Anda di halaman 1dari 11

BAB II

ISI
2.1 Antibiotik
Antibiotik berasal dari kata anti dan bios yang berarti kehidupan. Antibiotik
merupakan salah satu zat yang dapat membunuh atau melemahkan suaatu
mikroorganisme seperti bakteri, parasit atau jamur. Jadi, antibiotik merupakan zat
yang dibutuhkan saat terserang infeksi mikroorganisme tersbut (Utami, 2012).
Antibiotik adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh berbagai spesies
mikroorganisme dan bersifat toksik terhadap spesies mikroorganisme lain. Sifat
toksik senyawa-senyawa yang terbentuk memiliki kemampuan mwnghambat
pertumbuhan bakteri (efek bakteriostatik) da nada yang membunuh bakteri (efek
bakteristatik) yang kontak dengan antibiotik tersebut. Antibiotik telah banyk
digunakan dalam dunia kedokteran, peternakan, pertanian, dan beberapa bidang lain
(Sumardjo, 2008).
Cara kerja antibiotik adalah dnegan menghentikan proses metabolisme suatu
bakteri. Berdasarkan sifat dan daya hancurnya, antibiotik dibagi menjadi dua macam
yaitu (Utami, 2012):
a. Antibiotik bersifat bekterisidal yaitu antibiotik yang bersifat destruktif dan dapat
merusak suatu bakteri.
b. Antibiotik bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang bekerja menghambat
pertumbuhan atau perkembaangbiakan suatu bakteri.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu (Utami,
2012):
a. Antibiotik penghambat reaksi kimia dinding sel
Obat antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu penisilin, sefalosporin,
basitrasin, vankomisin, ristosetin dan sikloserin.
b. Antibiotik penghambat reaksi kimia asam nukleat sel mikroba
Obat antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu rifampisin dan asam
nalidiksat.
c. Antibiotik penghambat reaksi kimia protein
Obat antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu aminoglokosida,
makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
d. Antibiotik penghambat fungsi membrane sel
Obat antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu lonomycin, ionimycin
dan valinomycin. Lonomycin berfungsi meningkatkan kadar kalsium pada sel
bagian dalam sehingga mengganggu keseimbangan pertukaran cairan dan
menyebabkan kebocoran sel.
e. Antibiotik penghambat metabolisme sel mikroba
Obat antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini yaitu penisilin, sulfonamid,
trimethoprim dan asam p-aminosalisilat.
Pemberian antibiotik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (Utami, 2012):
a. Penggunaan dengan cara oral (masuk lewat mulut) yang dikonsumsi sesuai
dengan aturan.
b. Penggunaan dengan cara intravena (melalui infus) untuk menangani kasus yang
lebih serius.
c. Penggunaan dapat digunakan langsung ke daerah yang sakit (digunakan secara
setempat) misalnya tetes mata salep.
Adapaun efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotik yaitu:
a. Reaksi alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem
imun tubuh hospes. Terjadinya tidak tergantung pada besarnya dosis obat.
b. Reaksi idiosinkrasi
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap
pemberian anti mikroba tertentu. Sebagai contoh 10% pria berkulit hitam akan
mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini disebabkan
mereka kekurangan enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).
c. Reaksi toksik
Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semuajenis antimikroba. Tetrasiklin
dapat mengganggu pertumbuhan tulang dan gigi. Dalam dosis besar obat ini
bersifat hepatotoksik.
d. Perubahan biologik dan metabolik
Penggunaan antimikroba berspektrum luas dapat mengganggu keseimbangan
ekologi mikroflora normal tubuh sehingga jenis mikroba yang meningkat
populasinya dapat menjadi patogen. Pada beberapa keadaan perubahan ini dapat
menimbulkan super infeksi, yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi
infeksi primer dengan suatu anti mikroba.

2.2 Macam – Macam Antibiotik

2.1.1 Penisilin
Penisilin ditemukan oleh Fleming pada tahun 1929 di London, setelah
mengamati pertumbuhan stafilokokus tertentu dihambat bila bakteri-bakteri tersebut
terkontaminasi oleh jamur. Kemudian Florey dan Chain berhasil mengisolasi
substansia aktif dari jamur Fleming yang disebut penisilin. Pertama digunakan
penisilin neonatum untuk pemakaian sistemik kemudian digunakan P. Chrysogenum
semasa perang dunia kedua karena kebutuhan meningkat. Penisilin terbagi atas dua
yaitu penisilin alam dan penisilin semisintetis. Penisilin alam diperoleh dengan jalan
mengubah struktur kimia penisilin alam atau dengan cara sintetis inti penisilin yaitu
asam amino penisilat (Munaf, 1994).
Penisilin merupakan antibakterial pertama yang digunakan untuk terapi dan
termasuk dalam kelas beta-laktam (Sweetman, 2009). Golongan penisilin mempunyai
persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja, farmakologi, dan karakterisktik
imunologis dengan sefalosforin, monobaktam, karbapenem, dan penghambat beta-
laktamase. Semua obat tersebut merupakan senyawa beta laktam yang dinamakan
demikian karena mempunyai cincin laktam beranggota empat yang unik (Katzung,
2012).
Menurut Munaf (1994), berdasarkan aktivitas antimikrobanya turunan penisilin
dibagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Penisilin G dan penisilin V yang sangat aktif terhadap kokus gram positif, tetapi
mudah dihidrolisir oleh penisilanase. Sehingga obat ini tidak aktif terhadap
sebagian besar strain stafilokokus.
2. Penisilin retensi penisilanase seperti metisilin, nafsilin, oksasilin, kloksasilin,
diklosasilin, kurang sensitif terhadap mikroorganisme yang sensitif terhadap
penisilin G, tetapi merupakan obat pilihan terhadap stafilokokus aureus penghasil
penisilanase.
3. Ampisilin, amoksisilin dan hetasilin termasuk satu grup penisilin dimana aktivitas
antimikrobanya lebih luas termasuk mikroba gram negatif seperti Hemofilus
influenza, Eshericia coli, Prosteus mirabilis.
4. Karbenislin, tikarsilin, dan azlosilin digunakan untuk Pseudomonas, Enterobacter,
dan spesies Proteus.
5. Grup penisilin baru. Mezlosin dan piperasilin berguna untuk Klebsiela dan
mikroorganisme gram negatif tertentu.
Salah satu contoh obat golongan penisilin yang sering dikenal masyarakat adalah
amoksisilin. Amoksisilin adalah antibiotik golongan ß-laktam dengan spektrum luas
digunakan untuk pengobatan infeksi pada saluran napas, saluran empedu dan saluran
seni, gonorhu, gastroenteritis, meningitis dan infeksi karena Salmonella sp., seperti
demam tipoid. Amoksisilin merupakan turunan penisilin yang tahan asam tetapi tidak
tahan terhadap penisilanase. Beberapa keuntungan dibandingkan ampisilin adalah
penyerapan obat dalam saluran cerna lebih sempurna, sehingga kadar darah dalam
plasma dan saluran seni lebih tinggi, serta adanya makanan tidak mempengaruhi
penyerapan obat (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Gambar 2.1 Sruktur Molekul Amoksisilin


Amoksisilin mengandung tidak kurang dari 90,0% C16H19N3O5S terhadap zat
anhidrat. Mempunyai potensi setara dengan tidak kurang dari 900 µg dan tidak lebih
dari 1050 µg per mg. Pemerian amoksisilin berupa serbuk hablur, putih, praktis tidak
berbau. dihitung , dihitung terhadap zat anhidrat dengan sifat kelarutan yang sukar
larut dalam air dan methanol; tidak larut dalam benzen, dalam karbon tetraklorida dan
dalam kloroform.

2.2.2 Sefalosporin
Sefalosporin pertama kali didapatkan oleh Brotza pada tahun 1948, yang
dihasilkan oleh jamur Cephalosporium acremonium (Rahardjo, 2004), termasuk
antibiotik β-laktam dengan struktur, sifat dan khasiat yang mirip dengan penisilin.
Namun, sefalosporin memiliki beberapa keuntungan dibanding penisilin, yaitu
spektrum anibakteri yang luas dan resisten terhadap penisilinase asal stafilokoki,
tetapi tetap tidak efektif terhadap stafilokoki yang resisten terhadap metisilin.
Berdasarkan khasiat antimikroba dan resistensinya terhadap betalaktamase,
sefalosporin dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu sefalosporin generasi pertama-
sefalosporin generasi keempat (Tjay & Rahardja, 2007).
Salah satu safalosporin generssi pertama adalah sefadroksil yang memiliki
aktivitas baik untuk bakteri Gram positif, sedangkan untuk bakteri Gram negatif
memiliki aktivitas yang sedang (Pratiwi, 2017). Antibiotika tersebut dianjurkan pula
penggunaannya untuk pengobatan radang hulu kerongkongan atau sakit tenggorokan,
infeksi saluran kemih dan infeksi kulit. Sefadroksil bersifat tahan terhadap asam
dan potensi ikatan dengan serum relatif rendah sehingga sangat efektif untuk
membunuh bakteri. Sefadroksil mempunyai kemiripan struktur kimia dengan
Sefaleksin yang juga merupakan antibiotika sefalosporin generasi pertama.
Perbedaannya adalah terdapatnya gugus p-OH pada cincin fenil sefadroksil
(Susidarti, 2008).
Gambar 1. Struktur Sefadroksi (Susidarti, 2008)

2.2.3 Tetrasiklin
Tetrasiklin (TCs) yang meliputi oksitetrasiklin (OTC), tetrasiklin (TC) dan
klortetrasiklin (CTC) merupakan golongan antibiotika yang banyak digunakan dalam
dunia peternakan untuk pengobatan dan sebagai imbuhan pakan (Widiastuti dkk.,
2010). Tetrasiklin merupakan antibiotik yang bersifat baktriostatik dan bekerja
dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Tetrasiklin memiliki spektrum
yang luas, artinya antibiotik ini memiliki kemampuan melawan sejumlah bakteri
patogen.

Gambar 2.3 Struktur molekul tetrasiklin


Oleh karenanya tetrasiklin merupakan obat hewan yang banyak digunakan
termasuk di Indonesia, karena harganya murah dan mudah diperoleh. Penggunaan
tetrasiklin yang berlebihan dapat meninggalkan residu dala produk peternakan
tersebut, termasuk daging ayam. Implikasi klinis yang dapat terjadi, antara lain alergi,
keracunan, dan resistensi (Nofita dkk., 2016). Pemberian tetrasiklin telah diatur
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6066-2000 yaitu tidak boleh melebihi 0,1
mg/kg (BSN, 2000). Waktu pemberhentian pemberian tetrasiklin pada hewan ternah
adalah 5 hari sebelum melakukan pemotongan (Lastari dkk., 1987).

2.3 Mekanisme Kerja Antibiotik

2.3.1 Penisilin
Penisilin mempunyai mekanisme kerja dengan cara mempengaruhi langkah akhir
sintesis dinding sel bakteri (transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membran
kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin disebut
bakterisida. Keberhasilan penisilin menyebabkan kematian sel berkaitan dengan
ukurannya, hanya defektif terhadap organisme yang tumbuh secara cepat dan
mensintesis peptidoglikan dinding sel (Mycek et al., 2001).
Adapun mekanisme kerja obat dari salah satu turunan penisilin yaitu amoksisilin
dengan cara diabsorpsi dalam metabolism lalu amoksisilin didistribusikan ke
berbagai jaringan tubuh. Kadar terapi dalam jaringan-jaringan seperti cairan sendi,
pleural, pericardium dan empedu. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam sekresi
prostate, jaringan otak, dan cairan intraokuler (Munaf, 1994).
Resorbsinya amoksisilin lebih lengkap dan pesat dengan kadar darah dua kali
lipat. Waktu paruhya 1-2 jam. Persentasi pengikatan pada protein jauh lebih ringan
daripada pen-G dan pen-V. Difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik, antara
lain ke dalam air liur pasien bronchitis kronis. Kadar bentuk aktifnya dalam kemih
jauh lebih tinggi daripada ampisilin (ca 70%) hingga lebih banyak digunakan pada
infeksi saluran kemih. Efek samping. Gangguan lambung usus dan rash lebih jarang
terjadi (Tjay and Rahardja, 2007).

2.3.2 Sefalosporin
Sefadroksil tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, suspensi dan kapsul.
Antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengganggu cross-linking akhir peptidoglikan dan mengaktifkan enzim otolitik
dinding sel (Theodorus, 2012). Sefadroksil diberikan secara oral dan digunakan pada
infeksi saluran kemih dimana organisme penyebabnya resisten terhadap antibiotik
lain (Neal, 2005). Dosis pemberian sefadroksil (duricef) secara oral untuk dewassa
adalah 500 mg-2 g/hari, dalam dosis terbagi 1-2. Untuk anak-anak 30 mg/kg/hari,
dalam dosis terbagi 2. Dalam pemberian antibiotik sefadroksil perlu diperhatikan
bahwa sefadroksil diabsorpsi dengan baik melalui saluran gastrointestinal, tidak
dipengaruhi oleh makanan, berikatan dengan protein sebanyak 20% dan memiliki
wahtu paruh 1-2 jam (Joyce & Evelyn, 1996).

2.3.2 Tetrasiklin

2.4 Metode Analisa Antibiotik

2.4.1 Amoksisilin
Metode analisis untuk penentuan kadar amoksisilin yaitu dengan elektroforesis
kapiler, spektrofotometri dan HPTLC (Sahoo, et al., 2013) serta Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT). Metode analisis baru bisa diterapkan apabila telah dilakukan
validasi. Hal ini sangat penting untuk mengembangkan metode analisis HPLC yang
akurat, sensitif dan juga keakuratan dari hasil yang didapatkan dapat dipertanggung
jawabkan (Hsu dan Hsu, 1992).
a. Pembuatan Dapar fosfat pH 5
Melarutkan 27,2 gram Monobasik Potassium Pospat didalam 3 L air, adjust 45%
(w/w) natrium hidroksida hingga pH 5.0 + 0.1 (Saptarini, 2012).
b. Fase gerak diuji dengan berbagai kondisi
Fase gerak yang dipilih dan dioptimalkan terdiri dari Asetonitril: Potassium
dihidrogen fosfat dapar (pH 5) (1: 99 v / v) dan kondisi dioptimalkan dengan laju alir
1 ml / menit, panjang gelombang pada 254 nm dan waktu alir 20 menit. Puncak-
puncaknya dipisahkan dan menunjukkan resolusi yang lebih baik, didapatkan pelat
teoritis yang cukup besar jumlah dan simetri puncak yang baik. Kondisi kromatografi
yang diusulkan kondisi sesuai untuk penentuan kuantitatif obat yang akan digunakan
(Sahoo, et al., 2013).
c. Penetapan Fase Gerak
Fase gerak disiapkan dengan mengambil Asetonitril: 0,2 M Potassium dihydrogen
phosphate buffer (pH 5) (1:99 v / v). Fase gerak disaring melalui 0,45 µm filter
membran dan di-degassed di bawah ultrasonik sebelum digunakan. Fase gerak
dipompa melalui kolom dengan laju alir 1 ml / menit. (Sahoo, 2013).
d. Pengujian Sampel
Adapun parameter validasi yang dilakukan adalah uji linieritas, akurasi, presisi,
uji kesesuaian sistem, LOD dan LOQ

2.4.2 sefadroksil
Metode penentuan kadar sefadroksil yang telah dikembangkan antara lain
adalah titrasi alkalimetri, titrasi bebas air, titrasi iodometri, spektrofotometri UV dan
High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Dasar dari metode
spektrofotometri UV untuk penetapan kadar sefadroksil ini adalah adanya gugus fenil
yang berlaku sebagai kromofor dan gugus hidroksil yang berfungsi sebagai
auksokrom. Dalam penelitian yang dilakukan Susidarti,dkk (2008) digunakan
pereaksi etil asetoasetat dan formaldehid. Etil asetoasetat dipilih untuk menggantikan
asetilaseton karena harganya lebih murah. Disamping itu, adanya gugus etoksi
(berasal dari etil asetoasetat) pada hasil reaksi akan dapat meningkatkan intensitas
serapan, karena gugus tersebut merupakan auksokrom. Penetapan kadar sefadroksil
dilakukan melalui dua tahap, yaitu (Susidarti, 2008) :
a. Pengujian Presisi
Sampel sefadroksil “X” (112,5 mg) dari 10 tablet yang memenuhi keseragaman
bobot dan telah digerus homogen dilarutkan dalam akuades hingga volumenya 50,0
mL lalu disaring. Sejumlah 3,0 mL filtrat diencerkan dengan akuades hingga
volumenya 10,0 mL. Sejumlah 5,0 mL larutan diambil dan dimasukkan dalam labu
takar 10,0 mL, kemudian ditambah 4,0 mL larutan pereaksi pH optimum, didiamkan
selama waktu inkubasi optimum pada suhu 450C, didinginkan dan diencerkan dengan
akuades sampai tanda. Larutan berwarna kuning yang terjadi diukur serapannya pada
λmaks. Kadar sefadroksil dihitung dengan memasukkan nilai serapan yang diperoleh
ke dalam persamaan regresi linear kurva baku sefadroksil.
b. Penentuan Recovery
Sejumlah 112,5 mg sampel kapsul sefadroksil “X” dan 10,0 mg baku sefadroksil
dilarutkan dengan akuades dan diencerkan secara kuantitatif dalam labu ukur 50,0
mL, disaring kemudian dipipet 3,0 mL diencerkan dengan akuades dalam labu takar
10,0 mL. Dari larutan ini dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 10,0
mL, ditambah 4,0 mL larutan pereaksi dengan pH optimum, didiamkan selama 20
menit pada suhu 450C, didinginkan dan diencerkan dengan akuades sampai tanda.
Larutan ini menjadi berwarna kuning, yang kemudian diukur serapannya pada λmaks.
Kadar sefadroksil dihitung dengan memasukkan nilai serapan yang diperoleh ke
persamaan regresi linear kurva baku sefadroksil.

2.4.3 Tetrasiklin
Metode pengukuran kada tetrasiklin yang umumnya digunakan adalah metode
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan dapat dideteksi menggunakan detektor
fluoresen, dan UV-VIS (Novita dkk., 2016).
Pengukuran kadar tetrasiklin menggunakan UV-VIS adalah sebagai berikut: (Novita
dkk., 2016).
a. Pembuatan larutan standar Tetrasiklin HCl BPFI
Sejumlah lebih kurang 25,0 mg tetrasiklin hidroklorida (HCl) BPFI ditimbang
seksama, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, dilarutkan dengan HCl 0,1 N lalu
dicukupkan sampai garis tanda dan dikocokk homogen, sehingga diperoleh larutan
dengan konsentrasi 500 µg/mL. larutan ini disebut larutan standar 1 (LS 1). Dari
larutan ini dipipet 5,00 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, lalu diencerkan
dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 50 µg/mL (LS
II).
b. Penentuan Panjang gelombang Serapan Maksimum
Sejumlah 5,00 mL LS II dipipet, dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL,
kemudian diencerkan dengan HCl 0,1 N sampai garis tanda. Lalu dikocok sampai
homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 µg/mL. kemudian diukur
serapan pada panjang gelombang 200-400 nm.
c. Penentuan Kadar Residu Tetrasiklin dalam daging Ayam Pedaging
Sebanyak masing-masing 4,00 mL larutan sampel dipipet dalam 5 labu ukur 25
mL, tambahkan berturut-turut 0,00; 2,50; 3,75; 5,00; dan 6,25 mL LS II, cukupkan
dengan HCl 0,1 N hingga garis tanda sehingga diperoleh masing-masing laruta
terasiklin baku dengan konsentrasi 0,0; 5,0; 7,5; 10,0 dan 12,5 µg/mL. absorbansi dari
masing-masing larutan diukur pada panjang gelombang serapan maksimum kemudian
dibuat grafik absorbansi versus konsentrasi standar. Dengan mengekstrapolasikan
garis pada sumbu X (garis memotong sumbu X) atau mensubstitusikan absorbansi
(Y) = 0 pada persamaan regresi yang diperoleh makan akan diperoleh konsentrasi
residu tetrasiklin dalam larutan sampel yang diukur (Cx). Rumus perhitungan kadar
residu tetrasiklin dalam sampelditulis sebagai berikut.
µg
𝐶𝑥 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑣𝑜𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑚𝐿)
mL
Kadar residu tetrasiklin (mg/kg)= 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (BSB), 2000, Batas Maksimal Cemaran Mikroba dan
Batas Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dalam Standar Nasional
Indonesia, No 01-6366-2000.
Hsu dan Hsu. 1992. High-Performance Liquid Chromatographic Method for
Potencial Determination of Amoxicillin in Commercial Preparations and for
Stability Studies: Antimicroial Agents and Chemotherapy Vol.36,No.6
Joyce, L. K., & Evelyn, R. H. (1996). Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.
(Y. Asih, Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. 2012. Basic and clinical pharmacology. 11th
ed. New York: McGraw-Hill.
Lastari P., Krisyanto, E.H dan Pracoyo, N.I, 1987, Analisa Residu Tetrasikin dalam
Ayam Broiler, Cerminan Dunia Kedokteran, 46: 28-30.
Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar
2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.
Munaf, Syamsuir. 1994. Catatan Kuliah Farmakologi Bagian III. Jakarta: EGC
Neal, M. J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis (5th ed.). Erlangga.
Nofita., Rinawati., dan Qudus, H.I, 2016, Validasi Metode Matrix Solid Phase
Dispersion (MSPD)-Spektrofotometri UV untuk Analisis Residu Tetrasiklin
dalam Daging Ayam Pedangan, 138 Jurnal Kesehatan, 7(1), hal 136-143.
Pratiwi, R. H. (2017). MEKANISME PERTAHANAN BAKTERI PATOGEN
TERHADAP ANTIBIOTIK. Jurnal Pro-Life, 4(3).
Rahardjo, R. (2004). Kumpulan Kuliah Farmakologi (2nd ed.). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Sahoo NK, Sahu M, Algarsamy V, Srividya B and Sahoo CK. 2016. Validation of
Assay Indicating Method Development of Amoxicillin in Bulk and One of Its
Marketed Dosage Form by RP-HPLC. Ann Chromatogr Sep Tech. 2(1): 1014.
Saptarini, 2012. Evaluation of Content and Dissolution profile of Generic
Amoxicillin Marketed in Indonesia: International esearch Journal of Pharmacy
3(12).
Siswandono dan Soekardjo, B., 1995, Kimia Medisinal, 28-29, 157, Airlangga
University Press, Surabaya.
Sumardjo, D., 2008, “Pengantar kimia: Buku Panduan kuliah Mahasiswa kedokteran
dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta”, Buku kedokteran EGC, Jakarta.
Susidarti, R. A. (2008). Penetapan Kadar Sefadroxil Secara Spektrofotometri Visibel
Menggunakan Pereaksi Etil Asetoasetat Dan Formaldehid. Majalah Farmasi
Indonesia, 19(1), 41–47.
Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference, Thirty Sixth
Edition, Pharmaceutical Press, New York.
Theodorus. (2012). Peresepan Obat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting (6th ed.). Jakarta: PT ELEX
MEDIA KOMPTINDO.
Utami, P., 2012, “Antibiotik alami untuk mengatasi Aneka Penyakit”, AgroMedia
Pustaka, Jakarta.
Widiastuti, R., Murdiati, T.B dan Anastasia, Y, 2010, Residu Tetrasiklin pada Daging
Ayam Pedagang dari Wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi yang Dideteksi
Secara Kromatofrafi Cair Kinerja Tinggi, Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner.

Anda mungkin juga menyukai