit dilakukan melalui surveilans mikroba
multiresisten. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit dilakukan melalui:
e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui forum kajian
kasus infeksi terintegrasi