Anda di halaman 1dari 76

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gastritis merupakan inflamasi yang disebabkan karena mukosa lambung

yang mengiritasi dan menginfeksi (saydam, 2011 dalam rondonuwu dkk,2014).

Gastritis atau yang secara umum dikenal dengan penyakit maag merupakansalah

satu penyakit tidak menular yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.

penyakit ini yang sangat menggangu aktifitas dan bila tidak ditangani dengan baik

dapat menimbulkan masalah keperawatan nyeri.

Menurut World Health Organization (WHO), insiden gastritis di

duniasekitar 1,8-2,1 juta dari jumlah penduduk setiap tahunnya, di Inggris

(22%)China (31%), Jepang (14,5%), Kanada (35%), dan Perancis (29,5%). Di

AsiaTenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap

tahunnya.Gastritisbiasanya dianggap sebagai suatu hal yang remeh namun

gastritis merupakanawal dari sebuah penyakit yang dapat menyusahkan

seseorang. Persentase dariangka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO

adalah 40,8%, dan angkakejadian gastritis di beberapa daerah di Indonesia cukup

tinggi dengan prevalensi 274.396 kasus dari 238.452.952 jiwa penduduk

(Kurnia,2011).Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2011, gastritis

merupakan salahsatu penyakit dari 10 penyakit terbanyak pada pasien inap di

rumah sakit diIndonesia dengan jumlah 30.154 kasus (4,9%) (Depkes,

2012).Angka kejadiangastritis pada beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi

dengan prevalensi274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk.Didapatkan data

1
bahwa di kotaSurabaya angka kejadian Gastritis sebesar 31,2%, Denpasar 46%,

Prevalensi gastritis di Jawa Timur pada tahun 2011 mencapai 44,5% yaitu

dengan jumlah 58.116 kejadian (Dinkes Jatim, 2011).

Menurut Prio (2009), gastritis terjadi karena adanya inflamasi yang

mengakibatkan sel darah putih menuju ke lambung seagai respon terhadap

kelainan, apaila diperksa secara endoskopi akan ditemui eritema mukosa dan hasil

foto memperlihatkan iregulasiritas mukosa. Gusdur (2011), gastritis adalah salah

satu masalah pencernaan yang sering terjadi, sekitas 10% ditemukan adanya nyri

tekan di daerah epigastrium pada saat pemeriksaan fisik. Penyakit gastritis dapat

disebabkan antara lain: kurang memperhatikan pola makan,obat-obatan, alkohol,

infeksi bakteri, kondisi stres, penyakit. Selain itu bebankerja yang tinggi ditambah

berbagai persoalan hidup yang tak kunjung selesaimembuat orang cenderung

dihinggapi penyakit gastritis. Gejala gastritis antara lain adalah rasa terbakar

diperut bagian atas,kembung,mual-mual dan muntah. nyeri di daerah ulu hati,

lemas, terasa sesak, nafsu makan menurun, wajah pucat, suhu badan naik, keluar

keringat dingin, pusing,selalu bersendawa dan pada kondisi yang lebih parah, bisa

muntah darah(Wijoyo, 2009). Pencegahan gastritis dilakukan dengan

memperhatikan pola makan dan zat-zat makanan yang dikonsumi seperti

mengurangi makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung dankurangi

stres.

Gastritis merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat.

Penyakitini dianggap remeh dan seringdianggap penyakit yang sederhana,

sehingga penderitacenderung mengobati sendiri. Akibat pengobatan yang salah

ataupun tidak tuntaspenyakit ini kerap kambuh dan mengganggu aktivitas sehari-

2
hari. Dampak gastritisdalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan

terjadinya suatu luka dalam perutyang dapat menimbulkan nyeri ulu hati yang

sangat perih. Luka pada dindinglambung seringkali karena peningkatan

pengeluaran asam lambung selanjutnya akanmeningkatkan motilitas lambung dan

jika dibiarkan lebih lanjut dapat menyebabkantukak lambung, pendarahan hebat,

dan kanker.Kanker lambung masih menjadipenyebab kematian akibat kanker

nomor dua di dunia. Terjadinya kanker lambung pada dasarnya di dahului

terjadinya tukak lambung atau gastritis. Apabilapertolongan terlambat dilakukan

maka hal yang fatal dapat terjadi.

Relaksasi otot progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi

mengkombinasikan latihan nafas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan

relaksasi otot tertentu.(kustanti dan widodo,2009). Teknik relaksasi otot progresif

memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot

yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan relaksasi

untuk mendapatkan perasaaan relaks serta menurunkan nyeri (herodes,2010).

Untuk mengatasi masalah keperawatan nyeri maka perlu dilakukan bantuan

relaksasi otot progresif.Melihat datadan keterangan di atas maka hal ini

menunjukkan bahwapermasalahan gastritis memiliki tingkat keseriusan yang

cukup tinggi dalam duniakesehatan, Untuk itumaka perlu mengetahui “pengaruh

relaksasi otot progresif terhadap nyeri pada penyakit gastritis” pada ruang dahlia

RSUD sampang.

1.2 Batasan masalah

Masalah pada studi kasus ini di batasi pada Asuhan keperawatan klien

mengalami gastritis dengan nyeri di ruang dahlia RSUD Sampang.

3
1.3 Rumusan masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada klien mengalami gastritis dengan

nyeri di ruang dahlia RSUD sampang?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adakah pengaruh relaksasi nafas terhadap nyeri dalam

RSUD sampang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Melakukanpengkajian keperawatan pada klien yang mengalami gastritis

deng+-an nyeri di ruang dahlia RSUD sampang.

2. Menetapkan diagnosa keperawatan pada klien yang mengalami gastritis

dengan nyeri di ruang dahlia RSUD sampang.

3. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang mengalami gastritis

dengan nyeri di ruang dahlia RSUD sampang.

4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami gastritis

dengan nyeri di ruang dahlia RSUD sampang.

5. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien yang mengalami gastritis

dengan nyeri di ruang dahlia RSUD sampang.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang cara pemberian

asuhan keperawatan pada klien gastritis sehingga menjadi dasar pengembangan

4
ilmu keperawatan medikal bedah yang berkaitan dengan penaganan nyeri pada

klien gastritis.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Bagi peneliti

Meningkatkan pengetahuan tentang diagnosa medis gastritis dengan

masalah keperawatan nyeri dan tindakan mandiri dengan melakukan

relaksasi nafas dalam.

2. Bagi institusi

Penelitian ini dapat menambah referensi dan tindakan asuhan

keperawatan pada klien gastritis untuk menurunkan skala nyeri serta

dapat digunakan sebanyak bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

3. Bagi rumah sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebangai pedoman dalam melakukan

intervensi kepada klien gastritis untuk menurunkan skala nyeri,

meningkatkan kontrol nyeri pada klien sehingga klien dapat di tangani

dengan baik

4. Bagi klien

Hasil Penelitian ini dapat mengkuatkan mutu asuhan keperawatan

kepada klien gastritis sehingga dapat mengurangi skala nyeri pada klien

dan dapat memberikan tindakan mandiri pada klien

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gastritis

2.1.1 Devinisi Gastritis

Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,

kronik difus, atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak

pada epigastrium, mual dan muntah Suratun (2010.Hal 59).

Gastritis adalah inflamasi mukosa yang melapisi lambung juga

mengatakan gastritis merupakan keadaan inflamasi pada mukosa

lambung.Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka penulis menyimpulkan

gastritis adalah peradangan lokal pada mukosa lambung, yang berkembang bila

mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lainBroker

(2009. Hal 571).

6
2.1.2 Klasifikasi

MenurutRobbins (2009. Hal: 474) gastritis diklasifikasikan kedalam dua

bagian yaitu :

1. Gastritis akut

Gastritis akut merupakan proses inflamasi yang bersifat akut dan

biasanya terjadi sepintas pada mukosa lambung. Keadaan ini paling

sering berkaitan dengan penggunaan obat obat anti inflamasi

nonsteroid (khususnya, aspirin) dalam waktu yang lama dan dengan

dosis tinggi, konsumsi alkohol yang berlebihan, dan perokok berat.

Stress berat (luka bakar dan pembedahan), iskemia dan syokjuga

menyebabkan gastritis akut, seperti halnya kemoterapi, uremia, infeksi

sistemik, tertelan zat asam atau alakali, iradiasi lambung, trauma

mekanik, dan gastrektomi distal.

2. Gastritis kronis

Gastritis kronis di artikan sebagai keadaan terdapatnya perubahan

inflamatorik yang kronis pada mukosa lambung sehingga akhirnya

terjadi atrofi mukosa dan metaplasia epitel.Keadaan ini menjadi latar

belakang terjadinya dysplasia dan karsinoma.

2.1.3 Epidemiologi

Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap delapan

negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari angka kejadian

gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian gastritisnya paling

tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47% kemudian diikuti oleh

India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara lainnya seperti Inggris 22%,

7
China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%, Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%.

Penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka

kejadian gastritis di beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6%

yaitu di kota Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%,

Denpasar 46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh 31,7%

dan Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang kurang sehat

(Karwati, 2013).

2.1.4 Etiologi

Menurut Suratun (2010. Hal: 60) ada beberapa penyebab yang dapat

mengakibatkan seseorang menderita gastritis antara lain yaitu : mengkonsumsi

obat obatan kimia (asetaminofen (aspirin), steroid kortikosteroid), digitalis.

Asetaminofen dan kortikosteroid dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa

lambung, NSAIDS (nonsteroid anti inflammation drugs) dan kortikosteroid

menghambat sintesis prostaglandin sehingga sekresi HCL meningkat dan

menyebabkan suasana lambung menjadi sangat asam sehingga menimbulkan

iritasi mukosa lambung.Konsumsi alkohol.Alkohol dapat menyebabkan kerusakan

gaster.Terapi radiasi, refluk empedu, zat zat korosif (cuka, lada) menyebabkan

kerusakan mukosa gaster dan menimbulkan edema dan perdarahan.Kondisi yang

stressful (trauma, luka bakar, kemoterapi dan kerusakan susunan saraf pusat)

merangsang peningkatan produksi HCI lambung. Infeksi oleh bakteri seperti

helicobacter pilori, eschericia coli, salmonella dan lain lain.

8
2.1.5 Anatomi Fisiologi Lambung (Gaster)

1. Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti

kandang keledai.Terdiri dari 3 bagian, yaitu :

a. Kardia.

b. Fundus.

c. Antrum.

Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot

berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam

keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung

ke dalam kerongkongan.

Lambung berfungsisebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara

ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang

melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :

9
1). Lendir

Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam

lambung.Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan

kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.

2). Asam klorida (HCl)

Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang

diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung

yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan

cara membunuh berbagai bakteri.

3). Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein) .

2.1.6

10
11
2.1.7 Patofisiologi

Obat-obatan, alkohol, garam empedu, zat iritan lainnyadapat merusak

mukosa lambung (gastritis erosive).Mukosa lambung berperan penting dalam

melindungi lambung dari autodigesti oleh HCI dan pepsin. Bila mukosa lambung

rusak maka terjadi difusi HCI ke mukosa HCI akan merusak mukosa. Kehadiran

HCI di mukosa lambung menstimulasi perubahan pepsinogen menjadi

pepsin.Pepsin merangsang pelepasan histamine dari sel mast. Histamine

akanmenyebabkan penningkata permeabilitas kapiler sehingga terjadi perpindahan

cairan dari intra sel ke ekstra sel dan menyebabkan edemadan kerusakan kapiler

sehingga timbul perdarahan pada lambung. Biasanya lambung dapat melakukan

regenerasi mukosa oleh karena itu gangguan tersebut menghilang dengan

sendirinya (Suratun, 2010. Hal: 61).

Namun bila lambung sering terpapar dengan zat iritan maka inflamasi

akan menjadi terus menerus. Jaringan yang meradang akan diisi oleh jaringan

fibrin sehingga lapisan mukosa lambung dapat hilang dan terjadi atropi sel

mukosa lambung. Faktor intrinsik yang dihasilkan oleh sel mukosa lambung akan

menurun atau menghilang sehingga cobalamin (Vitamin B12) tidak dapat diserap

di usus halus. Sementara Vitamin B12 berperan penting dalam pertumbuhan dan

maturasi sel darah merah.Pada akhirnya klien gastritis dapat mengalami

anemia.Selain itu dinding lambung menipis rentan terhadap perforasi lambung

dan perdarahan (Suratun, 2010. Hal: 61).

2.1.8 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada psien dengan gastritis menurut Robbins (2009.

Hal474) ialah sebagai berikut :

12
1. Gastritis akut : gambaran klinisnya gastritis akut berkisar dari keadaan

asimtomatik, nyeri abdomen yang ringan hingga nyeri abdomen akut

dengan hematemesis

2. Gastritis kronis : gastritis kronis biasanya asimtomatik, kendati gejala

nausea, vomitus atau keluhan tidak nyaman pada abdomen atas dapat

terjadi; kadang kadang, ditemukan anemia pernisiosa yang manifes.

Hasil laboratoriumnya meliputi hipoklorhidria lambung dan

hipergastrinemia serum. Resiko terjadinya kanker untuk jangka panjang

adalah 2 (dua) persen hingga 4 (empat) persen.

2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik

pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan gastritis meliputi :

1. Darah lengkap bertujuan untuk mengetahui adanya anemia.

2. Pemeriksaan serum vitamin B12 bertujuan untuk mengetahui adanya

defesiensi B12.

3. Analisa feses bertujuan untuk mengetahui adanya darah dalam feses.

4. Analisa gaster bertujuan untuk mengetahui kandungan HCI lambung.

Acholohidria menunjukkan adanya gastritis atropi.

5. Test antibody serum. Bertujuan untuk mengetahui adanya antibody sel

pariental dan faktor instrinsik lambung terhadap helicobacter pylori.

6. Endoscopy, biopsy dan pemeriksaan urin biasanya dilakukan bila ada

kecurigaan berkembangnya ulkus peptikum.

7. Sitologi bertujuan untuk mengetahui adanya keganasan sel lambung.

Suratun (2010. Hal: 71)

2.1.10 Penatalaksanaan

13
1. Penatalaksanaan Pengobatan pada gastritis meliputi:

a. Antikoagulan: bila ada pendarahan pada lambung

b. Antasida: pada gastritis yang parah, cairan dan elektrolit diberikan

intravena untuk mempertahankan keseimbangan cairan sampai

gejala-gejala mereda, untuk gastritis yang tidak parah diobati

dengan antasida dan istirahat.

c. Histonin: ranitidin dapat diberikan untuk menghambat

pembentukan asam lambung dan kemudian menurunkan iritasi

lambung.

d. Sulcralfate: diberikan untuk melindungi mukosa lambung dengan

cara menyeliputinya, untuk mencegah difusi kembali asam dan

pepsin yang menyebabkan iritasi.

e. Pembedahan: untuk mengangkat gangrene dan perforasi,

Gastrojejunuskopi/reseksi lambung: mengatasi obstruksi pilorus.

(Dermawan, 2010)

2. Penatalaksanaan pada gastritis secara medis meliputi:

Gastritis akut Diatasi dengan menginstruksikan pasien untuk

menghindari alkohol dan makanan sampai gejala berkurang. Bila

pasien mampu makan melalui mulut, diet mengandung gizi danjurkan.

Bila gejala menetap, cairan perlu diberikan secara parenteral. Bila

perdarahan terjadi, maka penatalaksanaan adalah serupa dengan

prosedur yang dilakukan untuk hemoragik saluran gastrointestinal

atas. Bila gastritis diakibatkan oleh mencerna makanan yang sangat

14
asam atau alkali, pengobatan terdiri dari pengenceran dan

penetralisasian agen penyebab.

a. Untuk menetralisasi asam, digunakan antasida umum ( missal :

alumunium hidroksida ) untuk menetralisasi alkali, digunakan jus

lemon encer atau cuka encer)

b. Bila korosi luas atau berat, emetik, dan lafase dihindari karena

bahaya perforasi

c. terapi pendukung mencakup intubasi, analgesic dan sedative,

antasida, serta cairan intravena. Endoskopi fiberopti mungkin

diperlukan. Pembedahan darurat mungkin diperlukan untuk

mengangkat gangrene atau jaringan perforasi. Gastrojejunostomi

atau reseksi lambungmungkin diperlukan untuk mengatasi

obstruksi pilrus. Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet

pasien, meningkatkan istiratahat, mengurangi stress dan memulai

farmakoterapi. H. Pilory data diatasi dengan antibiotic ( seperti

tetrasiklin atau amoksisilin ) dan garam bismu ( pepto bismo ).

Pasien dengan gastritis A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin

B12 yang disebabkan oleh adanya antibody terhadap faktor

instrinsik(Smeltzer, 2010)

3. penatalaksanaan secara keperawatan meliputi:

a. Tirah baring

b. Mengurangi stress

c. Diet Air teh, air kaldu, air jahe dengan soda kemudian diberikan

peroral pada interval yang sering. Makanan yang sudah dihaluskan

15
seperti pudding, agar-agar dan sup, biasanya dapat ditoleransi

setelah 12 – 24 jam dan kemudian makanan-makanan berikutnya

ditambahkan secara bertahap. Pasien dengan gastritis superficial

yang kronis biasanya berespon terhadap diet sehingga harus

menghindari makanan yang berbumbu banyak atau berminyak.

(Dermawan, 2010)

2.1.11 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin dapat terjadi pada gastritis adalah:

1. Perdarahan saluran cerna bagian atas

2. Ulkus peptikum, perforasi dan anemia karena gangguan absorbsi

vitamain B12 menurut Dermawan ( 2010)

2.2 Konsep Dasar Nyeri

2.2.1 Devinisi Nyeri

Nyeri adalah suatu pengalaman seseorang yang meliputi perasaan dan

emosi tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan sebenarnya atau

potensial pada suatu jaringan yang dirasakan di area terjadinya kerusakan. Nyeri

merupakan perasaan tubuh atau bagian tubuh seseorang yang menimbulkan

respon tidak menyenangkan dan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman alam

rasa“The International Association for the Study Of Pain (2011).

Nyeri juga diartikan sebagai suatu kondisi yang membuat seseorang

menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang dapat menimbulkan

ketegangan(Judha, 2012).

Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif atau tidak dapat

dirasakan oleh orang lain. Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai stimulus seperti

16
mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada ujungujung saraf. Perawat dapat

mengetahui adanya nyeri dari keluhan pasien dan tanda umum atau respon

fisiologis tubuh pasien terhadap nyeri. Sewaktu nyeri biasanya pasien akan

tampak meringis, kesakitan, nadi meningkat, berkeringat, napas lebih cepat, pucat,

berteriak, menangis, dan tekanan darah meningkat). (Hidayat, 2006 cit Budi,

2012).

2.2.2 Mekanisme Nyeri

Reseptor nyeri berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh ini

berperan hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor

nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri bermyelin dan ada

juga yang tidak bermyelin dari syaraf perifer (Potter & Perry, 2010).

Nyeri merupakan campuran dari reaksi fisik, emosi, dan tingkah. Nyeri

dapat dirasakan penderita jika reseptor nyeri menginduksi serabut saraf perifer

aferen, yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut A-delta memiliki myelin yang

menyampaikan impuls nyeri dengan cepat, menimbulkan sensasi yang tajam, dan

melokalisasi sumber nyeri serta mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak

memiliki myelin sehingga menyampaikan impuls lebih lambat dan berukuran

sangat kecil. Serabut A-delta dan serabut C akan menyampaikan rangsangan dari

serabut saraf perifer ketika mediatormediator biokimia yang aktif terhadap respon

nyeri seperti pottasium dan prostaglandin dibebaskan akibat adanya jaringan yang

rusak (Potter & Perry, 2010).

Transmisi stimulus nyeri berlanjut disepanjang serabut saraf aferen

(sensori) dan berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Neurotransmitter

di dalam kornu dorsalis seperti substansi P dilepaskan sehingga menimbulkan

17
suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Impuls

atau informasi nyeri selanjutnya disampaikan dengan cepat ke pusat thalamus

(Potter &Perry, 2010).

2.2.3 Klasifikasi Nyeri

Nyeri berdasarkan serangannya dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Nyeri kronis

Nyeri yang terjadi lebih dari 6 bulan dan tidak dapat diketahui

sumbernya. Nyeri kronis merupakan nyeri yang sulit dihilangkan.

Sensasi nyeri dapat berupa nyeri difus sehingga sulit untuk

mengidentifikasi sumber nyeri secara spesifik (Potter & Perry, 2010).

2. Nyeri akut

Nyeri yang terjadi kurang dari 6 bulan yang dirasakan secara

mendadak dari intensitas ringan sampai berat dan lokasi nyeri dapat

diidentifikasi. Nyeri akut mempunyai karakteristik seperti

meningkatnya kecemasan, perubahan frekuensi pernapasan, dan

ketegangan otot (Potter & Perry, 2010; Nanda, 2012). Cidera atau

penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan

atau dapat memerlukan pengobatan seperti kasus fraktur ekstremitas.

Kasus tersebut membutuhkan pengobatan yang dapat menurunkan

skala nyeri sejalan dengan proses penyembuhan tulang (Smeltzer &

Bare, 2013).

18
2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri perlu diamati dan dipahami oleh perawat

untuk memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan secara holistik dalam

melakukan pengkajian dan perawatan klien (Potter & Perry, 2010).

Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor fisiologis

a. Usia, merupakan salah satu variabel yang berpengaruh terhadap

sensasi nyeri seseorang, khususnya pada bayi dan dewasa akhir

karena usia mereka lebih sensitif terhadap penerimaan rasa sakit

(Potter & Perry, 2010). Anak yang masih kecil mempunyai

kesulitan untuk memahami rasa nyeri, mengucapkan secara verbal,

dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas

kesehatan. Hal ini serupa dengan pengkajian nyeri pada lansia

karena perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses

penuaan. Nyeri pada lansia dialihkan jauh dari tempat cidera atau

penyakit. Persepsi nyeri berkurang akibat dari perubahan patologis

yang berhubungan dengan beberapa penyakit, tetapi pada lansia

yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Judha, 2012).

b. Kelemahan (fatigue), dapat meningkatkan persepsi nyeri. Rasa

lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan

kemampuan koping penderita (Potter & Perry, 2010).

c. Keturunan, pembentukan sel-sel genetik yang diturunkan dari

orang tua kemungkinan dapat menentukan intensitas sensasi nyeri

seseorang atau toleransi terhadap rasa nyeri (Potter & Perry, 2010).

19
d. Fungsi neurologis, merupakan faktor yang dapat mengganggu

penerimaan sensasi yang normal seperti cidera medula spinalis,

neuropatik perifer, dan penyakit saraf dapat mempengaruhi

kesadaran dan persepsi nyeri. Agen farmakologis seperti analgesik,

sedatif, dan anestesi juga berperan dalam mempengaruhi persepsi

dan respons terhadap nyeri sehingga membutuhkan sebuah

tindakan pencegahan (Potter & Perry, 2010).

2. Faktor Sosial

a. Perhatian, tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya terhadap

nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian meningkat

berhubungan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya

pengalihan nyeri dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

Upaya pengalihan atau distraksi dapat diterapkan oleh perawat

untuk meminimalkan atau menghilangkan nyeri, misalnya dengan

relaksasi, guided imagery, dan massage (Potter & Perry, 2010).

b. Pengalaman sebelumnya, seseorang yang pernah berhasil

mengatasi nyeri dimasa lalu dan saat ini nyeri yang sama timbul,

maka orang tersebut akan lebih mudah mengatasi nyeri yang

dirasakan. Mudah tidaknya seseorang dalam mengatasi nyeri

tergantung pengalaman di masa lalu saat mengatasi nyeri tersebut

(Smeltzer & Bare, 2013).Perawat perlu mempersiapkan klien yang

tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang menyakitkan

melalui penjelasan tentang nyeri yang mungkin timbul dan metode-

metode yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri klien. Hal ini

20
biasanya mampu menurunkan persepsi nyeri agar tidak merusak

kemampuan klien dalam mengatasi masalah (Potter & Perry, 2010).

c. Keluarga dan dukungan sosial, kehadiran orang terdekat dan sikap

mereka terhadap klien dapat mempengaruhi respon klien terhadap

rasa nyeri. Nyeri akan tetap dirasakan namun kehadiran mereka

yaitu keluarga atau teman dekat akan meminimalkan stres (Potter

& Perry, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linton

dan Shaw (2011), dukungan sosial dan perhatian dari keluarga dan

orang terdekat pasien sangat mempengaruhi persepsi nyeri pasien.

d. Pendidikan kesehatan juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri

pasien. Pendidikan kesehatan dapat membantu pasien untuk

beradaptasi dengan nyerinya dan menjadi patuh terhadap

pengobatan. Selain itu pendidikan kesehatan juga dapat

mengurangi dampak dari pengalaman nyeri yang buruk karena

pasien mempunyai koping yang baik.

3. Faktor spiritual

Pentingnya perawat untuk mempertimbangkan keinginan klien dalam

melakukan konsultasi keagamaan. Mengingat bahwa nyeri merupakan

sebuah pengalaman yang meliputi fisik dan emosional klien. Oleh

karena itu, perlu untuk mengobati dua aspek tersebut dalam

manajemen nyeri (Potter & Perry, 2010). Spiritualitas dan agama

merupakan kekuatan bagi seseorang. Apabila seseorang memiliki

kekuatan spiritual dan agama yang lemah, maka akan menganggap

nyeri sebagai suatu hukuman. Akan tetapi apabila seseorang memiliki

21
kekuatan spiritual dan agama yang kuat, maka akan lebih tenang

sehingga akan lebih cepat sembuh. Spiritual dan agama merupakan

salah satu koping adaptif yang dimiliki seseorang sehingga akan

meningkatkan ambang toleransi terhadap nyeri (Moore, 2012).

4. Faktor psikologis

a. Kecemasan, hal ini seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi

nyeri juga dapat menimbulkan rasa cemas. Polabangkitan otonom

adalah sama dalam nyeri dan ansietas sehingga sulit memisahkan

dua sensasi tersebut (Potter & Perry, 2010). Menurut Petry (2002)

dalam Budi (2012),

b. Mekanisme koping

pasien yang menggunakan koping kognitif dan strategi perilaku

yang positif akan mampu untuk mengurangi rasa nyeri post

operasi, cepat kembali ke rumah dan proses penyembuhan akan

lebih cepat.Teknik koping, mempengaruhi kemampuan dalam

mengatasi nyeri. Hal ini sering terjadi karena klien merasa

kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau terhadap hasil akhir

dari suatu peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping

mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi

nyeri. Seseorang yang belum pernah mendapatkan teknik koping

yang baik tentu respon nyerinya buruk (Potter & Perry, 2010).

5. Faktor budaya

a. Arti dari nyeri, persepsi nyeri tiap individu akan berbeda, nyeri

dapat memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman, dan

22
tantangan sehingga nyeri akan mempengaruhi pengalaman nyeri

dan cara beradaptasi seseorang (Potter & Perry, 2010).

b. Suku bangsa, keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi cara

individu dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari sesuatu yang

diharapkan dan yang diterima oleh kebudayaan mereka. Misalnya,

suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri merupakan akibat

yang harus diterima karena melakukan kesalahan, sehingga mereka

tidak mengeluh jika timbul rasa nyeri. Sebagai seorang perawat

harus bereaksi terhadap persepsi nyeri dan bukan pada perilaku

nyeri, karena perilaku berbeda antar pasien (Judha, 2012).

2.2.5 Respon Tubuh Terhadap Nyeri

1. Respon fisik, timbul akibat impuls nyeri yang ditransmisikan oleh

medula spinalis menuju batang otak dan thalamus menyebabkan

terstimulasinya sistem saraf otonom yang akan menimbulkan respon

yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres (Tamsuri, 2012).

Respon tubuh terhadap nyeri akan membangkitkan reaksi fight or

flight dengan merangsang sistem saraf simpatis, sedangkan pada

kategori nyeri berat, tidak dapat ditahan, dan nyeri pada organ tubuh

bagian dalam, akan merangsang saraf parasimpatis. Respon fisik

mencakup takikardi, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer,

meningkatnya tekanan darah, dan keluarnya katekolamin (Budi, 2012;

Khodijah, 2011).

23
2. Respon perilaku, respon pada seseorang yang timbul saat nyeri dapat

bermacam-macam. Respon perilaku seseorang terhadap nyeri

digambarkan dalam tiga fase:

a. Fase antisipasi, merupakan fase yang paling penting dan fase ini

memungkinkan seseorang untuk memahami nyeri yang dirasakan.

Klien belajar untuk mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum

nyeri muncul dan klien juga diajarkan untuk mengatasi nyeri jika

terapi yang dilakukan kurang efektif (Tamsuri, 2012).

b. Fase sensasi, terjadi ketika seseorang merasakan nyeri. Banyak

perilaku yang ditunjukkan individu ketika mengalami nyeri

seperti menangis, menjerit, meringis, meringkukkan badan, dan

bahkan berlari-lari (Tamsuri, 2012).

c. Pasca nyeri (Fase Akibat), fase ini terjadi ketika kurang atau

berhentinya rasa nyeri. Jika seseorang merasakan nyeri yang

berulang maka respon akibat akan menjadi masalah. Perawat

diharapkan dapat membantu klien untuk mengontrol rasa nyeri

dan mengurangi rasa takut apabila nyeri menyerang (Tamsuri,

2012).

3. Respon psikologis, respon ini berkaitan dengan pemahaman seseorang

terhadap nyeri yang terjadi. Klien yang mengartikan nyeri sebagai

suatu yang negatif akan menimbulkan suasana hati sedih, berduka,

tidak berdaya, marah, dan frustasi. Hal ini berbalik dengan klien yang

menganggap nyeri sebagai pengalaman yang positif karena mereka

akan menerima rasa nyeri yang dialami (Tamsuri, 2012).

24
2.2.6 Skala Nyeri

Terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat digunakan untuk

mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:

1. Verbal Descriptor Scale (VDS), yang dikembangkan oleh McGuire

DB merupakan suatu instrumen skala nyeri dengan garis yang terdiri

dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang telah disusun dengan

jarak yang sama sepanjang garis. Ukuran skala ini diurutkan dari

“tidak terasa nyeri” sampai “nyeri tidak tertahan”. Perawat

menunjukkan ke klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk

memilih skala nyeri terbaru yang dirasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri

terasa tidak menyakitkan. (Potter & Perry, 2010).

2. Visual Analogue Scale (VAS), merupakan suatu garis lurus yang

menggambarkan skala nyeri terus menerus yang dikembangkan

pertama kali oleh Hayes dan Patterson tahun 1921. Skala ini

menjadikan klien bebas untuk memilih tingkat nyeri yang dirasakan.

VAS sebagai pengukur keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif

karena klien dapat menentukan setiap titik dari rangkaian yang

tersedia tanpa dipaksa untuk memilih satu kata (Potter & Perry, 2010).

Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.Visual Analogue Scale (VAS)

25
Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, skala nyeri pada skala

1-3 seperti gatal, tersetrum, nyut-nyutan, melilit, terpukul, perih, mules. Skala

nyeri 4-6 digambarkan seperti kram, kaku, tertekan, sulit bergerak, terbakar,

ditusuk-tusuk. Skala 7-9 merupakan skala sangat nyeri tetapi masih dapat

dikontrol oleh klien, sedangkan skala 10 merupakan skala nyeri yang sangat berat

dan tidak dapat dikontrol (Bijur, Silver & Gallagher, 2001 cit Budi, 2012).

3. Skala Nyeri Oucher, skala ini dikembangkan oleh Judith E. Beyerpada

tahun 1983 untuk mengukur skala nyeri pada anak yang terdiri dari

dua skala nyeri yang terpisah, yaitu sebuah skala dengan nilai 0-10

pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dan fotografik

dengan enam gambar pada sisi kanan untuk anak yang lebih kecil.

Gambar wajah yang tersedia dengan peningkatan rasa tidak nyaman

dirancang sebagai petunjuk untuk memudahkan anak memahami

makna dan tingkat keparahan nyeri (Potter & Perry, 2010).

Gambar 3.Skala Nyeri Oucher

4. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale, skala yang dikembangkan

oleh Wong Baker FACES Foundation pada tahun 1983 ini terdiri atas

26
enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah yang

sedang tersenyum untuk menandai tidak adanya rasa nyeri yang

dirasakan, kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang

bahagia, wajah sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan

yang berati skala nyeri yang dirasakan sangat nyeri (Potter & Perry,

2010).

Gambar 4. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

Keterangan dari gambar diatas adalah angka 0 yang berarti

menggambarkan rasa bahagia sebab tidak ada rasa nyeri yang dirasakan, ankga 1

yang berarti sedikit nyeri, angka 2 yang menunjukkan lebih nyeri dari

sebelumnya, angka 3 berarti lebih menyakitkan lagi, angka 4 menunjukkan jauh

lebih menyakitkan, dan angka 5 menunjukkan benar-benar menyaktikan (Wong,

2004 cit Wahyuningsih, 2014).

5. Numerical Rating Scale (NRS), merupakan instrumen yang

dikembangkan oleh Downie 1978. Seorang klien dengan kemampuan

kognitif yang mampu menyampaikan rasa nyeri yang dialami dengan

cara mengungkapkan secara langsung tingkat keparahan nyerinya

melalui angka, sebaiknya menggunakan skala nyeri NRS agar perawat

27
dapat mengetahui nyeri yang dirasakan saat ini (McCaffery, Herr,

Pasero, 2011).

NRS digunakan untuk menilai skala nyeri dan memberi kebebasan penuh

klien untuk menentukan keparahan nyeri. NRS merupakan skala nyeri yang

popular dan lebih banyak diaplikasikan di klinik, khususnya pada kondisi akut,

mengukur skala nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapeutik, mudah

digunakan dan didokumentasikan (Datak, 2008 cit Wahyuningsih, 2014).

Gambar 5. Numerical Rating Scale (NRS)

Skala nyeri pada angka 0 berarti tidak nyeri, angka 1-3 menunjukkan

nyeri yang ringan, angka 4-6 termasuk dalam nyeri sedang, sedangkaan angka 7-

10 merupakan kategori nyeri berat. Oleh karena itu, skala NRS akan digunakan

sebagai instrumen penelitian (Potter & Perry, 2010). Menurut Skala nyeri

dikategorikan sebagai berikut:

a. 0 : tidak ada keluhan nyeri, tidak nyeri.

b. 1-3: mulai terasa dan dapat ditahan, nyeri ringan.

c. 4-6: rasa nyeri yang menganggu dan memerlukan usaha untuk

menahan, nyeri sedang.

d. 7-10: rasa nyeri sangat menganggu dan tidak dapat ditahan,meringis,

menjerit bahkan teriak, nyeri berat.

28
2.2.7 Penatalaksanaan Nyeri

Metode penanggulangan nyeri terbagi menjadi dua yaitumanajamen

farmakologi dan non farmakologi.

1. Manajemen Farmakologi

a. Analgesik narkotika (opioid), terdiri dari berbagai derivat opium

seperti morfin dan kodein. Opioid berfungsi sebagai pereda nyeri

yang akan memberikan efek euphoria karena obat ini

menyebabkan ikatan dengan reseptor opiat dan mengaktifkan

penekan nyeri endogen yang terdapat di susunan saraf pusat.

Narkotik tidak hanya menekan stimulasi nyeri, namun juga akan

menekan pusat pernafasan dan batuk yang terdapat di medula

batang otak. Dampak penggunaan analgesik narkotika adalah

sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis

obat akan meningkat (Tamsuri, 2012). Menurut Pasero, Portenoy

dan McCaffery (2011),terapi opioid digunakan pada pasien yang

memiliki tingkat nyeri sedang hingga berat. Obat-obat yang

termasuk opioid analgesik adalah morfin, metadon, meperidin

(petidin), fentanil, buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin,

nalorfin, dan pentasozin. Jenis obat tersebut memiliki rata-rata

waktu paruh selama 4 jam (Biworo, 2008).

b. Analgesik non narkotika (non opioid), sering disebut Nonsteroid

Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDS) seperti aspirin,

asetaminofen, dan ibuprofen. Obat jenis ini tidak hanya memiliki

efek anti nyeri namun dapat memberikan efek antiinflamasi dan

29
antipiretik. Efek samping yang paling sering terjadi pada

pengguna adalah gangguan pencernaan seperti adanya ulkus

gaster dan perdarahan gaster. NSAID mungkin

dikontraindikasikan pada klien yang memiliki gangguan pada

proses pembekuan darah, perdarahan gaster atau tukak lambung,

penyakit ginjal, trombositopenia, dan mungkin juga infeksi

(Tamsuri, 2012). Menurut Pasero, Portenoy dan McCaffery

(2011), terapi non-opioid digunakan pada pasien yang memiliki

tingkat nyeri ringan hingga sedang. Ketorolak merupakan salah

satu obat NSAIDS sebagai analgesik, anti inflamasi, dan

antipiretik. Ketorolak mudah diserap secara cepat dan lengkap.

Obat ini dimetabolisme di dalam hati dengan waktu paruh

plasma 3,5-9,2 jam pada dewasa dan 4,6-8,6 pada lansia (usia 72

tahun). Kadar steady state plasma atau waktu untuk mencapai

kadar puncak didapatkan setelah diberikan dosis setiap 6 jam

dalam sehari (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia [ISFI], 2008).

Selain itu, parasetamol juga merupakan obat analgesik dan

antipiretik yang memiliki waktu paruh plasma selama 1,2-5 jam

(Siswandono & Soekardjo, 1995 cit Diana, 2011).

2. Penatalaksanaan non farmakologi

Tindakan non farmakologi merupakan strategi penatalaksanaan nyeri

tanpa menggunakan obat analgesik yang diharapkan mampu

menjamin peningkatan manajemen nyeri dan dapat mengurangi stres

pasien post operasi (WUWHS, 2012). Tindakan non farmakologi

30
merupakan terapi yang mendukung terapi farmakologi dengan

metode yang lebih sederhana, murah, praktis, dan tanpa efek yang

merugikan (Potter & Perry, 2010). Tindakan non farmakologi yang

dapat digunakan adalah memberikan terapi dingin dan hangat,

memberikan aromaterapi, mendengarkan musik, menonton televisi,

melakukan gerakan, memberikan sentuhan terapeutik, dan teknik

relaksasi nafas dalam (Bruckenthal, 2010; Koensomardiyah, 2009;

Yunita, 2010).

2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Teori Gastritis

2.3.1 Pengkajian

1. Identitas

Identitas pasien terdiri dari nama, no reg, medis, umur (lebih banyak

terjadi pada usia 30-60 tahun), agama, jenis kelamin,( pria lebih

berisiko dari pda wanita), pekerjaan status, perkawinan, alamat,

tanggal masuk yang mengirim, cara masuk RS dan diagnosa medis

dan nama identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur,

hubungan dengan pasien, pekerjaan dan alami.

2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Keluhan utama merupakan hal –hal yang dirasakan oleh klien

sebelum masuk kerumah sakit, pada klien dengan gastritis biasanya

didapatkan keluhan utama yang bervariasi mulai dari mual dan

muntah

b. Riwayat kesehatan sekarang

31
Biasanya klien mengalami sakit pada ulu hati, kelemahan fisik,

mual/muntah dan pendarahan terselubung maupun nyata.

c. Riwayat kesehatan dahulu

Biasanya klien berkemungkinan mempunyai penyakit yang di

derita sekarang.

d. Riwayat kesehatan keluarga

Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah

menderita penyakit yang sama dengan klien yaitu gastritis.

3. Pola – pola kesehatan

a. Pola perspsi dan penanganan kesehatan

Persepsi terhadap penyakit biasanya persepsi klien dengan

penyakit gastritis mengalami kecemasan dan biasanya klien

mempunyai kebiasaan telat makan.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

1) Pola makan: Biasanya teradi penurunan berat badan, nyeri ulu

hati, mual dan muntah

2) Pola minum: Biasanya klien minum kurang dari kebutuhan

tubuh

c. Pola eliminasi

1) BAB

Biasanya abdomen tidak kembung

2) BAK

Biasanya terajadi penurunan frekuensi urine sampai warna urine

berwarna coklat dan kuning pekat

32
d. Pola aktivitas

Biasanya kemampuan perawatan diri dan pola makan terganggu

e. Pola istirahat tidur

Biasanya klien mengalami gangguan tidur, gelisah karena adanya

nyeri

f. Pola kognitif- persepsi

Biasanya klien mengalami tingkat ansietas pasien mengalami

penyakit gastritis pada tingkat ansietas sedang sampai berat.

g. Pola peran hubungan

Biasanya klien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya sehari –

hari karena nyeri yang kadang muncul

4. Pemeriksaan Fisik

a. keadaan umum dan TTV

1) Keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat

2) Tingkat kesadaran klien normal

3) TTV: RR meningkat, tekanan darah didapati adanya

hipertensi

b. Kepala

1) Rambut: Biasa klien berambut tebal

2) Wajah: Biasanya klien berwajah pucat

3) Mata: Biasnya mata klien normal

4) Hidung:Biasanya normal

5) Bibir: Biasnya bibir pecah-pecah

6) Gigi: Biasa

33
7) Lidah: Biasanya tidak terjadi pendarahan

8) Leher: Biasanya normal

c. Dada/Thorax

1) Inspensi: Biasanya klien dengan nafas pendek

2) Palpasi: Biasanya fremitus kiri dan kanan

3) Perkusi: Biasanya sonor

4) Auskultasi: Biasanya vasikular

d. Jantung

1) Insoeksi: Biasanya ictuskardis tidak terlihat

2) Palpasi: Biasanya ictuskardis teraba inter costa

3) Perkusi: Biasanya ada nyeri

4) Auskultasi: Biasanya terdapat irama jantung yang cepat

e. Perut/abdomen

1) Inspeksi: Biasanya terjadi distensi abdomen

2) Auskultasi: Biasanya bising usus abnormal, berkisar antara

8-12 x/m

3) Palpasi: Biasanya nyeri tekan

4) Perkusi: Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites

2.3.2 Diagnosa

Setelah dilakukan pengkajian data-data yang didapatkan dalam pengkajian

tersebut dianalisa dan dapat ditegakan diagnosa keperawatannya sesuai masalah

yang mungkin muncul pada klien.

34
2.3.3 Intervensi

Tindakan yang dirancang untuk membantu klien dalam beralih dari tingkat

kesehatan saat ini ke tingkat yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan

2.3.4 Implementasi

Adalah pengelolahan dan perwuudan dari rencana keperawatan yang telah

disusun pada tahap perencanaan.

2.3.5 Evaluasi

Langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawatan untuk

menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi

pasien.

2.4 Konsep Dasar Terapi relaksasi otot progresif

Menurut Herodes (2010), teknik relaksasi otot progresif adalah teknik

relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti.

Berdasarkan keyakinan bahwa tubuh manusia berespons pada kecemasan dan

kejadian yang merangsang pikiran dengan ketegangan otot (Davis, 1995). Teknik

relaksasi otot progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot dengan

mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan

melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Herodes, 2010).

Teknik relaksasi otot progresif merupakan suatu terapi relaksasi yang

diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-oto tertentu dan kemudian

relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi

mengombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan

relaksasi otot tertentu. (Kustanti dan Widodo, 2008).

35
Menurut Stuart & Laraia (2005) Gangguan fisik dapat mengancam

integritas diri seseorang, ancaman tersebut berupa ancaman eksternal dan internal.

Sedangkan Taylor (2007) mengatakan bahwa ancaman gangguan fisik yang

terjadi dalam kehidupan individu dapat menjadi stressor yang bisa menyebabkan

terjadinya stress dan kecemasan. Stres dan kecemasan serinhkali terjadi pada

kehidupan seseorang dan disebabkan oleh semua peristiwa yang dialami sehari-

hari.

Menurut Stuart dan Laraia (2005) ansietas adalah kekhawatiran yang tidak

jelas dan menyebar, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.

Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik, dialami secara subyektif

dan dikomunikasikan secara interpersonal. Respon individu bersifat unik dan

membutuhkan pendekatan yang unik pula. Salah satu terapi spesialis keperawatan

jiwa sebagai manajemen ansietas adalah dengan progressive muscle relaxation

yang merupakan bagian dari terapi relaksasi.

Penggunaan relaksasi dalam bidang klinis telah dimulai semenjak awal

abad 20 ketika Edmund Jacobson melakukan penelitian dan dilaporkan dalam

sebuah buku Progressive Relaxation yang diterbitkan oleh Chicago University

Press pada tahun 1938. Jacobson menjelaskan mengenai hal-hal yang dilakukan

seseorang pada saat tegang dan rileks. Pada saat tubuh dan pikiran rileks, secara

otomatis ketegangan yang seringkali membuat otot-otot mengencang akan

diabaikan (Zalaquet & mcCraw, 2000 dalam ramdhani & Putra, 2009).

Progressive muscle relaxation adalah terapi relaksasi dengan gerakan

mengencangkan dan melemaskan otot–otot pada satu bagian tubuh pada satu

waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan

36
mengencangkan dan melemaskan secara progresif kelompok otot ini dilakukan

secara berturut-turut (Synder & Lindquist, 2002). Pada latihan relaksasi ini

perhatian individu diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat

kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi

tegang. Dengan mengetahui lokasi dan merasakan otot yang tegang, maka kita

dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon kecemasan

dengan lebih jelas (Chalesworth & Nathan, 1996).

Terapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh berespon pada

kecemasan yang merangsang pikiran dan kejadian dengan ketegangan otot, oleh

karena itu dengan adanya relaksasi otot progresif yang bekerja melawan

ketegangan fisiologis yang terjadi sehingga kecemasan bisa teratasi ( Davis dkk,

1995). Terapi relaksasi merupakan sarana psikoterapi efektif sejenis terapi

perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpe untuk mengurangi

kecemasan dan ketegangan otot-otot, syaraf yang bersumber pada objek-objek

tertentu (Goldfried dan Davidson, 1976 dalam Subandi, 2002).

2.4.1 Teori Terapi Relaksasi Otot Progresif

Salah satu kebutuhan dasar klien adalah kebutuhan tidur dan istirahat.

Sekitar 60% klien mengalami insomnia atau sulit tidur. Stress terhadap tugas

maupun permasalahan lainnya yang tidak segera diatasi dapat menimbulkan

kecemasan dalam diri seseorang. Kecemasan dapat berakibat pada munculnya

emosi negative, baik terhadap permasalahan tertentu maupun kegiatan sehari-hari

seseorang bila tidak diatasi. Semua ini dapat menyebabkan gangguan tidur atau

insomnia. Insomnia pada klien dapat diatasi dengan cara nonmedikasi yaitu

dengan terapi relaksasi sehingga seseorang kembali pada saraf normal (Alim,

37
2009). Salah satu terapi relaksasi adalah dengan terapi relaksasi otot progresif

yang dapat membuat tubuh dan pikiran terasa tenang,relaks, dan memudahkan

untuk tidur (Susanti, 2009).

2.4.2 Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif

Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan potter (2005), tujuan dari

teknik ini adalah untuk:

1. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,

tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolic.

2. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen;

3. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan

tidak memfokuskan perhatian serta relaks;

4. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi;

5. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress

6. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia

ringan, gagap ringan, dan

7. Membangun emosi positif dari emosi negative.

2.4.3 Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif

1. Klien lansia yang mengalami gangguan tidur (insomnia).

2. Klien lansia yang sering mengalami stress.

3. Klien lansia yang mengalami kecemasan.

4. Klien lansia yang mengalami depresi.

2.4.4 Kontra indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif

1. Klien lansia yang mengalami keterbatasan gerak, misalnya tidak bisa

menggerakkan badannya.

38
2. Klien lansia yang menjalani perawatan tirah baring (bed rest).

2.4.5 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan

Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan

terapi relaksasi otot

progresif.

1. Jangan terlalu menegangkan otot berlebihan karena dapat melukai diri

sendiri.

2. Dibutuhkan waktu sekitar 20-50 detik untuk membuat otot-otot relaks.

3. Perhatikan posisi tubuh. Lebih nyaman dengan mata tertutup. Hindari

dengan posisi berdiri.

4. Menegangkan kelompok otot dua kali tegangan.

5. Melakukan pada bagian kanan tubuh dua kali, kemudian bagian kiri

dua kali.

6. Memeriksa apakah klien benar-benar relaks.

7. Terus-menerus memberikan instruksi.

8. Memberikan instruksi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.

2.4.6 Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif

1. Persiapan

Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta lingkungan

yang tenang dan sunyi.

2. Persiapan klien:

a. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar

persetujuan terapi pada klien;

39
b. Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata

tertutup menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk

dikursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri;

c. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan

sepatu;

d. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya

mengikat ketat.

3. Prosedur

Gerakan 1: ditujukan untuk melatih otot tangan.

a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.

b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan

yang terjadi.

c. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan

relaks selama 10 detik.

d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien

dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan

relaks yang dialami.

e. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.

Gerakan 2: ditujukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.

Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga otot

ditangan bagian belakang dan lengah bawah menegang, tangan jari-jari

menghadap ke langit-langit. Gerakan melatih otot tangan bagian depan dan

belakang ditunjukkan pada gambar.

40
Gambar:

Gerakan 3: ditujukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada bagian

atas pangkal lengan).

1. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

2. Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot

biseps akan menjadi tegang.

Gambar:

Gerakan 4: ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.

1. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga

menyantuh kedua telinga.

2. Fokuskan atas, dan leher.

41
Gambar:

Gerakan 5 dan 6: ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti

otot dahi, mata, rahang, dan mulut).

1. Gerakkan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai

otot terasa dan kulitnya keriput.

2. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan disekitar mata

dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.

Gerakan 7: ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami

oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi

sehingga terjadi ketegangan disekitar otot rahang.

Gerakan 8: ditujukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.

Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan

ketegangan di sekitar mulut.

42
Gambar :

Gerakan 9: ditujukan untuk merileksikan otot leher bagian depan

maupun belakang.

1. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian

otot leher bagian depan.

2. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.

3. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa

sehingga dapat merasakan ketegangan dibagian belakang leher dan

punggung atas.

Gerakan 10: ditujukan untuk melatih otot leher begian depan.

1. Gerakan membawa kepala ke muka.

4. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan di

daerah leher bagian muka.

Gerakan 11: ditujukan untuk melatih otot punggung

43
1. Angkat tubuh dari sandaran kursi.

2. Punggung dilengkungkan.

5. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian

relaks.

6. Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil membiarkan

otot menjadi lemas.

3. Gerakan 12: ditujukan untuk melemaskan otot dada.

7. Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara

sebanyak-banyaknya.

8. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di

bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.

9. Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.

10. Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara

kondisi tegang dan relaks.

Gambar: Gambar:

Gerakan 13: ditujukan untuk melatih otot perut.

44
1. Tarik dengan kuat perut kedalam.

2. Tahan sampai menjadi kencang dank eras selama 10 detik, lalu

dilepaskan bebas.

3. Ulangi kembali seperti gerakan awal perut ini.

Gerakan 14-15: ditujukan untuk melatih otot-otot kaki (seperti paha

dan betis).

1. Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.

2. Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga

ketegangan pindah ke otot betis.

3. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.

4. Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

2.4.7 Kriteria Evaluasi

1. Klien tidak mengalami gangguan tidur (insomnia) dan tidak stress.

2. Kebutuhan dsasar klien terpenuhi.

3. Tanda-tanda vital dalam batas normal.

45
BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada subbab ini akan dibahas tentang penelitian yang bersifat penelitian

kualitatif studi kasus pada metode observasi secara teori yang menghasilkan data

Deskriptif.

3.1 Desain Penelitian

Penelitian adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif

mengacu pada suatu maksud atau arti, konsep – konsep, definisi , karakteristik,

simbol-simbol dan deskripsi dari berbagai hal. menjelaskan metode kualitatif

merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa

kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat

diamati (Moleong, 2013).

Studi kasus adalah suatu karya tulis ilmiah merupakan paparan hasil

penerapan proses asuhan keperawatan kepada klien secara ideal sesuai dengan

teori dan berisi pembahasan atas kesenjangan yang terjadi di lapangan.

Penyusunan karya tulis ini dilaksanakan melalui studi lapangan (field research)

untuk memperoleh data primer. Yang di maksud dengan data primer adalah data

yang diperoleh peneliti secara langsung dari sumber data, baik melalui

pengamatan (observation), wawancara (interview), maupun hasil pengukuran

langsung lainnya. Data diambil dari sumber lapangan (klien atau keluarga). Studi

kepustakaan (Library Research) digunakan untuk memperoleh teori-teori atau

sebagai bahan rujukan untuk melengkepi data sekunder yang relevan dan

mutakhir dengan permasalahan. Data sekunder yang dimaksud adalah data yang

diperoleh peneliti dengan memanfaatkan data yang terlebih dahulu

46
dikumpulkandan dilaporkan oleh pihak lain, dalam bentuk publikasi ilmiah seperti

buku, jurnal, majalah ilmiah, dan sebagainya.

Secara ringkasnya yang membedakan metode studi kasus dengan metode

penelitian kualitatif lainnya adalah kedalaman analisisnya pada kasus yang lebih

spesifik (baik kejadian maupun fenomena tertentu), (nursalam,2008).

3.2 Batasan Istilah

Batasan istilah pada karya tulis ilmiah ini Asuhan Keperawatan Pada Klien

Yang Mengalami gastritis dengan nyeri Di Rsud Sampang. Maka penyusunan

Proposal Karya Tulis Ilmiah ini menjabarkan tentang Asuhan Keperawatan

gastritis dengan nyeri.

3.3 Partisipan

Subjek yang digunakan adalah 1 klien orang dengan masalah keperawatan

nyeri dengan diagnosa medis gastritis.

3.4 Lokasi Dan Waktu Penelitian

3.4.1 Lokasi penelitian

Tempat yang akan digunakan sebagai penelitian adalah di rsud sampang

3.4.2 waktu penelitian

Waktu pelaksanaan studi kasus individu yaitu 3 hari,di mulai bulan maret

tahun 2018.

3.5 Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif ini bersifat deksriptif, sumber data primer adalah

peneliti yang melakukan tindakan dan pasien yang menerima tindakan. Sedangkan

47
sumber data sekunder berupa data hasil wawancara, observasi, dokumentasi serta

triangulasi.

3.5.1 Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pawawancara (interview) yang mengajukan

pertanyaan dan wawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut.

Teknik wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yaitu

wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan serta sistematis

dan pertanyaan yang di ajukan telah disusun. Sebelumnya wawancara dilakukan

peneliti terhadap keluarga dan pasien tentang penyakitnya. Wawancara hasil

anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang-dahulu-keluarga dll. Sumber data dari klien, keluarga, perawat lain.

3.5.2 Observasi

Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data yang sesuai

dengan sifat penelitian karena mengadakan pengamatan secara langsung atau

disebut pengamatan terlibat dimana peneliti juga menjadi instrument atau alat

dalam penelitian harus mencari data sendiri dengan terjun langsung atau

mengamati dan mencari langsung ke beberapa informan yang telah ditentukan

sebagai sumber data.

Metode observasi ini penelitian memilih jenis observasi pertisipatif adalah

observasi yang sekaligus melibatkan diri selaku orang dalam pada situasi tertentu.

Hal ini agar memdahkan peneliti memperoleh data atau informasi dengan mudah

48
dan leluasa. Pengumpulan data bisa dilakukan pemeriksaan fisik dengan

pendekatan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada sistem tubuh klien

.3.5.3 Dokumentasi

Dokumentasi penelitian ini adalah berupa portofolio hasil perkembangan

penurunan skala nyeri pada pasien stroke dan foto pada saat melakukan tindakan.

Studi dokumentasi dan angket hasil pemeriksaan diagnostik dan data lain yang

relevan.

3.6 Uji Keabsahan Data

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan

data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Terdapat

triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, triangulasi waktu.

3.6.1 Triangulasi sumber

Triangulasi sumber untuk mengkaji kreadibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

3.6.2 Triangulasi tekhnik pengumpulan data

Triangulasi tekhnik pengumpulan data untuk menguji kredibilitas data

dilakukan dengan cara mengecek data sumber yang sama dengan tekhnik yang

berbeda. Misal data diperoleh dengan wawancara, lalu di cek dengan observasi,

dokumentasi.

3.6.3 Triangulasi waktu

Waktu juga mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan

dengan tekhnik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum

banyak masalah akan diberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel.

Pengujian keabsahan data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan

49
dengan wawancara, observasi atau tekhnik lain dalam waktu atau situasi berbeda.

Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-

ulang sehingga sampai ditemukan kapasitas datanya ( sugiyono, 2007).

3.7 Analisa Data

Penelitian kualitatif deskriptif menggunakan analisis data, yaitu :

1) Teknik induksi

Penelitian harus memfokuskan perhatiannya pada data yang dilapangkan

sehingga segala sesuatu tentang teori yang berhubungan dengan penelitian

menjadi tidak penting. Data akan menjadi sangat penting, sedangkan teori akan

dibangun berdasarkan temuan dilapangan. Data merupakan segalanya yang dapat

memecahkan semua masalah penelitian. Posisi peneliti benar-benar bereksplorasi

terhadap data, dan apabila peneliti secara kebetulan telah memiliki pemahaman

teoritis tentang data yang akan diteliti, proses pembuatan teori itu harus dilakukan.

Peneliti berkeyakinan bahwa data harus terlebih dahulu diperoleh untuk

mengungkapkan misteri penelitian dan teori baru akan dipelajari apabila seluruh

data sudah diperoleh ( Nursalam, 2008).

2) Reduksi data

Analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan dengan proses

pengumpulan data. Di antaranya adalah melalui reduksi data, penyajian data, dan

verifikasi. Namun, ketiga tahapan tersebut berlangsung secara simultan. Analisa

data digambarkan seperti berikut :

50
Pengumpulan Penyajian
data data

Reduksi Simpulan
data verifikasi

Gambar 3.1 Analisa data

(Nursalam, 2015)

Urutan dalam analisis adalah :

(1) Pengumpulan data

Data dikumpulkan dari hasil WOD ( wawancara, observasi, dokumen ).

Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk

transkip ( catatan terstruktur ).

(2) Mereduksi data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data

51
subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic

kemudian dibandingkan nilai normal.

Penyajian data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun teks

naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas

dari klien.

(3) Kesimpulan

Dari data yang disajikan , kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku

kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data

yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,

tindakan, dan evaluasi.

3.8 Etik Penelitian

Apabila manusia dijadikan sebagai subjek penelitian, hak sebagai manusia

harus dilindungi ( Nursalam, 2008 ). Sebelum dilakukan pengumpulan data,

peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin yang disertai proposal

penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti mulai melakukan observasi,

peneliti ini menekankan masalah etik sebagai berikut :

3.8.1 Lembar Persetujuan Responden ( Informed Consent ).

Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian, setelah responden mengerti maksud dan tujuan penelitian, responden

atau keluarga yang bertanggung jawab yang menandatangani lembar persetujuan.

Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak klien.

52
3.8.2 Tanpa Percantuman Responden ( Anonimity )

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak aka

mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data ( observasi ) yang

diisi oleh subjek. Lembar hanya diberi nomer kode tertentu.

3.8.3 Kerahasiaan Data Responden ( Confidentiality )

Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh responden dijamin oleh

peneliti. Data hanya akan disajikan kepada kelompok tertentu yang berhubungan

dengan penelitian.

53
BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang keseluruhan hasil penelitian yang telah

dilakasanakan dan selanjutnya dibuat pembahasan sesuai dengan pendekatan

fakta- teori dan opini (FTO) dengan judul Asuhan Keperawatan Klien Ny. “H”

dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

yang telah dilaksanakan pada tanggal 09 Agustus 2017-10 Agustus 2017.

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 09-10 Agustus 2017 di Ruang

Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sampang yang beralamat Jl.

Rajawali No.10 Sampang. Di ruang Anggrek terdapat 1 ruang nurse stasion, 1

ruang kepla ruangan, 8 ruang rawat inap, 1 ruang perawat. Pada saat pengkajian

penelitian dilakukan di ruang anggrek dan melakukan tindakan selama 1 hari di

ruang anggrek.

1) Data umum

(1) Karakteristik Lokasi Penelitian

(a) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Sampang

(b) Luas Wilayah

Luas tanah 1524 m dan luas bangunan 617 m

(c) Batas- batas Wilayah

54
Batas wilayah daerah RSUD Kabupaten Sampang.

Sebelah utara : Kantor PMI

Sebelah selatan : Kantor Pemadam K ebakaran

Sebelah Barat : Rumah Warga

Sebelah Timur : Jalan Raya

(2) Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini dilakukan pada pasien Gastritissebanyak 1

orang di ruang anggrek rumah sakit umum daerah kabupaten

sampang yang telah dilakukan penelitian pada tangga09-10

Agustus 2017.

4.1.2 Pengkajian

Fokus pada pengkajian ini adalah : identitas klien, keluhan utama, riwayat

penyakit ( sekarang, dahulu dan keluarga ) dan genogram seperti yang dibawah

ini:

1) Identitas klien

Tabel 4.1 identitas klien Ny. “H” dengan gastritis dengan Nyeri di ruang

Anggrek RSUD Kabupaten Sampang.

IDENTITAS KLIEN KLIEN

Nama Ny. “H”

Umur 5I tahun

Agama Islam

Alamat Kedungdung

Pendidikan SD

Pekerjaan -

Status perkawinan -

55
Diagnosa Medis GASTRITIS

Tanggal MRS 09 Agustus 2017

Tanggal pengkajian 10 Agustus 2017

Sumber: Data primer dan Data wawancara pada tangal 11 Maret 2017.

2) Identitas Penanggung Jawab

Tabel 4.2 Identitas penanggung jawab Klien Ny. “H” dengan

Gastritisdengan nyeri di ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

IDENTITAS KLIEN KLIEN

Nama Ny. “U”

Umur 37 tahun

Agama Islam

Alamat Kedungdung

Pendidikan SD

Pekerjaan Swasta

Status perkawinan -

Hubungan dengan Klien Anak

Sumber: Data primer dan Data wawancara pada tangal 08 Agustus 2017.

3) Riwayat Penyakit

Tabel 4.3 Riwayat Penyakit Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di

Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

RIWAYAT PENYAKIT KLIEN

Keluhan Utama Klien mengalami nyeri pada ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang Sebelum masuk RS Klien sudah

mengalami nyeri pada ulu hati, sakit

yang di rasakan klien kurang lebih 3 hari

yang lalu hanya di lakukan perawatan di

56
rumah dan di berikan obat yang di beli di

warung setelah beberapa hari belum

sembuh juga akhirnya pihak keluarga

membawa klien ke RSUD Sampang,

kemudian di IGD di lakukan pemeriksan

oleh dokter dan di diagnosa Gastritis.

Kemudian di pindah ke Ruang Anggrek

pada jam 09.00.tangal 08 Agustus 2017

untuk di rawa inap.

Riwayat Penyakit Dahulu Klien mengatakan tidak mempunyai

penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat Keluarga Pasien tidak mempunyai penyakit

keturunan seperti Hipertensi , Diabetus

Miletus.

Riwayat Psikologis Klien tidak mempunyai kelainan atau

gangguan jiwa, perepsi klien terhadap

penyakitnya khwatir terhadap

keadaannya.

Riwayat Sosial Klien sangat mudah berinteraksi dengan

mudah dan orang-orang di sekitarnya.

Riwayat spiritual Pada saat di rumah klien melaksanakan

ibadah shalt lima waktu, akan tetapi

selamadi rumah sakit klien tidak bisa

melaksanakan shalat karena keadaan

yang lemah.

Sumber: Data primer dan Data wawancara pada tangal 08 Agustus 2017.

57
4) Pemeriksaan Fisik

Tabel 4.4 Pemeriksaan Fisik Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di

Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang.

OBSERVASI KLIEN

Keluhan Umum Lemah

Tekanan Darah 100/60 mmHg

Nadi 90x/menit

Pernafasan 20x/menit

Suhu 37,5C

Kesadaran Compos Mentis

GCS 4:eye spontan

5:verbal orientasi baik

6:motorik mengikuti perintah

Pemeriksaan Fisik

1) Pemeriksaan Kepala dan Leher

a) Inspeksi Bentuk simetris antara kanan dan kiri,

tidak ada kelanan, warna rambut hitam,

kulit kepala kotor, rambut

bergelombambang dan lembab , tidak lesi

dan benjolan.

Tidak ada pembesaran tiroid.

b) Palpasi Tidak ada nyeri tekan,

2) Pemeriksaan mata dan penglihatan

a) Inspeksi Konjungtiva merah muda,Sklera putih,

Kornea hitam transparan, Pupil isokor,

Tekanan bola mata simetris antara kanan

dan kiri

b) Palpasi Tidak ada nyeri tekan

58
3) Pemeriksaan Hidung dan Sinus

a) Inspeksi Keadaan bersih, bentuk hidung simetris,

tidak ada lesi, tidak ada kelainan, cupimh

hidung tidak kembang kempis, tidak ada

epitaksis.

b) Palpasi Saat di palpasi tidak ada nyeri tekan.

4) Pemeriksaan Telinga

a) Inspeksi Autikula simetris antara kanan dan kiri,

tidka ada lesi, tidak ada ceerumen yang

keluar, tidak menggunakan alat bantu

pendengaran, lubang telinga kotor,pinna

tampak bersih dan membran timpani

(putih kebiruan) normal.

b) Palpasi Tidak ada benjolan dan nyeri tekan.

5) Pemeriksaan Mulut dan gigi

a) Inspeksi Mukosa bibir kering, ada lesi, gigi kotor,

tidak menngunakan gigi palsu, lidah

kotor , gusi normal

6) Pemeriksaan Thorax dan paru

a) Inspeksi Tidak ada penarika Intecostae, bentuk

dda simetris, pernafasan teratur.

b) Auskultasi Bunyi nafas Vesikuler

c) Palpasi Vokal premirus kanan dan kiri teraba

simetris

d) Perkusi Sonor

7) Pemeriksaan Jantung

a) Inspeksi Letus cordis tidak tampak

b) Auskultasi Letus cordis teraba padaICS 4-5

c) Palpasi Pekat

59
d) Perkusi S1 dug tunggal tidak ada suara tambah
t
t seperti Mur- Mur
u
S2 dug

8) Pemeriksan Abdomen

a) Inspeksi Perut membuncit

b) Auskultasi Adanya penurunan bising usus 6x/ Menit

c) Palpasi Adanya nyeri tekan ulu hati

d) Perkusi Tymphani

9) Pemeriksaan Integumen

a) Inspeksi Kulit Lembab, tidak besisik, warna kulit

sawo matang

b) Palpasi Turgor kulit baila, tekstur kulit elastis

Tidak terapsang kateter

10) Pemeriksaan Genitalia

11) Pemeriksaan Ekstrimitas

a) Atas Kekuatan otot 4( mampu menahan

tekanan ringan)

b) Bawah Kekuatan otot 4 ( mampu menahan

tekanan ringan) tidak ada edema 4/4 ,

tidak ada atrofi, tidak ada deformitas.

Sumber: Data primer dan Data wawancara pada tangal 08 Agustus 2017

60
5) Hasil Pemeriksaan Diasnostik

Tabel 4.5 Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang Anggrek

RSUD Kabupaten Sampang.

PEMERIKSAAN KLIEN

Lab:

Pemeriksaan Darah Gula Darah 155mg/dl  150mg/dl

Hemoglobin 11,8g/dl 13,5g/dl

Leukosit 44,100/cmm 4.500-11000/cmm

Hematokrit 33,4 40-54

Trombosit 586.000/cmm 150-450.000/cmm

Sumber:Data sekunder dan menyalin pada tangal 08 Agustus 2017.

6) Terapi Obat

Tabel 4.6 Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang Anggrek

RSUD Kabupaten Sampang.

OBAT DOSIS

Infus RL 20Tpm 1.500 mL

Injeksi Ranitidine 250ml/1ml

61
4.1.3 Analisa Data

Pada sub bab ini akan mengarah pada proses pengumpulan data senjang dan

terkait antara data untuk menunjang penentuan masalah keperawatan.

Tabel 4.7 Analisa Data Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang

Anggrek RSUD Kabupaten Sampang.

ANALISA DATA ETIOLOGI MASALAH

DS: Inflamasi Nyeri Akut


Klien mengatakan nyeri pada ulu

hati

DO:

1) P; Klien mengatakan

nyeri saat bergerak

2) Q; Nyeri seperti di tusuk-

tusuk

3) R; Nyeri di bagian ulu

hati menjalar ke jantung

4) S; Skala nyeri 6

5) T; Nyeri timbul sewaktu-

waktu

6) Klien terlihat meringis

7) Klien memegangi area

nyeri

8) TTV

TD:100/60Mmhg

N : 90x/Menit

RR:20x/Menit

S:37,5C

62
4.1.4 Diagnosa Keperawatan

Tabel 4.8 Analisa Data Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang

Anggrek RSUD Kabupaten Sampang.

ANALISA DATA PROBLEM EETIOLOGI

Data Subjektif Nyeri Akut Inflamasi


Klien mengatakan nyeri pada ulu

hati

Data Objektif

1) P; Klien mengatakan

nyeri saat bergerak

2) Q; Nyeri seperti di tusuk-

tusuk

3) R; Nyeri di bagian ulu

hati menjalar ke jantung

4) S; Skala nyeri 6

5) T; Nyeri timbul sewaktu-

waktu

6) Klien terlihat meringis

7) Klien mengantuk

8) TTV

TD:100/60Mmhg

N : 90x/Menit

RR:20x/Menit

S:37,5C

63
4.1.5 Intervensi

Tabel 4.9 Intervensi pada Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di Ruang

Anggrek RSUD Kabupaten Sampang.

DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN

(Tujuan,Kriteria hasil)

Nyeri berhubungan MANDIRI

dengan inflamasi 1) Bina hubungan


1) Agar pasien tau
Tujuan saling percaya
bagaimana proses
Setelah dilakukan jelaskan proses
perjalanan
Asuhan penyakit pada klien

keperawatan 2) Observasi TTV penyakit

selama1x24 jam 3) Kaji skala nyeri, sehingga pasien


diharapkan nyeri lakukan pengkajian
dapat mengerti
yang dialami secara
tentang
berkuran/hilang kmprehansif,termas
keadannya.
Dengan kriteria hasil uk lokasi,

1) P; Klien tidak karakteristi, 2) Untuk

nyeri saat frekuensi, kwalitas mengetahui


bergerak 4) Berikan teknik
perkembangan
2) Q; Nyeri sudah relaksasi otot
tubuh pasien
hilang progresif dengan
3) Untuk
3) R; Nyeri di cara berikan

bagian ulu hati distraksi dengan mengetahui

menjalar ke cara mengalihkan intensitas skala


jantung sudha perhatian mengajak
nyeri
hilang klien berbicara
4) Dengan relaksasi
4) S; Skala nyeri 6 5) Kolaborasi dengan

64
berkurang 2 Dokter/ Tim medis otot progresif dan
5) T; Nyeri tidak lainanya dalam
distraksi
timbul sewaktu- melakukan
membaca dapat
waktu tindakan terapi
membantu
6) Klien tidak injeksi dalam

meringis pemberian obat- mengurangi nyeri

7) Klien tidak obatan dan pasien


mengantuk RANITIDINE
merasa lebih
wanidm 500mg
relex
8) TTVdalam
5) Obat dapat
batas normal

mengurangi

Nyeri

4.1.6 Implementasi

Tabel 4.10 Implementasi pada Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di

Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

Diagnosa kepeawatan 19 Agustus 2017

Nyeri Akut b/d inflamasi Implementasi

Jam Tindakan

65
09.30 1) Menjelaskan proses penyakit

kepada pasien dan keluarganya

10.00 2) Mengobservasi TTV

i. TD:100/60

ii. N :90x

iii. RR :20x

iv. S: 37,5C

12.00 3) Mengurangi skala nyeri pada

pasien yang dialaminya

4) Memberikan teknik relaksasi otot

12.30 progresif dengan dan teknik

distraksi dengan mengalihkan

pasien berbicara

13.00 5) Memberikan terapi Ranitidine

250ml/1ml

4.1.7 Evaluasi

Penyajian data tentang pelaksanaan dan memuat informasi/catatan

terintegrasi disesuaikan dengan waktu tindakan

Tabel 4.10 Implementasi pada Ny. “H” dengan Gastritis dengan nyeri di

Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

EVALUASI HARI 1TANGGAL19 Agustus 2017

(JAM 09.30 WIB )

Nyeri Akut b/d inflamasi S : Pasien mengatakan nyeri pada ulu haati

O : Pasien mengatakan nyeri saat bergerak

 Nyeri seperti di tusuk- tusuk

 Nyeri hanya di rasakan di ulu hati

66
 Skala nyeri 6

 Nyeri timbul sewaktu- waktu

 Klien tampak meringis

 Klien selalu memegangi area nyeri

TTV

 TD :100/60Mmhg

 N :90x/ Menit

 RR :20x/Menit

 S :37,1C

A: Masalah belum teratasi

P : lanjut Intervensi ( 2,3,4,)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengkajian

Ny. H dengan usia 51 tahun, pasien mengatakan nyeri pada ulu hati kurang

lebh 3 hari, saat pengkajian pada tanggal 08 Agustus 2017 jam 09.30 P; Klien

mengatakan nyeri saat bergerakQ; Nyeri seperti di tusuk-tusukR; Nyeri di bagian

ulu hati menjalar ke jantungS; Skala nyeri 6T; Nyeri timbul sewaktu-waktu, Klien

terlihat meringis, Klien memegangi area nyeriTTV :TD:100/60Mmhg.

N :90x/Menit RR:20x/Menit S:37,5C.

Hal terseut sesuai dengan teori gejala gastritis yaitu selain nyeridi daerah ulu

hati adalah mual, muntah, lemas, kembung, terasa sesak, nafsu makan menurun,

wajah pucat, suhu badan naik, keluar keringat dingin, pusing,selalu bersendawa

dan pada kondisi yang lebih parah, bisa muntah darah(Wijoyo, 2009), dan teori

Manifestasi klinis pada psien dengan gastritis menurut Robbins (2009. Hal474)

67
Gastritis akut : gambaran klinisnya gastritis akut berkisar dari keadaan

asimtomatik, nyeri abdomen yang ringan hingga nyeri abdomen akut, gastritis

kronis biasanya asimtomatik, kendati gejala nausea, vomitus atau keluhan tidak

nyaman pada abdomen atas dapat terjadi; kadang kadang, ditemukan anemia

pernisiosa yang manifest.

Menurut penelitian pada seseorang yang mengalami gastritis yang menjadi

tanda dan gejala utama yaitu nyeri pada daerah abdomen bagian atas, dan mual

muntah. Sesuai dengan fakta yang di temukan peneliti dengan kesenjangan dari

teori yang telah di paparkan oleh peneliti.

4.2.2 Diagnosa yang muncul pada saat penelitian

Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi. Diagnosa ini

muncul pada pasien yaitu nyeri. Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa

pasien mengalami nyeri abdomen pada bagian atas. Data subjektif menunjukkan

pasien mengatakan nyeri pada ulu hati kurang lebh 3 hari. Data ojektif yaituP;

Klien mengatakan nyeri saat bergerakQ; Nyeri seperti di tusuk-tusukR; Nyeri di

bagian ulu hati menjalar ke jantungS; Skala nyeri 6T; Nyeri timbul sewaktu-

waktu, Klien terlihat meringis, Klien memegangi area nyeriTTV

:TD:100/60Mmhg. N :90x/Menit RR:20x/Menit S:37,5C.

Nyeri merupakan perasaan tubuh atau bagian tubuh seseorang yang

menimbulkan respon tidak menyenangkan dan nyeri dapat memberikan suatu

pengalaman alam rasa (The International Association for the Study Of Pain

(2011)).Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut,

kronik difus, atau lokal dengan karakteristik anoreksia, rasa penuh, tidak enak

pada epigastrium, mual dan muntah(Suratun 2010.Hal 59).

68
Menurut peneliti nyeri yang di alami pasien akibat dari inflamasi pada

lambung serta pada orang-orang yang memiliki pola makan tidak teratur dan

memakan makanan yangmerangsang produksi asam lambung. Hal in ditunjukkan

dengan hasil wawancara antara peneliti dan pasien: peneliti “kenapa ibu dibawa

ke rumah sakit?” pasien “ merasa nyeri pada ulu hati dan sakit saat bergerak”

peneliti “ seperti apa rasa yang timbul nyeri? Pasien “ seperti di tusuk tusuk”

kemudian ditunjukkan juga dengan hasil pasien memegangi area yang nyeri.

4.2.3 Intervensi

Rencana dalam penelitian in adalah observasi tanda-tanda vital mulai dari

tekanan darah, suhu, nadi dan RR, selanjutnya kaji skala nyeri lakukan pengkajian

secara komprehansif,termasuk lokasi, karakteristi, frekuensi, kwalitas, dan

Berikan teknik relaksasi otot progresif dan berikan distraksi dengan cara

mengalihkan perhatian mengajak klien berbicara (masase). Dan cek skala nyeri.

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi

karakteristik,durasi,frekuensi,kualitas dan faktor presipitasi. Observasi non herbal

dari ketidaknyamanan. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan. Kontrol lingkungan yang dapat mempngaruhi nyeri sperti suhu

lingkungan, pencahayaan dan kebisingan. Kurangin faktok prisipitasi nyeri. Kaji

tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. Berikan informasi tentang

nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi

ketidaknyamanan dari prosedur . monitor vital sign sebelum dan sesudah

pemberian analgesik pertama kali. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

Tingkat kan istirahat.

69
Menurut peneliti pada intervnsi yang sudah di rencanakan oleh peneliti

tidak jauh berbeda trutama pada diagnosa yang muncul. Hal ini disebabkan karena

pada perencanaan sudah tercantum intervensi yang sesuai dengan teori dengan

menambahkan intervensi yang sesuai dengan kasus nyata. Pada pelaksaannya

tidak semua intervensi yang di buat harus diterapkan pada kasus melaikan

disesuainkan dengan kondisi respon yang muncul dan fasilitas yang tersedia.

teknik relaksasi dengan cara melakukan otot progresif untuk mengalihkan nyeri

yang dialami oleh pasien.

4.2.4 Implementasi

Pada tahap pelaksanaan semua intervensi yang dilakukan peneliti adalah

membina hubungan saling percaya, mengobservasi tanda tanda vital mulai dari

tekanan darah, suhu, nadi, RR, mengkaji skala nyeri, lakukan pengkajian secara

komprehansif,termasuk lokasi, karakteristi, frekuensi, kwalitas, dan memberikan

teknik relaksasi otot progresif dan berikan distraksi dengan cara mengalihkan

perhatian mengajak klien berbicara (masase). Dan mengecek skala nyeri.

Implementasi adalah melakukan renacanakan tindakan untuk mengatasi

masalah pasien yang mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja

aktifitas sehari hari (haryanto,2007). Pada kegiatan implemintasi, perawat perlu

melakukan kontrak sebelum melakukan tindakan.

Implementasi yang dilakukan pada pasien Ny. H adalah memberikan

teknik relaksasi otot progresif dan berikan distraksi dengan cara mengalihkan

perhatian mengajak klien berbicara (masase). Pasien koopratif,menurut peneliti ini

dalam pelaksanaan ini dilakukan sesuai dengan kondisi dan respon yang muncul

dari klien dan disesuaikan dengan tingkat masalah serta pemenuhan dasar manusia

70
4.2.5 evaluasi

pada evaluasi keperaatan hari kedua masalah teratasi seagian dengan data

subjektif; pasien mengatakan nyeri pada ulu hati kurang lebh 3 hari, data objektif ;

P; Klien mengatakan nyeri saat bergerakQ; Nyeri seperti di tusuk-tusukR; Nyeri

di bagian ulu hati menjalar ke jantungS; Skala nyeri 6T; Nyeri timbul sewaktu-

waktu, Klien terlihat meringis, Klien memegangi area nyeriTTV

:TD:100/60Mmhg. N :90x/Menit RR:20x/Menit S:37,5C

Evaluasi merupakan kegiatan memandingkan antara hasil implimentasi

dengan kriteria dan standar yang telah di tetapkan untuk melihat keerasilannya.

Bila tidak berhasil,perlu di susun rencana keperaatan yang baru. Serta perlu di

perhatikan juga bahwah evaluasi perlu dilakukan beberapa kali dengan melibatkan

keluarga sehingga perlu di rencanakan waktu yang sesuai dengan kesediaan

keluarga.(suprajipno, 2010).

Menurut peneliti pemerian asuhan keperawatan relaksasi otot progresif

dapat mengurangi nyeri terbukti bahwa pada evaluasi hari kesatu pasien

mengatakan nyeri berkurang,pada hari kedua pasien mengatakan saat bergerak

nyeri berkurang.

71
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkantujuanhasilpenelitiandanpembahasan yang dilakukanpeneliti,

makadapatditarikkesimpulansebagaiberikut:

1. Pengkajian yang di dapatkanolehpenelitiadalahkeadaanumumlemah,

klienmengatakan nyeri saatbergerak, klienmerasakannyeriseperti di tusuk-

tusuk, nyeri dibagian ulu hati menjalar ke jantung, skalanyeriklien 6, nyeri

timbul sewaktu-waktu, pasien terlihat meringis, TTV TekananDarah:

110/60 Mmhg, Nadi: 90 x/m, Suhu: 37,5 °C, Respiration rate: 20 x/m.

2. Diagnose yang munculsaatpengkajian di dapatkan Nyeri Berhubungan

dengan Infeksi peradangan pada gastritis

3. Perencanaan yang dapat di lakukanpada Ny”H” dengan Diagnosa Medis

gastritis dengan Nyeri di Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang

yaitu dapat dilakukan tekhnik relaksasi otot progresif.

4. Implementasi dari Ny”H” dengan Diagnosa Medis gastritis dengan Nyeri

di Ruang Anggrek RSUD Kabupaten Sampang maka peneliti melakukan

tindakan keperawatan tekhnik relaksasi otot progresif. yang merupakan

salah satu tekhnik menejemen nyeri.

5. Evaluasi dari tindakan relaksasi otot progresif pada Ny”H” dengan

Diagnosa Medis gastiritis dengan Nyeri di Ruang Anggrek RSUD

Kabupaten Sampang yang di lakukan selama 3x24 jam di dapatkan klien

pada hari pertama skala nyeri klien berkurang yaitu skala nyeri 6 (nyeri

72
sedang), pada hari ke 2 di dapatkan skala nyeri 5 (nyeri sedang), dan pada

hari ke 3 di dapat kan skala nyeri 2 (nyeri ringan). Dapat di simpulkan

bahwa tindakan relaksasi otot progresif sangat efektif untuk mengurangi

nyeri pada klien yang mengalami gastritis terbukti pada hari ketiga skala

nyeri klien 2 (nyeri ringan), nyeri yang di alamiNy”H” berkurang.

5.2 Saran

5.2.1 BagiKeluargaKlien

Perlu di berikan pengetahuan tentang penanganan nyeri.Tiap keluarga

yang memiliki anggota keluarga yang mengalami nyeri dapat memberikan

motivasi kepada keluarga untuk memberikan dorongan penggunaan terapi

penanganan nyeri non farmakologi khususnya pada pengunaan tekhnik relaksasi

otot progresif .

5.2.2 BagiPeneliti

Dengan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan Masukan

bagi peneliti selanjutnya, dan perlu dikembangkan lagi dengan menerapkan semua

intervensi pada asuhan keperawatan klien dengan gastritis serta lebih pada

penanganan lanjutan terapi non farmakologi, tekhnik relaksasi otot progresif pada

klien pada klien yang mengalami nyeri sedang atau skala nyeri (4-6) sehingga

dapat memberikan tindakan mandiri kepada klien, tanpa menggunakan analgetik.

5.2.3 BagiInstitusiKesehatan

Diharapkan dapat memberikan informasi lebih lanjut dalam menerapkan

pemberian terapi tekhnik relaksasi otot progresif untuk menurunkan skala nyeri

non farmakoloogi, sehinngga dapat meningkatkan control nyeri pada klien,

73
sehingga klien dapat ditangani dengan baik dan dapat memberikan kenyamanan

kepada klien.

74
DAFTAR PUSTAKA

Afroh, F, Muhammad judha, sudarti (2012). Teori pengukuran nyeri dan

nyeri persalinan, yogyakarta: nuha medika

Arif, muttaqin. 2009. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem

kardiovaskuler dan hematologi. Salemba medika, jakarta.

Broker, Chris. 2009. Ensiklopedia Keperawatan.Alih bahasa Andry H dkk

editor

bahasa Indonesia Estu Tiar. Jakarta :EGC

Dermawan. D., & RAHAYU NINGSIH, T., (2010). Keperawatan medikal

bedah sistem pencernan, yogjakarta.: gosyen buplishing.

Herodes, 2010. Teknik relaksasi progresif terhadap insomnia pada lansia.

http://herodessolution,bloqstop.com/2010/11/teknik relaksasi

progresif terhadap html, diakses pada tanggal 20 januari 2014.

Herodes, R. (2010). Anxiety and Depression in Patient.

Hidayat, DKK, (2006). MIKRO biologi industri. Yogyakarta: c. V. Andi

offset.

Karwati, 2012. Hubungan frekuensi konsumsi makanan beresiko gastritis

dan stres dengan keadian gastritis pada wanita usia 20- 44 tahun

yang berobat di puskesmas cilembah tahnun 2015. Fakultas ilmu

kesehatan peminatan epidemiologi dan penyakit tropik. Universitas

siliwagi

75
Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and

Practice.

Edisi 7. Vol. 3. Jakarta : EGC

Saydam gouzali, (2011). Memahami berbagai penyakit (penyakit pernafasan

dan gangguan pencernaan). Bandung: Alfabeta

Suratun, Lusiana (2010). asuhan keperawatan klien dengan gangguan

sistemgastointestial, jakarta: trans info media

Smeltzer dan bare 2013. Buku ajar keperawatan medikal bedah bruner dan

suddarth edisi 8. jakarta: EGC

Snyder & lindquist. (2002). Complementary/alternatif therapies in nursing.

4thn edition. Now york: spinger publishing company, inc.

Tamsuri, Anas (2012). Konsep dan penatalaksanan nyeri, jakarta: EGS

Wijoyo, P. M. 2009. Ramuan Penyembuh Maag. Jakarta : Bee Media

Indonesia

76

Anda mungkin juga menyukai