Anda di halaman 1dari 96

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan Aerasi untuk Menurunkan Polutan Lindi

Pengolahan lindi menjadi efluen yang aman untuk dibuang ke lingkungan


dilakukan melalui proses aerasi dengan memberikan empat laju alir udara yang
berbeda (0 liter/menit, 10 liter/menit, 30 liter/menit dan 70 liter/menit). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi yang berasal dari kran atas menunjukkan
kualitas lebih baik dibanding sebelumnya. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan
polutan dari lindi terjadi pada perlakuan pemberian udara pada laju aerasi
70 liter/menit. Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang
diukur saat percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 2 - Tabel Lampiran 4.

4.1.1 Pengaruh Laju Aerasi terhadap Efektivitas Penurunan BOD5, COD, E. coli,
NH3 dan Sulfida

Pengolahan aerasi merupakan cara tradisional dalam pengolahan lindi. Cara ini
efektif dalam menghilangkan pencemar organik terlarut yang terdapat dalam lindi (Abbas
et al., 2009). Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 yang ada dalam lindi mengalami
penurunan. Besar penurunan tiap jam dari masing-masing laju aerasi sebagaimana
disajikan pada Gambar 13 dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5 dari
keempat laju aerasi disajikan pada Gambar 14.

Gambar 13. Fluktuasi nilai BOD5 pada 4 taraf laju aerasi

56
Gambar 13 memperlihatkan bahwa perlakuan dengan laju aerasi tertinggi
(70 liter/menit) menyebabkan BOD5 mengalami penurunan yang drastis dan mencapai
nilai terendah (73,12 ppm) dalam waktu yang paling singkat yakni pada jam ke 2.
Pada laju aerasi 30 liter/menit, BOD5 minimum (81,36 ppm) dicapai pada jam ke 5,
sedangkan pada perlakuan dengan laju aerasi 10 liter/menit dan 0 liter/menit, nilai-
nilai BOD5 pada jam ke 2 dan jam ke 5 masih jauh lebih tinggi dibanding nilai BOD5
pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan
nilai BOD5 terdapat pada perlakuan pemberian udara dengan laju aerasi 70 liter/menit
(Gambar 14).
Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa laju aerasi berpengaruh terhadap laju
penurunan nilai BOD5. Metcalf dan Eddy (2003) mengemukakan bahwa penghilangan
BOD5 terjadi sebagai akibat degradasi bahan organik oleh mikroorganisme menjadi zat-
zat lain yang lebih sederhana. Disamping itu, menurut Park et al. (2004), penurunan
BOD5 juga dapat disebabkan bahan organik terlarut dapat teroksidasi langsung akibat
keberadaan oksigen.

Gambar 14. Efektivitas penurunan BOD5 (%) dari masing-masing laju aerasi

57
Perhitungan terhadap laju penguraian BOD5 pada empat taraf laju aerasi dilakukan
dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Peterson dan Cummin (1974
dalam Goldman dan Horne (1983)) dengan hasil disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Laju penguraian BOD5 (k) tiap jam pada 4 tingkat laju aerasi

Gambar 15 memperlihatkan bahwa perlakuan pengolahan lindi dengan


memberikan udara pada laju 70 liter/menit selalu mempunyai laju penguraian BOD5
tertinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan pemberian udara dengan laju 30 liter/menit dan
10 liter/menit. Laju penguraian BOD5 pada perlakuan tanpa aerasi memiliki nilai
terendah. Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shofuan (1996) yang melakukan penelitian
dengan mengolah limbah cair dari rumah sakit di Jakarta dengan menerapkan beberapa
tekanan aerasi yang berbeda mendapatkan bahwa tekanan aerasi berpengaruh terhadap
penurunan nilai BOD5. Berdasarkan hasil penelitiannya, laju penurunan BOD5 (k)
tertinggi terjadi pada tekanan aerasi 2 atm yang dilakukan selama 5 jam, yakni sebesar
0,4465. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), nilai k dalam kondisi normal berkisar antara
0,05 – 0,3 per hari.

58
Laju penguraian BOD5 dari pengolahan melalui pemberian udara pada laju
70 liter/menit selama 4 jam ternyata hampir mendekati nilai laju penguraian BOD5
dengan menggunakan aerasi bertekanan 2 atm yang dilakukan Shofuan (1996) yakni
0,4587 (Gambar 15). Bila mengacu pada pendapat Peterson dan Cummin dalam
Goldman dan Horne (1983) seperti pada Tabel 26, maka perlakuan dengan laju aerasi
70 liter/menit, 30 liter/menit dan 10 liter/menit tergolong cepat mulai dari jam ke 1
hingga jam ke 6.

Tabel 26. Hubungan nilai k dengan laju penguraian BOD5


Nilai k Kriteria
> 0,01 Cepat
0,005 - 0,01 Moderat
< 0,005 Lambat
Sumber : Peterson dan Cummin (1974 dalam Goldman dan Horne (1983)

Di dalam limbah cair yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat
tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses ada
makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa
bahan organik yang biodegradable (BOD5). Proses penguraian bahan organik oleh
mikroorganisme membutuhkan oksigen yang cukup (Sugiharto, 1987). Oleh karenanya,
selama proses aerasi berlangsung, nilai BOD5 menjadi berfluktuasi setiap saat sebagai
akibat bahan tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang
biak. Bahan organik (BOD5) dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk diubah menjadi
sel-sel tubuh maupun senyawa lain yang relatif tidak berbahaya dan sebagian lagi menjadi
bahan yang mudah menguap, diantaranya CO2. Pemanfaatan bahan organik dalam
limbah cair yang diproses menjadi sel-sel tubuh mikroorganisme mengakibatkan jumlah
mikroorganisme dalam limbah cair tersebut juga mengalami fluktuasi.
Nilai MLVSS sering dijadikan sebagai petunjuk tidak langsung jumlah
mikroorganisme yang berada dalam bahan yang diproses. Nilai ini penting diketahui
untuk mendapatkan saat mikroorganisme berada dalam jumlah maksimal, terutama untuk
dijadikan sebagai sumber lumpur aktif yang akan dimasukkan ke dalam tangki
pemrosesan yang akan digunakan dalam proses pengolahan berikutnya dengan tujuan
agar pengolahan berikutnya menjadi lebih cepat dalam volume tertentu. Fluktuasi nilai
MLVSS selama 6 jam proses aerasi yang diperoleh dari hasil percobaan disajikan pada
Gambar 16.

59
Gambar 16. Fluktuasi nilai MLVSS pada 4 taraf laju aerasi

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai MLVSS dari perlakuan pemberian udara


dengan laju 70 liter/menit mencapai maksimal (2166 mg/l) terjadi dalam waktu yang
relatif lebih cepat dibanding perlakuan lain yakni pada jam ke 2, sedangkan
pada laju aerasi 30 liter/menit dicapai pada jam ke 5 (2029 mg/l). Pada laju aerasi
10 liter/menit nilai MLVSS masih di bawah nilai MLVSS dari perlakuan 70 liter/menit
dan 30 liter/menit.
Pada laju aerasi 70 liter/menit dan 30 liter/menit, nilai MLVSS maksimum dan
nilai BOD5 minimum tercapai pada waktu yang sama (Gambar 13 dan Gambar 16).
Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara nilai MLVSS (jumlah mikroorganisme)
dengan jumlah makanan yang tersisa (BOD5). Informasi ini penting artinya dalam
menentukan waktu saat proses aerasi sebaiknya dihentikan apabila hanya BOD5 saja yang
menjadi target untuk dihilangkan dalam proses pengolahan lindi dan akan memanfaatkan
lindi yang diproses pada saat tersebut sebagai bahan lumpur aktif.
Pada dasarnya, proses pengolahan limbah cair dengan cara memberikan udara pada
laju yang tinggi ke dalam air limbah ditujukan untuk meningkatkan jumlah oksigen
terlarut dalam bahan yang diproses. Oksigen penting artinya karena oksigen diperlukan
dalam jumlah cukup agar mikroorganisme aerobik maupun fakultatif aktif dalam
mendegradasi bahan pencemar yang biodegradable. Semakin tinggi laju aerasi membuat
oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi polutan yang
biodegdradable menjadi semakin terpenuhi dan tidak menjadi faktor pembatas bagi

60
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak dibanding pada proses pengolahan
yang dilakukan dengan memberikan udara pada laju yang lebih rendah. Hasil penelitian
ini menunjukkan pemberian udara menyebabkan oksigen terlarut (dissolve oxygen (DO))
pada lindi menjadi meningkat (Gambar 17).

Gambar 17. Fluktuasi nilai DO pada 4 taraf laju aerasi

Gambar 17 memperlihatkan bahwa laju aerasi 70 liter/menit memberikan


sumbangan terhadap peningkatan DO yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif lebih
cepat dibanding laju aerasi 30 liter/menit,10 liter/menit dan tanpa aerasi (0 liter/menit).
Hal ini pula yang menyebabkan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan bahan organik yang non
biodegradable (COD) dengan tingkat efektifitas tertinggi (74,53%) dibanding perlakuan
dengan laju aerasi yang lebih rendah (30 liter/menit, 10 liter/menit dan 0 liter/menit)
(Gambar 18 dan Gambar 19). Menurut Park et al. (1994), suplai udara yang tinggi dapat
berperan dalam oksidasi secara langsung bahan-bahan organik yang non biodegradable
sehingga dapat menurunkan kandungan COD dalam air limbah.

61
Gambar 18. Nilai COD pada jam ke 6

Gambar 19. Efektivitas penurunan COD pada jam ke 6

Kenaikan konsentrasi oksigen sebagai akibat pemberian udara dengan laju yang
tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang toksik terhadap
proses enzimatik metabolisme bakteri anaerob sehingga mengakibatkan pertumbuhan
bakteri anaerob yang umumnya merupakan bakteri patogen menjadi terhambat (Park et
al., 1994). Hal ini ditunjukkan oleh jumlah E. coli (bakteri yang umum digunakan

62
sebagai petunjuk keberadaan bakteri patogen) yang semakin rendah dengan
meningkatnya laju aerasi. Pada proses pengolahan dengan laju aerasi 70 liter/menit
selama 6 jam ternyata mampu menyebabkan nilai E. coli terendah (450 MPN/100 ml)
(Gambar 20) dengan efektifitas penghilangan E. coli tertinggi (66,49%) dan berbeda
nyata dibanding perlakuan dengan laju aerasi 30 liter/menit, 10 liter/menit dan
0 liter/menit (Gambar 21). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Seaman et al. (2009)
yang mendapatkan bahwa E. coli dan Salmonella spp berkurang akibat proses aerasi.
Park et al. (1994) mengemukakan bahwa pemberian udara pada laju yang tinggi
menyebabkan pembentukan radikal bebas berupa anion superoksida (O2-) yang dalam air
akan bereaksi membentuk hidrogen peroksida (H2O2). H2O2 disamping sebagai oksidator
kuat, juga mempunyai sifat desinfektan.

Gambar 20. Nilai E. coli pada jam ke 6

63
Gambar 21. Efektivitas penurunan E. coli pada jam ke 6

Selain BOD5, COD dan E. coli sebagai sumber masalah dan sering terdapat dalam
lindi, maka NH3 juga merupakan sumber masalah. Oleh karenanya, NH3 harus ditekan
jumlahnya. NH3 dalam lindi dapat berasal dari degradasi biologi asam amino maupun
nitrogen organik. Secara individu atau berikatan dengan senyawa lain, NH3 dapat
berpengaruh terhadap toksisitas lindi (Clement et al., 1993). NH3 merupakan racun utama
bagi kehidupan akuatik (Kurniawan et al., 2006). Pada konsentrasi 0,43 ppm hingga 2,1
ppm, NH3 sudah dapat mematikan Ciprinus carpio (Hasan dan Machintosh, 1986).
Bahan lain yang juga dapat menjadi masalah bagi lingkungan adalah sulfida. Bahan
ini juga menjadi penyebab bau busuk yang menyengat sama seperti halnya dengan NH3.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jumlah NH3 dan sulfida sebagai akibat proses
aerasi selama 6 jam mengalami penurunan (Gambar 22 dan Gambar 23) dengan
efektifitas penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing laju aerasi seperti yang
disajikan pada Gambar 24. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), penurunan kedua bahan
polutan ini disebabkan suplai oksigen ke dalam air limbah mampu mengaktifkan bakteri
yang memanfaatkan NH3 dan sulfida menjadi bahan lain yang kurang berbahaya sehingga
menyebabkan kedua bahan tersebut menjadi berkurang. Selain itu, menurut Achmad
(2004), proses aerasi juga dapat menyebabkan terjadi oksidasi langsung terhadap NH3 dan
sulfida menjadi nitrat dan sulfat.

64
Hasil penelitian ini mendapatkan konsentrasi NH3 pada efluen yang dihasilkan
melalui pemberian udara pada laju 70 liter/menit sebesar 2,33 ppm. Konsentrasi tersebut
masih bersifat toksik bagi kehidupan akuatik. Oleh karena itu, pada efluen ini perlu
dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk menurunkan jumlah NH3 yang masih ada. Salah
satu caranya dengan menggunakan zeolit agar NH3 dapat dijerap karena menurut Sutarti
dan Rachmawati (1994) zeolit memiliki afinitas yang tinggi terhadap NH3.

Gambar 22. Kadar amoniak (NH3) pada jam ke 6

Gambar 23. Kadar sulfida pada jam ke 6

65
Gambar 24. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada jam ke 6

Gambar 22 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa pada lama aerasi yang sama
(pada jam ke 6), semakin tinggi laju aerasi akan menyebabkan jumlah NH3 dan sulfida
pada efluen semakin rendah. Perbedaan kemampuan dalam menurunkan jumlah NH3 dan
sulfida tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam mensuplai oksigen ke
dalam limbah cair yang diproses. Pada laju aerasi yang lebih tinggi, suplai oksigen lebih
besar dibanding pada laju aerasi yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pemanfataan
NH3 dan sulfida oleh bakteri menjadi lebih besar pula. Selain itu, pada laju aerasi yang
tinggi, proses oksidasi secara langsung baik pada NH3 maupun sulfida menjadi nitrat dan
sulfat juga berjalan lebih cepat dibanding pada laju aerasi yang rendah.
Proses aerasi menyebabkan amoniak (NH3) menjadi nitrat, sulfida menjadi sulfat
(SO42-) dan bahan organik yang mengandung phosphor akan diubah menjadi phosphat.
Sebagai produk yang dihasilkan dari proses aerasi, nitrat, sulfat maupun phosphat relatif
tidak berbahaya bagi kehidupan aquatik. Secara rinci, gambaran reaksi perubahan NH3
dan sulfida dikemukakan Achmad (2004) sebagai berikut:

NH3 -------- NH4+


NH4+ + 2O2 ------- 2H+ + NO3- + H2 O
4FeS + 9O2 + 10H2O ------ 4Fe(OH)3 + SO42- + 8H+

66
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lindi yang diberi perlakuan pemberian udara
cenderung memiliki kandungan nitrat, sulfat dan phosphat yang lebih tinggi dibanding
pada perlakuan yang tidak diberi udara (Gambar 25, 26 dan 27).

Gambar 25. Kadar nitrat (NO3-) pada jam ke 6

Gambar 26. Kadar sulfat (SO42-) pada jam ke 6

67
Gambar 27. Kadar fosfat pada jam ke 6

Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan lindi dengan memberikan udara


pada laju yang tinggi memberikan suatu keuntungan dengan semakin berkurang bahan-
bahan yang bersifat toksik pada efluennya, diantaranya: BOD5, COD, NH3 dan sulfida
dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding apabila pengolahan dilakukan dengan
pemberian udara pada laju yang lebih rendah.

4.1.2 Pengaruh Laju Aerasi terhadap Total Disolve Solid (TDS), pH dan Logam
Terlarut
Efektivitas penghilangan polutan lindi merupakan fungsi dari besarnya laju aerasi
dan lama aerasi. Fenomena ini terkait dengan perubahan populasi bakteri yang
mendegradasi polutan yang ada pada lindi. Semakin meningkat laju aerasi dan semakin
lama aerasi akan menyebabkan semakin banyak populasi bakteri pendegradasi hingga
akhirnya semakin banyak pula jumlah polutan yang dapat diubah ke dalam bentuk yang
tidak toksik (Attar, Bina dan Moeinian, 2005). Besarnya perubahan kadar polutan pada
lindi dapat dideteksi oleh nilai TDS. Nilai TDS biasa dijadikan sebagai indikator kadar
polutan baik organik maupun anorganik yang masih ada dalam lindi yang diproses
(Khoury et al., 2000).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama proses aerasi berlangsung, nilai
TDS terus mengalami penurunan dan penurunan nilai TDS tiap jam makin besar pada laju
aerasi yang makin besar. Hal ini mengindikasikan selama aerasi berlangsung, polutan
organik maupun anorganik terus berkurang. Nilai TDS tiap jam dari masing-masing laju
aerasi disajikan pada Gambar 28.

68
Gambar 28. Nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi

Pada jam ke 6, nilai TDS terendah didapatkan pada perlakuan pemberian udara
pada laju aerasi 70 liter/menit yakni sebesar 2850 ppm dengan efektivitas penurunan nilai
TDS dari perlakuan tersebut terbesar dan nyata berbeda dari perlakuan lainnya yakni
sebesar 12,83% (Gambar 28 dan Gambar 29).

Gambar 29. Efektivitas penurunan nilai TDS tiap jam pada empat laju aerasi

69
Perbedaan nilai TDS sebagai akibat pemberian udara pada laju yang berbeda
berkaitan dengan perbedaan jumlah bahan padatan terlarut yang dapat diendapkan. Hal ini
ditunjukkan oleh perbedaan jumlah kandungan logam terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd
dan Cr) pada efluen yang diambil dari kran atas dan kran bawah setelah lindi diaerasi
selama 6 jam (Gambar 30 - Gambar 33).

Gambar 30. Kadar Cu dan Zn pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6

Gambar 31. Kadar Mn dan Fe pada efluen dari keempat laju aerasi pada jam ke 6

70
Gambar 32. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran atas pada keempat laju aerasi
pada jam ke 6

Gambar 33. Kadar Pb, Cd dan Cr pada efluen dari kran bawah pada keempat
laju aerasi pada jam ke 6

71
Tabel 27. Selisih kadar logam terlarut antara efluen dari kran atas dan kran bawah pada
jam ke 6
Jenis Selisih Kadar Logam Mikro antara Kran Atas dan Kran Bawah (ppm)
Logam 0 liter/menit 10 liter/menit 30 liter/menit 70 liter/menit
Cu 0,005a 0,018ab 0,039b 0,104c
Zn 0,005a 0,016a 0,042a 0,380b
Mn 0,073a 0,962ab 2,22b 4,670c
Fe 1,215a 3,230a 6,135b 8,615b
Pb 0,002a 0,003a 0,005a 0,009a
Cd 0,006a 0,022ab 0,048b 0,080c
Cr 0,016a 0,063ab 0,120b 0,234c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Logam menjadi berkurang pada efluen yang berasal dari kran atas dan makin
meningkat jumlahnya di bagian bawah. Hal ini menunjukkan terjadi pengendapan logam
terlarut akibat proses aerasi. Pada perlakuan dengan laju aerasi yang lebih besar, selisih
jumlah logam terlarut antara efluen yang dikeluarkan dari kran atas dan bawah menjadi
semakin besar (Tabel 27). Menurut Park et al., (1994), proses aerasi dapat menyebabkan
suasana menjadi lebih oksidatif. Selanjutnya Suriawiria (1993) mengemukakan bahwa
suasana yang lebih oksidatif dapat menyebabkan logam terlarut menjadi mengendap.
Manahan (2005) menggambarkan reaksi dari proses pengendapan besi dalam pengolahan
air limbah melalui cara aerasi sebagai berikut.

4Fe2+ + O2 + 10H2O ----- 4Fe(OH)3(s) + 8H+

Menurut Achmad (2004), reaksi tersebut dikatalisis oleh bakteri besi thiobacillus
ferroxidans.
Selama proses aerasi berlangsung, pH juga terus mengalami peningkatan. Dari
proses aerasi yang dilakukan selama 6 jam, pH tertinggi (9,05) terdapat pada perlakuan
pemberian udara pada laju 70 liter/menit (Gambar 34).

72
Gambar 34. pH tiap jam pada empat laju aerasi

Peningkatan pH yang semakin tinggi sebagai akibat pemberian udara pada laju
yang semakin besar berkaitan dengan perubahan senyawa yang bersifat asam yang ada
dalam limbah cair yang diproses menjadi senyawa yang lebih basa seperti yang
digambarkan oleh Achmad (2004) sebagai berikut.

O2 + H2O ------ 2OH-


CO2 + OH- ----- HCO3-
HCO3- + OH- ---- CO32-
H2S + OH- ----- HS- + H2O

Jumlah logam terlarut yang lebih rendah pada efluen yang dikeluarkan dari kran
atas dibanding jumlah logam terlarut pada efluen yang dikeluarkan dari kran bawah
akibat aerasi, juga berkaitan dengan terjadinya peningkatan pH pada lindi yang diproses.
Menurut Hardjowigeno (2010), dalam kondisi pH yang lebih rendah, logam berada
dalam kondisi terlarut; sedangkan apabila pH mengalami kenaikan, maka logam
terlarut akan bereaksi dengan OH- membentuk senyawa hidroksida yang mudah
mengendap. Reaksi pembentukan senyawa besi dan mangan hidroksida yang mudah
mengendap akibat proses aerasi seperti yang digambarkan Ahmad (2004) sebagai berikut.

4Fe(HCO3)2 + O2 + H2O ----- 4 Fe(OH)3(s) + 8CO2

2Mn(HCO3)2 + O2 --- 2MnO2(s) + 4CO2 + 2H2O

73
Logam terlarut terutama yang dalam keadaan bebas dapat bersifat toksik (Vigneault
dan Campbell, 2005). Hal ini berarti peningkatan pH akibat aerasi dapat memberikan
dampak positif karena logam terlarut yang lebih bersifat toksik akan berkurang akibat
pengendapan sehingga efluen yang dihasilkan menjadi lebih aman dialirkan ke
lingkungan. Sebaliknya, pada endapan karena mengandung kadar logam yang lebih
tinggi, maka endapan ini menjadi lebih berpotensi untuk dijadikan pupuk cair. Secara
visual perbedaan efluen yang berasal dari kran atas dari ke 4 laju aerasi disajikan pada
Gambar 35.

70 l/mnt 30 l/mnt 10 l/mnt 0 l/mnt Anaerobik

Gambar 35. Perbedaan visual dari lindi setelah diolah melalui


empat tingkat laju aerasi

4.2 Penggunaan Zeolit untuk Menurunkan Polutan yang Masih Tersisa


Pengolahan lanjutan dengan melewatkan efluen hasil olahan aerasi pada laju
70 liter/menit melalui zeolit pada tiga ukuran partikel yang berbeda (5 - 10 mesh, 10 - 20
mesh, 20 - 30 mesh) memberikan efektivitas yang berbeda dalam menurunkan polutan
lindi. Secara umum, efluen yang telah melewati zeolit menunjukkan kualitas yang lebih
baik dibanding bila pengolahan hanya dilakukan dengan cara aerasi saja. Secara rinci,
hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan
disajikan pada Tabel Lampiran 6.

74
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efluen hasil olahan aerasi 70 liter/menit yang
dilewatkan melalui zeolit memperlihatkan kualitas yang lebih baik dibanding
sebelumnya. Hal ini terlihat dari nilai TDS, NH3, sulfida dan kadar logam terlarut (Cu,
Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) serta bahan organik (BOD dan COD) pada efluen yang telah
melewati zeolit mengalami penurunan. Secara rinci, hasil percobaan ini akan diuraikan di
bawah ini.

4.2.1 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Nilai TDS

Nilai TDS pada efluen yang dilewatkan melalui zeolit lebih rendah dibanding nilai
TDS pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Hal ini ditunjukan oleh
penurunan nilai TDS setelah efluen hasil aerasi 70 liter/menit dilewatkan melalui zeolit
(Gambar 36). Penurunan nilai TDS ini terjadi karena sejumlah bahan terlarut mampu
ditahan oleh zeolit. Penurunan nilai TDS pada ketiga efluen menunjukkan bahwa pada
awal penuangan nilai TDS akan mengalami penurunan hingga pada volume tertentu
untuk kemudian nilai TDS akan meningkat kembali sebagai akibat kompleks jerapan
maupun ruang pori zeolit mulai dijenuhi oleh polutan. Nilai TDS dari penuangan ke 1
hingga ke 40 pada efluen dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh menunjukkan nilai terendah.
Hal ini menunjukkan bahwa zeolit ukuran 20 – 30 mesh paling efektif dalam menurunkan
polutan lindi. Efektivitas tertinggi dalam menurunkan nilai TDS dari zeolit berukuran 20
– 30 mesh terdapat pada penuangan ke 20, yakni sebesar 30,70% (Gambar 37).

Gambar 36. Nilai TDS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit

75
Gambar 37. Efektivitas penurunan nilai TDS dari ketiga ukuran partikel zeolit

Zeolit ukuran kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) secara fisik kurang efektif
dalam penyaringan karena ada bahan yang tidak mengalami penyaringan dibandingkan
zeolit yang lebih halus (20 – 30 mesh) sehingga menyebabkan kemampuan menurunkan
polutan dari zeolit berukuran lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) menjadi lebih
rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang
lebih kasar lebih tinggi dibanding nilai TDS pada efluen yang telah melewati zeolit yang
berukuran lebih halus.
Kemampuan yang lebih tinggi dari zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh dalam
menurunkan nilai TDS dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh juga
berkaitan dengan kapasitas tukar kation (KTK) dari zeolit berukuran 20 – 30 mesh yang
lebih tinggi dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh (Tabel 28).
Menurut Tan (1993), KTK berkaitan dengan kemampuan dalam menukar ion.

Tabel 28. KTK dari zeolit yang digunakan dalam penelitian


Ukuran Partikel Zeolit KTK (me/100 g)
5 – 10 mesh 66,65a
10 – 20 mesh 100,15a
20 – 30 mesh 157,92b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

76
Selain berkaitan dengan kemampuan zeolit dalam menjerap polutan terlarut, KTK
juga berkaitan dengan kemampuan dalam menjerap air. Semakin tinggi KTK, semakin
tinggi pula kemampuan zeolit dalam menjerap molekul air. Hal ini pula yang
menyebabkan jumlah efluen yang mampu melewati zeolit berukuran partikel lebih halus
(20 – 30 mesh) pada saat-saat awal penuangan lebih rendah dibanding jumlah efluen yang
berhasil melewati zeolit berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh)
(Gambar 38).

Gambar 38. Jumlah efluen (ml) yang dapat melewati zeolit


(volume bahan yang dialirkan 150 ml)

Gambar 38 memperlihatkan bahwa setiap kali penuangan (penuangan pertama


hingga penuangan keenam), jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit berukuran
20 – 30 mesh lebih rendah dibanding jumlah efluen yang berhasil melewati zeolit
berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Pada zeolit berukuran partikel
5 – 10 mesh, jumlah lindi yang dituangkan ke zeolit (150 ml) baru akan sama dengan
jumlah efluen yang keluar melalui zeolit tersebut pada penuangan keempat. Pada zeolit
berukuran partikel 10 – 20 mesh, jumlah efluen baru akan sama dengan jumlah lindi yang
masuk ke media filter tersebut pada penuangan keenam, sedangkan pada zeolit
berukuran partikel 20 – 30 mesh, jumlah lindi yang masuk ke zeolit dan keluar sebagai
efluen baru akan sama pada penuangan ketujuh.

77
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa zeolit berukuran partikel lebih halus (20 –
30 mesh) nyata memiliki kemampuan menjerap air lebih tinggi dibanding zeolit
berukuran partikel lebih kasar (5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh). Air dapat dijerap oleh
zeolit dikarenakan zeolit memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi.

4.2.2 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Kadar NH3, Sulfida, BOD5
dan COD

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengolahan aerasi pada laju 70


liter/menit ternyata masih menyisakan NH3 sebesar 2,33 ppm dan sulfida 1,17 ppm pada
efluennya. Namun setelah efluen tersebut dilewatkan melalui zeolit pada tiga ukuran
partikel yang berbeda, ketiga efluennya menunjukkan kadar NH3 dan sulfida lebih rendah
dibanding sebelum dilewatkan melalui zeolit (tanpa zeolit) (Gambar 39). Hal ini
menunjukkan bahwa zeolit mampu menurunkan NH3 dan sulfida yang masih tersisa yang
terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit. Adapun efektivitas
penurunan NH3 dan sulfida dari masing-masing ukuran partikel zeolit disajikan pada
Gambar 40.

Gambar 39. Kadar NH3 dan sulfida pada efluen setelah melewati zeolit

Gambar 39 memperlihatkan bahwa kadar NH3 dan sulfida terendah terdapat pada
efluen yang telah melewati zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh, yakni 1,07 ppm dan
0,82 ppm; sedangkan Gambar 40 menunjukkan bahwa efektivitas tertinggi dalam
menurunkan NH3 dan sulfida yang tersisa, juga terdapat pada zeolit berukuran partikel
20 – 30 mesh, yakni sebesar 53,73% dan 30,02%.

78
Gambar 40. Efektivitas penurunan NH3 dan sulfida pada masing-masing
ukuran partikel zeolit

Zeolit dengan ukuran partikel lebih halus (20 mesh – 30 mesh) lebih mampu dan
memiliki efektivitas tertinggi dalam menurunkan NH3. Kemampuan ini juga berkaitan
erat dengan kapasitas tukar kation (KTK) zeolit pada ukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi
dan nyata berbeda dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar (10 – 20 mesh atau 5 –
10 mesh). Penjerapan NH3 oleh zeolit terjadi melalui proses pertukaran dengan ion yang
dijerap sebelumnya. Di lain pihak, pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh, karena ukuran
partikel pada zeolit tersebut lebih kecil dibanding zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh
atau 10 – 20 mesh menyebabkan jumlah senyawa sulfida yang terperangkap dalam pori-
pori zeolit tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini ditunjukkan oleh kadar sulfida dalam
efluen setelah melewati zeolit berukuran 20 – 30 mesh lebih rendah dibanding kadar
sulfida yang terdapat pada efluen yang melewati zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh
atau 10 – 20 mesh. Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan NH3,
Suyartono dan Husaini (1991) mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang
mengandung NH3 sebesar 0,3 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, kadar NH3
berkurang menjadi 0,02 ppm.
Disamping mempunyai kemampuan menurunkan NH3 dan sulfida yang masih
tersisa yang terdapat pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit, zeolit
ternyata juga mampu menurunkan BOD5 dan COD yang masih tersisa. Hal ini ditunjukan
oleh nilai BOD5 dan COD pada efluen setelah dilewatkan pada zeolit dari ketiga ukuran

79
partikel lebih rendah dibanding sebelumnya (tanpa zeolit) (Gambar 41). Zeolit dengan
ukuran partikel lebih halus (20 – 30 mesh) lebih mampu menurunkan nilai BOD5 dan
COD yang masih tersisa dibanding zeolit yang berukuran lebih kasar ( 5 – 10 mesh
atau 10 – 20 mesh). Demikian halnya dengan efektivitas dalam menurunkan nilai BOD5
dan COD yang masih tersisa, efektivitas tertinggi dalam menurunkan kedua bahan ini
juga terjadi pada zeolit berukuran 20 – 30 mesh yakni 47,96% dan 50,15% (Gambar 42).
Terkait dengan kemampuan zeolit dalam menurunkan COD, Suyartono dan Husaini
(1991) juga mendapatkan dari hasil penelitiannya, limbah cair yang mengandung COD
sebesar 20,82 ppm setelah direndam pada zeolit selama 5 hari, 10 hari dan 30 hari, kadar
COD berkurang berturut-turut menjadi 10,62 ppm, 6,72 ppm dan 4,79 ppm.

Gambar 41. Kadar BOD5 dan COD pada efluen setelah melewati zeolit

80
Gambar 42. Efektivitas penurunan BOD5 dan COD pada masing-masing
ukuran partikel zeolit

Kemampuan yang tinggi dari zeolit berukuran lebih halus dibanding zeolit yang
berukuran lebih kasar dalam menurunkan nilai BOD5 dan COD dari limbah cair berkaitan
erat dengan ukuran partikel yang lebih halus yang menyebabkan ukuran rongga menjadi
lebih kecil dibanding partikel yang berukuran lebih kasar. Semakin kecil ukuran rongga,
maka zeolit akan semakin mampu menyaring polutan yang lewat.
Selain lebih mampu menurunkan NH3, sulfida, BOD5 dan COD; ternyata zeolit
berukuran partikel 20 – 30 mesh juga lebih mampu menurunkan E. coli dibanding zeolit
berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh seperti yang ditunjukan oleh data yang
dihasilkan pada penelitian ini sebagai berikut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Husaini (1993) yang juga mendapatkan bahwa penggunaan zeolit dapat menurunkan
E. coli dari limbah cair yang diproses.

45 55
46 60
E fe k tivita s P e n u ru n a n E . coli (% )
Nilai E. coli (MPN/10 ml)

39 45
35 32,5

30 22,5
32 30

20 15
25
Tanpa 5 – 10 10 – 20 20 – 30
0
zeolit mesh mesh mesh
5 – 10 m esh 10 – 20 m esh 20 – 30 m esh
Penggunaan Zeolit Penggunaan Zeolit

Gambar 43. Nilai E. coli pada efluen dari Gambar 44. Efektivitas penurunan
ketiga ukuran partikel zeolit nilai E. coli dari ketiga
ukuran partikel zeolit

81
4.2.3 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Penurunan Logam Terlarut
dan pH

Kemampuan zeolit dalam menukar ion menyebabkan zeolit sering dimanfaatkan


dalam menurunkan bau yang disebabkan oleh amoniak (NH3) dan sulfida yang terdapat
dalam limbah cair. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Zorpas et al. (2000), zeolit juga
dapat menurunkan kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dalam air limbah. Sebagian dari
logam-logam tersebut seperti Cu, Zn, Mn dan Fe merupakan hara mikro bagi tanaman.
Zeolit yang digunakan dalam penelitian ini dimanfaatkan untuk menjerap logam-logam
tersebut yang masih ada pada efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit agar
dihasilkan efluen yang lebih aman dialirkan ke lingkungan dengan jumlah logam terlarut
yang lebih rendah.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa logam terlarut yang masih tersisa di dalam
efluen hasil olahan aerasi dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam ternyata masih mampu
diturunkan lagi dengan cara melewatkannya melalui zeolit. Kadar beberapa logam terlarut
(Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) pada masing-masing efluen setelah efluen tersebut
melewati zeolit yang berbeda ukuran partikelnya disajikan pada Tabel 29, sedangkan
efektivitas dari penurunan logam terlarut dari ketiga ukuran partikel zeolit disajikan pada
Gambar 45.

Tabel 29. Kadar beberapa logam terlarut pada efluen hasil olahan aerasi setelah efluen
dilewatkan melalui zeolit
Kadar logam terlarut pada efluen (ppm)
Media Filter
Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr
Tanpa zeolit 0,021a 0.070a 0,235a 2,380a 0,022a 0,030a 0,0410a
Zeolit 5 – 10 mesh 0,016a 0,057ab 0,177b 1,790ab 0,014ab 0,020b 0,0290b
Zeolit 10 – 20 mesh 0,014ab 0,048bc 0,156b 1,490bc 0,010b 0,014bc 0,0250bc
Zeolit 20 – 30 mesh 0,008b 0,034c 0,139b 0,850c 0,006b 0,010c 0,022c
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Penggunaan zeolit sebagai penjerap logam menyebabkan kompleks jerapan


dijenuhi oleh logam tersebut. Zeolit yang telah jenuh karena mengandung hara mikro
dapat dijadikan bahan pembenah tanah. Hasil penelitian Suherman et al. (2005)
menunjukkan bahwa penggunaan zeolit mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Khusus untuk zeolit yang telah digunakan pada proses penyaringan polutan lindi, karena
mengandung logam berat lainnya, maka tidak disarankan untuk digunakan pada tanaman
pangan. Zeolit ini dapat dimanfaatkan oleh Dinas Pertamanan untuk meningkatkan
kesuburan tanaman-tanaman hias yang ada di sepanjang jalan-jalan kota.

82
Efe ktivita s Pe nuruna n Loga m M ikro (% )
72,92
75
66,52
64,19 64,47
65
56,67
52,91
55 51,55
46,24
45 40,96
38,88
37,32 36,25
33,18 33,74 34,82
35 31,46
29,07
23,57 24,51 24,76
25
19,24

15
Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr

Loga m M ikro

5 - 1 0 m e sh 1 0 - 2 0 m e sh 2 0 -3 0 m e sh

Gambar 45. Efektivitas penurunan logam terlarut yang masih tersisa dari ke 3
ukuran partikel zeolit

Zeolit berukuran partikel 20 – 30 mesh memiliki efektivitas tertinggi dalam


menurunkan logam terlarut. Hal ini berkaitan dengan KTK dari zeolit berukuran 20 –
30 mesh yang lebih tinggi dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel lebih kasar
(5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh) (Tabel 28). Semakin tinggi nilai KTK, semakin besar
pula kemampuan zeolit dalam menjerap dan menukar ion.
Ukuran partikel zeolit yang berbeda ternyata menyebabkan perbedaan pH pada
efluennya. pH dari efluen yang telah melewati zeolit lebih rendah dibanding pH
sebelumnya (Gambar 46). Fenomena ini dapat terjadi sebagai akibat terjadi pertukaran
antara ion H+ yang ada pada zeolit dengan ion logam yang terdapat dalam lindi. pH dari
efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh lebih rendah
dibanding pH dari efluen yang telah melewati zeolit yang berukuran partikel 5 – 10 mesh
atau 10 – 20 mesh juga akibat KTK pada zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh lebih tinggi
dibanding KTK dari zeolit berukuran partikel 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh. Zeolit
dengan KTK yang tinggi memiliki potensi yang lebih besar untuk menghasilkan H+
melalui proses pertukaran ion dibanding zeolit dengan KTK rendah. Semakin banyak H+
yang ditukar dengan logam-logam terlarut menyebabkan H+ semakin banyak pada efluen
sehingga pH efluen semakin rendah.

83
Gambar 46. pH dari efluen setelah efluen hasil olahan aerasi dilewatkan
melalui zeolit

4.2.4 Pengaruh Ukuran Partikel Zeolit terhadap Total Suspended Solid (TSS)
dan Jumlah Padatan Mengendap

Selain kemampuan dalam menurunkan logam terlarut dan bahan organik dari lindi
yang diolah, hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam menentukan ukuran partikel
zeolit yang layak digunakan untuk menurunkan polutan yang masih tersisa dari lindi
terolah adalah total suspended solid (TSS) dan jumlah padatan mengendap. Hasil
penelitian ini mendapatkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap yang terdapat pada
efluen dari tiga ukuran partikel zeolit seperti yang terdapat pada Gambar 47 dan
Gambar 49.
Zeolit yang telah jenuh oleh polutan memiliki efektivitas yang rendah. Apabila
zeolit ini akan digunakan kembali sebagai penjerap polutan, maka upaya untuk
meningkatkan kapasitas penjerapan zeolit tersebut dapat dilakukan melalui proses
regenerasi. Regenerasi secara fisik dapat dilakukan melalui pemanasan, namun hal ini
hanya untuk menghilang air yang terjerap di dalam zeolit. Zeolit yang jenuh dengan
polutan berupa logam yang terjerap dapat diregenerasi (dihilangkan polutannya) melalui
cara kimia melalui penggunaan garam (NaCl), asam (H2SO4) atau basa (NaOH) untuk
mengeluarkan polutan-polutan yang terjerap. Hasil penelitian Widianti (2007) didapatkan
bahwa penggunaan 0,5 N NaCl; 0,2 N H2SO4 atau 0,2 N NaOH menunjukkan nilai KTK
tertinggi.

84
Gambar 47. TSS pada efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit
E f e k tiv ita s P e n u r u n a n T S S (% )

85 7 7 ,0 3

65

4 8 ,1 2

45
3 0 ,9 3

25
5 – 1 0 m e sh 1 0 – 2 0 m e sh 2 0 – 3 0 m e sh

P e n g g u n a a n Z e o lit

Gambar 48. Efektivitas penurunan TSS dari ketiga ukuran partikel zeolit

85
Gambar 49. Jumlah padatan mengendap (ml/150 ml) pada efluen dari
ketiga ukuran partikel zeolit

TSS berkaitan dengan kekeruhan dan kekeruhan berkaitan dengan pencemaran


pada badan-badan air penerima terutama berkaitan dengan kemampuan sinar matahari
menembus ke bagian yang lebih bawah dari badan air. Semakin tinggi TSS, badan air
akan semakin keruh dan hal ini dapat menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton.
Apabila fotosintesis berkurang akan berakibat pada penurunan jumlah oksigen terlarut.
Hal ini akan berakibat buruk bagi kehidupan biotik dalam badan air penerima.
Jumlah padatan mengendap berkaitan dengan jumlah bahan-bahan yang
mengendap yang terkandung dalam efluen yang dihasilkan. Jumlah padatan mengendap
dapat berpengaruh buruk bagi badan air penerima karena berkaitan langsung dengan
proses pendangkalan pada badan air penerima. Apabila terjadi pendangkalan pada badan
air penerima berarti akan menambah biaya dalam pengelolaan badan air. Oleh karena itu,
dalam pemilihan ukuran partikel zeolit yang akan digunakan dalam proses pengolahan
lindi untuk menurunkan polutan yang masih tersisa, kedua hal ini juga perlu mendapatkan
perhatian.

86
Hasil penelitian ini, seperti yang disajikan pada Gambar 47 dan Gambar 49
menunjukkan nilai TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan
melalui zeolit berukuran 5 – 10 mesh dan 10 – 20 mesh lebih tinggi dibanding nilai TSS
dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang dilewatkan pada zeolit yang berukuran
20 – 30 mesh. TSS dan jumlah padatan mengendap dari efluen yang telah melewati zeolit
berkaitan dengan ukuran partikel zeolit karena ukuran partikel zeolit berpengaruh
terhadap ukuran rongga, selanjutnya ukuran rongga berkaitan langsung dengan
kemampuan zeolit dalam melewatkan bahan padatan yang berukuran sangat halus yang
menempel pada partikel zeolit sebagai akibat proses penggerusan saat pembuatan
partikel pada ukuran yang diinginkan. Zeolit yang berukuran lebih kasar (5 – 10
mesh atau 10 – 20 mesh) memiliki rongga yang lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh. Oleh karenanya, kemampuan melewatkan bahan padatan dari
zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh lebih besar dibanding zeolit
berukuran 20 – 30 mesh.

4.2.5 Ukuran Partikel Zeolit yang Layak Digunakan dalam Pengolahan Tahap II

Sebagai akibat perbedaan kemampuan dalam menurunkan polutan dari ketiga


ukuran partikel zeolit menyebabkan perbedaan visual dari efluennya. Secara visual,
efluen yang dilewatkan pada masing-masing ukuran partikel zeolit ditampilkan pada
Gambar 50.

Efluen dari zeolit


5 – 10 mesh Efluen dari zeolit
10 – 20 mesh Efluen dari zeolit
20 – 30 mesh

Gambar 50. Efluen dari ketiga ukuran partikel zeolit

87
Gambar 50 menunjukkan bahwa efluen yang telah melewati zeolit berukuran
partikel 20 – 30 mesh lebih cerah dibanding efluen dari zeolit berukuran partikel lebih
kasar. Perbedaan warna dari ketiga efluen tersebut berkaitan dengan kandungan polutan
yang masih tersisa. Oleh karena zeolit dengan ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih mampu
menurunkan beberapa parameter pencemar seperti NH3, sulfida, BOD5, COD, logam
terlarut (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd, Cr), TSS dan padatan mengendap maka zeolit dengan
ukuran partikel 20 – 30 mesh lebih layak digunakan dalam pengolahan lanjutan
dibanding zeolit berukuran 5 – 10 mesh atau 10 – 20 mesh.

4.2.6 Pengaruh Jumlah Tahapan Pengolahan terhadap Kualitas Efluen yang


Dihasilkan

Efektivitas penurunan polutan dari pengolahan 1 tahap (pengolahan aerasi pada laju
0, 10, 30 atau 70 liter/menit) dan pengolahan 2 tahap (pengolahan aerasi pada laju 70
liter/menit yang dilanjutkan dengan pengolahan menggunakan zeolit berukuran 5 – 10
mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh) serta kadar beberapa parameter pencemar yang
terdapat pada efluen dari masing-masing pengolahan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30. Efektivitas penurunan polutan lindi dari pengolahan tahap I dan tahap II
Efektivitas Penurunan Polutan Lindi Efektivitas Penurunan
melalui Pengolahan Tahap I (%) * Polutan Lindi melalui
Polutan Pengolahan Tahap II (%) **
0 10 30 70 5 - 10 10 - 20 20 - 30
l/mnt l/mnt l/mnt l/mnt mesh mesh mesh
BOD5 3,87a 29,98b 70,32c 74,63c 8,15a 17,92a 47,96b
COD 2,11a 14,63a 50,71b 74,53c 15,27a 30,09ab 50,15b
NH3 -1,67a 24,38b 60,93c 66,60c 14,22a 40,95b 53,73b
Sulfida -2,20a 23,24b 55,51c 74,67c 8,85a 13,31a 30,02b
TDS -0,31a 3,82b 6,25b 12,83c 14,04a 17,89a 30,70b
Cu 2,38a 9,76b 29,27c 48,78d 23,81a 33,33a 61,90b
Zn 1,12a 10,23b 17,05c 20,45c 19,24a 31,46ab 51,55b
Mn 0,13a 14,07b 28,39c 70,22d 24,51a 33,74ab 40,96b
Fe 0,03a 11,07b 26,00c 38,74d 24,76a 37,32b 64,47c
Pb 1,87a 3,62b 3,85b 15,38c 36,25a 56,67b 72,92c
Cd 0,76a 20,00b 40,00c 53,85c 34,82a 52,91ab 66,52b
Cr 0,56a 19,10b 38,20c 53,93d 29,07a 38,88ab 46,24b
E. coli -7,29a 14,59b 42,02c 66,49d 22,50a 32,50ab 55,00b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris berdasarkan pengolahan tahap 1 atau pengolahan tahap 2
tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
* Efektivitas pengolahan tahap I (pemberian udara (aerasi) pada laju 0, 10, 30 dan 70 liter/menit).
** Efektivitas pengolahan tahap II (pengolahan efluen hasil olahan aerasi pada laju 70 liter/menit melalui zeolit
pada ukuran partikel 5 – 10 mesh, 10 – 20 mesh atau 20 – 30 mesh)).

88
Tabel 31. Nilai beberapa parameter pencemar pada efluen hasil olahan tahap I dan
tahap II serta baku mutu pada masing-masing golongan peruntukan
Pada Efluen Pada Efluen
Hasil Olahan Hasil Olahan Baku Mutu***
Parameter Pencemar 1 Tahap * 2 Tahap **
Nilai Nilai Gol. A Gol. B Gol. C Gol. D
pH 9,05a 8,25a 6-9 6-9 6-9 6-9
DO (ppm) 10,2a 9,2a 6 4 3 0
BOD5 (ppm) 80,76a 41,74b 2 3 6 12
COD (ppm) 166,15a 82,56b 10 25 50 100

E. coli (MPN/100 ml) 450a 200b 1000 5000 10000 10000


NH3 (ppm) 2,33a 1,07b 0,5 - - -
Sulfida (ppm) 1,17a 0,82b 0,002 0,002 0,002 -
TDS (ppm) 2850a 1975b 1000 1000 1000 2000
TSS (ppm) 128,8a 37,90b 50 50 400 400
Padatan Mengendap
2,45a 0,2b - - - -
(ml/150ml)
Cu (ppm) 0,021a 0,008b 0,02 0,02 0,02 0,2
Zn (ppm) 0,070a 0,034b 0,05 0,05 0,05 2
Mn (ppm) 0,235a 0,139b 1 - - -
Fe (ppm) 2,380a 0,850b 0,3 - - -
Pb (ppm) 0,022a 0,006b 0,03 0,03 0,03 1
Cd (ppm) 0,030a 0,010b 0,01 0,01 0,01 0,01
Cr (ppm) 0,041a 0,022b 0,05 0,05 0,05 0,01

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 1%..
* Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit.
** Pengolahan aerasi pada laju 70 liter/menit yang dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil
pengolahan tersebut melalui zeolit yang berukuran partikel 20 – 30 mesh.
*** Baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001.

Tabel 31 menunjukkan bahwa kadar polutan pada efluen hasil pengolahan 2


tahap dengan memberikan perlakuan pemberian udara pada laju 70 liter/menit yang
dilanjutkan dengan melewatkan efluen hasil pengolahan tersebut melalui zeolit yang
memiliki ukuran partikel 20 – 30 mesh nyata lebih rendah dibanding kadar polutan
pada efluen hasil pengolahan hanya dengan memberikan udara pada laju 70 liter/menit.
Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan lanjutan dengan menggunakan zeolit efektif
dalam menurunkan polutan yang masih tersisa.

89
Beberapa parameter pencemar yang masih di atas baku mutu untuk golongan D
(pertanian), meskipun efluen tersebut telah diolah dengan cara aerasi pada laju
70 liter/menit adalah BOD, COD, nilai TDS, TSS, Cu, Cd dan Cr. Parameter yang dapat
diturunkan lagi hingga di bawah baku mutu melalui pengolahan tahap II dengan cara
melewatkan efluen tersebut melalu zeolit yang berukuran 20 – 30 mesh adalah COD, nilai
TDS, Cu dan Cd.
Pengolahan yang disarankan untuk mendapatkan efluen yang aman dialirkan ke
lingkungan adalah melalui pengolahan dua tahap, yakni pada tahap pertama pengolahan
dilakukan melalui pemberian udara dengan laju 70 liter/menit selama 6 jam yang
dilanjutkan dengan pengolahan tahap kedua dengan cara melewatkannya melalui zeolit
berukuran 20 - 30 mesh. Pemilihan ini didasarkan pada kemampuan menurunkan
sejumlah polutan dari pengolahan dua tahap lebih tinggi dibanding pengolahan satu tahap
yang ditunjukkan oleh nilai-nilai parameter pencemar yang lebih rendah dibanding
pengolahan satu tahap.

90
4.3 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Beberapa Parameter Kimia pada
Sentrat maupun Endapan

Perlakuan pemberian empat jenis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit)
pada 11 dosis yang berbeda (500, 750, 1000, 1250, 1500, 1750, 2000, 3000, 4000,
5000 dan 6000 ppm) untuk menjadikan endapan hasil olahan aerasi pada laju
70 liter/menit sebagai bahan pupuk cair memberikan hasil yang berbeda. Secara rinci,
hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan ini
disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8.
Pemberian jenis kapur yang berbeda pada 11 dosis yang berbeda dilanjutkan
dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan) ternyata menyebabkan perbedaan pada
beberapa parameter kimia (nilai TDS, pH dan Ca2+) pada sentrat dan kadar beberapa
logam mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr) maupun bahan organik pada endapan.
Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan bahwa
pemberian kapur jenis CaO dan Ca(OH)2 menyebabkan perubahan terhadap nilai TDS,
pH dan Ca2+ dengan pola perubahan yang serupa. Pola perubahan tersebut berbeda
dengan pola perubahan yang disebabkan oleh pemberian kapur jenis CaCO3 dan dolomit.
Pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda ternyata juga
berpengaruh terhadap jumlah logam mikro dan bahan organik yang dapat diendapkan.
Beberapa logam mikro dalam endapan mengalami penurunan dan beberapa logam mikro
lainnya justru mengalami peningkatan bila dosis kapur yang diberikan makin
ditingkatkan; sedangkan jumlah bahan organik yang dapat diendapkan ternyata makin
meningkat bila dosis kapur (CaO, Ca(OH)2, CaCO3 dan dolomit) yang diberikan makin
tinggi. Secara rinci, nilai dari masing-masing parameter tersebut akan diuraikan di bawah
ini.

4.3.1 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Nilai TDS, pH, dan Kadar
Ca2+ pada Sentrat

Hasil percobaan mendapatkan bahwa pemberian kapur yang berbeda pada lindi
yang akan dijadikan bahan pupuk cair ternyata menyebabkan perbedaan nilai TDS pada
sentrat. Secara rinci, nilai TDS pada sentrat dari masing-masing dosis kapur disajikan
pada Tabel 32.

91
Tabel 32. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan kapur
Dosis (ppm) CaO Ca(OH)2 CaCO3 Dolomit
500 2765 bc 2785 b 2912,5 a 2895 a
750 2695 abc 2700 b 2860 a 2932,5 ab
1000 2467,5 a 2442,5 a 2797,5 a 2942,5 ab
1250 2642,5 ab 2617,5 ab 2785 a 2957,5 ab
1500 2905 c 2755 b 2752,5 a 2962,5 ab
1750 3347,5 d 3082,5 c 2725 a 2967,5 ab
2000 3702,5 e 3662,5 d 2685 a 2980 ab
3000 5662,5 f 4785 e 2680 a 3072,5 abc
4000 6900 g 5977,5 f 2670 a 3205 bc
5000 7710 h 7095 g 2670 a 3325 cd
6000 8287,5 i 7352,5 h 2690 a 3497,5 d
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Tabel 32 maupun Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa nilai TDS pada
sentrat akibat pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis rendah (500 ppm hingga dosis
kurang dari 1000 ppm) mengalami penurunan dan mencapai minimum pada dosis 1000
ppm; sedangkan pada dosis lebih dari 1000 ppm, nilai TDS mengalami peningkatan yang
tajam sejalan dengan dosis CaO atau Ca(OH)2 yang makin meningkat. Sejalan dengan
penelitian ini, Amuda (2005) yang menggunakan bahan kimia FeCl3 sebagai bahan untuk
mengendapkan bahan terlarut dari lindi TPA sampah mendapatkan bahwa penggunaan
FeCl3 pada dosis 1000 ppm juga menyebabkan penurunan polutan yang maksimal yang
ditunjukkan oleh nilai TDS pada lindi yang diproses menunjukkan nilai terendah. Hasil
penelitiannya menunjukkan pada pemberian FeCl3 di atas 1500 ppm mulai terjadi
peningkatan garam besi dalam larutan yang ditunjukan oleh peningkatan nilai TDS pada
lindi yang diproses.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan pemberian CaO dan
Ca(OH)2 terdapat kemiripan pola dalam perubahan nilai TDS pada sentrat. Pola
perubahan tersebut berbeda dengan pola perubahan dari perlakuan kapur jenis CaCO3
maupun dolomit. Gambar 51 hingga Gambar 56 menunjukkan bahwa perubahan nilai
TDS, Ca2+ bahkan pH dari perlakuan CaCO3 maupun dolomit tidak sebesar perubahan
pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan sifat kapur
tersebut.

92
Tabel 32, Gambar 51 dan Gambar 52 menunjukkan bahwa penggunaan kapur jenis
CaCO3 atau dolomit pada dosis 500 ppm hingga 6000 ppm tidak mengakibatkan
penurunan yang berarti terhadap nilai TDS pada sentrat. Nilai TDS dari perlakuan
CaCO3 berangsur-angsur menurun dan mencapai minimum (2670 ppm) pada dosis
4000 ppm hingga 5000 ppm. Nilai TDS minimum dari perlakuan pemberian CaCO3
tersebut masih berada di atas nilai TDS minimum (2467,5 ppm dan 2442,5 ppm) dari
perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan Ca(OH)2. Nilai TDS pada sentrat dari
perlakuan pemberian CaCO3 pada dosis di atas 5000 ppm baru menunjukkan
peningkatan. Sebaliknya, pada pemberian dolomit, nilai TDS pada sentrat justru terus
mengalami peningkatan secara berangsur mulai dari dosis 500 ppm hingga 6000 ppm.

Gambar 51. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari


keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)

93
Gambar 52. Pola perubahan nilai TDS pada sentrat dari
keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan)

Nilai pH dari perlakuan pemberian CaCO3 ternyata juga mengalami peningkatan


secara berangsur dengan peningkatan pH yang jauh lebih rendah dari peningkatan pH dari
perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 55 dan Gambar 56). Demikian juga halnya
dengan pH dari perlakuan pemberian dolomit yang juga mengalami peningkatan secara
berangsur apabila dosis pemberiannya makin ditingkatkan. Perbedaan pola perubahan
nilai TDS dan pH berkaitan dengan reaksi yang terjadi dalam lindi akibat pemberian jenis
dan dosis kapur yang berbeda.
Pada perlakuan CaO, setelah bahan tersebut dicampur dengan lindi maka CaO
akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam lindi, kemudian terurai membentuk ion-ion.
Menurut Manahan (2005), reaksi CaO dalam air sebagai berikut.

CaO + H2O -------> Ca(OH)2

Kemudian Ca(OH)2 dalam air akan berubah menjadi ion Ca2+ dan OH- sebagai berikut.

Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OH-

94
Demikian juga pada perlakuan pemberian kapur jenis Ca(OH)2 dalam air, Ca(OH)2 akan
langsung bereaksi sebagai berikut (Manahan, 2005).

Ca(OH)2 ------> Ca2+ + 2OH-

Berdasarkan reaksi seperti yang digambarkan di atas, pemberian CaO atau


Ca(OH)2 ke dalam lindi akan menghasilkan bahan yang sama berupa Ca2+ dan OH-.
Kedua bahan tersebut (Ca2+ dan OH-) selanjutnya juga dapat mempengaruhi bahan
lain yang terlarut yang terdapat dalam lindi berupa logam-logam terlarut maupun
koloid. Muatan negatif pada koloid baik koloid organik maupun koloid
-
anorganik yang terdapat dalam lindi makin meningkat bila konsentrasi OH makin
meningkat. Menurut Brady (1974) dalam Hardjowigeno (2010), muatan negatif dari
koloid dapat meningkat sebagai akibat terjadi disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat
pada tepi atau ujung kristal seperti gambar berikut.

OH + OH- ------> O- + H2O

Pada pH rendah (masam), H+ terikat erat. Namun bila pH naik, maka H+ menjadi
mudah lepas mengakibatkan muatan negatif dari koloid menjadi meningkat. Muatan ini
disebut muatan tergantung pH. Pada koloid organik, sumber muatan negatif terutama
berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan gugus phenol (-OH). Muatan tersebut adalah
muatan tergantung pH, artinya dalam keadaan masam, H+ dipegang kuat oleh gugus
karboksil atau phenol. Menurut Hardjowigeno (2010), ikatan H+ pada gugus karboksil
atau phenol menjadi berkurang bila pH menjadi lebih tinggi. Ikatan yang lemah tersebut
memudahkan terjadi disosiasi H+ yang menyebabkan H+ terlepas hingga pada gugus
tersebut menjadi bermuatan negatif. Makin tinggi pH, makin tinggi pula disosiasi H+
menyebabkan muatan negatif pada koloid menjadi makin tinggi. Muatan negatif yang
terbentuk dapat menyebabkan terjadi interaksi antara koloid dengan logam yang terlarut
termasuk dengan Ca2+, baik Ca2+ yang berasal dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari
penambahan kapur. Hasil interaksi antara muatan positif dari logam terlarut dengan
muatan negatif dari koloid membentuk senyawa kompleks berbentuk flok yang mudah
untuk diendapkan baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Hasil penelitian
Harmsen (1983) menunjukkan bahwa pada pH tinggi, logam terlarut menjadi berkurang

95
karena membentuk komplek dengan asam humik. Berdasarkan hasil penelitian Umar,
Aziz dan Yusoff (2010), pada pH sedikit di atas netral, 30 – 100% Cu dan 0 – 95% Zn
umumnya berada dalam kondisi berikatan dengan koloid. Menurut Vigneault dan
Campbell (2005), hal ini dapat menurunkan toksisitas lindi yang diproses akibat logam
terlarut berkurang.
Pembentukan flok yang mudah mengendap antara Ca atau logam terlarut dengan
koloid menyebabkan kadar Ca2+ maupun logam-logam terlarut lainnya menjadi makin
menurun dalam sentrat. Ca2+ maupun logam terlarut lainnya merupakan bahan padatan
terlarut yang mempengaruhi nilai TDS. Apabila bahan-bahan tersebut berkurang
mengakibatkan nilai TDS menurun hingga sentrat lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan.
Gambaran dari reaksi pengikatan antara koloid organik dengan koloid anorganik
yang dijembatani oleh Ca2+ seperti yang dikemukakan oleh Peterson (1947) dalam
Supardi (1988) sebagai berikut.

--------- liat – Ca – OOC – R – COO – Ca – liat ---------

Gambaran ikatan kompleks antara liat dan liat dengan Ca sebagai penghubung seperti
yang dikemukakan oleh Foth (1978) sebagai berikut.

Permukaan - + Ca + - Permukaan - + Ca + - Permukaan


Liat Liat Liat

Penurunan nilai TDS pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 tidak hanya
disebabkan oleh penurunan jumlah Ca2+ dan logam-logam terlarut lainnya sebagai akibat
terjadi pengikatan logam tersebut oleh koloid yang membentuk endapan. Penurunan nilai
TDS dari perlakuan tersebut juga dapat disebabkan oleh penurunan jumlah logam terlarut
akibat terjadi reaksi antara logam terlarut dengan OH- membentuk senyawa hidroksida
yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah. Sebagai contoh, gambaran dari reaksi
pembentukan senyawa hidroksida logam seperti yang dikemukakan oleh Mohajit (2001)
sebagai berikut.

Fe 3+ + 3OH- -------> Fe(OH)3 (s)


Cr3+ + 3OH- --------> Cr(OH)3 (s)

96
Pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2, bila dosis pemberian kapur tersebut terus
ditingkatkan ternyata menyebabkan pH juga mengalami peningkatan, melebihi
peningkatan pH dari perlakuan CaCO3 dan dolomit (Gambar 55 dan Gambar 56). pH
yang makin meningkat menggambarkan konsentrasi OH- juga makin meningkat. Namun
pada konsentrasi OH- yang makin tinggi, menurut Davis dan Masten (2004) justru dapat
menyebabkan pembentukan senyawa baru antara logam terlarut dan OH- berlebih yang
ada dalam larutan membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan)
lebih tinggi dibanding sebelumnya. Proses ini menyebabkan jumlah padatan terlarut pada
sentrat akan mengalami peningkatan kembali. Davis dan Masten (2004) mengemukakan
bahwa pada pH di atas netral hingga ± pH 9, logam-logam terlarut seperti Cu, Zn dan Pb
memiliki solubilitas yang minimum dan akan membentuk endapan dalam bentuk senyawa
hidroksida. Namun pada pH > 9, ketiga logam tersebut akan membentuk senyawa
kompleks yang mudah larut (Gambar 64).
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan
dosis 1000 ppm, pH mencapai 10,35 hingga 10,55 (Tabel 33) dan pada pH tersebut nilai
TDS pada sentrat mencapai minimum. Pada kondisi ini, meskipun ada beberapa logam
mikro terlarut yang mengalami pelarutan kembali seperti Cu, Zn, Pb dan Cd, namun ada
pula logam mikro lainnya yang masih mengalami pengendapan seperti Mn, Fe dan Cr.
Pada pH tersebut jumlah padatan terlarut pada sentrat mencapai minimum sebagai akibat
logam-logam terlarut yang berinteraksi dengan OH- atau berinteraksi dengan koloid
membentuk senyawa yang mudah mengendap berada dalam jumlah yang lebih banyak
dibanding logam-logam terlarut lainnya yang melarut kembali karena membentuk
senyawa komplek dengan OH- yang berlebih.
Kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan CaO dan Ca(OH)2 dengan dosis 1500 ppm
menunjukkan nilai yang paling minimum (Gambar 53 dan Gambar 54). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 1000 ppm menyebabkan
muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur maksimal dalam
mengikat Ca2+ baik yang berasal dari lindi maupun kapur. Apabila dosis pemberian
dari kedua jenis kapur tersebut terus ditingkatkan (di atas 1500 ppm) sementara
volume lindi tetap, Ca2+ pada sentrat mulai mengalami peningkatan. Diduga pada dosis >
1500 ppm, jumlah muatan bergantung pH yang terbentuk akibat penambahan kapur
kurang dari jumlah Ca2+ yang ada pada larutan menyebabkan ada Ca2+ yang tidak diikat
dan tetap berada dalam bentuk terlarut.

97
Kelebihan Ca2+ tersebut menjadi salah satu bahan padatan terlarut yang sulit terendapkan
baik melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Kelebihan Ca2+ tersebut dapat
mempengaruhi nilai TDS pada sentrat.

Gambar 53. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari


keempat jenis kapur (perlakuan sentrifugasi)

Gambar 54. Pola perubahan kadar Ca2+ pada sentrat dari


keempat jenis kapur (perlakuan pengocokan)

98
Kemiripan pola perubahan nilai TDS, kadar Ca2+ dan pH pada sentrat dari
perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 51 - Gambar 56) berkaitan pada tiga hal, yakni:
1) Kedua jenis kapur tersebut memiliki perbedaan bobot molekul (BM) yang relatif
sempit (BM CaO = 56 dan BM Ca(OH)2 = 74), 2) pada larutan, kedua jenis kapur
tersebut akan bereaksi membentuk bahan yang sama yakni Ca2+ dan OH- sehingga pada
konsentrasi yang sama hampir menyumbangkan Ca2+ dan OH- ke dalam larutan dalam
jumlah yang hampir sama, dan 3) reaksi CaO atau Ca(OH)2 dalam air membentuk ion
Ca2+ dan OH- tidak mencapai kejenuhan hingga pada dosis 6000 ppm.

Gambar 55. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian


kapur yang disentrifugasi

Gambar 56. Pola perubahan pH pada perlakuan pemberian


kapur yang dikocok

99
Pada dosis 500 ppm hingga 4000 ppm, konsentrasi Ca2+ yang terlarut yang terdapat
pada sentrat dari perlakuan CaCO3 masih mengalami penurunan secara berangsur dan
penurunan mencapai maksimum pada dosis pemberian yang relatif tinggi (4000 hingga
5000 ppm) (Gambar 53 dan Gambar 54). Fenomena tersebut terjadi disebabkan
penambahan CaCO3 pada lindi menyebabkan terbentuk ion Ca2+, OH- dan HCO3-
menyebabkan pada dosis yang makin meningkat terjadi sedikit peningkatan pH. Reaksi
peruraian CaCO3 dalam air menjadi ion-ion seperti yang digambarkan oleh Manahan
(2005) sebagai berikut.

CaCO3 ------> Ca2+ + CO32-

CO32- + 2H2O -------> HCO3- + OH-

Jumlah OH- yang dihasilkan akibat pemberian CaCO3 lebih rendah dibanding jumlah OH-
yang dihasilkan akibat pemberian CaO atau Ca(OH)2. Disamping itu, CaCO3 bersifat
garam. Diduga pemberian bahan ini ke dalam lindi pada dosis yang lebih tinggi akan
tercapai kejenuhan hingga CaCO3 yang diberikan akan langsung mengendap.
Pola perubahan nilai TDS, pH maupun kadar Ca2+ pada sentrat dari perlakuan
pemberian dolomit menunjukkan pola yang berbeda dibanding perlakuan CaO maupun
Ca(OH)2 dan sedikit menyerupai pola perubahan nilai TDS, pH dan kadar Ca2+ akibat
pemberian CaCO3 (Gambar 51 hingga Gambar 56). Hal ini disebabkan pemberian
dolomit ke dalam lindi akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian CaO
maupun Ca(OH)2 karena dari hasil reaksi dolomit dengan air yang terdapat dalam lindi,
selain akan menghasilkan CaCO3 juga menghasilkan MgCO3 seperti yang digambarkan
oleh Hardjowigeno (2010) sebagai berikut.

CaMg(CO3)2 -----> Ca2+ + Mg2+ + 2CO32-

CO32- yang dihasilkan dari reaksi tersebut akan bereaksi dengan air membentuk ion
hidroksil (OH-) seperti yang digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut.

CO32- + 2H2O -------> HCO3- + OH-

Pada suhu kamar (20oC), CaCO3 memiliki solubilitas (kelarutan) yang rendah
(0,0006170), sedangkan MgCO3 memiliki solubilitas yang lebih tinggi (0,039) dibanding
CaCO3 (Wikipedia, 2007). Oleh karena itu, MgCO3 lebih sulit untuk diendapkan
dibanding CaCO3. Apabila dosis dolomit ditingkatkan, maka kadar MgCO3 yang masuk

100
dalam larutan mengalami peningkatan. Hal ini akan menambah bahan padatan terlarut
pada sentrat karena MgCO3 yang dihasilkan dari perlakuan dolomit akan membentuk
ion-ion Mg2+ dan CO32- yang secara otomatis berpengaruh terhadap besaran nilai TDS
dan pH karena Mg2+ termasuk bahan padatan terlarut, sedangkan CO32- akan bereaksi
dengan air membentuk HCO3- dan OH- yang menyebabkan larutan sedikit mengalami
peningkatan pH. Keberadaan Mg2+ dalam larutan tersebut dapat menyebabkan pada dosis
yang sama, perlakuan dolomit memiliki nilai TDS dan pH sedikit lebih tinggi dibanding
CaCO3.
Pada dosis kurang dari 2000 ppm, kadar Ca2+ yang terdapat pada sentrat sebagai
akibat penambahan CaCO3 maupun dolomit ke dalam lindi relatif lebih tinggi
dibanding kadar Ca2+ yang berasal dari perlakuan CaO maupun Ca(OH)2 (Gambar 53 dan
Gambar 54). Hal ini, akibat jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaCO3 dan
dolomit lebih rendah dibanding jumlah OH- yang dihasilkan dari perlakuan CaO dan
Ca(OH)2. Dampak selanjutnya, kemampuan mendisosiasi H+ pada koloid menjadi rendah
mengakibatkan jumlah muatan negatif yang terbentuk pada koloid yang dihasilkan dari
perlakuan CaCO3 dan dolomit juga menjadi lebih rendah dibanding perlakuan CaO dan
Ca(OH)2. Padahal, muatan negatif yang terbentuk mampu mengikat Ca2+ baik yang
berasal dari lindi maupun yang berasal dari pemberian kapur. Secara rinci, pH dari
keempat jenis kapur pada 11 dosis yang berbeda yang diperoleh dari hasil penelitian ini
disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33. pH pada sentrat dari perlakuan kapur


Dosis (ppm) CaO Ca(OH)2 CaCO3 Dolomit
500 9,33 a 9,18 a 8,3 a 8,7 a
750 9,70 ab 9,55 ab 8,43 a 8,73 a
1000 10,50 abc 10,38 abc 8,5 a 8,73 a
1250 10,88 abc 10,7 abc 8,7 a 8,73 a
1500 11,50 bc 11,35 bc 8,73 a 8,78 a
1750 11,68 c 11,65 c 8,78 a 8,78 a
2000 11,83 c 11,80 c 8,8 a 8,78 a
3000 12,05 c 12 c 8,85 a 8,8 a
4000 12,15 c 12,1 c 8,85 a 8,83 a
5000 12,23 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a
6000 12,25 c 12,18 c 8,85 a 8,85 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

101
4.3.2 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro
pada Endapan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jenis kapur yang berbeda pada
dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah logam mikro essensial (Cu, Zn, Mn
dan Fe) dalam endapan. Demikian halnya dengan jumlah logam mikro non essensial (Pb,
Cd dan Cr) dalam endapan, juga berbeda (Gambar 57 - Gambar 63). Secara rinci,
gambaran kandungan logam-logam tersebut dalam endapan dari masing-masing jenis
kapur dapat dilihat pada Gambar 57 – Gambar 63.

Gambar 57. Kadar Cu dalam endapan pada tiga dosis kapur

Gambar 58. Kadar Zn dalam endapan pada tiga dosis kapur

102
Gambar 59. Kadar Mn dalam endapan pada tiga dosis kapur

Gambar 60. Kadar Fe dalam endapan pada tiga dosis kapur

103
Gambar 61. Kadar Pb dalam endapan pada tiga dosis kapur

Gambar 62. Kadar Cd dalam endapan pada tiga dosis kapur

104
Gambar 63. Kadar Cr dalam endapan pada tiga dosis kapur

Kadar logam mikro essensial Cu dan Zn dalam endapan dari perlakuan pemberian
CaO maupun Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm lebih rendah dibanding pada dosis
500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 57 dan Gambar 58). Demikian halnya kadar logam
mikro non essensial (Pb dan Cd) pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis 6000 ppm,
juga lebih rendah dibanding pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 61 dan
Gambar 62). Perilaku ini seperti yang dikemukakan oleh Davis dan Masten (2004) terjadi
sebagai akibat pada pH yang semakin tinggi (di atas 9), logam-logam tersebut akan
membentuk senyawa kompleks yang memiliki solubilitas (kelarutan) yang lebih tinggi
sehingga pada pH > 9 logam tersebut cenderung berada dalam kondisi terlarut dan tetap
berada dalam sentrat. Amer (1998) mengemukakan bahwa umumnya, tetapi tidak semua,
presipitasi (pengendapan) logam hidroksida terjadi pada pH 8,5 sampai 9,5.
Perubahan logam mikro Cu, Zn, Pb dan Cd pada pH tinggi sebagai berikut (Davis
dan Masten, 2004):

• Pada pH > 9, Cu akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut.
Cu2+ + 2OH- ----- Cu(OH)2 (s)
Cu(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cu(OH)42-

105
• Pada pH > 9, Zn akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut.

Zn2+ + 2OH- ----- Zn(OH)2 (s)


Zn(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Zn(OH)42-

• Pada pH > 9, Pb akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut.

Pb2+ + 2OH- ----- Pb(OH)2 (s)


Pb(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Pb(OH)42-

• Pada pH > 9, Cd akan membentuk senyawa kompleks dengan reaksi sebagai berikut.

Cd2+ + 2OH- ----- Cd(OH)2 (s)


Cd(OH)2 (s) + 2(OH)- ------- Cd(OH)42-

Perilaku kelarutan dari ke empat logam mikro (Cu, Zn, Pb dan Cd) pada berbagai pH
digambarkan oleh Davis dan Masten (2004) sebagai berikut.

Gambar 64. Kelarutan Cu, Zn, Pb dan Cd pada berbagai pH


(Davis dan Masten, 2004)

106
Gambaran di atas menunjukkan bahwa solubilitas (kelarutan) akan menurun dan
mencapai minimum pada pH antara ± 9 (pada Cu, Zn dan Pb) hingga pH ± 11 (pada Cd),
tergantung jenis logamnya. Apabila pH ditingkatkan lagi dari pH pada titik minimum
maka pada logam tersebut akan terbentuk senyawa kompleks dengan kelarutan yang
semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemberian CaO dan Ca(OH)2 pada
dosis 6000 ppm, kadar Cu, Zn, Pb dan Cd dalam endapan lebih rendah dibanding pada
dosis 500 ppm dan 1000 ppm. Pada dosis 500 ppm, 1000 ppm dan 6000 ppm dari
perlakuan CaO maupun Ca(OH)2, pH berkisar antara 9,3 hingga 12,15. Oleh karenanya,
apabila pH ditingkatkan lagi lebih dari 6000 ppm akan mengakibatkan logam mikro Cu,
Zn, Pb dan Cd akan semakin banyak berada dalam kondisi terlarut.
Pada perlakuan pemberian kapur jenis CaCO3 maupun dolomit; kadar logam Cu,
Zn, Pb dan Cd yang terdapat dalam endapan pada dosis yang makin tinggi dari 500 ppm
hingga 6000 ppm justru masih menunjukkan peningkatan. Hal ini berbeda dengan
perlakuan CaO dan Ca(OH)2. Pada dosis yang sama, pH sebagai akibat penambahan
CaCO3 maupun dolomit lebih rendah dibanding pH akibat penambahan CaO maupun
Ca(OH)2. Hal ini menunjukkan jumlah OH- akibat pemberian CaCO3 maupun dolomit
lebih rendah dibanding peningkatan pH akibat pemberian CaO maupun Ca(OH)2 (Tabel
33). Nilai pH sebagai akibat pemberian CaCO3 dan dolomit hingga dosis 6000 ppm
ternyata masih berada pada kisaran pH < 9. Peningkatan konsentrasi OH- yang
menyebabkan pH masih berada dibawah pH 9 sebagai akibat penambahan CaCO3
maupun dolomit menyebabkan logam Cu, Zn, Pb dan Cd masih dapat membentuk
senyawa hidroksida yang mudah diendapkan. Pada pH < 9, keempat logam tersebut (Cu,
Zn, Pb dan Cd) belum membentuk senyawa komplek dengan solubilitas yang lebih tinggi
dibanding sebelumnya.
Pemberian CaO, Ca(OH)2, CaCO3 maupun dolomit) ternyata menyebabkan
peningkatan jumlah logam Mn dan Fe pada endapan sejalan dengan pemberian kapur
tersebut pada dosis yang semakin meningkat (Gambar 59 dan Gambar 60). Hal ini
disebabkan solubilitas (kelarutan) dari logam besi (Fe) maupun Mangan (Mn) akan
semakin rendah pada pH yang semakin tinggi sehingga mudah untuk diendapkan.
Semakin tinggi dosis kapur yang diberikan mengakibatkan semakin tinggi pH. Semakin
tinggi pH berarti semakin tinggi pula konsentrasi OH - dalam larutan dan hal ini akan
menyebabkan semakin besar pula peluang untuk terjadi interaksi antara Mn atau Fe
terlarut dengan OH- yang ada dalam larutan membentuk senyawa hidroksida yang mudah
mengendap mengakibatkan kedua logam tersebut menjadi lebih terakumulasi dalam

107
endapan. Menurut Vogel (1979), pembentukan senyawa hidroksida yang mudah
mengendap dari Mn dan Fe dapat terjadi hingga pH 14.
Perilaku yang sama dengan logam Mn dan Fe juga diperlihatkan oleh logam Cr.
Kadar logam Cr dalam endapan dari perlakuan pemberian CaO atau Ca(OH)2 pada dosis
6000 ppm lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian kedua jenis kapur tersebut
pada dosis 500 ppm dan 1000 ppm (Gambar 63). Menurut Vogel (1979), pada pH > 9
hingga pH 12, Cr masih dapat membentuk senyawa hidroksida yang mudah mengendap.
Reaksi pembentukan logam Cr menjadi senyawa hidroksida yang mudah
mengendap ditunjukan oleh Vogel (1979) sebagai berikut:

Cr3+ + 3OH- ----- Cr(OH)3 (s)

Pada dosis 6000 ppm, kadar logam Mn dan Fe dari perlakuan CaCO3 dan dolomit
lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan Ca(OH)2 (Gambar 59 dan Gambar 60).
Hal ini disebabkan pada dosis tersebut, pH dari perlakuan pemberian CaCO3 dan dolomit
lebih rendah dibanding pada perlakuan pemberian CaO dan Ca(OH)2. Otomatis,
konsentrasi OH- dalam larutan yang diberi perlakuan CaCO3 dan dolomit juga lebih
rendah yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap pembentukan jumlah senyawa
hidroksida maupun senyawa kompleks yang mudah mengendap yang terbentuk dari
koloid dengan kedua logam tersebut lebih rendah dibanding pada perlakuan CaO dan
Ca(OH)2.
Logam Cu, Zn, Mn dan Fe yang terdapat dalam endapan hasil pengolahan lindi
dapat digunakan sebagai sumber hara mikro essensial; sedangkan logam-logam Pb, Cd
dan Cr merupakan logam berat yang termasuk logam mikro non essensial yang belum
diketahui manfaatnya bagi tanaman, bahkan logam tersebut apabila masuk ke dalam
sistem metabolisme dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu,
ketiga logam tersebut (Pb, Cd dan Cr) perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jika
bahan pupuk cair hasil olahan lindi mengandung ketiga logam tersebut, maka kadar dari
logam-logam tersebut yang berada dalam bahan pupuk cair harus berada di bawah baku
mutu. Berdasarkan aturan yang ditetapkan Menteri Pertanian tahun 2003, batas maksimal
Pb dan Cd yang diperbolehkan dalam pupuk cair organik adalah : Pb kurang dari 50 ppm
dan Cd kurang dari 10 ppm. Batas maksimal logam Cu, Mn, Pb dan Cd dalam pupuk cair
anorganik adalah Cu 0,25% (2500 ppm), Mn 0,25% (2500 ppm), Pb 0,125% (1250
ppm) dan Cd 0,125% (1250 ppm). Jika dilihat dari jumlah logam tersebut dalam endapan
lindi hasil penambahan 1000 ppm CaO dan Ca(OH)2 yang dijadikan sebagai perlakuan
terpilih dari tahap percobaan ini dan kadar logam-logam tersebut yang ada pada endapan

108
lindi hasil penambahan CaCO3 dan dolomit juga pada dosis 1000 ppm seperti yang
disajikan pada Tabel 34, kadar keempat logam tersebut (Cu, Mn, Pb dan Cd) dari
perlakuan pemberian keempat jenis kapur pada dosis 1000 ppm masih berada di bawah
baku mutu. Kisaran kadar Cu, Zn, Mn, Fe, Pb, Cd dan Cr dari perlakuan pemberian
masing-masing jenis kapur pada dosis 1000 ppm sebagai berikut.

Tabel 34. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan pemberian 1000 ppm kapur
Logam Mikro Kadar Maksimal
Jenis Kapur
Non Dalam Pupuk Cair*
Essensial CaO Ca(OH)2 CaCO3 Dolomit Organik Anorganik
Tidak 0,25%
Cu (ppm) 8,23b 8,59b 5,2ª 12,24c
disebutkan (2500 ppm)
Tidak Tidak
Zn (ppm) 30,02a 31,56a 17,99b 19,28b
disebutkan disebutkan
Tidak 0,25%
Mn (ppm) 230,57c 196,48b 155,04a 184,94b
disebutkan (2500 ppm)
Tidak Tidak
Fe (ppm) 320,95b 302,36ab 287,77a 320,72b
disebutkan disebutkan
< 50 ppm 0,125%
Pb (ppm) 10,34b 11,40b 4,29 a 10,52b
(1250 ppm)
< 10 ppm 0,125%
Cd (ppm) 6,93 a 8,27 a 8,81 a 8,46 a
(1250 ppm)
Tidak Tidak
Cr (ppm) 2,05ab 2ab 2,49b 1,31 a
disebutkan disebutkan
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.
Angka di atas merupakan rata-rata dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan.
* Standar minimal pupuk cair berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 09/Kpts/TP.260/I/2003

4.3.3 Pengaruh Jenis dan Dosis Kapur terhadap Kadar Bahan Organik pada
Endapan

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 65, ternyata
pemberian jenis kapur yang berbeda pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan
kadar bahan organik pada endapan. Gambaran jumlah bahan organik pada endapan dari
masing-masing jenis kapur sebagai berikut.

109
Gambar 65. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan pemberian
kapur pada tiga dosis yang berbeda

Gambar 65 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan


menyebabkan jumlah bahan organik dalam endapan makin tinggi. Pada dosis 6000 ppm
dari keempat jenis kapur menunjukkan jumlah bahan organik yang lebih tinggi dibanding
pada dosis 500 ppm ataupun 1000 ppm. Fenomena ini dapat disebabkan pada pH yang
tinggi sebagai akibat pemberian kapur pada dosis 6000 ppm, logam dan koloid organik
dapat lebih berinteraksi membentuk flok yang mudah untuk diendapkan sehingga
keduanya menjadi lebih terakumulasi dalam endapan.
Gambar 66 menunjukkan bahwa jumlah bahan organik pada endapan dari
perlakuan CaO dan Ca(OH)2 lebih tinggi dibanding pada perlakuan CaCO3 dan dolomit.
Kondisi ini terkait dengan kemampuan CaO dan Ca(OH)2 dalam menyumbangkan lebih
banyak OH- sehingga kedua jenis kapur tersebut lebih mampu dalam memicu terjadinya
disosiasi H+ pada koloid organik dibanding CaCO3 dan dolomit. Hal ini menyebabkan
CaO dan Ca(OH)2 lebih mampu dalam menyebabkan pembentukan flok yang mudah
mengendap antara koloid organik dengan logam terlarut dibanding CaCO3 maupun
dolomit.

110
Gambar 66. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan kapur

4.3.4 Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia
pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan Kapur)

Dari hasil penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 35 didapatkan bahwa
nilai dari beberapa parameter kimia pada sentrat dari kedua perlakuan fisik yang berbeda
(sentrifugasi atau pengocokan) menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai TDS yang
terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi lebih rendah dan nyata
berbeda dibanding nilai TDS pada sentrat yang mendapatkan perlakuan pengocokan,
sedangkan pH pada perlakuan sentrifugasi meskipun lebih tinggi, namun tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding perlakuan pengocokan. Di lain pihak,
rata-rata Ca dalam sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi justru lebih tinggi
dan nyata berbeda dibanding perlakuan pengocokan. Diduga gaya sentrifugal dapat lebih
membantu memperlancar terjadi reaksi antara air yang ada dalam lindi dengan kapur
sehingga proses peruraian kapur menjadi Ca2+ dan OH- lebih intensif dibanding pada
proses pengocokan. Hal ini selanjutnya mengakibatkan pada perlakuan sentrifugasi
jumlah Ca2+ dan OH- menjadi lebih banyak dalam larutan dibanding proses pengocokan
(Tabel 35).

111
Tabel 35. Nilai TDS, pH dan Ca pada sentrat dari perlakuan fisik yang berbeda
Sifat Kimia Sentrifugasi Pengocokan
TDS (ppm) 3523a 3672b
pH 10,00a 9,96a
Ca (ppm) 12,45a 10,66b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Keberadaan OH- yang lebih banyak dalam larutan pada perlakuan sentrifugasi
menyebabkan peluang terbentuknya senyawa kompleks yang mudah mengendap dari
logam terlarut dengan koloid menjadi lebih banyak dan keberadaaan OH- yang tinggi juga
dapat menyebabkan peluang terbentuk senyawa hidroksida dari logam Mn dan Fe akan
semakin besar menyebabkan kedua logam tersebut akan makin banyak pada endapan.
Kedua hal ini akan menyebabkan nilai TDS pada sentrat menjadi lebih rendah.

Gambar 67. Kadar logam mikro pada endapan dari perlakuan fisik
yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)

112
1285

1300

Kadar Bahan Organik (ppm)


1250
1180

1200

1150

1100
Sentrifugasi Pengocokan

Prose Fisik

Gambar 68. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik
yang berbeda (perlakuan penambahan kapur)

4.3.5 Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada
Pertanaman (Perlakuan Penambahan Kapur)

Hal yang juga harus diperhatikan dalam penentuan jenis dan dosis kapur yang
dipilih untuk diterapkan dalam pengolahan lindi menjadi bahan pupuk cair adalah nilai
TDS dan kadar Ca2+ pada sentrat. Nilai dari kedua parameter tersebut harus minimal
karena nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Ca yang masih
tersisa yang terdapat pada sentrat karena sentrat nantinya akan dibuang ke lingkungan
setelah endapan lindi hasil pengolahan aerasi selesai diproses menjadi bahan pupuk cair
melalui proses sentrifugasi maupun pengocokan. Apabila nilai TDS pada sentrat
memiliki nilai terendah maka diharapkan di dalam sentrat mengandung polutan dengan
kadar yang paling rendah, baik yang berupa Ca2+ yang berasal dari pemberian kapur,
logam-logam terlarut lainnya maupun bahan organik yang memang sudah ada
sebelumnya dalam lindi. Semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, semakin rendah
pula bahan-bahan yang tidak diinginkan yang terkandung di dalamnya sehingga
menyebabkan sentrat menjadi semakin aman untuk dibuang ke lingkungan. Di lain pihak,
semakin rendah bahan terlarut pada sentrat, berarti semakin tinggi kadar logam mikro
essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) dalam endapan hingga endapan ini memiliki peluang yang
lebih baik untuk difungsikan sebagai sumber hara bagi tanaman.

113
Selain nilai TDS pada sentrat, kadar Ca2+ pada sentrat selayaknya juga menjadi
dasar dalam penentuan dosis terpilih karena apabila kadar Ca2+ pada sentrat yang berasal
dari lindi maupun Ca2+ yang berasal dari kapur yang ditambahkan pada saat pembuatan
pupuk cair masih tinggi dan sentrat tersebut dibuang ke lingkungan, dikhawatirkan Ca2+
dapat menjadi sumber pencemaran, mengingat Ca2+ merupakan salah satu bahan yang
dapat menyebabkan kesadahan. Menurut Effendi (2003), kesadahan dapat menyebabkan
sabun tidak berbusa. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan pemborosan dalam
penggunaan sabun. Selain itu, kesadahan juga dapat menyebabkan terjadi kerak pada
ketel uap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CaO dan Ca(OH)2 pada dosis
1000 ppm memiliki nilai TDS yang paling rendah dan kadar Ca2+ dalam sentrat juga
relatif rendah dibanding pada dosis lainnya maupun dibanding perlakuan CaCO3 maupun
dolomit (Gambar 51 - Gambar 54). Nilai TDS pada sentrat mencapai minimum pada
perlakuan pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menggambarkan kadar padatan
terlarut pada sentrat berada pada kondisi paling minim sekaligus mencerminkan secara
keseluruhan jumlah logam terlarut atau bahan organik yang dapat diendapkan mencapai
maksimum dengan kadar logam mikro, khususnya Cu, Mn, Pb dan Cd masih berada di
bawah baku mutu untuk digunakan sebagai pupuk cair berdasarkan baku mutu yang
dikeluarkan Menteri Pertanian tahun 2003 (Tabel 34). Dengan alasan tersebut di atas,
maka perlakuan yang mewakili perlakuan kapur dan dianggap layak digunakan dalam
proses pembuatan pupuk cair baik melalui proses lanjutan dengan cara sentrifugasi
maupun pengocokan adalah pemberian 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2. Namun demikian,
bila dilihat dari data pada Tabel 34, pada perlakuan pemberian 1000 ppm Ca(OH)2, kadar
logam berat Pb dan Cd pada endapan yang akan dijadikan pupuk cair lebih tinggi
dibanding kadar logam tersebut pada perlakuan pemberian 1000 ppm CaO. Oleh
karenanya endapan lindi yang layak dijadikan pupuk cair berasal dari perlakuan
pemberian 1000 ppm CaO. Gambaran visual dari sentrat dari perlakuan kapur disajikan
pada Gambar 69.

114
Gambar 69. Sentrat setelah proses sentrifugasi

Gambar 69 menunjukkan pada 2 botol yang paling kanan yang berisi sentrat dari
perlakuan pemberian 6000 ppm kapur (CaO dan Ca(OH)2) yang disentrifugasi berwarna
bening dan tembus pandang. Namun bukan berarti di dalam cairan tersebut mengandung
kadar bahan terlarut yang minimal. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, nilai TDS dan
kadar Ca pada sentrat dari perlakuan tersebut paling tinggi dibanding perlakuan lainnya.

4.4 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Beberapa Parameter Kimia pada


Sentrat maupun Endapan

Perlakuan pemberian bahan oksidator KMnO4 pada empat dosis yang berbeda
(0, 0,01%, 0,02% dan 0,03%) dengan atau tanpa pemberian 1000 ppm kapur (CaO atau
Ca(OH)2) pada endapan hasil aerasi pada laju 70 liter/menit ternyata memberikan hasil
yang berbeda terhadap beberapa parameter kimia pada sentrat maupun pada endapan.
Secara rinci, hasil analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat
percobaan pembuatan pupuk cair dari bahan tersebut disajikan pada Tabel Lampiran 9
dan 10. Gambaran umum dari hasil penelitian pada tahap percobaan ini menunjukkan
bahwa pada perlakuan penambahan KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4
yang diberikan semakin tinggi menyebabkan peningkatan nilai TDS dan kadar Mn pada

115
sentrat. Pada perlakuan pemberian KMnO4 yang semakin tinggi, pH hanya sedikit
mengalami perubahan hingga tidak berbeda nyata dibanding tanpa penambahan KMnO4.
Namun demikian, ada kecenderungan, pH makin menurun dengan semakin tinggi dosis
KMnO4 yang diberikan. Di lain pihak, pada perlakuan pemberian KMnO4 yang
dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan pH
yang nyata lebih tinggi dibanding tanpa penambahan KMnO4.
Pada perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur, bila dosis KMnO4
ditingkatkan menyebabkan kadar beberapa logam mikro pada endapan cenderung
mengalami peningkatan. Meskipun demikian, ada juga logam mikro lainnya yang
mengalami penurunan sejalan dengan dosis KMnO4 yang makin meningkat. Kondisi
tersebut juga terjadi pada perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan
penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2, kadar beberapa logam mikro pada endapan
ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan.
Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kadar bahan organik pada endapan dari
perlakuan pemberian KMnO4 cenderung mengalami penurunan bila dosis KMnO4 makin
ditingkatkan. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan pemberian KMnO4
yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 lebih
tinggi dan berbeda nyata dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa kapur. Secara
rinci, nilai-nilai dari parameter kimia yang diukur saat percobaan ini akan diuraikan di
bawah ini.

4.4.1 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Nilai TDS, pH, Kadar Mn dan Ca,
pada Sentrat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian KMnO4 pada dosis yang berbeda
menyebabkan perbedaan terhadap beberapa parameter kimia (nilai TDS, kadar Mn dan
pH) pada sentrat. Secara rinci, nilai dari parameter tersebut disajikan pada Gambar 70, 71
dan 72.

116
Gambar 70. Nilai TDS pada sentrat dari perlakuan KMnO4

Nilai TDS mengalami peningkatan sejalan dengan makin meningkatnya dosis


KMnO4 (Gambar 70). Peningkatan nilai TDS ini ternyata berkaitan dengan peningkatan
kadar Mn pada sentrat. Kadar Mn pada sentrat akibat pemberian KMnO4 pada dosis
0,03% lebih tinggi dibanding kadar Mn akibat pemberian KMnO4 pada dosis 0,02%,
0,01% dan 0% (Gambar 71).

Gambar 71. Kadar Mn pada sentrat dari perlakuan KMnO4

117
Menurut Cotton dan Wilkinson (1989), apabila KMnO4 ditambahkan ke dalam
larutan yang bersifat basa, KMnO4 tersebut akan bereaksi dengan air menghasilkan
endapan MnO2. Gambaran reaksi tersebut sebagai berikut.

MnO4- + H2O -------> MnO2 (s) + OH-

Lindi yang digunakan dalam percobaan ini bersifat basa karena memiliki pH 8
hingga pH 9. Merujuk pada reaksi di atas, apabila pada lindi tersebut diberikan
KMnO4 pada dosis yang makin meningkat tanpa penambahan kapur dapat
menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menghasilkan endapan MnO2 dan OH-.
Namun demikian, dengan semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan, sedangkan
volume lindi sama, tetap akan menyebabkan lebih banyak MnO4- tersisa yang tetap
berada dalam larutan mengakibatkan MnO4- pada sentrat menjadi lebih banyak dibanding
jumlah MnO4- pada sentrat yang berasal dari perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis
yang lebih rendah. Oleh karena MnO4- merupakan salah satu bahan padatan terlarut yang
dapat mempengaruhi nilai TDS, maka bila bahan tersebut pada sentrat makin meningkat
sebagai akibat pemberian KMnO4 pada dosis yang makin meningkat menyebabkan nilai
TDS juga makin meningkat.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan pH akibat
pemberian KMnO4 pada dosis yang makin tinggi. Namun hal ini tidak menyebabkan
perbedaan yang nyata dibanding perlakuan tanpa kapur dan tanpa KMnO4 (Gambar
72). Penurunan pH dapat diakibatkan oleh H+ yang dihasilkan dari reaksi pembentukan
logam hidroksida. H+ merupakan penyebab kemasaman. Reaksi pembentukan H+
digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut:

MnO4- + 3Fe2+ + 7 H2O -----> MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+

Reaksi di atas menunjukkan bahwa OH- yang dihasilkan dari MnO4- dan H2O akan
digunakan oleh logam terlarut Fe2+ membentuk logam hidroksida (Fe(OH)3) yang mudah
mengendap dengan menghasilkan H+.
Di lain pihak, pada dosis KMnO4 yang sama terdapat perbedaan nilai TDS maupun
kadar Mn pada sentrat antara perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur
(CaO atau Ca(OH)2) dengan perlakuan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan
penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 (Gambar 70 dan 71). Pada dosis KMnO4
yang sama, nilai TDS dari perlakukan pemberian KMnO4 yang dikombinasikan dengan

118
penambahan CaO ataupun Ca(OH)2 lebih rendah dibanding nilai TDS pada perlakuan
pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2. Hal ini dapat disebabkan
pada perlakuan yang ditambahkan CaO atau Ca(OH)2 terjadi peningkatan konsentrasi
OH- yang ditunjukkan oleh nilai pH yang lebih tinggi dibanding tanpa penambahan bahan
tersebut (Gambar 72). Peningkatan konsentrasi OH- menyebabkan koloid terdisosiasi
sehingga muatan negatif dari koloid juga meningkat yang mengakibatkan jumlah logam-
logam terlarut termasuk Mn yang berasal dari penambahan KMnO4 maupun Ca yang
berasal dari penambahan kapur akan berikatan dengan koloid tersebut membentuk flok
yang mudah mengendap. Selanjutnya dengan proses fisik (sentrifugasi atau pengocokan),
flok tersebut akan membentuk endapan. Disamping itu, jumlah senyawa hidroksida yang
mudah mengendap yang terbentuk dari logam Mn atau logam terlarut lainnya dengan OH-
juga makin tinggi. Kedua hal tersebut menyebabkan jumlah Mn maupun logam-logam
terlarut lainnya dalam sentrat makin berkurang. Pada akhirnya hal tersebut berpengaruh
terhadap penurunan nilai TDS pada sentrat.
Pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO atau
Ca(OH)2, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, juga menyebabkan pH menjadi menurun
(Gambar 72). Penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 menyebabkan suasana menjadi
lebih basa dibanding perlakuan pemberian KMnO4 tanpa penambahan kapur tersebut.
Pada kondisi suasana lebih basa akan lebih banyak OH- dalam larutan. Menurut Cotton
dan Wilkinson (1989), OH- berlebih yang ada dalam larutan akan digunakan oleh ion
permanganat (MnO4-) membentuk ion manganat (MnO42-). Gambaran reaksi tersebut
sebagai berikut.

MnO4- + OH- -----------> MnO42-

Penggunaan OH- dalam pembentukan ion manganat (MnO42-) oleh ion permanganat
(MnO4-) mengakibatkan pH pada perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis yang makin
meningkat yang dikombinasikan dengan penambahan 1000 ppm CaO atau Ca(OH)2 akan
mengalami penurunan. Apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, MnO4- yang akan
menggunakan OH- dalam larutan akan makin banyak hingga pH akan menurun.

119
Gambar 72. pH pada sentrat dari perlakuan KMnO4

4.4.2 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Beberapa Logam Mikro


pada Endapan

Gambar 73 sampai dengan Gambar 79 menunjukkan bahwa pemberian bahan


oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda menyebabkan perbedaan kadar logam mikro
dalam endapan. Pada perlakuan tanpa kapur, semakin meningkat KMnO4 yang diberikan
menyebabkan logam Cu, Zn, Mn, Fe, Pb dan Cd dalam endapan makin meningkat. Hal
ini dapat disebabkan pemberian KMnO4 pada lindi yang bersifat basa menyebabkan
pembentukan endapan mangan dioksida (MnO2) dan juga dihasilkan ion hidroksil (OH-).
Reaksi tersebut seperti yang digambarkan oleh Cotton dan Wilkinson (1989) sebagai
berikut:

MnO4- + H2O -------> MnO2(s) + OH-

OH- yang dihasilkan dari reaksi tersebut tidak menyebabkan pH > 9 (Gambar 72),
sehingga OH- yang dihasilkan akan digunakan untuk berikatan dengan logam terlarut
yang ada dalam lindi membentuk senyawa hidroksida yang mudah diendapkan dengan
cara sentrifugasi maupun pengocokan. Secara lengkap, contoh reaksi pengendapan logam
besi sebagai akibat pemberian KMnO4 digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai
berikut:

120
MnO4- + 3Fe2+ + 7 H2O -----> MnO2(s) + 3Fe(OH)3(s) + 5H+

Reaksi di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis KMnO4 yang diberikan akan
menyebabkan reaksi akan bergeser ke kanan menjadikan semakin banyak MnO2 pada
endapan, endapan logam hidroksida dan H+. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan
pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2. Apabila dosis
KMnO4 ditingkatkan justru menyebabkan kadar logam Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd dalam
endapan menjadi makin rendah sebagai akibat terjadi reaksi yang justru memanfaatkan
OH- oleh MnO4- membentuk senyawa lain. Cotton dan Wilkinson (1989)
menggambarkan reaksi permanganat pada suasana sangat basa dengan kadar KMnO 4
yang makin meningkat sebagai berikut:

MnO4- + OH- -----> MnO42- + H2O

Reaksi tersebut menggambarkan bahwa perlakuan pemberian KMnO4 pada pH tinggi


sebagai akibat penambahan kapur tidak menghasilkan OH-, tetapi justru memanfaatkan
OH- yang ada dalam larutan dengan menghasilkan ion manganat (MnO42-). Semakin
tinggi KMnO4 berarti kadar MnO4- dalam larutan semakin tinggi karena menurut Cotton
dan Wilkinson (1989), KMnO4 dalam larutan akan berubah menjadi ion K+ dan MnO4-.
Apabila jumlah MnO4- semakin banyak maka jumlah OH- yang dibutuhkan untuk
bereaksi dengan MnO4- membentuk MnO42- juga semakin banyak hingga menyebabkan
jumlah OH- dalam larutan yang seharusnya bereaksi dengan logam terlarut membentuk
senyawa hidroksida yang mudah diendapkan menjadi semakin sedikit. Hal inilah yang
menyebabkan pada dosis KMnO4 yang semakin tinggi, bila ditambahkan 1000 ppm CaO
atau Ca(OH)2, pH semakin menurun dan kadar logam (Cu, Zn, Fe, Pb dan Cd) dalam
endapan juga semakin menurun.

121
Gambar 73. Kadar Cu pada endapan dari perlakuan KMnO4

Gambar 74. Kadar Zn pada endapan dari perlakuan KMnO4

122
Gambar 75. Kadar Mn pada endapan dari perlakuan KMnO4

Gambar 76. Kadar Fe pada endapan dari perlakuan KMnO4

123
Gambar 77. Kadar Pb pada endapan dari perlakuan KMnO4

Gambar 78. Kadar Cd pada endapan dari perlakuan KMnO4

124
Gambar 79. Kadar Cr pada endapan dari perlakuan KMnO4

Gambar 80 memperlihatkan bahwa pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat,


baik tanpa maupun dengan penambahan kapur menyebabkan kadar Ca dalam sentrat
semakin menurun. Hal ini diduga merupakan akibat terbentuk senyawa yang mudah
mengendap dari Ca. Di lain pihak, pada perlakuan tanpa kapur, bila dosis KMnO4
ditingkatkan menyebabkan penurunan kadar Cr dalam endapan, sedangkan pada
perlakuan dengan penambahan kapur justru berlaku sebaliknya, Cr dalam endapan makin
bertambah bila dosis KMnO4 makin tinggi. Hal ini diduga pada perlakuan pemberian
KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm kapur akan menyebabkan logam Cr mengalami
pengendapan (Gambar 79).

125
Gambar 80. Kadar Ca (ppm) pada sentrat dari perlakuan KMnO4

4.4.3 Pengaruh Pemberian KMnO4 terhadap Kadar Bahan Organik pada


Endapan

Hasil penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 81 dan Gambar 82


menunjukkan bahwa pemberian bahan oksidator KMnO4 pada dosis yang berbeda
menyebabkan perbedaan kadar bahan organik dalam endapan. Tabel tersebut terlihat
bahwa baik pada perlakuan tanpa maupun dengan penambahan CaO atau Ca(OH)2,
semakin tinggi konsentrasi KMnO4 yang diberikan menyebabkan kadar bahan organik
dalam endapan semakin menurun. Hal ini dapat terjadi pada perlakuan tanpa kapur akibat
proses oksidasi bahan organik oleh KMnO4 dengan bantuan H+ yang dihasilkan dari
reaksi antara MnO4-, logam terlarut dan air membentuk logam hidroksida yang mudah
mengendap. Reaksi tersebut digambarkan oleh Manahan (2005) sebagai berikut:

MnO4- + 3Fe2+ + 7 H2O ----- > MnO2 + 3Fe(OH)3(s) + 5H+

H+ yang dihasilkan dari reaksi di atas akan digunakan untuk mengoksidasi bahan organik.
Sebagai contoh reaksi toluena dengan KMnO4 adalah sebagai berikut (Takeuchi, 2008).

5C6H5CH3 + 6MnO4- + 18 H+ –> 5C6H5COOH + 6Mn+2

126
Berdasarkan reaksi di atas, apabila dosis KMnO4 ditingkatkan, maka MnO4- yang
dihasilkan akan semakin banyak. Demikian halnya dengan H+ yang dihasilkan juga
semakin banyak dan H+ tersebut akan digunakan untuk proses oksidasi bahan organik.
Apabila proses oksidasi semakin intensif, maka bahan organik akan menjadi berkurang.
Pada perlakuan pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO maupun
Ca(OH)2, bahan organik dalam endapan juga semakin menurun bila dosis KMnO4 yang
diberikan semakin meningkat. Pada kasus ini, penurunan bahan organik dapat disebabkan
pada dosis KMnO4 yang semakin meningkat akan terjadi penggunaan OH- oleh MnO4-
berlebih membentuk MnO42-. Penggunaan OH- akan menyebabkan terjadi penurunan
jumlah OH- dalam larutan hingga berdampak pada penurunan pembentukan jumlah
muatan negatif pada koloid organik. Penurunan pembentukan muatan negatif pada koloid
organik selanjutnya mengakibatkan proses pengikatan logam terlarut oleh koloid organik
membentuk flok yang mudah diendapkan juga makin berkurang. Gambaran rata-rata
kadar bahan organik dari perlakuan pemberian KMnO4 pada empat dosis yang berbeda
disajikan pada Gambar 81 dan kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan
pemberian KMnO4 tanpa maupun dengan penambahan kapur (CaO atau Ca(OH)2)
disajikan pada Gambar 82.

Gambar 81. Rata-rata kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan
KMnO4 pada empat dosis yang berbeda

127
Gambar 82. Kadar bahan organik pada endapan dari perlakuan KMnO4

Gambar 82 menunjukkan bahwa pada dosis KMnO4 yang sama, perlakuan


pemberian KMnO4 dengan penambahan 1000 ppm CaO ataupun Ca(OH)2 menyebabkan
kadar bahan organik dalam endapan lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding perlakuan
pemberian KMnO4 tanpa penambahan CaO ataupun Ca(OH)2.

4.4.4 Pengaruh Proses Fisik yang Berbeda terhadap Beberapa Parameter Kimia
pada Sentrat dan Endapan (Perlakuan Penambahan KMnO4)

Hasil penelitian ini menunjukkan ada perbedaan nilai dari beberapa parameter
kimia pada sentrat maupun endapan sebagai akibat proses fisik yang berbeda. Nilai TDS,
kadar Ca dan Mn yang terdapat pada sentrat yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi
lebih rendah dibanding nilai dari ketiga parameter tersebut yang terdapat pada sentrat
yang mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal sebaliknya terjadi pada nilai dari
beberapa parameter kimia yang terdapat pada endapan. Kadar logam mikro maupun
bahan organik yang terdapat pada endapan yang mendapatkan perlakuan sentrifugasi
lebih tinggi dibanding nilai dari parameter tersebut yang terdapat pada endapan yang
mendapatkan perlakuan pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sentrifugasi
pada lindi yang diberi perlakuan penambahan KMnO4 lebih mampu mengendapkan
logam-logam terlarut dan bahan organik dibanding proses pengocokan. Secara rinci, nilai
dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 36, Gambar 83 dan Gambar 84.

128
Tabel 36. Nilai beberapa parameter kimia pada sentrat berdasarkan perlakuan fisik yang
berbeda (perlakuan penambahan KMnO4)
Parameter Sentrifugasi Pengocokan
TDS (ppm) 2692a 2722a
pH 9,62a 9,54a
Ca (ppm) 1,35a 1,59a
Mn (ppm) 0,31a 0,53b
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata pada taraf 1%.

Gambar 83. Kadar logam mikro dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda
(perlakuan penambahan KMnO4)

Gambar 84. Kadar bahan organik dalam endapan dari perlakuan fisik yang berbeda
(perlakuan penambahan KMnO4)

129
4.4.5 Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dipilih untuk Diaplikasikan pada
Pertanaman (Perlakuan Penambahan KMnO4)

Hal terpenting dalam penentuan dosis KMnO4 yang akan diterapkan dalam
pembuatan pupuk cair dari lindi adalah nilai TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat karena
nilai TDS mencerminkan kadar bahan padatan terlarut termasuk Mn dan Ca yang ada
pada sentrat setelah KMnO4 atau kapur ditambahkan pada saat proses pengolahan. Nilai
TDS, kadar Mn dan Ca pada sentrat yang diinginkan adalah yang paling minimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan KMnO4 pada dosis 0,01% baik
tanpa maupun dengan penambahan kapur memberikan nilai TDS dan kadar Mn pada
sentrat lebih rendah dibanding perlakuan pemberian KMnO4 pada dosis 0,02% maupun
0,03% (Gambar 70 dan Gambar 71). Pada perlakuan pemberian 0,01% KMnO4 yang
ditambahkan kapur (1000 ppm CaO atau Ca(OH)2) menunjukkan kadar logam mikro
essensial Cu, Zn dan Fe pada endapan lebih tinggi dibanding pada perlakuan pemberian
KMnO4 0,02% atau 0,03%. Atas dasar hal tersebut, pupuk cair berbahan dasar lindi yang
dihasilkan dari perlakuan penambahan KMnO4 yang dipilih untuk diaplikasikan pada
percobaan rumah kaca adalah endapan yang dihasilkan dari perlakuan penambahan
0,01% KMnO4 baik dengan atau tanpa penambahan 1000 ppm CaO.

4.4.6 Kadar Hara, E. coli dan Bahan Organik pada Pupuk Cair Berbahan Dasar
Lindi
Kelayakan pupuk cair yang dihasilkan dari lindi TPA sampah ditentukan oleh kadar
hara makro dan hara mikro serta jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalamnya.
Jumlah bakteri patogen diindikasikan oleh jumlah E. coli. Berdasarkan hasil penelitian ini
didapatkan kadar hara makro, hara mikro dan jumlah E. coli yang terdapat pada endapan
lindi dengan atau tanpa penambahan kapur maupun KMnO4 yang diujicobakan pada
percobaan rumah kaca serta kesesuaiannya dengan Standar Minimal Pupuk Cair yang
telah ditetapkan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2003 seperti yang disajikan
pada Tabel 37, 38 dan 39.
Kadar hara mikro essensial (Cu, Zn, Mn dan Fe) maupun kadar logam mikro non
essensial (Pb dan Cd) dalam edapan lindi yang dijadikan bahan pupuk cair masih berada
di bawah Standar Minimal Pupuk Cair Organik yang ditetapkan Menteri Pertanian RI
tahun 2003, sedangkan kadar E. coli tidak disebutkan dalam standar tersebut, namun
kadar E. coli yang terdapat dalam bahan pupuk cair dari lindi masih berada di bawah
standar mutu air baku untuk minum.

130
Tabel 37. Kadar hara makro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian
Jenis Pupuk Cair yang Kadar Hara Makro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair *
Digunakan dalam
Organik Cair * Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk
Penelitian N P K Ca Mg S
Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42
Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80
Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39
Lindi + 1000 ppm CaO
375,83 121,44 948,11 8300 959,50 48,53
disentrifugasi
Lindi + 1000 ppm CaO
324,54 97,76 827,68 7970 873,98 37,52
dikocok
Lindi + 0,01% KMnO4
144,55 62,47 1040,58 523,05 324,77 28,26
N tidak disebutkan Ntotal ≥ 20%
disentrifugasi Total N, P2O5 dan
Lindi + 0,01% KMnO4 P2O5 tidak disebutkan P2O5 < 8%
137,21 54,27 1015,63 496,29 296,38 24,92
dikocok K2O ≥ 10%
Lindi + 1000 ppm CaO + K2O tidak disebutkan K2O < 15%
306,40 93,90 1023,08 8146,10 897,50 39,23
0,01% KMnO4 disentrifugasi
Lindi + 1000 ppm CaO +
287,42 86,77 986,73 7612,36 864,93 32,84
0,01% KMnO4 dikocok
Lauxin 6500 5100 9100 3300 2100 -
Alami 88000 10000 21700 - 1000 -
Kontanik 158100 63500 61700 - 1100 116300
Petrovita 88200 62100 64700 4,66 3000 189000
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi.
Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial.
* Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003

131
Tabel 38. Kadar logam mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian
Jenis Pupuk Cair yang Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair *
Kadar Logam Mikro (ppm)
Digunakan dalam
Organik Cair * Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk
Penelitian Cu Zn Mn Fe Pb Cd Cr
Lindi 0,13 0,45 4,91 11,00 0,03 0,11 0,28
Lindi disentrifugasi 9,66 12,52 165,58 261,65 12,88 7,02 2,17
Lindi dikocok 5,98 8,19 126,51 240,94 7,05 6,23 1,71
Lindi + 1000 ppm CaO
9,83 35,68 264,81 348,24 13,53 7,86 2,27
disentrifugasi
Lindi + 1000 ppm CaO
6,63 24,36 196,33 293,65 7,15 7,06 1,83
dikocok Zn < 2500 ppm
Lindi + 0,01% KMnO4
13,75 19,28 435,27 316,76 13,96 9,09 1,98
disentrifugasi Pb < 50 ppm Cu < 2500 ppm
Lindi + 0,01% KMnO4 Cu < 10000 ppm
7,79 12,96 418,21 258,87 9,93 8,23 2,17
dikocok Cd < 10 ppm Mn < 2500 ppm
Lindi + 1000 ppm CaO + 16,72 39,42 429,25 362,82 16,25 9,62 2,43
0,01% KMnO4 disentrifugasi Fe < 400 pm
Lindi + 1000 ppm CaO + 12,77 30,55 410,87 305,88 14,32 8,84 1,87
0,01% KMnO4 dikocok
Lauxin 20,00 8,00 24,70 - - - -
Alami 85 30,00 85,00 16 - - -
Kontanik < 0,003 363700 - 9000 - - -
Petrovita 1000 37,22 57,58 2000 - - -
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi.
Lauxin, Alami, Kontanik dan Petrovita adalah pupuk komersial.
* Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003

132
Tabel 39. Kadar E. coli dan bahan organik yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang digunakan dalam penelitian
Jenis Pupuk Cair yang Digunakan Kadar Logam Mikro dalam Endapan (ppm) Persyaratan Pupuk Persyaratan Pupuk Anorganik Cair *
dalam Penelitian Organik Cair * Pupuk Tunggal Pupuk Majemuk
E. coli (MPN/100 ml) Bahan Organik (ppm)
Lindi 530 150
Lindi disentrifugasi 4280 920
Lindi dikocok 3970 840
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi 2030 1300
C-organik C-organik
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok 1940 1220 C-organik ≥ 6%
tidakdisebutkan tidak disebutkan
E. coli tidak
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi 1880 900 E. coli tidak E. coli
disebutkan
disebutkan tidak disebutkan
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok 1690 840
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 1260 1160
disentrifugasi
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 1130 1080
dikocok
Keterangan : Lindi berasal dari endapan hasil olahan aerasi.
* Keputusan Menteri Pertanian No.09/Kpts/TP.260/1/2003

133
4.5 Hasil Percobaan Rumah Kaca

Pemberian pupuk cair ditujukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan produksi


tanaman yang lebih baik dibanding tanpa pemberian bahan tersebut. Namun di lain pihak,
pemberian pupuk cair sebagai pupuk daun yang mengandung logam mikro seperti halnya Pb,
Cd dan Cr dapat menimbulkan kekhawatiran akan berdampak buruk terhadap kesehatan
manusia. Hal ini dapat terjadi apabila pemberian bahan tersebut menyebabkan kadar logam
mikro Pb, Cd dan Cr dalam bagian tanaman yang dikonsumsi manusia berada di atas ambang
batas yang dapat ditoleransikan. Oleh karena itu, pemantauan terhadap kadar logam tersebut
dalam bagian tanaman yang akan dikonsumsi manusia harus sangat diperhatikan.
Hasil percobaan rumah kaca dengan mengaplikasikan pupuk cair berbahan dasar lindi
maupun pupuk cair komersial sebagai pupuk daun memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini diperlihatkan oleh tinggi tanaman,
bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah yang bervariasi dan berbeda nyata dibanding
kontrol. Dari hasil percobaan ini juga didapatkan bahwa pengaplikasian pupuk cair berbahan
dasar lindi sebagai pupuk daun ternyata tidak menyebabkan kadar beberapa logam berat Pb,
Cd dan Cr dalam buah melebihi ambang batas yang dapat ditoleransikan. Secara rinci, hasil
analisis uji keragaman (uji F) terhadap parameter yang diukur saat percobaan rumah kaca
disajikan pada Tabel Lampiran 11, sedangkan nilai dari masing-masing parameter yang
diperoleh dari percobaan rumah kaca akan diuraikan di bawah ini.

4.5.1 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Tanaman

Hasil penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan
tinggi tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang tidak
diperkaya dengan hara NPK seperti disajikan pada Gambar 85 - Gambar 87, sedangkan hasil
penelitian yang terkait dengan bobot brangkasan, bobot buah, jumlah buah dan tinggi
tanaman dari perlakuan pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan
hara NPK seperti disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95. Di antara pupuk cair yang tidak
diperkaya dengan hara NPK menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk cair berbahan
dasar lindi yang berasal dari perlakuan penambahan 1000 ppm CaO menunjukkan bobot
brangkasan, bobot buah dan jumlah buah tertinggi.

134
Gambar 85. Bobot brangkasan dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk
cair berbahan dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK)

Gambar 86. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK)

135
Gambar 87. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan
dasar lindi (perlakuan tanpa penambahan NPK)

Gambar 92 - Gambar 95 menunjukkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah


dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah
melalui penambahan 1000 ppm CaO yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi
dibanding perlakuan lainnya. Data pada Tabel 40 menunjukkan bahwa pada keempat
parameter (tinggi tanaman, bobot barngkasan, jumlah buah dan bobot buah) dari tanaman
yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi lebih tinggi dan nyata berbeda dibanding
kontrol. Tabel 40 juga memperlihatkan bahwa tinggi, bobot brangkasan, jumlah buah dan
bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair komersial juga nyata lebih tinggi
dibanding kontrol dan tidak berbeda nyata dibanding tinggi, bobot brangkasan, jumlah
buah dan bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang
diproses melalui pemberian 1000 CaO yang diperkaya dengan hara NPK maupun
perlakuan pemberian 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diperkaya dengan hara
makro NPK. Jumlah parameter yang nyata berbeda maupun tidak berbeda nyata dibanding
kontrol dari perlakuan-perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel 40.

136
Tabel 40. Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi
dan pupuk cair komersial
Tinggi Bobot Jumlah Bobot Σ parameter yang
Tanaman Brangkasan Buah Buah Nyata Berbeda
Perlakuan Dibanding
Kontrol + NPK
Kontrol 26,50 a 8,34 a 0,5 a 1,49 a - -
+ NPK 27,75 ab 9,01 a 1,0 ab 3,32 ab - -
Lindi S 28,50 abc 9,13 a 1,5 abc 4,67 ab - -
Lindi P 28,00 ab 9,13 a 1,0 ab 3,36 ab - -
Lindi S + NPK 31,50 bcde 12,82 abcd 2,5 abc 9,24 abcd 1 -
Lindi P + NPK 31,00 bcde 12,42 abcd 2,5 abc 7,65 abc 1 -
Lindi + CaO 1000 ppm S 29,00 abcd 12,29 abcd 2,5 abc 8,42 abcd - -
Lindi + CaO 1000 ppm P 28,50 abc 10,92 abc 2,0 abc 6,21 ab - -
Lindi + CaO 1000 ppm S + NPK 32,50 de 17,24 cd 7,0 e 24,23 g 4 4
Lindi + CaO 1000 ppm P + NPK 32,00 cde 16,37 bcd 5,0 de 17,71 defg 4 4
Lindi + KMnO4 0,01% S 28,50 abc 10,75 abc 2,0 abc 6,32 ab - -
Lindi + KMnO4 0,01% P 28,50 abc 10,47 ab 1,5 abc 5,07 ab - -
Lindi + KMnO4 0,01% S + NPK 32,00 cde 15,79 bcd 3,5 cd 12,53 bcdef 4 3
Lindi + KMnO4 0,01% P + NPK 31,50 bcde 14,26 abcd 3,0 bcd 9,83 abcde 2 -
Lindi + CaO 1000 ppm +
29,00 abcd 11,58 abcd 2,5 abc 8,28 abcd - -
KMnO4 0,01% S
Lindi + CaO 1000 ppm +
28,50 abc 10,64 ab 1,5 abc 5,55 ab - -
KMnO4 0,01% P
Lindi + CaO 1000 ppm +
32,00 cde 16,77 bcd 6,5 e 22,39 fg 4 4
KMnO4 0,01% S + NPK
Lindi + CaO 1000 ppm +
32,00 cde 16,08 bcd 5,0 de 17,64 cdefg 4 4
KMnO4 0,01% P + NPK
Alami 32,50 de 16,59 bcd 6,0 e 19,68 efg 4 4
Lauxin 32,00 cde 16,93 bcd 3,0 cd 11,24 abcde 3 3
Petrovita 32,50 de 16,52 bcd 6,5 e 23,23 g 4 4
Kontanik 34,00 e 17,90 d 7,0 e 25,54 g 4 4
Ket : Angka yang diikuti oleh hiruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata dibanding kontrol pada taraf 1%
S = Sentrifugasi
P = Pengocokan

Tabel 40 memperlihatkan bahwa diantara perlakuan pemberian pupuk cair berbahan


dasar lindi, pertumbuhan (tinggi dan bobot brangkasan) dan produksi tanaman (jumlah
buah dan bobot buah) tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol pada keempat
parameter tersebut terdapat pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi
yang diolah melalui penambahan 1000 ppm CaO yang disentrifugasi atau dikocok dan

137
diperkaya dengan hara NPK maupun pada perlakuan penambahan 1000 ppm CaO dan
KMnO4 0,01% yang disentrifugasi atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK. Pada
perlakuan penambahan KMnO4 0,01% yang disentrifugasi dan diperkaya dengan hara
NPK, parameter yang nyata berbeda dibanding perlakuan pemberian NPK hanya untuk
tiga parameter saja, yakni tinggi, bobot brangkasan dan jumlah buah. Pada perlakuan
pemberian pupuk cair dari lindi (tanpa penambahan kapur atau KMnO4) yang disentrifugasi
atau dikocok dan diperkaya dengan hara NPK, meskipun pada keempat parameter (tinggi
tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah dan bobot buah) memiliki nilai yang lebih tinggi
dibanding kontrol, namun tiga dari keempat parameter tersebut yakni bobot brangkasan,
jumlah buah dan bobot buah belum menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding kontrol.
Pada perlakuan tersebut hanya tinggi tanaman saja yang berbeda nyata dibanding kontrol.
Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi
yang berasal dari perlakuan pemberian 1000 ppm CaO maupun pemberian 1000 ppm CaO
dan 0,01% KMnO4 menyamai pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair
komersial. Pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui penambahan 1000
ppm CaO maupun penambahan 1000 ppm CaO dan 0,01% KMnO4 yang diberi perlakuan
fisik sentrifugasi atau pengocokan mengandung hara makro N, P, Ca dan S tertinggi serta
hara mikro seperti Cu, Zn, Mn dan Fe yang juga cukup tinggi (Tabel 37 dan Tabel 38).
Apabila jumlah hara tersebut tercukupi, maka pertumbuhan dan produksi tanaman akan
menjadi lebih baik.
Pertumbuhan dan produksi tanaman yang diberi pupuk cair komersial lebih tinggi
dan berbeda nyata dibanding kontrol, juga lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding
pertumbuhan dan produksi dari tanaman yang hanya diberi NPK (Tabel 40). Hal ini
disebabkan pada pupuk cair komersial yang digunakan dalam penelitian ini, juga terdapat
unsur hara makro NPK dan unsur hara mikro essensial yang lebih tinggi dibanding kedua
perlakuan tersebut. Kadar hara makro NPK dan hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe pada pupuk
cair komersial disajikan pada Tabel 41. Pada masing-masing pupuk cair komersial,
jumlah unsur tersebut bervariasi. Akibat keberadaan hara NPK pada pupuk cair komersial
lebih tinggi dilengkapi dengan hara mikro essensial pada pupuk cair komersial, maka
kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut menjadi lebih terpenuhi dibanding kontrol.
Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), unsur N dibutuhkan tanaman dalam penyusunan

138
protein dan meningkatkan kadar selulosa, unsur P dibutuhkan tanaman untuk menyusun
jaringan tanaman, pembentukan bunga dan organ untuk reproduksi, sedangkan unsur K
dibutuhkan tanaman untuk pengembangan sel dan mengatur tekanan osmosis. Jenis dan
jumlah unsur hara makro dan hara mikro yang terkandung pada masing-masing pupuk cair
komersial yang digunakan pada penelitian ini bervariasi. Secara rinci, kadar unsur hara
makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar hara
makro maupun hara mikro yang terkandung dalam pupuk cair komersial disajikan pada
Tabel 41.

139
Tabel 41. Kadar hara makro dan hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi dan pupuk cair komersial yang
digunakan dalam penelitian
Kadar Logam Mikro (ppm)
Jenis Pupuk Cair yang Digunakan dalam Penelitian
N P K Ca Mg S Cu Zn Mn Fe
Lindi 6,23 12,32 87,33 97,46 91,06 8,42 0,13 0,45 4,91 11,00
Lindi disentrifugasi 121,42 31,43 845,68 393,60 264,50 16,80 9,66 12,52 165,58 261,65
Lindi dikocok 98,26 26,75 731,65 326,41 234,43 12,39 5,98 8,19 126,51 240,94
Lindi + 1000 ppm CaO disentrifugasi 375,83 121,44 948,11 8300 959,50 48,53 9,83 35,68 264,81 348,24
Lindi + 1000 ppm CaO dikocok 324,54 97,76 827,68 7970 873,98 37,52 6,63 24,36 196,33 293,65
Lindi + 0,01% KMnO4 disentrifugasi 144,55 62,47 1040,58 523,05 324,77 28,26 13,75 19,28 435,27 316,76
Lindi + 0,01% KMnO4 dikocok 137,21 54,27 1015,63 496,29 296,38 24,92 7,79 12,96 418,21 258,87
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 disentrifugasi 306,40 93,90 1023,08 8146,10 897,50 39,23 16,72 39,42 429,25 362,82
Lindi + 1000 ppm CaO + 0,01% KMnO4 dikocok 287,42 86,77 986,73 7612,36 864,93 32,84 12,77 30,55 410,87 305,88
Lauxin 6500 5100 9100 3300 2100 - 20,00 8,00 24,70 -
Alami 88000 10000 21700 - 1000 - 85 30,00 85,00 16
Kontanik 158100 63500 61700 - 1100 116300 < 0,003 363700 - 9000

Petrovita 88200 62100 64700 4,66 3000 189000 1000 37,22 57,58 2000

140
4.5.2 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi yang Dihasilkan
melalui Proses Fisik yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman

Hasil penelitian yang terkait dengan jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan
bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair yang diproses melalui proses fisik yang
berbeda disajikan pada Gambar 88 - Gambar 91. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa
pemberian pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui proses fisik yang berbeda
berpengaruh terhadap jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan yang
ditunjukkan oleh jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari
tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses sentrifugasi
lebih tinggi dibanding jumlah buah, bobot buah, tinggi tanaman dan bobot brangkasan dari
tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui proses pengocokan.
Hal ini disebabkan pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang diolah melalui sentrifugasi
mengandung hara makro dan hara mikro lebih tinggi dibanding kadar hara tersebut yang ada
dalam bahan pupuk cair yang diolah melalui proses pengocokan mengakibatkan kebutuhan
akan unsur-unsur tersebut pada tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi yang
dihasilkan melalui proses sentrifugasi lebih terpenuhi dibanding pada tanaman yang diberi
pupuk cair berbahan dasar lindi yang diproses melalui pengocokan. Kadar hara makro dan
hara mikro yang terdapat pada pupuk cair berbahan dasar lindi yang dihasilkan melalui
proses fisik yang berbeda disajikan pada Tabel 41.

141
Gambar 88. Jumlah buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan

Gambar 89. Bobot buah dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan

142
Gambar 90. Tinggi tanaman dari perlakuan sentrifugasi dan pengocokan

Gambar 91. Bobot brangkasan tanaman dari perlakuan sentrifugasi atau pengocokan

143
Hara mikro Cu, Zn, Mn dan Fe, meskipun dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit,
namun memiliki fungsi yang sangat vital. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), Cu
berfungsi dalam metabolisme protein dan karbohidrat, Zn berfungsi untuk asimilasi CO2 dan
metabolisme N, Mn berfungsi untuk sintesis protein dan karbohidrat, sedangkan Fe
berfungsi sebagai penyusun klorofil, protein maupun enzim dan berperanan dalam
perkembangan kloroplas.
Di lain pihak, unsur N, P, K, Ca, Mg dan S merupakan unsur hara makro essensial,
unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak. Umumnya unsur-
unsur tersebut dibutuhkan tanaman untuk proses metabolisme. Menurut Novizan (2005),
sebagai unsur hara essensial, Ca diperlukan tanaman untuk digunakan dalam proses
metabolismenya dan fungsi Ca tidak dapat digantikan oleh unsur hara lainnya. Kekurangan
unsur ini akan menyebabkan tanaman menunjukkan pertumbuhan yang tidak semestinya.

4.5.3 Pengaruh Penambahan NPK pada Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman

Upaya memperkaya pupuk cair berbahan dasar lindi melalui penambahan hara makro
NPK masing-masing sebesar 10% ternyata berpengaruh terhadap keempat parameter yang
diukur (tinggi tanaman, bobot brangkasan, jumlah buah maupun bobot buah) yang
ditunjukkan oleh nilai dari keempat parameter tersebut dari tanaman yang diberi pupuk cair
berbahan dasar lindi yang diperkaya dengan hara makro NPK lebih tinggi dibanding
tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi tanpa penambahan NPK. Hal ini
mengindikasikan bahwa penambahan unsur hara makro NPK pada bahan pupuk cair yang
berasal dari lindi memang sangat perlu karena NPK merupakan unsur hara makro essensial
yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif lebih banyak sehingga keberadaannya sangat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Fenomena tersebut juga mengindikasikan unsur NPK
dalam bahan pupuk cair dari hasil olahan lindi kurang memadai untuk mencapai
pertumbuhan tanaman yang lebih baik apabila dosis pemberian disamakan dengan pupuk cair
komersial. Perbedaan pertumbuhan dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi
yang diperkaya dengan unsur hara NPK dengan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan
dasar lindi tanpa NPK disajikan pada Gambar 92 - Gambar 95, sedangkan gambaran
visualnya disajikan pada Gambar 96 - Gambar 99.

144
Gambar 92. Tinggi tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK

Gambar 93. Bobot brangkasan tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK

145
Gambar 94. Bobot buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK

Gambar 95. Jumlah buah dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi yang diperkaya dengan hara NPK dan tanpa NPK

146
Kontrol
Lindi + KMnO4 P
Lindi + KMnO4 S
+ NPK
+ NPK

Ket : S = sentrifugasi
P = pengocokan
+ NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O

Gambar 96. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan
penambahan KMnO4

Kontrol
Lindi + 1000 ppm CaO (S) Lindi +
1000 ppm CaO (P) + NPK
Ket : S = sentrifugasi
P = pengocokan
+ NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O

Gambar 97. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan
penambahan CaO

147
Lindi (S) Kontrol
Lindi + 1000 ppm CaO (S)
+ NPK
+ NPK

Ket : S = sentrifugasi
P = pengocokan
+ NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O

Gambar 98. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan atau
tanpa penambahan CaO yang diperkaya dengan hara NPK

Kontrol
Lindi + 0,01% KMnO4 Lindi + 0,01% KMnO4
+ 1000 ppm CaO (P) + NPK + 1000 ppm CaO (S) + NPK

Ket : S = sentrifugasi
P = pengocokan
+ NPK = diperkaya dengan hara 10% N, 10% P2O5 dan 10% K2O

Gambar 99. Tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dengan
penambahan KMnO4 dan CaO yang diperkaya dengan hara NPK

148
4.5.4 Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Berbahan Dasar Lindi terhadap
Kadar Pb, Cd dan Cr pada Buah Cabai

Hasil percobaan rumah kaca menunjukkan bahwa pada buah cabai yang diberi
pupuk cair berbahan dasar lindi mengandung logam mikro Pb, Cd dan Cr. Kadar
ketiga logam mikro tersebut dalam buah cabai yang diberi pupuk cair berbahan dasar
lindi dan kadar logam mikro tersebut yang dapat ditoleransikan disajikan pada
Tabel 42.

Tabel 42. Kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah cabai dari tanaman yang
diberi pupuk cair berbahan dasar lindi dan kadar logam Pb, Cd dan Cr
yang dapat ditoleransikan
Perlakuan Kadar logam
Lindi + Mikro dalam
Lindi + 0,01% Lindi + bagian tanaman
Jenis 1000 ppm CaO +
Lindi + NPK KMnO4 + 1000 ppm yang dikonsumsi
Logam 0,01% KMnO4 + yang dapat
NPK CaO + NPK
NPK ditoleransikan
S P S P S P S P
Pb 0,823 0,815 1,237 1.148 0,926 0,874 1,426 1,252 2 **
(ppm)
Cd 0,031 0.026 0,039 0.028 0,033 0,033 0,039 0.027 0,04 **
(ppm)
Cr
0,18 0.14 0,16 0.16 0,21 0,17 0,25 0,18 0,05 – 0,27 *
(ppm)
Sumber: * = WHO dalam Amir et al., (2009)
** = Keputusan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (1989)
S = sentrifugasi
P = pengocokan

Efek toksik dari bahan yang tidak diinginkan dalam sistim biologis baru terjadi
apabila bahan tersebut berada pada tubuh dalam konsentrasi yang cukup untuk
menghasilkan manisfestasi toksik (Achmad, 2004). Konsentrasi bahan kimia akan
memberikan efek toksik dikenal dengan istilah baku mutu. Jumlah bahan kimia di
bawah baku mutu yang masuk ke dalam tubuh masih dapat dikeluarkan melalui urine
(Darmono, 2001).
Tabel 42 menunjukkan bahwa kadar logam berat Pb, Cd dan Cr dalam buah
cabai yang berasal dari tanaman yang diberi pupuk cair berbahan dasar lindi masih
berada di bawah ambang batas yang dapat ditoleransikan. Atas dasar pendapat yang
dikemukakan Achmad (2004) dan Darmono (2001), maka dapat dikatakan bahwa
pupuk cair berbahan dasar lindi masih relatif aman digunakan pada pertanaman
karena menghasilkan buah cabai dengan kadar logam berat Pb, Cd dan Cr masih
berada dalam batas toleransi.

149
4.5.5 Desain IPAL TPA Sampah untuk Menghasilkan Efluen Layak Buang dan
Pupuk Cair

Upaya menjadikan lindi TPA sampah Galuga menjadi efluen layak buang dan
pupuk cair membutuhkan perubahan dalam pengelolaan lindi. Instalasi Pengolahan
Lindi (IPAL) yang ada di TPA sampah perlu dimodifikasi agar IPAL dapat
menghasilkan dua produk tersebut. Beberapa tahapan pengolahan diperlukan yang
masing-masing membutuhkan tempat (kolam) tersendiri. Secara bagan, desain
tersebut sebagai berikut.

AREAL TPA SAMPAH

1
1 1
1 1

2 2 2 2
2
3

4
5

8 6
11
9 7
10
Keterangan:
1. Saringan yang ada di masing-masing outlet TPA sampah
2. Saluran menuju ke kolam pengendapan
3. Kolam pengendapan
4. Saluran menuju ke kolam aerasi
5. Kolam aerasi
6. Saluran untuk mengalirkan efluen hasil aerasi bagian atas menuju kolam zeolit
7. Kolam zeolit
8. Saluran untuk mengalirkan endapan hasil aerasi menuju kolam pembuatan bahan pupuk cair
9. Kolam pembuatan bahan pupuk cair
10. Saluran untuk mengalirkan sentrat menuju kolam zeolit
11. Outlet menuju lingkungan

Gambar 100. Desain IPAL TPA sampah yang disarankan

150
Outlet yang ada di TPA sampah perlu dilengkapi dengan penyaring (1) untuk
memisahkan lindi dari bahan-bahan sampah padat. Setelah melewati saringan tersebut,
lindi yang keluar dari outlet TPA sampah dapat mengandung bahan padatan yang mudah
mengendap (settleable), bahan padatan tersuspensi (suspended solid) dan bahan padatan
terlarut (dissolve solid). Sebelum proses pengolahan dilakukan, bahan padatan yang
mudah mengendap diendapkan dahulu di kolam pengendapan (3) guna memaksimalkan
efektivitas pengolahan aerasi dalam menghasilkan efluen layak buang. Oleh karena itu,
lindi yang keluar dari outlet di TPA sampah setelah melalui proses penyaringan di outlet,
lindi langsung dialirkan ke kolam pengendapan untuk dibiarkan selama ± 1 jam untuk
kemudian lindi yang sudah tidak mengandung bahan-bahan yang mudah mengendap
dialirkan ke kolam aerasi (5) untuk mendapatkan perlakuan pemberian udara dengan
kecepatan tinggi (70 liter/menit) selama 6 jam. Lindi yang telah diaerasi didiamkan
selama ± 1 jam agar flok yang terbentuk baik berupa senyawa hidroksida maupun
senyawa komplek yang berasal dari koloid organik/anorganik dan logam, mengendap.
Setelah itu, 4/5 bagian atas dari volume lindi dialirkan ke kolam zeolit (7) untuk
diminimalkan polutan-polutan terlarut yang masih tersisa, sebelum lindi dialirkan ke
lingkungan dan 1/5 bagian volume lindi yang berada di bagian bawahnya dialirkan ke
kolam pembuatan bahan pupuk cair (9) untuk diberi tambahan bahan pengendap (CaO)
dengan dosis 1000 ppm dan perlakuan fisik (pemutaran dengan kecepatan 3500 rpm
selama 5 menit atau pengocokan dengan kecepatan 200 rpm selama ± 1 jam) agar bahan-
bahan yang ada di dalamnya tercampur merata. Perlakuan fisik tersebut dapat digantikan
dengan cara pemutaran dengan baling-baling atau alat lainnya yang dijalankan oleh kincir
angin. Cara ini diharapkan dapat mengurangi bioaya operasional. Flok-flok yang
terbentuk (senyawa logam hidroksida atau senyawa komplek yang berasal dari koloid dan
logam) didiamkan selama ½ jam agar mengendap. Setelah itu, cairan bening yang ada di
atas endapan (sentrat) dialirkan ke kolam zeolit untuk diminimalkan polutan yang masih
tersisa, sebelum sentrat dilairkan ke lingkungan. Endapan yang ada di kolam 9 siap
dipanen sebagai bahan pupuk cair.

151

Anda mungkin juga menyukai