Hepatitis B masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, karena perjalanan
penyakit ini umumnya diketahui ketika sudah pada fase lanjut atau kronik, bahkan penyakit ini dapat ditularkan oleh penderita yang belum menunjukan gejala klinis. Pada dasarnya tubuh memiliki kekebalan yang dapat mengurangi virus hepatitis B agar tidak berkembang menjadi fase kronik, tetapi bila imunitas tubuh pejamu tidak mampu maka virus akan terus berkembang menjadi fase kronik yang memerlukan pengobatan lebih intensif. Pemilihan obat pada tatalaksana hepatitis B harus selektif dengan melihat kenaikan serum antigen virus serta kenaikan enzim hati. Obat untuk terapi Hepatitis B digunakan hingga saat ini terdiri dari dua jenis, yaitu interferon dan analog nukleos(t)ida. Masing- masing obat memiliki keunggulan dan kelemahan baik dari segi durasi terapi, biaya, serta kemampuan serokonversi antigen penekanan DNA virus. Dari segi biaya, analog nukleos(t)ida lebih terjangkau dibandingkan dengan interferon. Namun dari segi durasi pengobatan dan efek sampingnya, obat jenis ini perlu dipertimbangkan untuk pengobatan seumur hidup bila dibandingkan dengan interferon yang umumnya digunakan selama setahun. Untuk serokonversi antigen, interferon diketahui memiliki kemungkinan lebih besar bila dibandingkan dengan analog nukleos(t)ida. Selain itu potensi terjadinya resistensi lebih mungkin terjadi pada terapi dengan analog nukleos(t)ida. Monitoring efek samping dari obat harus dilakukan minimal 3 bulan sekali untuk menghindari efek samping yang akan menjadi masalah baru untuk pasien. Monitoring tentang kemajuan nilai laboratorium pasien juga harus dilakukan untuk mengetahui progresitas dari kerja obat. Pencegahan hepatitis B dapat dilakukan dengan cara imunisasi pada saat bayi baru lahir, pada orang dewasa dapat di lakukan imunisasi sebanyak 3 kali dan pada ibu hamil diberikan profilaksis untuk mencegah transmisi secara vertikal.