Anda di halaman 1dari 26

I.

Definisi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Sarcoptes scabiei
ini dapat ditemukan di dalam terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat
predileksi. Wabah scabies pernah terjadi pada zaman penjajahan Jepang (1942-
1945), kemudian menghilang dan timbul lagi pada tahun 1965. Hingga kini,
penyakit tersebut tidak kunjung reda dan insidensnya tetap tinggi. pengetahuan
dasar tentang penyakit ini diletakkan oleh Von Hebra, bapak dermatologi modern.
Penyebabnya ditemukan pertama kali oleh Benomo pada tahun 1667, kemudian
oleh Mellanby dilakukan percobaan induksi pada sukarelawan selama perang
dunia II.
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di
puskesmas dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di
Indonesia. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan
sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik seperti
keadaan penduduk dan ekologik. Penyakit ini juga dapat dimasukkan dalam
Infeksi Menular Seksual (IMS).
II. Epidemiologi

Beberapa sumber menuliskan bahwa skabies merupakan penyakit yang


terdapat diseluruh dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor
yang belum diketahui sepenuhnya. Untuk suatu sebab yang sulit dimengerti,
penyakit skabies ternyata sering menyebabkan epidemi yang diperkirakan setiap
30 tahun sekali. Sekitar tahun 1940-1970 pernah terjadi pandemi terbesar di
seluruh dunia. Penyakit ini sering terjadi terutama pada daerah beriklim tropis dan
subtropis.
Di beberapa Negara yang sedang berkembang, prevalensi skabies sekitar
6-27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak usia sekolah serta
remaja. Menurut data Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di puskesmas
di seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,5-12,9% dan menduduki urutan ke-
3 dari 12 penyakit kulit terbanyak. Di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan
RSU Dr. Soetomo selama 6 tahun (1996 sampai 2001) skabies menduduki urutan
ke-3 diantara 10 penyakit kulit terbanyak (10,5-12,3%). Jumlah penderita skabies
anak usia 1-14 tahun di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr.
Soetomo tahun 2003 sebanyak 80 penderita.
Insiden penyakit skabies di Negara berkembang memperlihatkan siklus
berfluktuasi yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan, mungkin
berhubungan dengan teori herd immunity. Skabies dapat diderita semua orang
tanpa membedakan usia dan jenis kelamin; akan tetapi lebih serin ditemukan pada
anak-anak usia sekolah dan dewasa muda (remaja). Di beberapa Negara
berkembang, penyakit ini dapat menjadi endemik secara kronis pada beberapa
negara. Insidens penyakit skabies ini sangat tinggi terutama pada lingkungan
dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang
memadai. Pada beberapa penelitian menemukan bahwa di suatu pesantren yang
padat penghuninya, prevalensi skabies mencapai 78,7% dimana prevalensi yang
lebih tinggi terdapat pada kelompok yang higienenya kurang baik (72,7%) dan
pada kelompok yang higienenya baik prevalensi skabies hanya 3,8% dan 2,2%.
Penelitian lain yang dilakukan di Pondok Pesantren di kabupaten lamongan
menunjukkan bahwa dari 338 santri, 64,20 % menderita skabies yang dimana
angka ini lebih tinggi dari prevalensi pada Negara sedang berkembang yang hanya
6-27% atau bahkan prevalensi di Indonesia yang hanya 4,60-12,75% saja. Dari
penelitian tersebut didapati bahwa penyebab paling sering adalah karena higiene
yang buruk, sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta perilaku para santri yang
tidak menjaga kesehatan.
Di kelompok usia dewasa muda, cara penularan yang paling sering terjadi
adalah melalui kontak seksual. Meskipun demikian rute infeksi agak sulit
ditentukan karena periode “inkubasi” yang lama dan asimptomatis. Apabila dalam
satu keluarga terdapat beberapa anggota mengeluh adanya gatal-gatal, maka
penegakan diagnosis menjadi lebih mudah. Dan tidak seperti penyakit menular
seksual lainnya, skabies dapat menular melalui kontak non seksual di dalam satu
keluarga. Kontak kulit dengan orang yang tidak serumah dan transmisi tidak
langsung seperti lewat handuk dan pakaian sepertinya tidak menular, kecuali pada
skabies yang berkrusta/skabies Norwegia. Sebagai contoh, meskipun skabies sering
dijumpai pada anak-anak usia sekolah, penularan yang terjadi di sekolah jarang
didapatkan. Penularan di pegawai rumah sakit juga jarang, tetapi beberapa kasus
pernah dilaporkan terutama yang bentuk krusta/skabies Norwegia.

III. Etiologi

Sarcoptes scabiei var hominis berkembangbiak hanya pada kulit manusia.


Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas Arachnida,
sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Sarcoptes scabiei
merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk bulat agak lonjong,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau betina besarnya 2 kali
daripada yang jantan. Adapun jenis Sarcoptes scabei var. animalis yang kadang-
kadang bisa menulari manusia terutama bagi yang memelihara hewan peliharaan
seperti anjing.

Gambar 1. Morfologi Sarcoptes scabei.


IV. Patogenesis

Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati,


namun kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang
digali oleh betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk
terowongan pada kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum
dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur sepanjang terowongan sampai
sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai 40-50 butir. Telur-telur ini akan
menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki.
Larva tersebut sebagian ada yang tetap tinggal dalam terowongan dan ada yang
keluar dari permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari masuk ke stadium nimfa yang
mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Waktu yang
diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi dewasa sekitar 8-12 hari.

Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu juga
tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang berpindah ke
lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan
dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga terjadi aktivitas makan dan
pelekatan telur pada terowongan tersebut. Tungau-tungau ini memakan jaringan-
jaringan yang hancur, namun tidak mencerna darah. Feses (Scybala) tungau akan
ditinggalkan di sepanjang perjalanan tungau menuju ke epidermis dan membentuk
lesi linier sepanjang terowongan.
Gambar 2. Penularan Skabies.7

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan
setelah infestasi. Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena infeksi scabies
pertama kali. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.
Apabila terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah
akan gagal dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih
banyak bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada pasien
crusted scabies bisa melebihi 1 juta tungau.

V. Manifestasi Klinis

Ketika seseorang terinfestasi oleh scabies untuk yang pertama kalinya,


gejala biasanya tidak nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu)
setelah terinfestasi. Namun bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa
menyebarkan scabies ini kepada orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita
scabies sebelumnya, gejala akan muncul dengan segera (1-4 hari) setelah terekspos.
Seseorang yang terinfestasi scabies juga dapat menularkan penyakitnya, walaupun
mereka tidak memiliki gejala lagi. Hal ini berlaku sampai scabies pada penderita
tersebut diberantas beserta tungau dan telur-telurnya.

Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda


cardinal sebagai berikut:

1. pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah
yang sangat menonjol.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga
dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar
tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal
keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena.
Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala.
Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-
rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel.
Jika timbul infeksi sekunder, ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule,
ekskoriasi dan lain-lain). Umumnya tempat predileksi tungau adalah lapisan
kulit yang tipis, seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku
bagian luar, lipatan ketiak depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk
daerah sekitar alat kelamin pada pria dan daerah periareolar pada wanita .
Telapak tangan, telapak kaki, wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah
yang sering terserang tungau pada bayi dan anak-anak.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik.

Gambar 3. Ruam pada scabies.

Gambar 4. Kanalikuli pada Scabies.


VI. Beberapa Bentuk Skabies
Terkadang diagnosis skabies sukar ditegakkan karena lesi kulit bisa
bermacam- macam. Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-
bentuk khusus skabies antara lain :
a. Skabies Nodula
Bentuk ini sangat jarang dijumpai dan merupakan suatu bentuk
hipersensitivitas terhadap tungau skabies, dimana pada lesi tidak ditemukan
Sarcoptes scabiei. Lesi berupa nodul yang gatal, merah cokelat, terdapat
biasanya pada genitalis laki-laki, inguinal dan ketiak yang dapat menetap
selama berbulan-bulan. Untuk menyingkirkan dengan limfoma kulit
diperlukan biopsi. Bentuk ini juga terkadang mirip dengan beberapa
dermatitis atopik kronik. Apabila secara inspeksi, kerokan atau pun biopsi
tidak jelas, maka penegakan diagnosis dapat melalui adanya riwayat kontak
dengan penderita skabies atau lesi membaik denngan pengobatan khusus
untuk skabies.
b. Skabies Incognito
Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga memberi
respons terhadap pengobatan steroid baik topikal maupun sistemik. Pada
kebanyakan kasus, skabies menjadi lebih parah dan diagnosis menjadi
lebih mudah ditegakkan. Tetapi pada beberapa kasus, pengobatan steroid
membuat diagnosis menjadi kabur, dan perjalanan penyakit menjadi kronis
dan meluas yang sulit dibedakan dengan bentuk ekzema generalisata.
Penderita ini tetap infeksius, sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan
adanya anggota keluarga lainnya.
c. Skabies Pada Bayi
Skabies pada bayi dapat menyebabkan gagal tumbuh atau menjadi ekzema
generalisata. Lesi dapat mengenai seluruh tubuh termasuk kepala, leher,
telapak tangan dan kaki. Pada anak-anak seringkali timbul vesikel yang
menyebar dengan gambaran suatu impetigo atau infeksi sekunder oleh
Staphylococcus aureus yang menyulitkan penemuan terowongan.
Gambar 5. Skabies pada Bayi (regio Pedis)

Gambar 6. Skabies Pada masa kanak-kanak (regio palmaris)

d. Skabies Norwegia

Skabies jenis ini sering disebut juga skabies berkrusta (crusted scabies) yang
memiliki karakteristik lesi berskuama tebal yang penuh dengan infestasi
tungau. Istilah skabies Norwegia merujuk pada Negara yang pertama
mendeskripsikan kelainan ini yang kemudian diganti dengan istilah skabies
berkrusta. Bentuk lesi jenis skabies ini ditandai dengan dermatosis berkrusta
pada tangan dan kaki, pada kuku dan kepala. Penyakit ini dikaitkan dengan
penderita yang memiliki defek imunologis misalnya usia tua, debilitas,
disabilitas pertumbuhan, contohnya seperti sindrom Down, juga pada
penderita yang mendapat terapi imunosupresan. Tidak seperti skabies pada
umumnya, penyakit ini dapat menular melalui kontak biasa. Masih belum
jelas apakah hal ini disebabkan jumlah tungau yang sangat banyak atau
karena galur tungau yang berbeda. Studi lain menunjukkan pula bahwa
transmisi tidak langsung seperti lewat handuk dan pakaian paling sering
menyebabkan skabies berkrusta..
Gambar 7. Skabies berkrusta pada regio abdomen

e. Skabies Pada Penderita HIV/AIDS


Gejala skabies pada umumnya tergantung pada respons imun, karena itu tidak
mengherankan bahwa spektrum klinis skabies penderita HIV berbeda dengan
penderita yang memiliki status imun yang normal. Meskipun data yang ada
masih sedikit, tampaknya ada kecenderungan bahwa penderita dengan AIDS
biasanya menderita bentuk skabies berkrusta (crusted scabies). Selain itu,
skabies pada penderita AIDS biasanya juga menyerang wajah, kulit, dan kuku
dimana hal ini jarang didapatkan pada penderita status imunologi yang normal.
Gambaran klinis yang tidak khas ini kadang membingungkan dengan
diagnosis penyakit Darier White atau keratosis folikularis yaitu suatu
penyakit dengan lesi popular yang berskuama pada area seboroik termasuk
badan, wajah, kulit kepala dan daerah lipatan. Skabies juga harus dipikirkan
sebagai diagnosis banding penderita AIDS dengan lesi psoriasiform, yang
terkadang didiagnosis sebagai ekzema. Pada penderita dengan status
imunologi yang normal, pruritus merupakan tanda khas, sedangkan pada
beberapa penderita AIDS, pruritus tidak terlalu dirasakan. Hal ini mungkin
disebabkan status imun yang berkurang dan kondisi ini berhubungan dengan
konversi penyakit menjadi bentuk lesi berkrusta.
Seperti pada penderita umumnya, lesi skabies berkrusta pada
penderita AIDS mengandung tungau dalam jumlah besar dan sangat
menular. Beberapa kasus penularan nosokomial kepada penderita lain dan
juga petugas kesehatan pernah dilaporkan. Pada penderita AIDS, skabies
berkrusta juga berhubungan dengan bakteremia, yang biasanya disebabkan
oleh S. aureus, dan Streptococcus grup A, Streptococcus grup lain bakteri
gram negatif seperti Enterobacter cloacae dan Pseudomonas aeroginosa.
Sebagian ahli menyarankan pemberian antibiotika profilaksis pada
penderita AIDS dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan sebagian
lain menganjurkan tindakan yang tepat ada dengan pengawasan ketat.
Pengobatan skabies berkrusta pada penderita AIDS memerlukan
waktu yang lebih lama. Pada beberapa aplikasi lindane selama 6 minggu
dengan dosis seminggu sekali berhasil dengan baik, seperti halnya aplikasi
2 atau 3 kali dengan interval 48 atau 72 jam. Permetrin juga pernah dipakai
pada beberapa kasus. Selain itu, secara bersamaan dianjurkan penggunaaan
keratolitik seperti asam salisilat 6%. Akibat tebalnya krusta, penetrasi
topikal skabisid pada penderita AIDS terkadang tidak begitu baik. Selain
itu, jumlah tungau yang banyak juga membuat obat topikal kurang efektif.
Sehingga dianjurkan untuk penggunaan terapi skabisid yaitu ivermektin

VII. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa sumber menyebutkan bahwa penegakan diagnosis skabies masih


menjadi persoalan dalam dermatologi. Disebutkan bahwa jika gejala klinisnya
khas, diagnosis skabies mudah ditetapkan, tetapi gejala klinis skabies sering
menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga dapat menimbulkan salah diagnosis
dan selanjutnya dapat menyebabkan kesalahan pengobatan.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus
nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustule di tempat predileksi,
distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada predileksi, adanya
penyakit yang sama pada orang-orang sekitar. Terowongan terkadang sulit
ditemukan, dan petunjuk yang lazim adalah penyebaran yang khas. Diagnosis
definitif bergantung pada identifikasi mikroskopis adanya tungau, telur atau fecal
pellet.5 Seringkali tungau tidak dapat dapat ditemukan ditemukan walau terdapat
lesi skabies nodula yang klasik di genitalia, atau ruam yang khas dengan riwayat
gatal-gatal pada anggota keluarga yang lain. Dari beberapa penelitian yang telah
lama dilakukan beberapa ahli menemukan bahwa dari sebagian besar penderita
skabies hanya dapat ditemukan sedikit tungau dari setiap penderita.5 Hal ini yang
terkadang menimbulkan kesalahan diagnosis. Selain itu, kesalahan diagnosis juga
disebabkan oleh pemeriksaan yang tidak adekuat. Infestasi skabies sering disertai
infeksi sekunder sehingga erupsi kulit tidak khas lagi dan menyulitkan
pemeriksaan. Karena sulitnya menemukan tungau, maka Lyell menyatakan
diagnosis skabies harus dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan
gatal yang menetap walalupun dengan cara ini dikatakan perevalensi skabies
menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya.
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapa dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
1. Kerokan kulit

Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula menggunakan
scalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau
minyak imersi, diberi kaca penutup dan dengan pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat
tungau, telur atau fecal pellet.
2. Mengambil tungau dengan jarum
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit
hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung
jarum dan dapat diangkat keluar.
3. Epidermal shave biopsy
Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan
hati-hati diiris puncak lesi dengan scalpel nomor yang 15 dilakukan sejajar dengan
permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan dan
tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral
dan diperiksa dengan mikroskop
4. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula kemudian
kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek dan ditetesi minyak
mineral.
5. Tes tinta Burowi
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang
karakteristik, berbelok-belok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak
sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-
kooperatif.
6. Tetrasiklin topikal
Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah
dikeringkan selama 5 menit kemudian hapus larutan tersebut dengan
isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui stratum
korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu wood,
sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat
ditemukan.

7. Apusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas
objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa
dengan mikroskop.5
8. Biopsi plong (punch biopsy)
Biopsy berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau
telur. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah tungau hidup pada
penderita dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil
dari lesi yang meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi
biopsy mencukur epidermis adalah lebih sederhana dan
biasanya dilakukan tanpa anestetik local pada penderita yang tidak
kooperatif. Selain itu, alat lain yang dapat dipakai untuk diagnostik adalah
dermoskopi. Argenziano melaporkan bahwa alat ini cukup efektif.
Pembesaran gambar menunjukkan struktur triangular kecil berwarna gelap
yang berhubungan dengan bagian anterior tungau yang berpigmen, dan
suatu segmen linier haus di belakang segitiga yang mengandung gelembung
udara kecil, dimana kedua gambaran ini menyerupai “jet with contrail”dan
dianggap sebagai bentuk terowongan beserta telur dan fecal pellet.
Dilaporkan juga oleh Bezold bahwa penggunaan polymerase chain reaction
(PCR) untuk membuktikan adanya skabies pada penderita yang secara
klinis menunjukkan eczema atipikal. Skuama epidermal positif untuk DNA
Sarcoptes scabiei sebelum terapi dan menjadi negatif 2 minggu setelah
terapi.
Dari berbagai cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang paling
mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Mengambil tungau
dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang berhasil karena biasanya
terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit diketahui. Swab kulit mudah
dilakukan tetapi memerlukan waktu lama karena dari 1 lesi harus dilakukan 6 kali
pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi. Tes tinta
Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif karena biasanya penderita
datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan
tertutup oleh krusta dan tidak di masuki tinta atau salep.

VIII. Diagnosis Banding


Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga “The great
imitator”. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis
dengan keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo,
urtikaria popular, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-
neurotik, liken planus, penyakit Darier, gigitan serangga, mastositosis, urtikaria,
dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis
pruritik pada kehamilan, sifilis dan vaskulitis.

IX. Tatalaksana

Terapi skabies harus segera dilakukan setelah penegakan diagnosis. Penundaan


terapi dapat menyebabkan infestasi tungau yang semakin banyak dan
kemungkinan peningkatan keparahan gejala.9 Terapi skabies ini juga harus
tuntas bagi penderita dan juga dilakukan bagi keluarga penderita yang memiliki
gejala yang sama karena skabies yang tidak terobati biasanya memiliki
hubungan dengan peningkatan kejadian pyoderma oleh Streptococcus
pyogenes. Terdapat sejumlah terapi skabies yang efektif dan pemilihannya
tergantung pada biaya dan potensi toksiknya. Terkadang penderita
menggunakan obat lebih lama dari waktu yang dianjurkan, sehingga
mengetahui kuantitas obat yang tepat untuk diresepkan akan dapat mencegah
timbulnya iritasi akibat pemakaian obat yang berlebihan, yang pada akhirnya
disalahartikan sebagai kegagalan terapi. Skabisid topikal sebaiknya dipakai di
seluruh tubuh kecuali wajah. Obat harus segera dibersihkan secara menyeluruh
setelah periode waktu yang dianjurkan. Pagi hari setelah terapi, pakaian, sprei,
dan handuk dicuci menggunakan air panas. Tungau akan mati pada suhu 130oC.
Pasien dapat diberikan edukasi untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan
perorangan.
Penderita hendaknya diberikan pengertian bahwa meskipun penyakit telah
diobati secara adekuat, rasa gatal akan tetap ada sampai beberapa bulan. Seluruh
anggota keluarga yang memiliki gejala harus diterapi, termasuk pasangan
seksual.

Para ahli merekomendasikan terapi untuk anggota keluarga bersifat simultan,


karena angka kesembuhan setelah 10 minggu lebih tinggi. Terapi topikal untuk
skabies yang sering digunakan adalah sebagai berikut :

1. Krim Permetrin ( Elimite, Acticin), yaitu suatu skabisid berupa piretroid


sintesis yang efektif pada manusia dengan toksisitas rendah, bahkan dengan
pemakaian yang berlebihan sekalipun dan obat ini telah dipergunakan lebih
dari 20 tahun. Krim permetrin ditoleransi dengan baik, diserap minimal dan
tidak diabsorbsi sistemik, serta dimetabolisasi dengan cepat. Obat ini
merupakan terapi pilihan lini pertama rekomendasi dari CDC untuk terapi
tungau tubuh. Penggunaan obat ini biasanya pada sediaan krim dengan kadar
1% untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau tubuh.
Studi menunjukkan Penggunaan permethrin 1% untuk tungau daerah kepala
lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi secara sistemik.11 Cara
pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh dari leher ke bawah
dan dibilas setelah 8-14 jam. Bila diperlukan, pengobatan dapat diulang setelah
5-7 hari kemudian. Belum ada laporan terjadinya resistensi yang signifikan
tetapi beberapa studi menunjukkan adanya resistensi permethrin 1% pada
tungau kepala namun dapat ditangani dengan pemberian permethrin 5%.
Permetrin sebaiknnya tidak digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan
atau pada wanita hamil dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa obat
ini merupakan drug of choice untuk wanita hamil. Dikatakan bahwa permethrin
memiliki angka kesembuhan hingga 97,8% jika dibandingkan dengan
penggunaan ivermectin yang memiliki angka kesembuhan 70%. Tetapi
penggunaan 2 dosis ivermectin selama 2 minggu memiliki keefektifan sama
dengan permethrin. Efek samping yang sering timbul adalah rasa terbakar dan
yang jarang adalah dermatitis kontak dengan derajat ringan sampai sedang.

2. Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), merupakan pilihan terapi lini


kedua rekomendasi CDC. Dalam beberapa studi memperlihatkan keefektifan
yang sama dengan permetrin. Studi lain menunjukkan lindane kurang unggul
dibanding permetrin. Lindane memiliki angka penyembuhan hingga 98% dan
diabsorbsi secara sistemik pada penggunaan topikal terutama pada kulit yang
rusak. Sediaan obat ini biasanya sebanyak 60 mg. Cara pemakaiannya adalah
dengan dioleskan dan dibiarkan selama 8 jam. Sama seperti pada permetrin,
kadang diperlukan pengolesan ulang 1 minggu setelah terapi pertama. Salah
satu kekurangan obat ini adalah absorbsi secara sistemik terutama pada bayi,
anak dan orang dewasa dengan kerusakan kulit yang luas. Lindane memiliki
efek samping yaitu toksik pada sistem saraf pusat dengan keluhan utama
kejang. Lindane sebaiknya tidak digunakan untuk bayi, anak dibawah 2 tahun,
dermatitis yang meluas, wanita hamil atau menyusui, penderita yang pernah
mengalami kejang atau penyakit neurologi lainnya. Sejak 1 januari 2002,
Negara bagian California telah meninggalkan pemakaian lindane. Belum ada
laporan mengenai toleransi yang signifikan terhadap pemakaian lindane.

3. Sulfur, biasanya diresepkan sebagai sulfur presipitat (6%) dalam petrolatum.


Sulfur dipakai saat malam hari selama 3 malam dan dibersihkan secara
menyeluruh 24 jam terakhir. Kekurangannya adalah sulfur berbau,
meninggalkan noda dan berminyak, mengiritasi, membutuhkan pemakaian
berulang, namun relatif aman, efektif dan tepat untuk bayi berumur kurang dari
2 bulan dan selama kehamilan atau menyusui.

4. Benzil benzoat 25%, merupakan produk alamiah, disebut juga balsam Peru
dan telah dipergunakan lebih dari 60 tahun. Obat ini merupakan skabisid kerja
cepat yang efektif terhadap semua stadium namun tidak dijual bebas di
Amerika Serikat. Penggunaannya diberikan setiap malam selama 3 kali. Obat
ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi dan kadang- kadang makin gatal
setelah dipakai. Benzyl benzoate memiliki keefektifan yang sama dengan
lindane.

5. Krim Krotamiton (Eurax) dianggap tidak cukup efektif untuk mengobati


skabies. Kualitas krim ini dibawah permetrin dan efektivitasnya setara dengan
benzyl benzoat atau sulfur. Selain itu juga terdapat terapi sistemik, khususnya
untuk penderita AIDS. Ivermektin adalah suatu antiparasit yang disahkan oleh
FDA untuk onchocerciasis dan strongilodiasis pada manusia.Ivermectin
dikatakan merupakan pilihan terapi lini ketiga rekomendasi dari CDC.
Ivermectin memiliki aktivitas spectrum luas pada nematoda dan arthropoda
yang dapat digunakan pada hewan dan manusia serta obat ini dapat digunakan
pada terapi filariasis. Jika dibandingkan dengan permethrin, angka
kesembuhan dengan penggunaan ivermectin masih lebih rendah dibandingkan
permethrin tetapi jika dibandingkan dengan lindane, pada penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa 80% pasien mengalami perbaikan gejala klinis
lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan lindane yang hanya 44%. Sejak
tahun 1993 dilaporkan bahwa ivermektin yang diberikan 1 atau 2 dosis oral
200 mg/kgBB menjadi terapi skabies yang efektif pada penderita AIDS.
Diperlukan studi control lebih lanjut dengan menentukan dosis dan cara
pemberian obat yang paling efektif, baik bagi penderita dengan status imun
normal ataupun pada penderita yang mengalami imunosupresi, serta
keefektifan kombinasi terapi oral dan topikal ivermektin.Penggunaan
Ivermectin ini tidak boleh pada wanita hamil dan menyusui. Sediaan
ivermektin topikal, yaitu larutan ivermektin 1% dalam propilen-glikol juga
sedang diteliti penggunaannya sebagai terapi alternatif. Walaupun demikian,
ivermectin topikal dilarang penggunaannya di UK. Pada beberapa sumber
dikatakan bahwa sediaan crotamiton, benzyl benzoate, malathion, sulfur, dan
ivermectin masih belum disetujui penggunaannya oleh FDA untuk indikasi
terapi skabies namun sumber lainnya mengatakan penggunaan telah dapat
ditolerir dan mulai banyak beredar namun di Negara tertentu penggunaan
dibatasi bahkan dilarang.
Penyakit yang serius akibat skabies jarang didapatkan, kecuali pada bayi dan penderita
skabies berkrusta. Tetapi pruritus dan infeksi yang ditimbulkan dapat menjadi masalah
dan memerlukan terapi khusus. Lesi dengan fecal pellet terkadang memberi rasa gatal
untuk beberapa saat setelah tungau mati. Hal ini memerlukan pemberian antihistamin dan
bila gatal tetap mengganggu dapat diberikan steroid oral dalam waktu yang singkat. Bila
didapatkan superinfeksi oleh bakteri, antibiotic harus diberikan. Terdapat istilah
acarofobia yaitu penderita dengan delusi. Penderita mulai merasa bahwa pada kulit mereka
masih terdapat tungau meskipun telah diobati. Bila gangguan ini berkelanjutan maka diperlukan
pertolongan psikiater.

X. Pencegahan
Menurut Agoes (2009) mengatakan bahwa penyakit skabies sangat erat kaitannya
dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik, oleh sebab itu untuk
mencegah penyebaran penyakit skabies dapat dilakukan dengan cara:
a.Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun
b.Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara teratur
minimal 2 kali dalam seminggu
c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali
d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain
e.Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi skabies
f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup
Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.
Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita,
mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan
penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat
mengganggu kehidupan sehari-hari.
XI. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik. Oleh karena
manusia merupakan penjamu (hospes) definitif, maka apabila tidak diobati
dengan sempurna, Sarcoptes scabiei akan tetap hidup tumbuh pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko, R. Skabies. In : Djuanda, A. Hamzah, N. Aisah, S. Ilmu Penyakit


Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009 : 119-122

2. Makatutu, H. Penyakit Kulit Oleh Parasit Dan Insekta. In : Harahap, M.


Penyakit Kulit. Jakarta : PT Gramedia. 1990 : 100-104

3. Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.


1995 : 1-25

4. Beggs, J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA : Michigan


Department Of Community Health. 2005 : 4-6, 10

5. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual : Skabies. Edisi 1.


Surabaya : Airlangga University Press. 2005 : 202-208

6. Setyaningrum, T. Listiawan, M. Zulkarnain, I. Kadar Imunoglobulin E-


Spesifik Terhadap Tungau Debu Rumah Pada Penderita Skabies
Nonatopi Anak. Berkala Ilmu Kesehatan Dan Kelamin 2007 : 19 :
100

7. Ma’rufi, I. Keman, S. Notobroto, H. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang


Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri di
Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan
Lingkungan 2005 : 2 : 11-17

8. Chosidow, O. Scabies. The New England Journal Of Medicine 2006 : 1718-


1727

9. Department Of Public Health. Scabies. USA : Department Of Public Health


Division Of Communicable Disease Control. 2008 : 1-3

10. McCarthy, J. Kemp, D. Walton, S. Currie, B. Review Scabies : More Than Just
An Irritation. Postgrad Medical Journal 2004 : 80 : 382-386

11. Cox, N. Permethrin Treatment In Scabies Infestasion : Important Of Correct


Formulation. British Medical Journals 2000 : 320 : 37-38

12. Fox, G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of
Family Practice 2006 : 55 : para. 26-27, 30

13. Johnston, G. Sladden, M. Scabies : Diagnosis And Treatment. British Medical


Journal 2005 : 331 : 619-622
14. Leone, P. Scabies And Pediculosis : An Update Of Treatment Regiments And
General Review. Oxford Journals 2007 : 44 : 154-159

Anda mungkin juga menyukai

  • CKD
    CKD
    Dokumen1 halaman
    CKD
    agashi
    Belum ada peringkat
  • L
    L
    Dokumen4 halaman
    L
    agashi
    Belum ada peringkat
  • O
    O
    Dokumen4 halaman
    O
    agashi
    Belum ada peringkat
  • L
    L
    Dokumen4 halaman
    L
    agashi
    Belum ada peringkat
  • O
    O
    Dokumen4 halaman
    O
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Formulir Pendaftaran Yudisium Dokter Bulan 19 Maret 2019
    Formulir Pendaftaran Yudisium Dokter Bulan 19 Maret 2019
    Dokumen2 halaman
    Formulir Pendaftaran Yudisium Dokter Bulan 19 Maret 2019
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Ekg
    Ekg
    Dokumen4 halaman
    Ekg
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis B Referat PDF
    Hepatitis B Referat PDF
    Dokumen33 halaman
    Hepatitis B Referat PDF
    agashi
    Belum ada peringkat
  • L
    L
    Dokumen3 halaman
    L
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Kesimpulan Hep B
    Kesimpulan Hep B
    Dokumen1 halaman
    Kesimpulan Hep B
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis B Referat PDF
    Hepatitis B Referat PDF
    Dokumen33 halaman
    Hepatitis B Referat PDF
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Prekas Jantung Acs PDF
    Prekas Jantung Acs PDF
    Dokumen48 halaman
    Prekas Jantung Acs PDF
    agashi
    Belum ada peringkat
  • SAMBUTAN
    SAMBUTAN
    Dokumen1 halaman
    SAMBUTAN
    agashi
    Belum ada peringkat
  • R
    R
    Dokumen3 halaman
    R
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Y
    Y
    Dokumen3 halaman
    Y
    agashi
    Belum ada peringkat
  • L
    L
    Dokumen3 halaman
    L
    agashi
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen3 halaman
    1
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Minggu Ke-1
    Minggu Ke-1
    Dokumen20 halaman
    Minggu Ke-1
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Kesimpulan
    Kesimpulan
    Dokumen1 halaman
    Kesimpulan
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Referat Hepatitis
    Referat Hepatitis
    Dokumen7 halaman
    Referat Hepatitis
    agashi
    Belum ada peringkat
  • H
    H
    Dokumen6 halaman
    H
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Status Pasien
    Status Pasien
    Dokumen2 halaman
    Status Pasien
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Minggu Ke-1
    Minggu Ke-1
    Dokumen20 halaman
    Minggu Ke-1
    agashi
    Belum ada peringkat
  • J
    J
    Dokumen1 halaman
    J
    agashi
    Belum ada peringkat
  • H
    H
    Dokumen3 halaman
    H
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Eriyasih 1102013099
    Eriyasih 1102013099
    Dokumen2 halaman
    Eriyasih 1102013099
    agashi
    Belum ada peringkat
  • P
    P
    Dokumen2 halaman
    P
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Tenggorokan Edisi Ke-3 (Pp. 10-13) - Surabaya: FK UNAIR
    Tenggorokan Edisi Ke-3 (Pp. 10-13) - Surabaya: FK UNAIR
    Dokumen1 halaman
    Tenggorokan Edisi Ke-3 (Pp. 10-13) - Surabaya: FK UNAIR
    agashi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Presentasi Kasus Rhinosinusitis
    Laporan Presentasi Kasus Rhinosinusitis
    Dokumen36 halaman
    Laporan Presentasi Kasus Rhinosinusitis
    agashi
    Belum ada peringkat