Anda di halaman 1dari 15

Biografi Presiden Indonesia (pertama s/d sekarang) 12

Desember 2009
Posted by masbloro in Sosial budaya.
trackback

.Presiden Pertama, Ir. Soekarno (1945-1966)

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan
dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko
Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD
hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere
Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa
nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS
(Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia
berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional
lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan
kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan
sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende,
Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal
1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya
Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945
Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi
Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan


MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal
dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim
di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai
“Pahlawan Proklamasi”
Presiden Kedua, Soeharto (1966-19980)

Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta,
tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai
pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran
ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak
Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik
perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa
Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada
tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.

Perkimpoian Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di
Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra
dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati
Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan
politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL,
kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan
batalyon berpangkat Letnan Kolonel.

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari
tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar
Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima
Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan
ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku
Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam
kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.

residen RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008.
Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan
Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai
27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol.
Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan
menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27
Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.

Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP
menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung
jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal.
Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju
Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan
iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu
rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan
Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).

Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf
Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan
pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor
Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam
atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.

Presiden Ketiga, Habibie (1998-1999)


Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Pare-Pare, Sulawesi
Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara,
pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang
menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang
putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.

Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat
tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang
punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia
pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya
meninggal, Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare
School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-
pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia di Bandung
(Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische Hochschule, Jerman tahun
1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari tempat yang sama tahun 1965. Habibie
menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor
kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak
sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi
Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi
berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar
doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu
bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi
panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin


10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan
disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto.
Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945.
Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih
merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi
warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.

Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan
pesawat terbang :

* VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.


* Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
* Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
* Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
* CN – 235
* N-250
* dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
• Helikopter BO-105.
• Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
• Beberapa proyek rudal dan satelit.

Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :

* 1976 – 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
* 1978 – 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
* Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
* 1978 – 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
* 1978 – 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
* 1980 – 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40,
1980)
* 1983 – 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
* 1988 – 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
* 1989 – 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
* 1990 – 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
* 1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
* 10 Maret – 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
* 21 Mei 1998 – Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia

Presiden Keempat, Abdurrahman Wahid (1999-2001)


Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah
biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah
Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren
Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar
Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang
menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur
merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat
sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta.
Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-
dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus
berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri
bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai
berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan
mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab
terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke
daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang
pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa
diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh
tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di
Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar,
novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya
cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-
dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini
senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur
pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang
ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun
1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat
inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal
di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu
Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di
Mesir.

Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat
serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun
ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar
formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya
bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya
dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali
persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan
mencintai musik klasik.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta.
Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil
mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma,
akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali
Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren,
akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal
Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat
subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam
hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru
dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan
menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai
mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke
pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri
lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya
dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah
menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang
diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-
dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat,
seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-
hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi
itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke
Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun,
sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan
menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk
menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di
Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat
langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam
sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang
telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering
mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku
dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur
ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor.
Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup,
dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.

Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih
menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas
Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan
pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya
sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur
mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada
masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang
dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di
Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering
mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan
kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam
kegiatan LSM.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur.
Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di
sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama,
sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur
semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik,
maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya
sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah
ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi
ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang
diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada
muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di
pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.
Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu,
khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh
bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H.
Abdurrahman Wahid

Presiden Kelima, Megawati (2001-2004)

Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari


1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8
dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI
pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah
dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki
bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.

Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama
pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan
bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan
pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil
Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan
suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi
menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.

Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya,
dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua
Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi
jempolan, Mbak Mega — panggilan akrab para pendukungnya — tidak terbilang piawai
dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan
lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik,
yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya
sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk
mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan
keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya.
Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak
bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi
anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta
Pusat.

Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati
tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, belaiu pun
memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih
banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya,
yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya
bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP
PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.

Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan
berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono
menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa
di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi
Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum
PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah
Nasional PDI di Jakarta.

Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan
berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI.
Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan
pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan.
Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh
menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan
Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para
pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan
kantor itu.

Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor
DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996
kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal
itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan
perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan
simpati dari masyarakat luas.

Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI
pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah
mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega
tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama
menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu
berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara.
Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden
dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya
memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari
dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan
Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid.
Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya,
Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung
tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo
Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6.

Presiden Keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya,
beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses
Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab
disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani
Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.

Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan
Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu.
Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau
dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak
dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi
Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara,
Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi).

Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY. Ketika duduk
di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab dengan nama Akademi
Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian hari AMN berubah nama
menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di selatan alun-alun. Ini adalah
sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan. Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras,
SBY berjuang untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun
1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY
pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).

Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama
(PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau
mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang,
Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan
Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan,
SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat
lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.

Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia,
AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983)
dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank
Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung
(1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di Fort
Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS.
Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif
Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas
Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.

Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara
17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga
batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas
Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan
berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan
pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat,
Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan
Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305
Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.

Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330
Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17
Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban
Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali
mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau
mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus
praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983.
Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di
Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY
menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)

Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban
Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan
Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.
SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan
TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi
Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes
ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat
(1993).

Lalu, beliau kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi Komandan Brigade Infantri
Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol
Riyamizard Ryacudu. Kemudian menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem
072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995). Tak lama kemudian, SBY dipercaya bertugas
ke Bosnia Herzegovina untuk menjadi perwira PBB (1995). Beliau menjabat sebagai Kepala
Pengamat Militer PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang
bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia berdasarkan kesepakatan
Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia Herzegovina. Setelah kembali dari Bosnia,
beliau diangkat menjadi Kepala Staf Kodam Jaya (1996). Kemudian menjabat Pangdam
II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR
(Sidang Istimewa MPR 1998) sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-
1999).
Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk
pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan
Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Tak lama kemudian, SBY pun
terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat
Menkopolsoskam. Pada tanggal 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan
melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Tetapi pada 11 Maret 2004,
beliau memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam. Langkah pengunduran diri
ini membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi
puncak kepemimpinan nasional. Dan akhirnya, pada pemilu Presiden langsung putaran kedua
20 September 2004, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla meraih kepercayaan
mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di attas 60 persen. Dan pada tanggal 20
Oktober 2004 beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-6.

Berikut ini data lengkap tentang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Nama : Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono

Lahir : Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949

Agama : Islam

Jabatan : Presiden Republik Indonesia ke-6

Istri : Kristiani Herawati, putri ketiga (Alm) Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo

Anak : Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono

Ayah : Letnan Satu (Peltu) R. Soekotji

Ibu : Sitti Habibah

Pendidikan :

* Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973


* American Language Course, Lackland, Texas AS, 1976
* Airbone and Ranger Course, Fort Benning , AS, 1976
* Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983
* On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983
* Jungle Warfare School, Panama, 1983
* Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984
* Kursus Komando Batalyon, 1985
* Sekolah Komando Angkatan Darat, 1988-1989
* Command and General Staff College, Fort Leavenwort, Kansas, AS
* Master of Art (MA) dari Management Webster University, Missouri, AS

Karier :

* Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)


* Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
* Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
* Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
* Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981)
* Paban Muda Sops SUAD (1981-1982)
* Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985)
* Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
* Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988)
* Dosen Seskoad (1989-1992)
* Korspri Pangab (1993)
* Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994)
* Asops Kodam Jaya (1994-1995)
* Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995)
* Chief Military Observer United Nation Peace Forces (UNPF) di Bosnia-Herzegovina (sejak
awal November 1995)
* Kasdam Jaya (1996-hanya lima bulan)
* Pangdam II/Sriwijaya (1996-) sekaligus Ketua Bakorstanasda
* Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
* Kepala Staf Teritorial (Kaster ABRI (1998-1999)
* Mentamben (sejak 26 Oktober 1999)
* Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid)
* Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri) mengundurkan diri 11
Maret 2004

Alamat : Jl. Alternatif Cibubur Puri Cikeas Indah No. 2 Desa Nagrag Kec. Gunung Putri
Bogor 16967

Anda mungkin juga menyukai