Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benigna prostat hyperplasia (BPH) menjadi masalah global pada pria usia

lanjut. Insiden ini terjadi Pada usia 40 tahun sekitar 40% yang mengalami

Benigna prostat hyperplasia (BPH), usia 60-70 tahun meningkat menjadi 50%

dan usia lebih dari 70 tahun mencapai 90% yang mengalami Benigna prostat

hyperplasia (BPH) Diperkirakan sebanyak 60% pria usia lebih dari 80 tahun

mengalami gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract

sympstons (LUTS) (Sampekalo dkk, 2015). Benigna prostat hyperplasia (BPH)

merupakan pembesaran kelenjar dan jaringan seluler kelenjar prostat yang

berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan

(Suharyanto & madjid, 2013). Kelainan ini terjadi pada usia 40 tahun dan

frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan usia, sehingga pada

usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang menderita kelaininan

inisekitar 90% laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan

berupa pembesaran kelenjar prostat (Samidah & Romadhon, 2015).

Menurut WHO pada tahun 2012, diperkirakan bilangan penderita Benigna

prostat hyperplasia (BPH) adalah sebanyak 30 juta orang, bilangan hal ini hanya

dialami kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat (Samidah &

Romadhon,2015). Di Indonesia pada tahun 2013 kasus Benigna prostat

hyperplasia (BPH) berkisar 9,2 juta orang, diantaranya diderita pada pria berusia

di atas 60 tahun. Sedangkan yang terjadi Di Jawa Timur ±672.502 kasus Benigna

prostat hyperplasia (BPH) (Riskesdas, 2013).

1
2

Sejauh ini, faktor resiko yang diketahui terkait dengan terjadinya kanker

prostat adalah umur, ras dan riwayat kanker prostat dalam keluarga. Umumnya

kanker prostat mengenai pria dewasa tua dengan puncak pada umur 65-75 tahun.

Hasil otopsi dari berbagai negara menunjukkan sekitar 15-30% laki-laki berusia

50 tahun menderita kanker prostat secara samar dengan usia 80 tahun sebanyak

60-70% laki-laki memiliki gambaran patologi anatomi keganasan prostat (Solang

dkk,2016). Terjadinya Benigna prostat hyperplasia (BPH) sampai sekarang belum

diketahui secara pasti, namun faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi

terjadinya Benigna prostat hyperplasia (BPH). Beberapa faktor meyebutkan

bahwa hiperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan peningkatan

dehidrotestosteron, (DHT) peningkatan esterogen-testosteron, interaksi antar sel

stroma dan sel epitel prostat, berkurangnya kematian sel (Prabowo &

Pranata,2014).

Pembesaran kalenjar prostat dapat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan tekanan

intravesikel untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih

kuat guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus-menerus menyebabkan

perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertropi otot destrussor, trabekulasi,

terbentuknya selulosa, sakula dan divertikuli buli. Perubahan struktur pada buli-

buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau

lower urinary track symptom (LUTS) yang dulu dikenal dengan gejala

prostatismus tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran

balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Jika keadaan
3

ini berlangsung terus dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, dan gagal

ginjal (Sjamsuhidajat & Jong,2013).

Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu metode manajemen nyeri

non farmakologi dalam strategi penanggulangan nyeri, disamping metode

Transcutaneons Electric Nerve Stimulation (TENS), biofeedack, plasebo dan

distraksi Manajemen nyeri dengan melakukan teknik relaksasi otot progresif

merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi respon internal individu

terhadap nyeri. Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup latihan

pernafasan diafragma, teknik relaksasi progresif, guided imagery, dan meditasi,

beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif

dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Brunner & Suddart,2012).

Dari hasil penelitian Sandi Andika (2015) yang dilakukan di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung menunjukkan intensitas nyeri sebelum

diberikan relaksasi progresif adalah 5.20 dengan standar deviasi 0.834 yang

termasuk dalam katagori nyeri sedang, sedangkan setelah diberikan relaksasi

otot progresif adalah 3.60 dengan standar deviasi 0.681 yang termasuk dalam

katagori nyeri ringan, menunjukan bahwa relaksasi otot progresif efektif dalam

menurunkan nyeri pasca operasi, ini mungkin karena relatif kecilnya peran otot-

otot skeletal dalam nyeri pasca-operatif untuk melakukan teknik relaksasi otot

progresif agar lebih efektif. Teknik relaksasi otot progresif dapat digunakan saat

individu dalam keadaan sehat atau sakit Teknik relaksasi otot progresif

merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam menurunkan nyeri pada

pasien pasca bedah, Relaksasi otot progresif pada seluruh tubuh memakan waktu

sekitar 15-30 menit pasien memberi perhatian pada tubuh, memperlihatkan


4

ketegangan daerah yang tegang digantikan dengan rasa hangat dan relaksasi

latihan relaksasi progresif mengikuti kombinasi latihan pernafasan yang

terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot (Potter &

Perry,2012).

1.2 Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini hanya Asuhan Keperawatan pada

pasien yang mengalami Benigna prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah

keperawatan Nyeri di Ruang Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten

Sampang.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada pasien yang mengalami

Benigna prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien yang mengalami

Benigna prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad

Zyn Kabupaten Sampang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1) Melakukan pengkajian pada pasien yang mengalami Benigna prostat

hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang Melati

RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.


5

2) Menerapkan diagnosa keperawatan pada pasien yang mengalami Benigna

prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.

3) Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien yang mengalami Benigna

prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.

4) Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien yang mengalami Benigna

prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.

5) Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien yang mengalami Benigna

prostat hyperplasia (BPH) dengan masalah keperawatan Nyeri di Ruang

Melati RSUD dr. Mohammad Zyn Kabupaten Sampang.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan proses

asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa keperawatan nyeri.

1.5.2 Manfaat Praktis

1) Bagi Perawat

Sebagai bahan masukan dan informasi untuk menambah pengetahuan

(kognitif), keterampilan (skill) dan sikap (attitude) bagi institusi terkait

khususnya didalam meningkatkan pelayanan perawatan pada klien dengan

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH).


6

2) Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Rumah Sakit dalam

meningkatkan mutu tentang Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dengan

masalah keperawatan nyeri dan memberi penanganan berdasarkan proses

asuhan keperawatan dan juga sebagai pembelajaran dan tambahan ilmu.

3) Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka

meningkatkan mutu pendidikan keperawatan di masa yang akan datang dan

sebagai tambahan kepustakaan di Akademi Keperawatan Nazhatut Thullab.

4) Bagi pasien dan Keluarga

Pasien dan keluarga diharapkan dapat menerapkan tehnik relaksasi progresif

setelah pulang dari Rumah Sakit ketika pasien merasa nyeri.


7

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Definisi

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari

kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan

berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinalis (Padilla,2012).

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari

kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obsrtuksi dan ritriksi pada jalan urine

(urethra) (Clevo RM & Margareth TH, 2012).

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan

jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin

berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis kapsula

dengan berat kira-kira 20 gram, berada di sekliling uretra dan di bawah leher

kandung kemih pada pria. Bila terjadi pembesaran lobus bagian tengah kelenjar

prostat akan menekan dan uretra akan menyempit (Suharyanto T & Madjid,2013).

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering

terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat (Yuliana

Elin, 2011)

Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Benigna

Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi dimana system perkemihan

mengalami gangguan yang disebabkan oleh terjadinya pertumbuhan kelenjar

prostat yang mengelilingi saluran kemih pada pria usia di atas 50 tahun yang

mengakibatkan kurang lancarnya berkemih.


8

2.1.2 Anatomi Dan Fisiologi

1) Anatomi perkemihan

Gambar 2.1 Anatomi perkemihan

a) Ginjal

Ginjal adalah organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperiotoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi

cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis,

yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat

ginjal, yakni pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem saraf. Besar dan berat

ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada

tidaknya pada sisi yang lain. ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm

(Panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal), dengan beratnya bervariasi antara

120-170 gram,atau kurang lebih 0,4% dari berat badan. Ginjal dibungkus oleh

jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa (true capsule)

ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal (Purnomo,2014). Fungsi ginjal adalah

untuk membantu mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal antara

lain: pengaturan keseimbangan air dan elektrolit di tubuh, pengaturan

keseimbangan asam basa tubuh, pengaturan volume plasma, mengeluarkan


9

(mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh,

mengeluarkan banyak senyawa asing, meghasilkan eritropoietin dan rennin

(Sherwood, 2009).

b) Ureter

Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Setiap ureter

pada orang dewasa memiliki panjang kurang lebih 20 cm, memiliki dinding

yang terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos

sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltic

(berkontraksi) untuk mengeluarkan urin ke kandung kemih (Muttaqin & Sari,

2014).

c) Kandung Kemih

Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas tiga lapis otot

destrusor yang saling beranyaman. Dinding kandung kemih terdapat dua bagian

besar yakni ruangan yang berdinding otot polos yang terdiri dar i badan (korpus)

yang merupakan bagian utama dimana urin berkumpul dan leher (kolum) yang

merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong. Kandung kemih berfungsi

menampung urin dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra

dalam mekanisme miksi (berkemih). Kandung kemih mempunyai kapasitas

maksimal dalam menampung urin, dimana pada orang dewasa besarnya adalah ±

300-450 ml. Kadung kemih pada saat kosong terletak di belakang simfisis pubis

dan pada saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat di palpasi dan

diperkusi (Muttaqin & Sari, 2014).


10

d) Uretra

Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari kandung

kemih melalui proses miksi. Uretra secara anatomi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu

uretra posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra

interna yang terletak pada perbatasan kandung kemih dan uretra, serta s fingter

uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.

Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem

simpatetik sehingga pada saat kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter

uretra eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik.

Panjang uretra pada pria dewasa antara 23-25 cm yang berfungsi sebagai saluran

reproduksi sedangkan panjang uretra pada wanita antara 3-5 cm. Perbedaan

panjang inilah yang memyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urin lebih

sering terjadi pada pria (Purnomo, 2014).

2) Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

a. Perubahan Organ karena Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

Gambar 2.2 Perubahan Organ Karena Benigna Prostat Hyperplasia (BPH).


11

b. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

Gambar 2.3 Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

c. Perubahan peningkatan terjadi dengan Derajat Benigna Prostat

Hyperplasia (BPH)

Gambar 2.4 Perubahan peningkatan terjadi dengan Derajat

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH).


12

d. Obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu lewati prostat

Gambar 2.5 Obstruksi saluran kemih karena urin tidak

mampu lewati prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga

perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal

setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah

prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul

sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi.

Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi

urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran

kemih atas (Basuki B Purnomo,2008).

Menurut Basuki B Purnomo (2008) patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu:

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah

gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema

yang terjadi pada prostat yang membesar

2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor

membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.


13

3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat

mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa

belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam

buli-buli.

4. Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan

yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.

5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari nokturia karena hambatan normal

dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.

6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat

miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor

sehingga terjadi kontraksi involunter,

7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya

penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli

mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik

melebihi tekanan spingter.

8. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah

submukosa pada prostat yang membesar.

9. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra

prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi

urin. Akibatnya terjadi hidroureter (dilatasi ureter) dan hidronefrosis (ginjal)

secara bertahap, serta gagal ginjal.

10. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin

tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk

organisme infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu
14

endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan

bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis

2.1.3 Etiologi

Penyebab Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) belum diketahui secara

pasti, tetapi dapat dikaitkan dengan keberadaan hormonal yaitu hormon laki-laki

(androgen yaitu testosteron). Diketahui bahwa hormon estrogen juga ikut

berperan sebgai penyebab Benigna Prostat Hyperplasia (BPH). Hal ini,

didasarkkan pada fakta bahwa BPH terjadi ketika seorang laki-laki kadar hormon

estrogen meningkat dan kadar hormon testosteron menurun, dan ketika jaringan

prostat menjadi lebih sensiti terhadap estrogen serta kurang responsive terhadap :

dihidrotestosterone (DHT), yang merupakan testosterone eksogen (Suharyanto T

& Madjid A, 2013).

Mulai ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin

bertambah sesuai dengan betambahya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-

kira 80% mendertita kelainan ini. Sebagai etiologi sekarang dianggap ketidak

seimbangan endokrin,testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat,

sedangkan estrogen (Dibuat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah

prostat (Clevo RM & Margareth TH, 2012)


15

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)

1) Derajat rectal

Menurut Kristiyanasari dan Jitowiyono (2012) Derajat rectal dipergunakan

sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat kea rah rectum. Rectal

toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsisten elastic, dapat di

gerakkan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal

toucher pada hipertropi pristat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih

dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram. Ukuran dari pembesaran kelenjar

prostat dapat menentukan drajat rectal yaitu sebagai berikut :

a. Derajat 0 : ukuran pembesran prostat 0-1 cm

b. Derajat 1: Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm

c. Derajat 2 : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm

d. Derajat 3 : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm

e. Derajat 4 : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan

rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat

terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis.

Pada derajat ini klien mengeluh jika Buang Air Kecil (BAK) tidak sampai

tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat Buang Air Kecil

(BAK), nocturia tetapi belum ada sisa urin.

2) Derajat klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urin yang terjadi. Klien disuruh

Buang Air Kecil (BAK) sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan
16

kateterisasi. Urin yang keluar dari kateter disebut sisa urin atau residual urin.

Residual urin dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :

a. Normal sisa urin adalah 0

b. Derajat 1 sisa urin 0-50 ml

c. Derajat 2 sisa urin 50-100 ml

d. Derajat 3 sisa urin 100-150 ml

e. Derajat 4 telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat Buang Air Kecil

(BAK) sama sekali.

3) Derajat intra vesikal

Derajat ini dapat di tentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau

cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti

telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada

stadium ini adalah sisa urin sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi

infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan

nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan

trabekulasi bertambah.

4) Derajat intra uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan penendoscopy untuk

melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra.

Pada stadium ini telah terjadi retensio urin total.

2.1.5 Patofisiologi

Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat

erat dengan dengan dihidrotestosterone (DHT). Hormon ini merupakan hormon

yang memacu pertumbuhan prostat sebagai kelenjar ejakulat yang nantinya akan
17

mengoptimalkan fungsinya. Hormon ini di sintesis dalam kelenjar prostat dari

hormon testosterone dalam darah. Selain dihidrotestosterone (DHT) yang sebagai

precursor, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap pembesaran kelenjar prostat

(Prabowo E & Pranata AE, 2014).

Dengan pembesaran yang sudah melebihi normal, maka akan terjadi

desakan pada taraktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius

jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi

yang kuat. Detrusor mampu mengeluarkan urine secara spontan. Namun,

obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari m detrusor untuk

berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih. Benigna

Prostate Hyperplasia (BPH) terjadi pada umur yang semakin tua (>45 tahun)

dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini

menyebabkan ketidak seimbangan hormon testosterone dan dehidrotesteosterone

sehingga mamacu pertumbuhan pembesaran prostat (Prabowo E & Pranata AE,

2014).

Tonjolan ini dapat menekan urethra dari lateral sehingga lumen urethra

meyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu

merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen urethra (Clevo

RM & Margareth TH, 2012).

Beratnya tonjolan ini dapat mencapai 60-100 gram dan kadang-kadang

lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih.Tonjolan biasanya terdapat pada lobus

lateralis dan lobus medius, tetapi tidak dapat mengenai bagian posterior dari lobus

medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering

merupakan tempat berkembangya karsinoma (Clevo RM & Margareth TH,2012).


18

2.1.6 WOC
19

2.1.7 Manifestasi Klinis

Menurut Williams & Wilkins (2011) manifestasi klinis yang timbul dari

Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) dibedakan menjadi 2, yaitu: gejala iritatif

dan gejala obstruktif.

1) Gejala iritatif

Gejala iritatif meliputi seringnya miksi (frekuensi miksi meningkat), nokturia,

perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi

(disuria)

2) Gejala obstruktif

Gejala obstrukstif meliputi: pancaran yang melemah, rasa tidak puas setelah

miksi (terasa masih ada sisa urin), kalau miksi harus menunggu lama, harus

mengedan saat miksi, kencing terputus-putus, dan waktu miksi memanjang

yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinen.

Menurut Suharyanto T & Madjid. A (2013), gejala klinis yang timbul pada

pasien Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah:

1) Poliuria (seiring buang air kemih), Karena kandung kemih hanya mampu

mengeluarkan sedikit air kemih.

2) Aliran air kemih menjadi terhambat, karena terjadi penyempitan uretra.

3) Hematuria (air kemih mengandung darah), akibat kongesti basis kandung

kemih.

4) Retensi urin

5) Hidronefrosis dan kegagalan ginjal terjadi akibat tekanan balik melewati

ureter ke ginjal
20

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Prabowo E & Pranata AE (2014), yang

dilakukan untuk mengetahui apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau

maligna dan untuk memastikan tidak adanya penyakit penyerta lainya yaitu :

1) Urinalis dan kultur urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan red blood celI

(RBC) dalam urine yang memanifestasikan adanya perdarahan atau

Hematuria.

2) Deep Peritoneal Lavage (DPL)

Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal

dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa

jumlah sel darah merahnya.

3) Ureum, elektrolit dan serum kreatinin

Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data

pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari Benigna Prostate

Hyperplasia (BPH), karena osbtruksi yang berlangsung kronis seringkali

menimbulkan Hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal

dan pada akirnya menjadi gagal ginjal.

4) PA (Patologi Anatomi)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel

jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah

hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan menjadi landasan untuk

treatment selanjutnya.
21

5) Catatan harian berkemih

Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine sehingga akan terlihat

bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal untuk

membandigkan dengan pola eliminasi urine yang normal.

6) Uroflowmetri

Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urine. Pada

obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini

disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada truktus urinarius. Selain itu,

volume residu urine juga harus diukur. Normalnya residual urine < 100 ml.

Namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak

mampu mengeluarkan urine secara baik karena adanya obstruksi.

7) Ultrasonography (USG) Ginjal dan Vesika Urinaria

Ultrasonography (USG) Ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi

penyerta dari Benigna Prostate Hyperplasia (BPH), misalnya hidronefrosis

Sedangkan Ultrasonography (USG) pada vesika urinaria akan memperlihatka

gambaran pembesaran kelenjar prostat.

2.1.9 Komplikasi

Menurut Rudi Haryono (2013) komplikasi dari Benigna Prostate

Hyperplasia (BPH), adalah atherosclerosis infark jantung, haemoragik post

operasi, fistula, struktur pasca operasi dan inconentia urin, infeksi.


22

2.1.10 Penatalaksanaan

Menurut Padilla (2012) modalitas terapi Benigna Prostat Hyperplasia

(BPH) adalah:

1) Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada pasien setiap 3-6 bulan kemudian setiap tahun

tergantung keadaan pasien.

2) Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dengan

keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang

digunakan berasal dari: Phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, serenos

repens, dan lain-lain), gelombang alfa blocker dan gotongan supresor

androgen.

3) Pembedahan

Indikasi pembedahan pada Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah:

a) Pasien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.

b) Pasien dengan residual urin > 100 ml.

c) Pasien dengan penyulit.

d) Terapi medikamentosa tidak berhasil Flowmetri menunjukan pola

obstruktif.

Menurut Haryono R (2013). Penatalaksanaan pada pasien Benigna Prostat

Hyperplasia (BPH) adalah Terapi medikamnetosa.

a) Penghambatan drenergenik misalnya Prazosin, Dexazosin, Alfluzosin atau

a1a (tamsulosin).

b) Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride


23

c) Fisioterapi, misalnya eviprosat

d) Terapi bedah: waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung

beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah, yaitu :

i) Reteinsio urin lambung

ii) Hematuria

iii) Tanda penurunan fungsi ginjal

iv)Infeksi saluran kencing berulang

v) Tanda–tanda obstruksi berat yaitu divertikal, hidroureter, dan

hidronefrosis .

vi)Ada batu saluran kemih

Menurut Padilla (2012) Macam macam tindakan bedah pada pasien

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH):

1) Prostatektomi

Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yaitu:

a) Prostatektomi suprapubis

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen,

yaitu suatu insisi yang dibuat dalam kandung kemih dan kelenjar prostat

diangkat ke atas.

b) Prostatektomi perineal

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini

lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi

terbuka.
24

c) Prostatektomi retropubik

Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan supra pubik

dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu

antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

2) Insisi prostat Transuretral (TUIP)

Yaitu suatu prosedur menangani Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dengan

cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah kapsul prostat

untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontrinfeksi

saluran kemihi uretral.

3) Transuretral Reseksi Prostat (TURP)

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra

menggunakan resektroskop,dimana resektroskop merupakan endoskop dengan

tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat

pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.


25

2.2 KONSEP PROSES KEPERAWATAN

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian adalah pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien

secara sistematis, meliputi fisik, psikologi, sosiokultural, spiritual, kognitif,

kemampuan fungsional, perkembangan ekonomi dan gaya hidup. Pengkajian

mencakup data yang dikumpulkan melalui wawancara, pengumpulan riwayat

kesehatan, pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik, serta review catatan

sebelumnya (Carpenito cit Dian Husada, 2012). pengkajian pada pasien BPH

dimulai dari pengkajian umum hingga pengkajian yang spesifik (Wijaya & Putri,

2013).

1) Identitas Identitas

a) klien terdiri dari :Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan Terakhir,

Alamat, Pekerjaan, Asuransi kesehatan, Agama, Suku bangsa, Tanggal &

jam MRS, Nomer register, Serta diagnosa medis.

b) Identitas Penanggung jawab terdiri dari : nama, hubungan dengan klien,

pendidikan, pekerjaan dan alamat.

2) Riwayat kesehatan

a) Keluhan Utama

i) keluhan sistemik: antara lain gangguan fungsi ginjal (sesak nafas,

edema, malaise, pucat, dan eremia) atau demam disertai menggigil

akibat infeksi.

ii) keluhan lokal: pada saluran perkemihan antara lain nyeri akibat

kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi dan

keluhan obstruksi), hematuria, inkontenensia, disfungsi seksual,


26

iii) Keluhan nyeri: Nyeri prostat pada umumnya disebabkan karena


inflamasi yang mengakibatkan edema kelenjar prostat dan distensi

kapsul prostat. Lokasi nyeri akibat inflamasi ini sulit untuk ditentukan,

tetapi pada umumnya dapat dirasakan padda abdomen bawah, inguinal,

parineal, lumbosakral. Sering kali nyeri prostat diikuti dengan keluhan

miksi beruba frekuensi, disuria, bahkan retensi urine.

iv) Keluhan miksi: keluhan yang dirasakan oleh klien pada saat miksi
meliputi keluhan akibat suatu tanda adanya iritasi, obstruksi,

inkontenensia, dan enueresis. Keluhan akibat iritasi meliputi

polakisuria, urgensi, nokturia, dan disuria. Sedangkan keluhan

obstruksi meliputi hesistensi, harus mengejan saat miksi, pancaran

urine melemah, intermitensi, dan menetes serta masih terasa ada sisa

urine setelah miksi.

3) Riwayat Kesehatan Sekarang:

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama seperti

menanyakan tentang perjalanan sejak timbul keluhan hingga pasien meminta

pertolongan.

4) Riwayat Penyakit Dahulu:

Apakah klien pernah mengalami sakit sebelumnya yang tidak berhubungan

atau yang berhubungan dengan penyakit sekarang.

5) Riwayat Kesehatan Keluarga:

Apakah ada keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan pasien.
27

6) Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi: Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema,

pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang

lama, Penonjolan pada daerah supra pubik yang mengakibatkan retensi

urine. Perhatikan adanya benjolan/massa atau jaringan parut bekas

pembedahan di suprasimfisis.

2) Palpasi: Pemeriksaan Rectal Toucher (colok dubur) posisi pasien knee

chest Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkanpasien

ingin buang air kecil, Palpasi kandung kemih untuk menentukan batas

kandung kemih dan adanya nyeri tekan padaa area suprasimfisis dan

Pemeriksaan tanda-tanda vital

3) Perkusi: Pada daerah supra pubik apakah menghasilkan bunyi pekak yang

menunjukan distensi kandung kemih, apakah ada residual urine uretra,

dan untuk mengetahui adanya penyebab lain misalnya stenose meatus,

striktur uretra, batu uretra/femoisis

7) Pemeriksaan Eliminasi Urine

a) Pancaran miksi: adanya perubahan pada eliminasi urine seperti perubahan

pancaran menandakan gejala obstruksi. Ketidakmampuan eliminasi bisa

terjadi pada klien yang mengalami obstreuksi pada saluran kemih

b) Drainase kateter: melakukan drainase urine, meliputi: kelancaran, warna,

dan jumlah

8) Pola Fungsi Kesehatan

a) Kaji pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan: timbulnya perubahan

pemeliharaan kesehatan karena tirah baring


28

b) Kaji pola nutrisi dan metabolisme: paien yang dilakukan anastesi pasca

operasi tidak boleh makan atau minum sebelum flatus

c) Kaji pola eliminasi pada pasien dapat terjadi hematuri setelah pasca

operasi, retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter,

sedangkan inkotenesia dapat terjadi setelah kateter dilepas.

d) Kaji pola aktifitas dan latihan : adanya keterbatasan aktifitas karena

kondisi pasien yang yang terpasang kateter

e) Kaji pola istirahat dan tidur: rasa nyeri dan perubahan situasi karena

hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat

f) Kaji pola kognitif : mulai dari penglihatan, pendengaran, perabaan, dan

penciuman apakah mengalami mengalami gangguan atau tidak

g) Persepsi dan konsep diri : pasien dapat mengalami cemas karena kurang

pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi dari Benigna Prostat

Hyperplasia (BPH) pasca operasi.


29

2.2.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia

(status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana

perawat sacara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi

secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah,

dan mengubah (Nursallam, 2011). Adapun diagnosa keperawatan yang muncul

menurut (NANDA NIC-NOC, 2016).

1. Gangguan elminasi urine berhubungan dengan sumbatan saluran pengeluaran

pada saluran pada kandung kemih: Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)

2. Nyeri akut berhubungan dengan agent injuri fisik (spasme kandung kemih).

3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan sebagai efek sekunder

dari prosedur pembedahan.

4. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma efek samping pembedahan.

5. Retensi urine

6. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan pembedahan.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan dapat diartikan sebagai suatu dokumen tulisan

tangan dalam menyelsaikan masalah, tujuan, dan intervensi keperawatan.

Perawatan pasien yang mengalami gangguan eliminasi urine prosedure diagnostik

sering dilakukan dalam lingkungan perawatan unit tindakan yang ringan. Karena

itu, pendidikan pasien serta keluarga dan pemantauan perawat sangat diperlukan

(Nursalam, 2011).
30

Table 2.1 Intervensi Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)

No. Diagnose kriteria hasil Intervensi


Keperawatan
1. 2. 3. 4.

1. Gangguan eliminasi NOC : NIC :


urine Defenisi: Disfungsi 1. Urinary elimination Urinary Retention
pada eliminasi urine. 2. Urinary contiunence Care
Batasan Karakteristik : Kriteriahasil : 1. Lakukan
1. Disuria. 1. Kandung kemih kosong secara penuh penilaian kemih
2. Sering berkemih. 2. Tidak ada residu urine > 100-200 cc yang
3. Anyang-anyangan. 3. Intake cairan dalam rentang normal komprehensif
4. Inkontinensia. 4. Bebas dari infeksi saluran kemih berfokus pada
5. Nokturia. 5. Tidak ada spasme bladder inkontinensia
6. Retensis. 6. Balance cairan seimbang (misanya, output
7. Dorongan. urin, pola
Faktor yang berhubungan berkemih, fungsi
8. Obstruksi anatomic kognitif, dan
9. Penyebab multiple masalah kencing
10. Gangguan sensori preaksisten)
motorik 2. Memantau
11. Infeksi saluran kemih penggunaan obat
dengan sifat
antikolinergik
atau properti
alpha agonis
3. Anjurkan
pasien/keluarga
untuk mencatat
outpun urine
4. Instruksikan
cara-cara untuk
menghindari
konstipasi atau
impaksi tinja.
5. Memantau
asupan dan
keluaran
6. Memantau
tingkat distensi
kandunng kemih
dengan palpasi
dan perkusi.
31

2. Nyeri akut NOC : NIC :


Defenisi: pengalaman 1. Pain level Paint Management
sensori dan emosional 2. Pain control 1. Lakukan
yang tidak menyenangkan 3. Comfort level pengkajian
yang muncul akibat
4. KriteriaHasil nyeri secara
kerusakan jaringan yang 1) Mampu mengontrol nyeri (tahu komprehensif
aktual atau potensial atau penyebab nyeri, mampu termasuk
digambarkan dalamhal menggunakan teknik Non lokasi,
kerusakan se demikian farmakologik untuk mengurangi karakteristik,
rupa (International nyeri, mencari bantuan) durasi,
Association for the study 2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang frekuensi,
of Pain) awitan yang tiba- dengan menggunakan manajemen kualitas dan
tiba atau lambat dari nyeri faktor
intensitas ringan hingga 3) Mampu mengenali nyeri (skala, presipitasi.
berat dengan akhir yang intensitas, frekuensi dan tanda 2. Observasi
dapat diantisipasi atau nyeri) reaksi non
diprediksi dan ber 4) Menyatakan rasa nyaman setelah verbal dari
langsung <6 bulan. nyeri berkurang. ketidaknyaman
Batasan karakteristik : an.
1. Perubahan selera 3. Gunakan
makan teknik
2. Perubahan tekanan komunikasi
darah terapeutik
3. Perubahan frekuensi untuk
Jantung mengetahui
4. Perubahan frekuensi pengalaman
Pernapasan nyeri pasien.
5. Laporanisyarat 4. Kaji kultur
6. Diaforesis yang
7. Perilaku distraksi mempengaruhi
8. Mengekspresikan respon nyeri.
perilaku 5. Evaluasi
9. Sikap melindungi pengalaman
area nyeri Indikas nyeri masalalu
inyeri yang dapat 6. Bantu pasien
diamati dan keluarga
10. Perubahan posisi untuk mencari
untuk menghindari dan
nyeri sikap tubuh menemukan
melindungi dukungan.
Faktor yang berhubungan 7. Kontrol
1. Agen cedera (mis: lingkungan
bilogis, yang dapat
zatkimia,fisik,psikol mempengaruhi
ogis) nyeri

3. Resiko infeksi NOC : NIC :


Defenisi: Mengalami 1. Immune status Infection control
pengingkatan resiko 2. Knowledge infection control (kontrol infeksi)
terserang organisme 3. Resiko infeksi saluran kemih kontrol 1. Bersihkan
patogenik. Kriteria hasil : lingkunga
Faktor-faktor resiko: 1. Klien bebas dari tanda dan gejala n setelah
1. Penyakitkronis infeksi dipakai
a. Diabetes militus 2. Mendeskripsikan proses penularan pasien
b. Obesitas penyakit, factor yang lain.
2. Pengetahuan yang mempengaruhi penularan serta 2. Pertahankan
tidak cukup untuk teknik
32

menghindari pemanjanan penatalaksanaanya. isolasi


pathogen 3. Menunjukkan memampuan untuk 3. Batasi
3. Pertahanan tubuh mencegah timbulnya infeksi pengunjun
primer yang tidak 4. Jumlah leukosit dalam batas normal g bila
adekuat. 5. Menunjukkan perilaku hidup sehat perlu
a. Gangguan 4. Instruksikan
peristalsis kepada
b. Kerusakan pengunjun
integritaskulit g untuk
4. Ketidakadekuatan mencuci
pertahanan sekunder tangan
a. Penurunan saat
hemoglobin berkunjun
b. Imunosupresi g dan
5. Mal nutrisi setelah
berkunjun
g
meninggal
kan
pasien.
5. Cuci tangan
setiap
sebelum
dan
sesudah
tindakan
keperawat
an.
6. Pertahankan
lingkunga
n aseptik
selama
pemasang
an alat
7. Tingkatkan
intake
nutrisi

4. Resiko Perdarahan NOC : NIC :


Defenisi: Beresiko Bleeding
1. Blood lose severity
mengalami penurunan precautions
2. Blood koagulation 1. Monitor tanda-
volume darah yang dapat
menganggu kesehatan. Kriteria Hasil : tanda
Faktor resiko 1. Tidak ada hematuria dan hematesis perdarahan
2. Kehilangan darah yang terlihat 2. Catat nilai Hb
1. Aneurisme
3. Tekanan darah dalam batas normal dan Ht
2. Sirkumsisi sebelum dan
sistol dan diastole
3. Defisiensi pengetahuan sesudah
4. Tidak ada distensi abdominal
4. Riwayat jatuh 5. Hemoglobin dan hematrokrit dalam terjadinya
5. Gangguan batas normal plasma, protrombin time, perdarahan.
gastrointestinal (PT) partial trombloplastin time (PTT) 3. Pertahankan bed
6. Gangguan hati (mis: dalam batas normal rest selama
sirosis,hepatitis) perdarahan
aktif
7. Trauma Efek samping
4. Identifikasi
terkait terapi (mis:
penyebab
pembedahan,
33

pemberian obat, perdarahan


pemberian produk 5. Instruksikan
darah defisiensi pasien untuk
trombosit, membatasi
kemoterapi). aktifitas
6. Instruksikan
pasien untuk
menekan area
luka pada saat
bersin atau
batuk

5. Risiko ketidakefektifan NOC : NIC :


perfusi ginjal 1. Circulation status Acid-base
Defenisi: Beresiko 2. Electrolit and acid Management
terhadap penurunan 3. Base balance 1. Observasi status
sirkulasi darah keginjal 4. Fluid balance dehidrasi
yang dapat menganggu 5. Hidration (kelembab
kesehatan 6. Tissue prefusion an
Faktor risiko 7. Urinary eliminasion membran
1. Sindrome mukosa,
kompartement Kriteria Hasil : TD
abdomen 1. Tekanan systole dan diastole dalam ortostatik,
2. Usia lanjut batas normal dan
3. Nekrosis kortikal 2. Tidak ada gangguan mental, keadekuat
bilateral orientasi kognitif dan kekuatan otot an dinding
4. Luka buang air kecil 3. Tidak ada distensi vena leher nadi)
5. Pembedahan jantung 4. Tidak ada bunyi paru tambahan 2. Observasi tanda-
6. Bypass kardio 5. Intake output seimbang tanda
pulmonal 6. Tidak ada oedema perifer dan cairan
7. Diabetes militus asites berlebih
8. Jenis kelamin 7. Tidak ada rasa haus yang abnormal (oedema
9. Hipertensi 8. Membran mukosa lembab distensi
10. Jenis kelamin vena leher
dan asites)
3. Pertahankan
intake dan
output
secara
akurat
4. Bebaskan jalan
nafas
5. Monitor TTV

1. 1.
1.

2.2.4
34

2.2.5 Implementasi

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai

tujuan yang spesifik. Tahap implemntasi dimulai setelah rencana intervensi disusun

dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang

diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai tujuan

yang telah ditetapkan yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan

penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping (Nursalam,2011).

2.2.6 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan, rencana intervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi

memungkinkan perawat untuk memonitor apapun yang terjadi selama tahap

pengkajian, analisis, perencanaan, dan implementasi intervensi (Nursalam, 2011).

Hasil evaluasi tindakan ditulis dalam lembar catatan perkembangan dengan

melaksanakan observasi dan pengumpulan data subjektif dan objektif dengan

SOAP:

S : Informasi/data yang diperoleh dari keluhan pasien.

O : Informasi yang didapatkan dari hasil pemeriksaan oleh perawat

maupun tenaga kesehatan lainnya.

A : Penilaian yang disimpulkan dari informasi subjektif dan objektif.

P : Rencana tindakan yang dibuat sesuai dengan masalah pasien.


35

2.3 Konsep Nyeri

2.3.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah keadaan ketika individu mengalami dan melaporkan adanya

rasa ketidak nyaman yang hebat atau sensai yang tidak menyenangkan selama 1

detik hingga kurang dari enam bulan (Linda Jual, 2013). Nyeri adalah suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila

seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2012).

Nyeri adalah keluhan pasien yang mempengaruhi tingkat kenyamanan.

Upaya mengatasi nyeri tersebut, yaitu dengan cara farmakologis dan non

farmakologis (Smeltzer, 2013).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu

keadaan yang mempengaruhi seseorang sehingga menimbulkan ketidak nyamanan

yang hebat.

2.3.2 Fisiologi Nyeri

Terdapat empat proses fisiologis dari nyeri nosiseptif (saraf yang

menghantarkan stimulus nyeri ke otak), transduksi, transmisi, persepsi

idanimodulasi Pasien yang sedang mengalami nyeri tidak dapat membedakan

keempat proses tersebut. Bagaimanapun, pemahaman terhadap masing-masing

proses akan membantu kita dalam mengenali faktor-faktor yang menyebabkan

nyeri, dan rasional dari setiap tindakan yang diberikan (Smeltzer, 2013).

2.3.3 Jenis-Jenis Nyeri

1) Nyeri Akut : nyeri yang terjadi setelah cedera, penyakit, atau intervensi bedah

dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan

sampai berat), dan berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013).
36

Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang

tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali (Prasetyo, 2010).

2) Nyeri Kronik : nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode waktu. Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi

dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (Poter & Perry, 2010)

2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Menurut Potter & Perry (2010). Factor yang mempengaruhi nyeri

1) Usia

Usia dapat mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh

anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami

kesulitan dalam mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan rasa

nyarinya, sementara lansia mungkin tidak akan melaporkan nyerinya dengan

alasan nyeri merupakan sesuatu yang harus mereka terima.

2) Jenis kelamin

Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna

dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin

misalnya ada yang menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan

tidak boleh menangis sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis

dalam situasi yang sama.

3) Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi nyeri.

Individu mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan

mereka.
37

4) Perhatian

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri.Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan

nyeri yang meningkat.Sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan

dengan respon nyeri yang menurun.Konsep ini merupakan salah satu konsep

yang perawat terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti

relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan

memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain,

misalnya pengalihan pada distraksi.

5) Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri.Namun nyeri juga dapat

menimbulkan ansietas, stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik yang

diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas.

6) Kelemahan

Kelemahan atau keletihan meningkatkan persepsi nyeri.Rasa kelelahan

menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan

koping.

7) Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri.Apabila individu sejak lama

sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka

ansietas atau rasa takut dapat muncul. Sebaliknya jika individu mengalami

jenis nyeri yang sama berulang-ulang tetapi nyeri tersebut dengan berhasil

dihilangkan akan lebih mudah individu tersebut menginterpretasikan sensasi

nyeri.
38

8) Gaya koping

Gaya koping mempengaruhi individu dalam mengatasi nyeri.Sumber koping

individu diantaranya komunikasi dengan keluarga, atau melakukan latihan atau

menyanyi. (Fatmawati, 2011).

9) Dukungan keluarga dan sosial

Kehadiran dan sikap orang-orang terdekat sangat berpengaruh untuk dapat

memberikan dukungan, bantuan, perlindungan, dan meminimalkan ketakutan

akibat nyeri yang dirasakan (Fatmawati, 2011).

10) Makna Nyeri

Individu akan berbeda-beda dalam mempersepsikan nyeri apabila nyeri

tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan hukuman dan tantangan.

Misalnya seorang wanita yang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang

berbeda dengan wanita yang mengalami nyeri cidera kepala akibat dipukul

pasangannya. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien

berhubungan dengan makna nyeri


39

2.3.5 Cara Mengetahui Skala Nyeri

1) Skala Wajah

0, 1-3, 4-6, 7-9, 10

Gambar 2.7 Skala Nyeri


( Sumber : Tamsuri, 2012 )
Keterangan:

a) 0 = Tidak ada rasa sakit. Merasa normal.

b) 1 = Nyeri hampir tak terasa (sangat ringan) = Sangat ringan, seperti gigitan

nyamuk.

c) 2 = (tidak menyenangkan) = Nyeri, ringan seperti cubitan ringan pada

kulit.

d) 3 = (bisa ditoleransi) = Nyeri sangat terasa, seperti pukulan ke hidung

menyebabkan hidung berdarah, atau suntikan oleh dokter.

e) 4 = (menyedihkan) = Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa

sakit dari sengatan lebah.

f) 5 = (sangat menyedihkan) = Kuat, dalam, nyeri yang sangat menusuk,

seperti pergelangan kaki terkilir.

g) 6 = (intens) = Kuat, nyeri yang menusuk bagian kuat sehingga tampaknya

sebagian mempengaruhi sebgaian indra, menyebabkan tidak fokus,

komunikasi teraganggu.
40

h) 7 = (sangat intens), Sama seperti 6 kecuali bahwa rasa benar-benar

mendominasi indra anda meyebabkan tidak dapat berkomunikasi dengan

baik dan tak mampu melakukan perawatan diri.

i) 8 = (benar-benar mengerikan) = Nyeri begitu kuat sehingga tidak lagi

dapat berpikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang

parah jika sakit datang dan berlangsung lama.

j) 9 = (menyiksa tak tertahankan) = Nyeri begitu kuat sehingga tidak bisa

mengontrol dan sampai-sampai menuntut untuk segera menghilangkan

rasa sakit apapun caranya, tidak peduli apa efek samping atau resikonya.

k) 10 = (sakit tidak dapat diungkapkan) = Nyeri begitu kuat tak sadarkan diri,

kebanyakan orang tidak pernah mengalami skala rasa sakit ini. Karena

sudah pingsan seperti mengalami kecelakaan parah, tangan hancur, dan

kesadaran akan hilang sebagai akibat dari rasa sakit yang luar biasa.

2) Menurut smeltzer, (2013) macam-macam skala nyeri adalah sebagai berikut :

1. skala intensitas nyeri deskritif

2. Skala identitas nyeri numerik


41

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan:

a. 0 : Tidak nyeri

b. 1-3 : Nyeri ringan: Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik

dan kualitas nyeri seperti tumpul, kebas, rasa tekan, menjalar atau

memelintir.

c. 4-6 : Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik dan kualitas nyeri seperti tajam, tusuk-tusuk atau

menembus.

d. 7-9 : Nyeri hebat: Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi

nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih

posisi nafas panjang, distraksi dan kualitas nyeri seperti tusuk-tusuk, tajam

dan meremukkan.

e. 10 : Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul dan kualitas nyeri seperti rasa terbakar atau menghanguskan.


42

2.3.6 Pengkajian Nyeri

Menurut Smeltzer (2013). Pengkajian nyeri yang akurat penting untuk

upaya pelaksanaan nyeri yang efektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang

subyektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka

perawat perlu mengkaji semua faktor yang mempengaruhi nyeri seperti faktor

fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri

terdiri atas dua komponen utama yaitu :

1) Riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien.

2) Observasi langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien.

Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap

pengalaman subjektif.

Macam-macam pada pengkajian nyeri yaitu :

Table 2.2 pengkajian nyeri

P Provokatif atau pemicu, yaitu faktor yang memicu


timbulnya nyeri.
Q Quality atau kualitas nyeri.
R Region atau daerah perjalanan kedaerah lain.

S Severity atau keganasan yaitu, Intensitasnya.

T Time atau waktu, yaitu serangan, lamanya, kekerapan,


sebab terjadinya nyeri.

(Sumber: Tamsuri, 2012)


43

2.3.7 Riwayat Nyeri

Menurut Hidayat A (2009) secara umum pengkajian riwayat nyeri meliputi

beberapa aspek, yaitu:

1) Lokasi

Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area

nyerinya.Pengkajian ini bisa dilakukan dengan bantuan gambar tubuh.Klien

bisa menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri.Ini sangat bermanfaat,

terutama untuk klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.

2) Intensitas nyeri

Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya

untuk menetukan intensitas nyeri pasien.Skala nyeri yang paling sering

digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka 0 menandakan tidak nyeri

sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri yang hebat.

3) Kualitas nyeri

Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”.

Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan pasien untuk

menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat berpengaruh

besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang diambil.

4) Pola

Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau interval

nyeri.Perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri

berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri terakhir muncul.


44

5) Gejala yang menyertai

Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare.Gejala itu bisa disebabkan

oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.

6) Faktor presipitasi

Aktifitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri, seperti aktifitas yang berta

dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu faktor lingkungan, stressor fisik, dan

emosional juga dapat memicu nyeri.

7) Pengaruh pada aktifitas sehari-hari

Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktifitas harian pasien

akan membantu perawat memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa

aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan,

konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, aktifitas di rumah, serta status

emosional.

8) Sumber koping

Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi

nyeri.Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya

atau pengaruh agama atau budaya.

9) Respons afektif

Respons afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada situasi, derajat

dan durasi nyeri, interpretasi tentang nyeri, dan banyak faktor lain. Perawat

perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi, atau perasaan

gagal pada diri pasien.


45

2.3.8 Batasan Karakteristik Nyeri

Menurut Hidayat A (2009) Batasan karakteristik nyeri adalah:

1) Perubahan selera makan

2) Perubahan tekanan darah

3) Perubahan frekwensi jantung

4) Perubahan frekwensi pernapasan

5) Laporan isyarat

6) Diaforesis

7) Perilaku distraksi (misalnya,berjaIan mondar-mandir mencari orang lain dan

atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)

8) Mengekspresikan perilaku (misalnya, gelisah, merengek, menangis)

9) Masker wajah (misalnya, mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan

mata berpencar atau tetap pada satu fokus meringis)

10) Sikap melindungi area nyeri

11) Fokus menyempit (misalnya, gangguan persepsi nyeri, hambatan proses

berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)

12) Indikasi nyeri yang dapat diamati

13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri

14) Sikap tubuh melindungi

15) Dilatasi pupil

16) Melaporkan nyeri secara verbal

17) Gangguan tidur


46

2.4 Konsep Relaksasi Otot Progresif

2.4.1 Pengertian Dasar Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi progressif adalah metode yang terdiri dan peregangan dan

relaksasi sekelompok otot dan memokuskan pada perasaan rileks. Hal ini dapat

mengurangi ketegangan dan kejemuan otot yang biasanya menyertai nyeri.

Menurut ahli fisiologis dan psikologis Edmun Jacobson yang menjadi pelopor

relaksasi progressif, Relaksasi progressif adalah cara yang efektif untuk

mengurangi kecemasan Jacobson percaya, jika kita bisa belajar mengistirahatkan

otot-otot kita melalui suatu cara yang tepat, maka hal ini akan diikuti relaksasi

mental atau pikiran. Teknik yang digunakan Jacobson terdiri dari peregangan dan

pengenduran berbagai kelompok otot di seluruh tubuh dalam sekuen yang teratur.

Jacobson terus menyempurnakan dan mengembangkan teknik relaksasi progressif

ini, dan berbagai kalangan telah menggunakan untuk mengatasi barbagai keluhan

yang berhubungan dengan stress seperti kecemasan, nyeri, tukak lambung,

hipertensi, dan insomnia. Latihan relaksasi progressif yang dilaksanakan 15-30

menit, satu kali sehari secara teratur selama satu minggu cukup efektif dalam

menurunkan insomnia (Suprihatin, 2011).

Teknik relaksasi progressif ini dirancang untuk menghilangkan ketegangan

otot dengan cara mengerutkan berbagai kelompok otot ditubuh dan melepaskan

tegangan secara perlahan-lahan (Neville, 2009). Ketidaksadaran terhadap adanya

ketegangan di otot dapat menurun keletihan otot, peredaran darah yang buruk,

kejang, dan kekakuan serta akan memperparah problem nyeri (Neville, 2009).

Relaksasi otot yang dalam menurunkan ketegangan fisiologis dan berlawanan

dengan ansietas sehingga akan menurunkan denyut nadi, tekanan darah, dan
47

frekuensi pernafasan. Respon relaksasi mempunyai efek penyembuhan yang

memberi kesempatan untuk beristirahat dan stress lingkungan eksternal dan stress

internal dan pikiran. Hal ini menghindari penggunaan semua tenaga vital saat

bereaksi terhadap stressor, respon relaksasi, mengembalikan proses fisik, mental

dan emosi (Davis, 2009).

Relaksasi otot progresif merupakan cara dari pengaktifan saraf

parasimpatis yang menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh

sistem saraf simpatis dan menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan

oleh saraf simpatis. Masing-masing saraf parasimpatis dan simpatis saling

berpengaruh maka dengan bertambahnya salah satu aktivitas sistem yang satu

akan menghambat atau menekan fungsi yang lain (Utami, 2008).

2.4.2 Tujuan Relaksasi Otot Progressif

Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik

Relaksasi Otot Progressif adalah:

1) Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri, tekanan darah tinggi,

frekuensi jantung, laju metabolik.

2) Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.

3) Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak

memfokus perhatian seperti relaks.

4) Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.

5) Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.

6) Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot, fobia ringan,

gagap ringan, dan membangun emosi positif dari emosi negatif.


48

2.4.3 Indikasi Relaksasi Otot Progressif

Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa indikasi dari terapi

relaksasi otot progresif, yaitu:

1) Klien yang mengalami insomnia.

2) Klien sering stres.

3) Klien yang mengalami kecemasan.

4) Klien yang mengalami depresi.

2.4.4 Macam-Macam Relaksasi Otot Progresif

Ada 3 macam relaksasi otot progresif yaitu tension relaksasi, letting go

dan differential relaksasi (Goldfried & Davidson, 2013).

1) Relaxation via Tension-Relaxation

Individu diminta untuk menegangkan dan melemaskan masing-masing otot,

kemudian diminta untuk merasakan dan menikmati perbedaan antara ketika otot

tegang dan ketika otot lemas. Disini individu diberitahu bahwa pada fase

menegangkan akan membantu dia lebih menyadari sensari yang berhubungan

dengan kecemasan, dan sensasi tersbut bertindak sebagai isyarat atau tanda untuk

melemaskan ketegangan. Individu dilatih untuk melemaskan otot-otot yang tegang

dengan cepat, seolah-olah mengeluarkan ketegangan dari badan, sehingga

individu akan merasa rileks. Otot yang dilatih adalah otot lengan, tangan, biceps,

bahu, leher, wajah, perut, dan kaki (Goldfried & Davidson, 2013).

2) Relaxation via letting go

Metode ini untuk meperdalam relaksasi. Setelah individu berlatih relaksasi

pada semua kelompok otot tubuhnya. Pada fase ini individu dilatih untuk lebih

menyadaridan merasakan relaksasi. Individu dilatih untuk lebih menyadari


49

letegangan dan berusaha mengurangi ataupun menghilangkan ketegangan

tersebut. Dengan demikian individu itu akan lebih peka terhadap ketegangan dan

akan lebih ahli untuk mengurangi ketegangan (Goldfried & Davidson 2013).

Instruksi relaxation via letting go adalah melemaskan otot-otot yang terletak

pada bagian-bagian tertentu misal:

a) Bagian tangan seperti jari, pergelangan tangan, lengan

b) Otot wajah seperti pada bagian mata dan rahang

c) Bagian perut

d) Bagian kaki.

Dalam fase itu dilakukan selama 3 detik pada masing-masing bagian. Setelah

semua selesai pasien disuruh untuk memikirkan pada diri sendiri dengan kata-kata

yang kalem setiap anda bernafas. Hal ini akan membantu anda dalam

menghubungkan kata kalem tersebut dengan ketenangan yang anda rasakan saat

ini dalam pikiran anda (Goldfried & Davidson, 2013).

3) Differential Relaxation

Relaksasi diferensial merupakan salah satu penerapan ketrampilan relaksasi

progresif. Pada waktu individu melakukan sesuatu, bermacam-macam kelompok

otot menjadi tegang. Otot-otot yang diperlukan untuk melakukan aktivitas akan

mengalami ketegangan berlebihan selama aktivitas itu berlangsung. Latihan

relaksasi diferensial dapat dilakukan dengan cara menginduksi individu untuk

relaksasi yang dalam, pada otot-otot yang tidak baik diperlukan untuk melakukan

suatu aktivitas tertentu. Kemudian mengurangi ketegangan yang berlebihan pada

otot-otot yang diperlukan dalam melakukan aktivitas itu sehingga didapat

ketegangan yang wajar pada otot-otot yang digunakan untuk beraktivitas.


50

Di dalam latihan relaksasi differensial yang penting bagi individu adalah

tidak hanya menyadari kelompok otot yang diperlukan untuk melakukan aktivitas

tertentu, tetapi juga mengidentifikasi dan lebih menyadari otot0otot yang tidak

perlu untuk melakukan aktivitas tersebut. Latihan akan dimulai ketika subjek

sudah mencapai keadaan rileks. Latihan yang secara teratur akan mengurangi

ketegangan secara umum. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut nyaman

ketika melakukan aktivitas sehari-hari dengan demikian relaksasi ini dapat

dilakukan tanpa individu itu berbaring (Goldfried & Davidson, 2013).

2.4.5 Manfaat Relaksasi Otot Progresif

Menurut Alim (2010) manfaat relaksasi otot progresif

1) Menciptakan ketentraman batin

2) Mengurangi rasa, cemas, nyeri, khawatir, dan gelisah

3) Menjadikan tekanan dan ketegangan jiwa lebih rileks

4) Menjadikan detak jantung lebih rendah

5) Mengurangi tekanan darah tinggi

6) Menciptakan ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit

7) Membuat tidur lebih lelap dan kesehatan mental menjadi lebih baik

8) Menjadikan daya ingat lebih baik dan meningkatkan daya berpikir logis

9) Meningkatkan kreativitas dan keyakinan

10) Meningkatkan daya kemauan dan intuisi


51

2.4.6 Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Melakukan Relaksasi Otot

Progressif

Dalam melaksanakan teknik relaksasi progresif juga harus memperhatikan

empat komponen utama, yaitu lingkungan yang tenang (menghindarkan sebanyak

mungkin kebisingan dan gangguan-gangguan), posisi yang nyaman (duduk tanpa

ketegangan otot), sikap yang dapat diubah (mengosongkan semua pikiran dari

alam sadar), keadaan mental (fisiologis) sehingga akan kooperatif saat

pelaksanaan (Taylor, 2013).

2.4.7 Petunjuk Relaksasi Otot Progressif

Relaksasi progressif memberikan cara mengidentifikasi otot dan kumpulan

otot tertentu serta membedakan antara perasaan tegang dan relaksasi dalam.

Empat kelompok otot yang utama yang meliputi: pertama, tangan, lengan bawah,

dan otot biseps, kedua, kepala, muka, tenggorokan dan bahu, termasuk pemusatan

perhatian pada dahi, pipi, hidung, mata, rahang, bibir, lidah dan leher. Sedapat

mungkin perhatian dicurahkan pada kepala, karena dari pandangan emosional,

otot yang paling penting dalam tubuh berada di sekitar area ini, ketiga, dada,

lambung, dan panggung bagian bawah, keempat, paha, pantat, betis dan kaki

(Davis, 2010).

Relaksasi bertahap dapat dipraktekkan dengan berbaring atau duduk di

kursi dengan kepala ditopang. Tiap otot atau kelompok otot diteganggang selama

lima sampai tujuh detik dan direksasikan dua belas sampai lima belas detik.

Prosedur ini diulang paling tidak satu kali. Jika area ini tetap tegang, dapat

dipraktekkan lagi sampai lima kali. Petunjuk relaksasi progressif di bagi dalam

dua bagian. Bagian pertama, relaksasi pada otot tubuh yang paling sering tegang.
52

Bagian kedua, menegangkan dan merileksasikan beberpa otot secara simultan

sehingga relaksasi otot dapat dicapai dalam waktu sangat singkat (Davis 2010)

2.4.8 Cara Melakukan Relaksasi Otot Progressif

Menurut Alim (2010) cara melakukan relaksasi progresif sebagai berikut;

1) Menjelaskan tujuan latihan pada pasien.

2) Menciptakan ruangan yang nyaman.

3) Memposisikan klien untuk duduk atau berbaring dengan nyaman.

a) Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan

dengan cara menggenggam jari tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.

pasien diminta membuat kepalan semakin kuat, sambil merasakan sensasi

ketegangan yang terjadi. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali

sehingga pasien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan

keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan

kanan.

b) Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang.

Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang

pada pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan

lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit.


53

c) Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot biseps. Otot biseps adalah

otot besar yang terdapat di bagian atau pangkal lengan. Gerakan ini

diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan

kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot biseps

akan menjadi tegang.

d) Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk

mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara

mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa

hingga menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah

kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher.


54

e) Gerakan kelima sampai kedelapan adalah gerakan-gerakan yang ditujukan

untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah

otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat

dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot-ototnya

terasa dan kulitnya keriput.

f) Gerakan keenam ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali

dengan menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di

sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.

g) Gerakan ketujuh ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami

oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan

menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang.

h) Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar

mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan

ketegangan di sekitar mulut.

Gambar 5, 6, 7 dan 8
55

i) Gerakan kesembilan dan kesepuluh ditujukan untuk merilekskan otot-otot

leher bagian depan dan belakang. Gerakan ini diawali dengan otot leher

bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. pasien dipandu

meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat, kemudian diminta untuk

menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa

sehingga pasien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan

punggung.

j) Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan, ini

dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian pasien

diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat meraskan

ketegangan di daerah leher bagian muka.

k) Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan

ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi,

kemudian punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada. Kondisi tegang

dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks. Pada saat tubuh rileks,

letakkan kembali ke kursi sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas.

l) Gerakan kedua belas dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Pada

gerakan ini, pasien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi

paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama

beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian

turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, pasien dapat bernafas normal

dengan lega. gerakan ini diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan

perbedaan antara kondisi tegang dan rileks.


56

Gambar 9, 10, 11, 12

m) Gerakan ketigabelas bertujuan untuk melatih otot perut. Gerkan ini

dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian

menahannya sampai perut menjadi kencang dan keras.

n) Gerakan keempatbelas dan kelimabelas adalah gerakan untuk otot-otot

kaki dan betis. Gerakan ini dilakukan secara berurutan. tujuannya untuk

melatih otot-otot paha dan betis, dilakukan dengan cara meluruskan kedua

belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang, sehingga ketegangan

pindah ke otot-otot betis.

Gambar 13, 14, 15

Anda mungkin juga menyukai