PENDAHULUAN
diabetes melitus masih sulit menurunkan kadar gula darah meski telah menggunakan
pola diit yang teratur. Tidak teraturnya pola diet di masyarakat dipengaruhi kurangnya
pengetahuan tentang pola diit yang telah diberikan. Padahal, bagi penderita diabetes
pengaturan diet adalah suatu metode penting yang harus dilakukan utuk mengontrol
penyakit tersebut (Utami, 2008). Diet yang baik adalah diet yang disesuaikan dengan
kebutuhan kalori klien tetapi tidak meningkatkan kadar glukosa darah. Namun pola
diet pada pasien diabetes melitus tidak teratur dikarenakan individu belum
untuk mandiri terhadap pola dietnya, padahal hal tersebut sangatlah penting
(Rafanani, 2012).
Menurut Yunir (2006), masalah yang selalu timbul pada penderita Diabetes
Mellitus adalah cara mempertahankan kadar glukosa darah penderita supaya tetap
dalam keadaan terkontrol, aktivitas fisik merupakan hal yang paling sering diabaikan
oleh penderita DM. Hal Ini disebabkan karena banyak penderita Diabetes mellitus
penderita DM. Seperti dalam penelitian Kaizu (2014), bahwa aktivitas fisik
merupakan kontrol gula darah yang baik dan menurunkan faktor resiko terjadinya
terdapat 382 juta orang didunia menderita diabetes melitus tipe II dengan kematian
mencapai 4,6 juta orang. Pada tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat kesepuluh
dunia dengan jumlah penderita diabetes melitus tipe II sebanyak 6,6 juta orang,
Indonesia menempati ututan ke-7 dari 10 negara dengan penderita diabetes tertinggi
jumlah penderita di Indonesia mencapai 9,1 juta orang, dari peringkat ke-7 menjadi
peringkat ke-5 teratas diantara nergara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di
dunia
Indonesia sebesar 1,5%. Pada tahun 2030 untuk indonesia diperkirakan pada tahun
2030 akan memiliki penyandang diabetes sebanyak 21,3 juta jiwa (Depkes,2013).
Sementara, di Sumatera barat diperkirakan sebanyak 3,4 juta jiwa menderita DM tipe
dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi sebesar 4,8% (Kemenkes, 2013).
Penderita Diabetes Melitus di RSUD dr Mohammad Zyn Sampang Madura
adalah . . . . . . . .
asupan karbohidrat, penurunan sekresi insulin, peningkatan luaran glukosa hati, stress
berlebih, peningkatan asupan glukosa perifal (resistensi insulin) dan kurang aktivitas
fisik. Hiperglikemia merupakan keadaan dimana gula darah melebihi batas normal,
biasanya lebih dari 200 ml/dl (Mahendra Dkk, 2008). Hiperglikemia ini biasanya
terjadi akibat tubuh tidak memproduksi insulin secara cukup untuk mengendalikan
kadar gula darah atau jika tubuh tidak memproduksi insulin sama sekali. Peningkatan
kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang berlangsung dalam waktu yang lama dapat
aktivitas fisik memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan kadar gula
dalam darah, dimana saat melakukan aktivitas fisik terjadi peningkatan pemakaian
glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan
glukosa darah, selain itu dengan aktivitas fisik dapat menurunkan berat badan,
fisik ini dilakukan secara benar dan teratur. Anjuran olahraga atau aktivitas fisik
sebetulnya bukan merupakan hal yang baru sebelum di temukanya insulin pada tahun
1921, namun pada waktu itu belum jelas aktivitas fisik yang harus dilakukan seperti
jenis latihan, dosis, frekuensi maupun intensias dari latihan (Soegondo, Subekti,
Pradana, 2007). Menurut Misdiarly (2006), dampak dari kurangnya aktivitas fisik
yang bersifat akut maupun kronis. Beberapa komplikasinya yakni seperti kebutaan,
penyakit gagal ginjal terminal, bahkan amputasi ekstremitas bawah. Kondisi tersebut
dapat membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat. Stres yang
menetap menimbulkan respon berupa aktivasi sistim saraf simpatis dan peningkatan
hormon kortisol. Kortisol ini akan meningkatkan konversi asam amino, laktat dan
interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Intervensi terhadap life
style, pola makan yang kelebihan kalori, termasuk pengendalian glukosa darah,
terbukti memberi dampak positif terhadap perjalanan penyakit dengan perkataan lain
hadirnya faktor ini akan memperburuk toleransi tubuh terhadap glukosa, yang berarti
makan, olah raga atau gerak badan dan obat (tablet atau insulin). Edukasi bisa dalam
hanya saja ada pengawasan jumlah, jenis dan jadwal. Kepatuhan diet ada harus ditaati
oleh penderita DM agar glukosa darahnya stabil. Menurut Strong (2011) menyatakan
tinggi badan, berat badan dan tingkat aktivitas pasien dengan pedoman dari
protein 10-20%, dan lemak 20-25% serta karbohirdrat 45-65%. Menurut Susanto
(2013), seseorang yang mengalami stres cenderung memiliki gaya hidup dan pola
makan yang buruk, dan sudah diketahui bahwa kedua hal tersebut merupakan pemicu
DM. Peningkatan kortisol secara kronik dapat menyebabkan hancurnya daya tahan
tubuh. DM dapat meningkat berawal adanya tuntutan pankreas yang berlebih untuk
mendapatkan insulin. Respon stres karena makan makanan yang banyak mengandung
kadar glukosa lebih buruk akibatnya karena aliran darah telah banyak mengandung
glukosa yang tinggi sebagai respon alami tehadap stress (Hanson, 2010).
Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan edukasi yaitu
penderita diabetes dapat hidup lebih lama, karena kualitas hidup sudah merupakan
kebutuhan bagi seseorang, serta kengininan igin merawat dirinya sendiri, sehingga
komplikasi yang mungkin timbul dapat dikurangi, selain itu juga jumlah hari
sakit penyandang diabetes dapat diminimalisir sehingga penderita dapat berfungsi dan
Diabetes Melitus.
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan tinjauan keilmuan di bidang keperawatan medikal bedah
professional.
1.4.4 Manfaat Bagi Responden
Dapat menjadi bahan tambahan wawasan kesehatan dalam upaya keberhasilan
pengobatan pasien Diabetes Melitus dan terus tetap menjaga pola hidup sehat.