Anda di halaman 1dari 12

Hubungan antara Flexible Working Hour (FWH) dengan Employee

Engagement

Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dunia bisnis bergerak amat cepat bak gasing yang berputar. Perubahan yang cepat ini
banyak menyebabkan perusahaan-perusahaan tersungkur. Di negeri industri semaju
Amerika Serikat, setiap bulan ada rata-rata 8 (delapan) korporasi besar yang tidak sanggup
mempertahankan kebesarannya di tengah deru perubahan yang amat cepat dan kompetisi
yang semakin global (Hendrik Lim, 2010, Hal 3).

Dengan dahsyatnya deru perubahan tersebut mengakibatkan banyak perusahaan harus


melakukan respon demi mempertahankan kelangsungan hidup dan mencapai pertumbuhan
melalui kinerja yang efektif dan efisien. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan dari suatu
perusahaan bukan hanya ditentukan dari keberhasilan dalam mengelola keuangan yang
berdasarkan pada kekuatan modal atau uang semata, tetapi juga ditentukan dari
keberhasilannya mengelola seluruh aset.

Berapa mahal harga sebuah perseroan kini tidak ditentukan lagi oleh seberapa besar fixed
asset yang mereka kuasai melainkan seberapa besar Intagible Asset yang dimiliki.
Perseroan-perseroan yang maju dan besar di dunia, total asetnya, atau yang sering disebut
corporate valuation-nya ternyata 60% bersifat intangible. Dan jika kita berbicara mengenai
intagible asset, maka major driver-nya tidak dapat dipisahkan dari Human Capital.

Penelitian terakhir memberi tahu kita bahwa, sebuah perseroan dapat meningkatkan
kinerjanya, dalam hal revenue per employee, sebesar 2,5 kali, jika bisa memobilisasi
pikiran, antusiasme, dan kemampuan pekerjanya, dibandingkan dengan perseroan yang
tidak melakukan upaya tersebut. Teknik ini sering disebut engagement (Hendrik Lim, 2015,
hal 14). Organisasi Gallup yang telah melakukan penelitian dalam 30 tahun terakhir
menemukan perseroan yang sukses memiliki jumlah pekerja dengan engagement
(keterikatan) tinggi yang lebih besar dibandingkan perseroan biasa lainnya. Selain itu
pekerja yang mempunyai engagement tinggi memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi,

1
jumlah kecelakaan kerja yang rendah, dan tingkat turnover yang juga rendah (Robbins,
2016, hal 269).

Merujuk kepada penelitian-penelitan tersebut, PT Indosat, Tbk juga berusaha meningkatkan


employee engangement dengan salah satu caranya adalah mengurangi jam kerja yang
kaku. Perusahaan menerapkan Flexible Working Hour (selanjutnya dalam paper ini
disingkat menjadi FWH) atau jam kerja fleksibel untuk jam masuk dan jam pulang dimulai
dari pukul 7.00 pagi sampai dengan pukul 8.30 untuk kedatangan dan pukul 16.00 sampai
dengan pukul 17.30 untuk kepulangan dengan tetap berpedoman kepada Undang Undang
Tenaga Kerja dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja yang berlaku mengenai ketentuan jam
kerja maksimal 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.

Flexible Working Hour (FWH) menjadi sangat populer saat ini dimana dalam survey
terakhir, telah diterapkan di negara-negara seperti di Amerika Serikat, Jerman, Belgia,
Belanda dan Perancis serta Jepang. Manfaat yang diklaim dari FWH ini diantaranya
mengurangi jumlah ketidakhadiran, meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya lembur,
meningkatkan keakraban, mengurangi kemacetan, mengurangi keterlambatan,
meningkatkan otonomi serta tanggung jawab karyawan.

Untuk itu perlu diteliti lebih jauh apakah benar penerapan FWH di perusahaan mampu
memberikan manfaat-manfaat sesuai yang disebutkan di atas. FWH akan dinilai sukses
apabila karyawan yang menggunakannya merasa puas, kinerja optimal dan mempunyai
keinginan kuat untuk tetap tinggal di perusahaan. Studi Almer dan Kaplan (2002)
menunjukkan bahwa jam kerja fleksibel dapat meningkatkan kepuasan kerja, kemudian
kepuasan kerja berkorelasi positif terhadap employee engagement.

Selain itu perlu diteliti apakah penerapan FWH ini berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas kerja. Robbins, 2016, halaman 289 menyebutkan bahwa penerapan FWH
tidak bisa dilakukan pada semua jenis pekerjaan dan semua pekerja. FWH ini cocok
diterapkan untuk pekerjaan rutin yang tidak banyak membutuhkan interaksi dengan pekerja
lain di luar Departemen. Namun untuk pekerjaan seperti Receptionist, SPG, atau semua
pekerjaan yang membutuhkan berada di tempat kerja dengan tepat waktu.

1.5 Sistematika Penelitian

Penulisan paper ini penelitian ini dibagi menjadi lima bab pokok bahasan yang terdiri atas:

2
BAB 1 Pendahuluan

Bab ini berisikan mengenai penjelasan umum tentang permasalahan yang akan dibahas
meliputi tujuan penulisan, metode penelitian, ruang lingkup penelitian, serta sistematika
penulisan.

BAB 2 Tinjauan Teori

Pada bab ini disajikan paparan teori dasar yang digunakan untuk analisis. Teori ini diambil
dari bahan bacaan mata kuliah Perilaku dan Budaya Organisasi, buku literatur, artikel ilmiah
terkait, maupun jurnal-jurnal dari PPM dan internet.

BAB 3 Profil Perusahaan

Bab 3 berisikan penjelasan tentang profil singkat perusahaan yang menjadi objek
penelitian, termasuk di dalamnya sejarah, visi, misi, nilai, produk dan pelayanan, profil,
sumber daya manusia, serta struktur organisasi.

BAB 4 Hasil dan Pembahasan

Bab ini akan menguraikan data hasil penelitian berikut hasil analisisnya dalam bentuk
naratif, grafik, maupun gambar. Hasil analisis akan dikaitkan dengan teori yang telah
dipaparkan di tinjauan teori.

BAB 5 Penutup – Simpulan dan Saran

Pada bagian ini berisikan simpulan dan saran dari hasil penulisan.

3
Bab 2
Tinjauan Teori

2.1. Teori Motivasi

Definisi motivasi menurut Robbins, 2017, halaman 247 adalah suatu proses yang
menggambarkan seberapa besar intensitas, arah, dan persistensi individu dalam upayanya
mencapai tujuan dalam hal ini tujuan organisasi. Ada 3 (tiga) elemen kunci dalam motivasi,
yaitu :

a. Intensitas : seberapa besar atau seberapa keras individu melakukan usahanya


b. Arah : apakah usaha yang dilakukan individu sesuai dengan tujuan organisasi
c. Persistensi: seberapa lama individu dapat memelihara tingkat usaha atau upayanya

Teori motivasi mulai berkembang pada awal tahun 1950-an dengan 3 (tiga) teori utama-nya
yaitu:

a. Teori 2 (Dua) Faktor

Teori yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg (Robbins, 2017, halaman 249) ini juga
dikenal dengan nama motivation-hygiene theory. Dalam penelitianya Herzberg menyelidiki
pertanyaan ”Apa yang diinginkan orang-orang dari pekerjaan mereka?” Dari hasil
pengklasifikasian respon, didapat kesimpulan bahwa jawaban yang diberikan responden
ketika mereka senang berbeda dengan jawaban responden ketika mereka merasa tidak
senang. Hal ini cukup membingungkan karena jawaban responden tidak konsisten dan
situasional. Herzberg menyimpulkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan perbedaan
tersebut, yaitu :

i. Faktor Intrinsik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja, seperti
prestasi, pekerjaan itu sendiri, promosi, dan perkembangan. Faktor ini merupakan
faktor yang menjadi motivasi seseorang (motivation factor).
ii. Faktor Ekstrinsik, yaitu faktor ekstrinsik yang berhubungan dengan ketidakpuasan
kerja, seperti lingkungan kerja (gaji, suasana kerja, hubungan dengan atasan
maupun rekan sekerja dan lain-lain). Herzberg mengatakan bahwa faktor ini tidak
membentuk motivasi, sehingga apabila faktor ini ditingkatkan belum tentu akan
meningkatkan motivasi seseorang. Faktor ini biasanya dikenal dengan sebutan

4
faktor pemeliharaan (hygiene factor) Herzberg menyarankan kepada semua
pemimpin atau manajer apabila ingin memotivasi orang pada pekerjaanya maka,
harus menyingkirkan dulu faktor ketidakpuasan. Setelah itu barulah manajemen
menekankan faktor yang dapat memotivasi seperti pengakuan, tanggung jawab,
karir, prestasi dan lain lain.

a. Teori Kebutuhan Maslow

Teori kebutuhan Maslow menyatakan bahwa di setiap individu ada 5 (lima) tingkatan
kebutuhan dasar (yang disusun dari tingkat kepentingannya), yaitu:

i. Kebutuhan Fisiologis, contohnya adalah: sandang, pangan, papan, dan kebutuhan


biologis seperti seks.
ii. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan, contohnya adalah bebas dari penjajahan,
bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya.
iii. Kebutuhan Sosial, contohnya adalah : memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan
cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.
iv. Kebutuhan Penghargaan, contohnya adalah pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan
sebagainya.
v. Kebutuhan Aktualisasi Diri, yaitu merupakan kebutuhan dan keinginan untuk
bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.

Menurut Maslow individu memiliki kecenderungan dominasi kepuasan pada setiap level di
kebutuhan di atas. Sehingga para atasan harus memahami di level tingkat mana kebutuhan
bawahannya dan fokus memberikan kepuasan pada level tingkat kebutuhan tersebut

b. Teori Kebutuhan McClelland

Teori ini dikembangkan oleh McClelland dan asosiasinya. Teori ini fokus pada 3 (tiga)
kebutuhan yang dapat menumbuhkan motivasi, yaitu:

i. Need for Achievement (nAch). Dorongan untuk melebihi atau mencapai


standarstandar yang telah ditetapkan, dan berusaha keras dalam rangka
keberhasilan. Mereka yang memiliki nAch tinggi cenderung memilih tugas dengan
tingkat kesulitan moderat (ideal peluangnya adalah 50%) dan menghindari situasi
dengan risiko rendah karena merasa tidak ada tantangan untuk mencapainya.

5
ii. Need for Affiliation (nAff). Mereka yang memiliki nAff tinggi akan berjuang untuk
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, berjuang untuk dapat diterima
orang lain. Mereka cenderung memperkuat norma-norma dalam kelompok kerja
mereka. Orang dengan nAff tinggi cenderung bekerja pada tempat yang
memungkinkan interaksi personal.
iii. Need for Power (nPow). merupakan kebutuhan untuk menguasai dan
mempengaruhi situasi dan orang lain agar menjadi dominan dan pengontrol.
Kebutuhan ini menyebabkan orang yang bersangkutan kurang memperdulikan
perasaan orang lain.

c. Teori Motivasi Kontemporer

Selain teori lama pada butir a, b, c di atas, saat ini berkembang teori-teori baru mengenai
motivasi yang dikenal teori motivasi kontemporer. Teori-teori ini umumnya mempunyai
kesamaan, yaitu menyandarkan teorinya pada data hasil penelitian yang valid. Berikut
beberapa teori motivasi kontemporer, yaitu :

d. Self Determination Theory (Teori Determinasi Diri)

Teori Determinasi Diri adalah teori motivasi yang komprehensif yang membedakan motivasi
intrinsik dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik ditetapkan sendiri oleh individu yang
tidak dicampuri oleh pengaruh dari luar dirinya. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik bersifat
instrumental karena tindakan individu dilakukan dalam kendali pihak di luar diri individu.

e. Reinforcement Theory (Teori Penguatan)

Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian
kompensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari prestasi yang selalu
dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara
perilaku dengan kejadian yang mengikuti perilaku tersebut. Teori penguatan ini terdiri dari 2
jenis, yaitu :
a. Positive Reinforcement: adalah bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika
penguatan positif ditetapkan secara bersyarat.
b. Negative Reinforcement: adalah bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika
penguatan negatif ditetapkan secara bersyarat.

6
f. Goal Setting Theory (Teori Penetapan Tujuan)

Teori penetapan tujuan adalah sebuah teori proses motivasi yang memfokuskan pada
proses penetapan sasaran. Manusia cenderung untuk berjuang lebih keras dalam rangka
mencapai sasaran yang jelas, mudah dipahami, dan bermanfaat bagi dirinya.

g. Expectancy Theory (Teori Harapan)

Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang menyatakan bahwa kekuatan yang
memotivasi seseorang untuk bekerja giat dalam pekerjaannya tergantung dari hubungan
timbal balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu. Kuatnya
kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan
pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh kekuatan tertentu dan pada daya tarik
keluaran tersebut bagi individu itu. Ada 3 hubungan yang terjadi, yaitu :

a. Hubungan upaya-kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yg


mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.
b. Hubungan kinerja-imbalan. Sampai sejauh mana individu meyakini bahwa berkinerja
pada tingkat tertentu akan mendorong tercapainya output yg diinginkan.
c. Hubungan imbalan-sasaran pribadi. Sampai sejauh mana imbalan organisasi
memenuhi sasaran/kebutuhan individu serta potensi daya tarik imbalan bagi individu
tersebut.

h. Cognitive Evaluation Theory (Teori Evaluasi Kognitif)

Teori ini diperkenalkan oleh P.C. Jordan. Teori ini menyatakan bahwa pengaruh motivasi
intrinsik seseorang berkurang apabila ia telah termotivasi oleh dorongan yang bersifat
ekstrinsik. Teori ini mengatakan bahwa apabila faktor- factor motivasional yang bersifat
ekstrinsik kuat, maka motivasi intrinsik melemah.

i. Self Efficacy Theory (Teori Efikasi Diri)

Teori ini menjelaskan bawah setiap individu memiliki keyakinan mengenai peluangnya
untuk berhasil mencapai tugas tertentu. Teori kognitif sosial ini dicetuskan oleh pakar
psikologi perilaku ternama Albert Bandura. Menurutnya, ada 4 cara untuk meningkatkan
self efficacy, yaitu :

7
• Enactive mastery. Keyakinan keberhasilan seseorang untuk menyelesaikan
tugasnya didasarkan oleh pengalaman sebelumnya.
• Vicarious Modelling. Keyakinan akan keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh
faktor eksternal (orang lain).
• Verbal Persuasion. Keyakinan akan keberhasilan yang didorong oleh bujukan
verbal.
• Arousal. Tindakan yang memacu keyakinan akan keberhasilan individu dengan
mempertimbangkan situasi yang mendukung.
j. Equity Theory (Teori Kesetaraan)

Pada teori yang dikemukakan oleh Stacey Adams ini, individu membandingkan input dan
output pekerjaan mereka dengan input dan output orang lain, hasil pembandingan inilah
yang menentukan nilai kesetaraan dan ketidak-setaraan. Empat istilah penting dalam teori
ini adalah:
• Person: seseorang yang akan melihat kesetaraan atau ketidaksetaraannya,
• Comparison other: individu atau kelompok yang digunakan oleh seseorang sebagai
pembanding,
• Inputs: pengalaman, pendidikan, umur, jenis kelamin, usaha/produktifitas,
• Outcomes: pengakuan (recognition), gaji, status jabatan, penghargaan,
• Selanjutnya, dalam beberapa penelitian yang dilakukan, biasanya ada empat hal
yang dijadikan oleh seseorang sebagai pembanding bagi dirinya:
• Self-inside: seseorang (person) akan membandingkan dirinya pada posisi sekarang
dengan posisi sebelumnya di dalam organisasi yang sama,
• Self-outside: seseorang akan membandingkan dirinya pada posisi sekarang dengan
posisi yang dijabatnya pada organisasi sebelumnya;
• Other-inside: seseorang akan membandingkan dirinya dengan orang lain di dalam
organisasi yang sama;
• Other-outside: seseorang akan membandingkan dirinya dengan orang lain, yang
berada pada organisasi berbeda.

2.2 Employee Engagement

Employee engagement atau keterikatan karyawan didefinisikan dalam berbagai cara dan
definisi. Robbins, 2017, halaman 269 mendefinisikan employee engangement yaitu suatu

8
penggunaan atau investasi keseluruhan diri dari individu (baik fisiknya, akalnya, hati dan
emosinya) dalam melakukan pekerjaannya. Wilmar & Bakker, 2004 halaman 3 menyatakan
bahwa engagement adalah lawan dari stress atau burnout. Wilmar & Bakker juga
mendefinisikan engagement sebagai pola pikir yang positif dan menyeluruh terhadap
pekerjaan yang dipengaruhi oleh kesehatan fisik (vigor), dedikasi terhadap pekerjaan
(dedication) dan menyatunya diri dengan pekerjaan (absorption).

Organisasi Gallup dalam penelitiannya 30 (tiga puluh) tahun terakhir menemukan bahwa
perseroan yang sukses memiliki jumlah pekerja dengan engagement (keterikatan) tinggi
yang lebih besar dibandingkan perseroan biasa lainnya. Selain itu pekerja yang mempunyai
engagement tinggi memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi, jumlah kecelakaan kerja
yang rendah, dan tingkat turnover yang juga rendah.

Menurut Robbins, 2017, halaman 269 beberapa elemen kunci yang menyebabkan
karyawan engage dengan perusahaan adalah:
1. pegawai percaya bahwa peduli pada pekerjaan penting. Hal ini dipengaruhi oleh
karakter pekerjaan dan akses ke sumber daya yang cukup untuk melakukan pekerjaan.
2. Adanya kesamaan value antara perusahaan dan individual.
3. Pengaruh dari pemimpin yang memiliki engangement terhadap pekerjaan

Menurut Hendrik Lim, 2016, hal 321, tingkatan engagement dibedakan menjadi 3 (tiga)
kategori, yaitu:
1. Enganged employee. Dalam level ini, individu bekerja sesuai dengan passion mereka,
dan merasakan adanya suatu koneksi yang hebat antara apa yang mereka kerjakan
dengan perusahaan.
2. Not enganged employee. Pada level ini, individu bekerja tanpa kegairahan dan energi.
Bekerja hanya merupakan sebuah kewajipan transaksional seperti misalnya pada akhir
bulan hanya mengharapkan gaji.
3. Actively disengaged. Individu-individu pada level ini bukan hanya tidak bahagia dengan
pekerjaanyya, namun juga membuat suasana kerja menjadi toxic, mencibir dan
mengecilkan arti apa yang dihasilkan oleh kolega lain.

Berdasarkan UWES (Utrecht Work Engagement Scale) manual, 2014, engagement dapat
diukur berdasarkan 3 (tiga) dimensi, yaitu vigor, dedication dan absorption. Vigor mengacu
pada kemauan dan tekad untuk mengerahkan energi dan usaha dalam pekerjaan

9
seseorang dan menjadi ulet serta gigih ketika menghadapi rintangan. Dedication adalah
sebuah komponen-emosional dari employee engagement yang mengacu kepada
menemukan arti dan tujuan dalam pekerjaan, menjadi antusias, terinspisari, dan bangga
dengan pekerjaannya. Absorption adalah komponen kognitif dari employee engagement
yang dimana orang benar-benar tenggelam dan puas dengan pekerjaannya, seperti waktu
berlalu dengan cepat dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Ketiga dimensi
tersebut dapat diukur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner yang
telah dikembangkan oleh UWES dengan jumlah pertanyaan yang terdiri dari 24 pertanyaan,
17 pertanyaan dan 9 pertanyaan. Dalam paper ini, peneliti mengggunakan versi UWES-9,
yang terdiri dari masing-masing 3 pertanyaan untuk setiap dimensi

2.3 Penerapan Model Karakteristik Kerja

Salah satu implementasi teori motivasi dan engagement dalam dunia kerja adalah dengan
membuat desain struktur kerja. Bagaimana suatu pekerjaan didesain berpengaruh terhadap
motivasi individu. Teori yang dikembangkan oleh J. Richard Hackman dan Greg Oldham
(Robbins, 2017, halaman 273) mengenai Job Characteristic Model (model karakteristik
kerja), menjelaskan bahwa suatu pekerjaan dapat dijabarkan menjadi 5 (lima) dimensi inti,
yaitu:

1. Variasi kemampuan (skill variety). Semakin bervariasi skill yang dibutuhkan dalam suatu
pekerjaan, maka semakin termovitasi.
2. Identitas Tugas (task identity). Kejelasan tujuan dan definisi dari tugas yang dikerjakan
individu akan semakin meningkatkan motivasi.
3. Manfaat Tugas (task significance). Semakin bermanfaat tugas dikerjakan oleh individu
kan meningkatkan motivasi.
4. Otonomi (autonomy). Kebebasan individu memilih cara bekerja dan mengatur
pekerjaannya lebih diutamakan dibandingkan pekerjaan yang sudah standar.
5. Umpan balik (feedback). Pekerjaan yang secara langsung berinteraksi memberikan
feedback lebih memberikan motivasi.

2.4 Flexible Working Hour (Jam Kerja Fleksibel)

Jam kerja fleksibel atau Flexible Working Hour (selanjutnya disebut FWH dalam penelitan
ini) merupakan salah satu bentuk praktik flexible work arrangement, dimana karyawan
diarahkan untuk bekerja dengan jumlah jam tertentu dengan fleksibilitas yang lebih besar

10
atau bekerja tidak sebanyak jam kerja yang telah ditetapkan di kantor (Hook dan Higgs,
2000). Ada bermacam-macam pengaturan jam kerja fleksibel, beberapa diantaranya yang
paling banyak ditemukan dalam praktik adalah :

1. Fixed Working Hours, artinya jumlah jam kerja ditetapkan sama untuk semua karyawan
, misalnya 40 jam per minggu. Karyawan diperbolehkan memilih jam kerja di antara
beberapa pilihan yang ditetapkan, misalnya 25 persen karyawan boleh memilih jam
7.00 – 15.00, 25 persen jam 8.00 – 16.00, 25 persen lagi jam 9.00 – 17.00, dan sisanya
jam 10.00 – 18.00.
2. Flexibel Working Hours, artinya karyawan bebas menentukan jumlah jam kerja yang
mereka inginkan dalam setiap harinya, tetapi tetap harus memenuhi 40 jam per minggu.
Misalnya karyawan yang hanya ingin bekerja empat hari dalam seminggu memilih
bekerja 10 jam per hari.
3. Variable Working Hours, artinya jumah jam kerja semua karyawan ditetapkan sama oleh
perusahaan tetapi diluar jam-jam tertentu yang mengharuskan semua karyawan hadir,
misalnya jam 10.00 – 13.00, karyawan bebas memilih jam kerja yang disukai.

Ketetapan jumlah jam kerja standar umumnya mengacu pada aturan ketenagakerjaan yang
ditetapkan oleh pemerintah sebanyak 8 jam per hari mulai dari jam 08:00 sampai 17:00
WIB. Akan tetapi applikasi yang sesungguhnya sangat bergantung pada kebijakan
perusahaan.

2.5 Sejarah FWH

FWH telah digambarkan sebagai salah satu perkenalan paling awal dari fleksibilitas untuk
karyawan. Asal-usulnya dari Jerman dengan perusahaan aerospace Messerschmitt-
Bolkow-Blolm. Skema ini pertama kali muncul pada tahun 1967 untuk 3.000 pekerja kerah
putih dalam administrasi dan juga karyawan Penelitian dan Pengembangan di markas
utama dekat Munich. Untuk mengurangi antrean absen clocking on dan off, dan kemacetan
lalu lintas yang dihasilkan dari setiap orang yang datang dan keluar pada saat yang
bersamaan, pekerja meninggalkan 15 menit lebih awal sehingga moral dan produktivitas
menurun. Manajer personalia saat itu, Herr Hillert, yang menyadari kebebasan jam variabel
menemukan kompromi dengan jam tetap. Itu disebut "Gleitzeit" - Gliding /sliding time, atau
Flexible Working Time (FWT). Pada 1972, 6.000 dari 20.000 pekerja menggunakan FWH,
dan perusahaan melaporkan penghematan sekitar 40.000 dolar per bulan dalam
peningkatan produktivitas dan ketidakhadiran yang lebih rendah.

11
Berdasarkan penelitian sekarang ini (https://www.powwownow.co.uk/smarter-
working/flexible-working-statistics-2017), 67% karyawan Inggris berharap mereka ditawari
jam kerja fleksibel, karena kebanyakan dari mereka merasa tertekan dengan perjalanan
transportasi dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Jadi, dalam beberapa tahun terakhir,
FWH telah diadvokasi lagi sebagai sarana untuk memerangi absensi, serta sarana untuk
menarik dan mempertahankan kelompok staf yang luas dan beragam. Hal ini juga dilihat
sebagai cara memperluas cakupan kantor dan memenuhi permintaan pegawai.

2.6 Kelebihan dan Kekurangan FWH

Beberapa penelitian lain juga menyatakan bahwa FWH berkorelasi positif dengan kepuasan
kerja karena mengurangi work family conflict dan mengurangi turnover bagi yang
menerapkannya. Studi Almer dan Kaplan (2002) menunjukkan bahwa profesional lebih
memilih FWH mengindikasikan ada peningkatan secara signifikan dalam kepuasan kerja
dan keinginan untuk tetap bekerja pada perusahaan. Studi itu juga menunjukkan karyawan
yang bekerja dengan FWH mempunyai keinginan untuk tetap tinggal di perusahaan yang
lebih kuat daripada partisipan pada jam kerja standar dan konflik yang dialami juga menjadi
lebih rendah.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Almer dan Kaplan, studi Cohen dan
Single (2001) secara khusus meneliti mengenai pengaruh negatif FWH terhadap
kesempatan professional mengembangkan diri. Partisipan studi adalah para senior dan
manajer “the big five”. Hasilnya menunjukkan bahwa karyawan pada FWH akan
mempunyai peluang pengembangan diri yang lebih rendah di masa mendatang dan akan
lebih tinggi jika meninggalkan perusahaan.

Robbins, 2016, halaman 289 menyebutkan bahwa penerapan FWH tidak bisa dilakukan
pada semua jenis pekerjaan dan semua pekerja. FWH ini cocok diterapkan untuk pekerjaan
rutin yang tidak banyak membutuhkan interaksi dengan pekerja lain di luar Departemen.
Namun untuk pekerjaan seperti Receptionist, SPG, atau semua pekerjaan yang
membutuhkan berada di tempat kerja dengan tepat waktu.

12

Anda mungkin juga menyukai