Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bendung adalah suatu bendungan yang di letakan melintang pada aliran
sungai dengan maksud untuk menaikan muka air aliran (sungai) agar bisa
dialirkan ke tempat – tempat yang letaknya lebih tiggi dari dasar aliran
(sungai) tersebut. Waduk yang bersifat menampung, tetapi bendung yang
bersifat menaikan muka air, berarti bahwa air diperbolehkan mengalir terus
melimpah bendung.
Bendung berbeda dengan waduk, waduk bersifat menampung air,
sedangkan bendung bersifat menaikan muka air tanah yang berarti bahwa air
diperbolehkan mengalir terus melimpah bendung. Bendung berfungsi antara
lain untuk meninggikan taraf muka air, agr sungai dapat disadap sesuai
dengan kebutuhan dan untuk mengendalikan aliran, mengendalikan angkutan
sedimen dan mengendalikan geometri sungai, sehingga air dapat di
manfaatkan secara aman, efektif dan optimal.
Dalam perencanaan bendung perlu memperhatikan kedalaman air (H) dan
debit pengaliran(Q). Dengan adanya data kedalam air (H) dan debit prngaliran
(Q) kita bisa membangun bangunan air tersebut.
Dalam perencanaan bendung sebagai bangunan air sangat di
klasifikasikan berdasarkan : tipe struktur, fungsi dan sifat bendung. Dan
pembagian bendung berdasarkan tipe struktur dibedakan menjadi 3, yaitu:
bendung tetap: bendung ini tidak dapt mengatur tinggi dan debit air sungai.
Bendung gerak: bendung ini dapat mengatur tinggi dan debit air sungai dan
pembukaan pintu-pintu yang terdapat pada bendung tersebut. Dan yang
terakhir adalah, bendung kombinasi: adalh bendung antara bendung tetap dan
bendung gerak.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Dapat mengetahui bagian-bagian penting dalam melakukan
perencanaan sebuah bendung, agar bendung menjadi kuat dan bertahan
lama.
1.2.2 Merencanakan bendung yang tepat dan aman terhadap stabilitas
dan dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekitar bendung.
1.3 Lingkup Pekerjaan
Lingkup pekerjaan yang harus di perhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data Sekunder
Kegiatan pengumpulan data sekunder, meliputi :
a) Data Topografi
Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data peta topografi
yang sudah ada, dimana keadaan topografi suatu daerah akan
mempengaruhi bentuk dan ukuran suatu DAS. Peta topografi yang
dikumpulkan harus menampilkan kondisi tata guna lahan pada daerah
studi, dimana kondisitata guna lahan akan berpengaruh terhadap laju erosi,
kecepatan aliran permukaan dan daya infiltrasi sesuai dengan SNI 03-
1724-1989.
b) Data Hidrologi
Kegiatan pengumpulan data hidrologi berupa pengumpulan peta
stasiun
curah hujan, besarnya curah hujan, data meteorologi, debit historis baik
debit minimum, rata-rata dan debit maksimum pada suatu daerah aliran
sungai (DAS) yang pelaksanaan kegiatannya sesuai SNI 03-1724-1989.
Berbagai data dan informasi dintaranya berupa :
1. peta stasiun curah hujan dapat diperoleh pada instansi BMG dan
mungkin juga Pengelola Sumber Daya Air (PSDA)
2. data curah hujan harian (terbaru) dapat diperoleh pada instansi bmg dan
mungkin juga Pengelola Sumber Daya Air (PSDA).
3. data meteorologi berupa kondisi temperatur udara, kelembaban relatif,
lama penyinaran dan kecepatan angin. perolehan data dapat diperoleh
pada instansi BMG
4. data debit terbaru dengan bisa periode harian maupun bulanan minimum
selama 5 tahun, yang didapat pada bangunan-bangunan sungai eksiting
misalkan bendung.
c) Data Geologi Teknik
Kegiatan pengumpulan data geologi adalah pengumpulan peta geologi
regional yang memuat jenis batuan, penyebaran jenis batuan, sifat fisik
batuan serta tekstur dan struktur tanah dengan skala minimum 1:250.000
sesuai dengan KP–01, SK DJ Pengairan No. 185/KPTSA/A/1986 tentang
tahapan studi pelaksanaan pekerjaan.
Peta geologi regional dapat diperoleh di Direktorat Geologi Tata
Lingkungan, jika tidak didapat maka pengumpulan data dapat diperoleh
pada Instansi terkait.
d) Data Aspek Multisektor
Kegiatan pengumpulan data aspek multisektor melakukan
pengumpulan yang berupa informasi lingkungan yang menginformasikan
tentang kondisi kependudukan dan penggunaan air sesuai dengan KP–01,
SK DJ Pengairan No. 185/KPTSA/A/1986 tentang tahapan studi
pelaksanaan pekerjaan. Informasi lingkungan dapat diperoleh dari dari
BPS, PSDA, dan BAPEDAL. Data-data tersebut meliputi :
1. komponen lingkungan fisik-kimia yang terdiri dari iklim, fisiografi dan
geologi, hidrologi/kualitas air, ruang lahan dan tanah
2. komponen biologi yang terdiri dari kondisi flora, fauna dan biota air
3. komponen sosial, ekonomi dan budaya yang meliputi jumlah penduduk,
tingkat pendidikan, mata pencaharaian dan pendapatan asli daerah
(PAD) dan lain-lain.
4. rencana tata ruang wilayah
2. Perencanaan Bendung
Perencanaan bendung harus meliputi tentang panjang tinggi mercu
bendung, mercu dan tubuh bendung, peredam energi, tembok sayap hilir,
bangunan pengambil, bangunan pembilas, bangunan pengarah arus, tanggul
penutup dan tanggul banjir, tembok pangkal bendung, saringan sampah dan
batu bongkah, lantai undik atau dinding tirai, bangunan penangkap sedimen
sesuai dengan SNI 03-2401-1991.
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Umum
Menurut standar tata cara perencanaan bendung, yang di arikan dengan
bendung adalah suatu bendungan air dengan klengkapn di bangun melintang
sungai sodetan yang sengaja di buat untuk meningkatkan taraf muka air atau
untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat di sadap dan dialirkan
secara grsvitasi ke tempat yang membutuhkannya.
Menurut macamnya bendung di bagi menjadi dua, yaitu bendung tetap dan
bendung sementara. Biasanya bendung sementara ini di buat dari bronjong,
yaitu suatu jala-jala kawat yang berukuran 2m x 1m x 0.5m lobang dari jala-
jala ini berukuran (berdiameter) ±10cm, kemudian jala-jala ini diisi dengan
batu-batu kali yang berukuran 13-15cm.tebal kawat untuk beronjong ini
3mm;4mm;5mm.

2.2 Pemilihan lokasi bendung


1. Pertimbangan topografi
Lembah sungai yang sempit berbentuk huruf V dan tidak terlalu dalam
adalah lokasi yang ideal untuk lokasi bendung, karena pada lokasi ini volum
tubuh bendung dapat menjadi minimal. Lokasi seperti ini mudah didapatkan
pada daerah pegunungan, tetapi di daerah datar dekat pantai tentu tidak
mudah mendapatkan bentuk lembah seperti ini. Di daerah transisi (middle
reach) kadang-kadang dapat ditemukan disebelah hulu kaki bukit. Sekali
ditemukan lokasi yang secara topografis ideal untuk lokasi bendung,
keadaan topografi di daerah tangkapan air juga perlu dicek. Apakah
topografinya terjal sehingga mungkin terjadi longsoran atau tidak. Topografi
juga harus dikaitkan dengan karakter hidrograf banjir, yang akan
mempengaruhi kinerja bendung. Demikian juga topografi pada daerah calon
sawah harus dicek. Yang paling dominan adalah pengamatan elevasi
hamparan tertinggi yang harus diairi. Analisa ketersediaan selisih tinggi
energi antara elevasi puncak bendung pada lokasi terpilih dan elevasi muka
air pada sawah tertinggi dengan keperluan energi untuk membawa air ke
sawah tersebut akan menentukan tinggi rendahnya bendung yang
diperlukan. Atau kalau perlu menggeser ke hulu atau ke hilir dari lokasi yang
sementara terpilih. Hal ini dilakukan mengingat tinggi bendung sebaiknya
dibatasi 6-7 m. Bendung yang lebih tinggi akan memerlukan kolam olak
ganda (double jump)
2. Kemantapan geoteknik
Keadaan geoteknik fondasi bendung harus terdiri dari formasi batuan
yang baik dan mantap. Pada tanah aluvial kemantapan fondasi ditunjukkan
dengan angka standar penetration test (SPT)>40. Bila angka SPT<40
sedang batuan keras jauh dibawah permukaan, dalam batasbatas tertentu
dapat dibangun bendung dengan tiang pancang. Namun kalau tiang
pancang terlalu dalam dan mahal sebaiknya dipertimbangkan pindah lokasi.
Stratigrafi batuan lebih disukai menunjukkan lapisan miring ke arah
hulu. Kemiringan ke arah hilir akan mudah terjadinya kebocoran dan erosi
buluh. Sesar tanah aktif harus secara mutlak dihindari, sesar tanah pasif
masih dapat dipertimbangkan tergantung justifikasi ekonomis untuk
melakukan perbaikan fondasi.
Geoteknik tebing kanan dan kiri bendung juga harus dipertimbangkan
terhadap kemungkinan bocornya air melewati sisi kanan dan kiri bendung.
Formasi batuan hilir kolam harus dicek ketahanan terhadap gerusan air
akibat energi sisa air yang tidak bisa dihancurkan dalam kolam olak.
Akhirnya muara dari pertimbangan geoteknik ini adalah daya dukung
fondasi bendung dan kemungkinan terjadi erosi buluh dibawah dan samping
tubuh bendung, serta ketahanan batuan terhadap gerusan.
3. Pengaruh Hidraulik
Keadaan hidraulik yang paling ideal bila ditemukan lokasi bendung
pada sungai yang lurus. Pada lokasi ini arah aliran sejajar, sedikit arus
turbulen, dan kecenderungan gerusan dan endapan tebing kiri kanan relatif
sedikit. Dalam keadaan terpaksa, bila tidak ditemukan bagian yang lurus,
dapat ditolerir lokasi bendung tidak pada bagian sungai yang lurus betul.
Perhatian khusus harus diberikan pada posisi bangunan pengambilan yang
harus terletak pada tikungan luar sungai. Hal ini dimaksudkan agar
pengambilan air irigasi bisa lancar masuk ke intake dengan mencegah
adanya endapan didepan pintu pengambilan. Maksud ini akan lebih ditunjang
apabila terdapat bagian sungai yang lurus pada
hulu lokasi bendung.
Kadang-kadang dijumpai keadaan yang dilematis. Semua syarat-syarat
pemilihan lokasi bendung sudah terpenuhi, tetapi syarat hidraulik yang
kurang menguntungkan. Dalam keadaan demikian dapat diambil jalan
kompromi dengan membangun bendung pada kopur atau melakukan
perbaikan hidraulik dengan cara perbaikan sungai (river training). Kalau
alternatif kopur yang dipilih maka bagian hulu bendung pada kopur harus
lurus dan cukup panjang untuk mendapatkan keadaan hidraulis yang cukup
baik.
4. Pengaruh regime sungai
Regime sungai mempunyai pengaruh yang cukup dominan dalam
pemilihan lokasi bendung. Salah satu gambaran karakter regime sungai yaitu
adanya perubahan geometri sungai baik. secara horizontal ke kiri dan ke
kanan atau secara vertikal akibat gerusan dan endapan sungai. Bendung di
daerah pegunungan dimana kemiringan sungai cukup besar, akan terjadi
kecenderungan gerusan akibat gaya seret aliran sungai yang cukup besar.
Sebaliknya di daerah dataran dimana kemiringan sungai relatif kecil akan
ada pelepasan sedimen yang dibawa air menjadi endapan tinggi di sekitar
bendung. Jadi dimanapun kita memilih lokasi bendung tidak akan terlepas
dari pengaruh endapan atau gerusan
sungai. Kecuali di pegunungan ditemukan lokasi bendung dengan dasar
sungai dari batuan yang cukup kuat, sehingga mempunyai daya tahan
batuan terhadap gerusan air yang sangat besar, maka regime sungai hampir
tidak mempunyai pengaruh terhadap lokasi bendung. Yang perlu dihindari
adalah lokasi dimana terjadi perubahan kemiringan sungai yang mendadak,
karena ditempat ini akan terjadi endapan atau gerusan yang tinggi.
Perubahan kemiringan dari besar menjadi kecil akan mengurangi gaya seret
air dan akan terjadi pelepasan sedimen yang dibawa air dari hulu. Dan
sebaliknya perubahan kemiringan dari kecil ke besar akan mengkibatkan
gerusan pada hilir bendung. Meskipun keduanya dapat diatasi dengan
rekayasa hidraulik, tetapi hal yang demikan tidak disukai mengingat
memerlukan biaya yang tinggi. Untuk itu disarankan memilih lokasi yang
relatif tidak ada perubahan kemiringan sungai.
5. Tingkat kesulitan saluran induk
Lokasi bendung akan membawa akibat arah trace saluran induk. Pada
saat lokasi bendung dipilih dikaki bukit, maka saluran induk biasanya berupa
saluran kontur pada kaki bukit yang pelaksanaannya tidak terlalu sulit.
Namun hal ini biasanya elevasi puncak bendung sangat terbatas, sehingga
luas layanan irigasi juga terbatas. Hal ini disebabkan karena tinggi bendung
dibatasi 6-7 m saja.
Untuk mengejar ketinggian dalam rangka mendapatkan luas layanan
yang lebih luas, biasanya lokasi bendung digeser ke hulu. Dalam keadaan
demikian saluran induk harus menyusuri tebing terjal dengan galian yang
cukup tinggi. Sejauh galian lebih kecil 8 m dan timbunan lebih kecil 6 m,
maka pembuatan saluran induk tidak terlalu sulit. Namun yang harus
diperhatikan adalah formasi batuan di lereng dimana saluran induk itu
terletak. Batuan dalam volume besar dan digali dengan teknik peledakan
akan mengakibatkan biaya yang sangat mahal, dan sebisa mungkin
dihindari. Kalau dijumpai hal yang demikian, lokasi bendung digeser sedikit
ke hilir untuk mendapatkan solusi yang kompromistis antara luas area yang
didapat dan kemudahan pembuatan saluran induk.
6. Ruang untuk bangunan pelengkap bendung
Meskipun dijelaskan dalam butir 1 bahwa lembah sempit adalah
pertimbangan topografis yang paling ideal, tetapi juga harus dipertimbangkan
tentang perlunya ruangan untuk keperluan bangunan pelengkap bendung.
Bangunan tersebut adalah kolam pengendap, bangunan kantor dan gudang,
bangunan rumah penjaga pintu, saluran penguras lumpur, dan komplek pintu
penguras, serta bangunan pengukur debit. Kolam pengendap dan saluran
penguras biasanya memerlukan panjang 300 – 500 m dengan lebar 40 – 60
m, diluar tubuh bendung. Lahan tambahan diperlukan untuk satu kantor, satu
gudang dan 2-3 rumah penjaga bendung. Pengalaman selama ini sebuah
rumah
penjaga bendung tidak memadai, karena penghuni tunggal akan terasa
jenuh dan cenderung meninggalkan lokasi.
7. Luas layanan irigasi
Lokasi bendung harus dipilih sedemikian sehingga luas layanan irigasi
agar pengembangan irigasi dapat layak. Lokasi bendung kearah hulu akan
mendapatkan luas layanan lebih besar bendung cenderung dihilirnya.
Namun demikian justifikasi dilakukan untuk mengecek hubungan antara
tinggi luas layanan irigasi. Beberapa bendung yang sudah definitip, kadang-
kadang dijumpai penurunan 1 m, yang dapat menghemat beaya
pembangunan hanya mengakibatkan pengurangan luas beberapa puluh Ha
saja. Oleh karena itu kajian tentang kombinasi tinggi bendung dan luas
layanan irigasi perlu dicermati sebelum diambil keputusan final.
8. Luas daerah tangkapan air
Pada sungai bercabang lokasi bendung harus dipilih sebelah hulu atau
hilir cabang anak sungai. Pemilihan sebelah hilir akan mendapatkan daerah
tangkapan air yang lebih besar, dan tentunya akan mendapatkan debit
andalan lebih besar, yang muaranya akan mendapatkan potensi irigasi lebih
besar. Namun pada saat banjir elevasi deksert harus tinggi untuk
menampung banjir 100 tahunan ditambah tinggi jagaan (free board) atau
menampung debit 1000 tahunan tanpa tinggi jagaan. Lokasi di hulu anak
cabang sungai akan mendapatkan debit andalan dan debit banjir relatip kecil,
namun harus membuat bangunan silang sungai untuk membawa air di
hilirnya. Kajian teknis, ekonomis, dan sosial harus dilakukan dalam memilih
lokasi bendung terkait dengan luas daerah tangkapan air.
9. Tingkat kemudahan pencapaian
Setelah lokasi bendung ditetapkan secara definitip, akan dilanjutkan
tahap perencanaan detail, sebagi dokumen untuk pelaksanaan
implementasinya. Dalam tahap pelaksanaan inilah dipertimbangkan tingkat
kemudahan pencapaian dalam rangka mobilisasi alat dan bahan serta
demobilisasi setelah selesai pelaksanaan fisik. Memasuki tahap operasi dan
pemeliharaan bendung, tingkat kemudahan pencapaian juga amat penting.
Kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan inspeksi terhadap kerusakan
bendung memerlukan jalan masuk yang memadai untuk kelancaran
pekerjaan. Atas dasar pertimbangan tersebut maka dalam menetapkan
lokasi bendung harus dipertimbangkan tingkat kemudahan pencapaian
lokasi.
10. Biaya pembangunan
Dalam pemilihan lokasi bendung, perlu adanya pertimbangan pemilihan
beberapa alternatif, dengan memperhatikan adanya faktor dominan. Faktor
dominan tersebut ada yang saling memperkuat dan ada yang saling
melemahkan. Dari beberapa alternatip tersebut selanjutnya dipertimbangkan
metode pelaksanaannya serta pertimbangan lainnya antara lain dari segi O &
P. Hal ini antara lain akan menentukan besarnya beaya pembangunan.
Biasanya beaya pembangunan ini adalah pertimbangan terakhir untuk dapat
memastikan lokasi bendung dan layak dilaksanakan.
11. Kesepakatan pemangku kepentingan
Sesuai amanat dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan
Peraturan Pemerintah No. 20/2006 tentang Irigasi bahwa keputusan penting
dalam pengembangan sumberdaya air atau irigasi harus didasarkan
kesepakatan pemangku kepentingan lewat konsultasi publik. Untuk itu
keputusan mengenai lokasi bendungpun harus dilakukan lewat konsultasi
publik, dengan menyampaikan seluas-luasnya mengenai alternatif-alternatif
lokasi, tinjauan dari aspek teknis, ekonomis, dan sosial. Keuntungan dan
kerugiannya, dampak terhadap para pemakai air di hilir bendung,
keterpaduan antar sektor, prospek pemakaian air di masa datang harus
disampaikan pada pemangku kepentingan terutama masyarakat tani yang
akan memanfaatkan air irigasi.
Rekomendasi syarat pemilihan lokasi bendung sebagai berikut:
1. Topografi : dipilih lembah sempit dan tidak terlalu dalam dengan
mempetimbangkan topografi di daerah tangkapan air maupun daerah
layanan irigasi
2. Geoteknik : dipilih dasar sungai yang mempunyai daya dukung kuat,
stratigrafi lapisan batuan miring ke arah hulu, tidak ada sesar aktif, tidak
ada erosi buluh, dan dasar sungai hilir bendung tahan terhadap gerusan
air. Disamping itu diusahakan keadaan batuan tebing kanan dan kiri
bendung cukup kuat dan stabil serta relatif tidak terdapat bocoran
samping.
3. Hidraulik : dipilih bagian sungai yang lurus. Jika bagian sungai lurus tidak
didapatkan, lokasi bendung ditolerir pada belokan sungai; dengan syarat
posisi bangunan intake harus terletak pada tikungan luar dan terdapat
bagian sungai yang lurus di hulu bendung. Kalau yang terakhir inipun
tidak terpenuhi perlu dipertimbangkan pembuatan bendung di kopur atau
dilakukan rekayasa perbaikan sungai (river training).
4. Regime sungai : Hindari lokasi bendung pada bagian sungai dimana
terjad perubahan kemiringan sungai secara mendadak, dan hindari
bagian sungai dengan belokan tajam. Pilih bagian sungai yang lurus
mempunyai kemiringan relatif tetap sepanjang penggal tertentu.
5. Saluran induk : Pilih lokasi bendung sedemikian sehingga pembanguna
saluran induk dekat bendung tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mahal.
Hindari trace saluran menyusuri tebing terjal apalagi berbatu. Usahakan
ketinggian galian tebing pada saluran induk kurang dari 8 m dan
ketinggian timbunan kurang dari 6 m.
6. Ruang untuk bangunan pelengkap : Lokasi bendung harus dapat
menyediakan ruangan untuk bangunan pelengkap bendung, utamanya
untuk kolam pengendap dan saluran penguras dengan panjang dan
lebar masing-masing kurang lebih 300 – 500 m dan 40 – 60 m.
7. Luas layanan irigasi : Lokasi bendung harus sedemikian sehingga dapat
memberikan luas layanan yang memadai terkait dengan kelayakan
sistem irigasi. Elaborasi tinggi bendung (yang dibatasi sampai dengan 6
– 7 m), menggeser lokasi bendung ke hulu atau ke hilir, serta luas
layanan irigasi harus dilakukan untuk menemukan kombinasi yang paling
optimal.
8. Luas daerah tangkapan air : Lokasi bendung harus dipilih denga
mempertimbangkan luas daerah tangkapan, terkait dengan debit andalan
yang didapat dan debit banjir yang mungkin terjadi menghantam
bendung. Hal ini harus dikaitkan dengan luas layanan yang didapat dan
ketinggian lantai layanan dan pembangunan bangunan melintang anak
sungai (kalau ada).
9. Pencapaian mudah : Lokasi bendung harus refatip mudah dicapai untuk
keperluan mobilisasi alat dan bahan saat pembangunan fisik maupun
operasi dan pemeliharaan. Kemudahan melakukan inspeksi oleh aparat
pemerintah juga harus dipertimbangkan masak-masak.
10. Biaya pembangunan yang efisien : dari berbagai alternatif lokasi bendung
dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dominan, akhirnya dipilih
lokasi bendung yang beaya konstruksinya minimal tetapi memberikan
ouput yang optimal.
11. Kesepakatan stakeholder : apapun keputusannya, yang penting adalah
kesepakatan antar pemangku kepentingan lewat konsultasi publik. Untuk
itu direkomendasikan melakukan sosialisasi pemilihan lokasi bendung.
Ada beberapa karakteristik sungai yang perlu dipertimbangkan agar
dapat diperoleh perencanaan bangunan bendung yang baik. Beberapa di
antaranya adalah: kemiringan dasar sungai, bahan-bahan dasar dan
morfologi sungai Diandaikan bahwa jumlah air yang mengalir dan
distribusinya dalam waktu bertahun-tahun telah dipelajari dan diangga
memadai untuk kebutuhan irigasi.
2.3 Perencanaan Pelimpah
Bangunan tubuh bendung (weir) terdiri dari : pelimpah (spilway), peredam
energi (energy dissipator), pondasi bendung dan lantai hulu bendung.
Pelimpah berfungsi untuk menaikkan elevasi muka air. Elevasi puncak
pelimpah direncanakan berdasarkan banyak hal antara lain: elevasi muka air
rencana di bangunan bagi paling hulu, kehilangan tinggi energi pada alat ukur,
kehilangan tinggi energi pada pengambilan saluran primer, kehilangan tinggi
energi pada pengambilan, faktor keamanan dan kemiringan saluran antara
bangunan intake dengan bangunan bagi paling hulu.
Ada beberapa pelimpah antara lain : pelimpah profil Bulat, pelimpah profil Bazin,
pelimpah profil Modified Creager, pelimpah menurut standar WES (Waterways
Experiment Station) serta banyak lagi bentuk profil lainnya.

2.4 Bentuk bendung pelimpah


Di Indonesia umumnya digunakan 2 tipe mercu untuk bendung pelimpah yaitu
mercu ogee dan mercu bulat.
1. Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisiensi debit yang jauh
lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar.
Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan
ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir.
Tinggi energi di atas mercu dapat dihitung dengan persamaan tinggi
energi – debit, untuk ambang bulat dan pengontrol segi empat
(StandartPerencanaan Irigasi KP-02,1986) yaitu :
Q=Cd.2/3.√(2/3.g).Be.H1^3/2..................................................... (2.1)
Di mana :
Q = debit, m3/ dt
Cd = koefisien debit (Cd = C0.C1.C2.)
g = percepatan gravitasi, 9,8 m/dt2
b = lebar mercu, m
H1 = tinggi air di atas mercu, m
C0 = fungsi (r = jari-jari mercu), gambar 2.1
C1 = fungsi (P = tinggi mercu), gambar 2.2
C2 = fungsi dan kemiringan muka hulu, gambar 2.3
Sumber : Standart Perencanaan Irigasi KP-02,1986
Gambar 2.1 Koefisien C0

Sumber : Standart Perencanaan Irigasi KP-02,1986


Gambar 2.2 Koefisien C1

Sumber : Standart Perencanaan Irigasi KP-02,1986


Gambar 2.3 Koefisien C2

Tinggi muka air banjir diatas mercu dapat dihitung dengan persamaan
(Standart Perencanaan Irigasi KP-02,1986) yaitu :

Di mana :
Q = debit, m3/ dt
Cd = koefisien debit (Cd = C0.C1.C2.)
g = percepatan gravitasi, 9,8 m/dt2
b = lebar mercu, m
H1 = tinggi air di atas mercu, m

2. Mercu Ogee
Mercu Ogee adalah sebuah mercu bendung yang memiliki bentuk
tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu
mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub atmosfir pada permukaan
mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.Untuk debit
rendah , air akan memberikan tekanan kebawah pada mercu (Standart
Perencanaan Irigasi KP-02,1986).

.............................................................................(2.5)
Di mana :
X dan Y = koordinat-koordinat permukaan hilir bendung
Hd = tinggi air di atas mercu
K dan n = konstanta dari faktor kemiringan permukaan hulu
Tabel 2.1 Harga-harga K dan n
Kemiringan K N
Permukaan
hilir
Vertikal 2,000 1,850
3:1 1,936 1,836
3:2 1,939 1,810
1:1 1,873 1,776
Sumber: Standar Perencanaan Irigasi KP-02,1986

2.5 Mercu bendung


Mercu bendung merupakan struktur utama yang berfungsi untuk
membendung laju aliran sungai dan menaikkan tinggi muka air sungai dari elevasi
awal. Bagian ini biasanya terbuat dari urugan tanah, pasangan batu kali, dan
bronjong atau beton. Tubuh bendung umumnya dibuat melintang pada aliran
sungai.

2.4.1. Tinggi Mercu Bendung Dipengaruhi Oleh Beberapa Faktor, Yaitu:


1. Elevasi sawah bagian hilir tertinggi dan terjauh.
2. Elevasi kedalaman air di sawah.
3. Kehilangan tekanan dari saluran tersier ke sawah.
4. Kehilangan tekanan dari saluran sekunder ke saluran tersier.
5. Kehilangan tekanan dari saluran primer ke saluran sekunder.
6. Kehilangan tekanan karena kemiringan saluran.
7. Kehilangan tekanan di alat – alat ukur.
8. Kehilangan tekanan dari sungai ke saluran primer.
9. Persediaan tekanan untuk eksploitasi.
10. Persediaan untuk bangunan lain.
Tinggi mercu bendung, p, yaitu ketinggian antara elevasi lantai udik atau
dasar sungai di udik bendung dan elevasi mercu. Dalam menentukan tinggi mercu
bendung maka harus dipertimbangkan terhadap :
1. Kebutuhan penyadapan untuk memperoleh debit dan tinggi tekan.
2. Kebutuhan tinggi energi untuk pembilasan.
3. Tinggi muka air genangan yang akan terjadi.
4. Kesempurnaan aliran pada bendung.
5. Kebutuhan pengendalian angkutan sedimen yang terjadi di bendung.
Tinggi mercu bendung, dianjurkan tidak lebih dari 4,00 meter dan minimum
0,5 H (H = tinggi energi di atas mercu).

2.4.2. Tinggi Air Diatas Mercu Bendung Dipengaruhi Oleh:


1. Lebar Bendung
Lebar bendung adalah jarak antara dua tembok pangkal bendung
(abutment), termasuk lebar bangunan pembilas dan pilar-pilarnya. Ini
disebut lebar mercu bruto. Biasanya lebar bendung (B) < 6/5 lebar normal
(Bn). Dalam penentuan panjang mercu bendung, maka harus
diperhitungkan terhadap :
Dalam penentuan panjang mercu bendung, maka harus diperhitungkan
terhadap :
a. Kemampuan melewatkan debit desain dengan tinggi jagaan yang cukup;
b. Batasan tinggi muka air genangan maksimum yang diijinkan pada debit
desain.
Berkaitan dengan itu panjang mercu dapat diperkirakan, yaitu :
a. Sama lebar dengan lebar rata-rata sungai stabil atau pada debit penuh alur
(bank full discharge);
b. Umunya diambil sebesar 1,2 kali lebar sungai rata-rata, pada ruas sungai
yang telah stabil.
c. Pengambilan lebar mercu tidak boleh terlalu pendek dan tidak pula terlalu
lebar.
d. Bila desain panjang mercu bendung terlalu pendek, akan memberikan
tinggi muka air di atas mercu lebih tinggi. Akibatnya tanggul banjir di udik
akan bertambah tinggi pula. Demikian pula genangan banjir akan
bertambah luas.
e. Sebaliknya bila terlalu lebar dapat mengakibatkan profil sungai bertambah
lebar pula sehingga akan terjadi pengendapan sedimen di udik bendung
yang dapat menimbulkan gangguan penyadapan aliran ke intake.

Lebar Efektif Bendung


Lebar bendung adalah panjang bagian bendung yang terlintas air
Sama dengan lebar sungai rata-rata sungai di daerah lokasi bendung,
dikurangi dengan fasilitas bangunan pembilas.

Be  B  2n.K p  K a H 1
.........................................................(2.6)
dengan :
Be = Lebar Efektif Bendung
B = Lebar Bendung
n = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
H1 = tinggi energi

2.6 Bangunan intake


Bangunan Intake atau Pintu Pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air
yang masuk saluran dan mencegah masuknya benda-benda padat dan kasar
ke dalam saluran. Ada 2 tempat pengambilan yaitu kanan dan kiri tergantung
letak daerah yang diairi. Terkadang bila salah satu pengambilan debitnya kecil,
maka pengambilannya lewat gorong-gorong yang dibuat pada tubuh bendung.
Dengan demikian tidak perlu dibuat 2 bangunan penguras dan cukup satu.

Gambar 2.4. Posisi Intake

Gambar 2.5. Tipe Pintu Pengambilan : Pintu Sorong Kayu dan Baja
Gambar 2.6. Pintu Pengambilan Tipe Radial

2.7 Perencanaan bangunan pelimpah


Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang
berfungsisebagai penyadap aliran sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen
serta menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake.
1. Lebar dan Tinggi Lubang
Perencanaan pintu pada saluran intake menggunakan pintu aliran bawah
karena air yang mengalir melalui bagian bawah pintu. Ada duamacam
aliran yang dapat terjadi lewat bawah pintu, yaitu aliran bebas dan aliran
tenggelam. Persamaan yang digunakan (Ven Te Chow,1959) adalah :

...................................................................(2.7)
Dimana :
Q = debit desain (m3/det)
C = koefisien pelepasan,
g = percepatan gravitasi
L = Lebar pintu air (m)
h = tinggi bukaan pintu (m)
y1 = tinggi air didepat pintu (m)
Sumber: Ven Te Chow,1959
Gambar 2.7. koefisien buang untuk pintu air gesek tegak vertikal

2. Tipe Intake
a. Intake samping
Jenis ini dari intake adalah yang paling umum digunakan. Intake
jenis ini sangat cocok digunakan pada sungai dimana konsentrasi endapan
pada arah vertikal.

Gambar 2.8. Intake samping


b. Drop intake (bottom intake)
Drop intake cocok dibangun pada sungai yang memiliki sedimen
berukuran besar seperti kerikil dan boulder karena tidak mempunyai bagian
penghalang aliran sungai dan bahan dasar kasar. Bendung tidak mudah
rusak akibat hempasan batu-batu bongkah yang diangkut aliran. Batu-batu
ini akan lolos begitu saja ke hilir sungai. Drop intake tidak cocok untuk
sungai yang fluktuasi bahan angkutannya besar. Sungai di daerah-daerah
gunung api muda dapat mempunyai agradasi dan degradasi yang besar
dalam jangka waktu singkat. Mengingat bendung ini cocok dibangun
disungai dengan kemiringan memanjang yang curam, maka tubuh bendung
harus kuat dan stabil mengatasi tekanan sedimen ukuran besar seperti
pasir, kerakal dan boulder.

Gambar 2.9. Drop intake


Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan panjang saringan adalah
sebagai berikut (Tata cara desain hidraulik bangunan pengambil pada
bangunan Tyrol, Pd-T-01-2003):

......................................................................(2.8)

............................................................................(2.9)

..................................................................................(2.10)
H1 = c . hc ................................................................................(2.12)

...............................................................(2.13)

..............................................................................(2.14)

......................................................(2.15)
Dimana :
L = panjang saringan ke arah aliran (m)
q = debit per satuan lebar (m3/dt.m)
n = lebar celah saringan (m)
c = koefisisen kemiringan saringan
m = jarak antara sumbu saringan (m)
g = percepatan gravitasi m/dt (9,81)
α = kemiringan saringan (o)
h1 = kedalaman enegi di hulu saringan (m)
hc = kedalam aliran kritis (m)
ψ = koefisien saringan
λ = koefisien kemampuan sadap

Tabel 2.2 Harga-harga c yang bergantung kepada kemiringan saringan

Perencanaan saluran pengumpul pada drop intake menggunakan


persamaan stricker (Standart Perencanaan Irigasi KP-04,1986) yaitu :
Q = A x V ................................................................................. (2.16)
V = k . R2/3 . I0,5
A=bxh
P = A/P
Dimana :
Q = debit rencana (m3/det)
V = kecepatan (m/dt)
A = luas penampang (m2)
P = keliling basah (m)
R = jari-jari hidrolis (m)
I = kemiringan saluran
Kemiringan dasar saluran pengumpul menggunakan rumus (Tata
cara desain hidraulik bangunan pengambil pada bangunan Tyrol, Pd-T-01-
2003) yaitu :

.............................................................(2.17)
Dimana :
I0min = kemiringan dasar saluran pengumpul
D = diameter butir sedimen terbesar yang lolos saringan (m)
q = debit yang disadap per unit panjang bentang saringan pengambil
(m3/dt/m’)

2.8 Perencanaan bangunan pembilas


Bangunan pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang
terletak dekat dan menjadi satu kesatuan dengan bangunan pengambilan(intake).
Berfungsi untuk menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi
angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake. Pembilas pengambilan
dilengkapi dengan pintu dan bagian depannya terbuka untuk menjaga jika terjadi
muka air tinggi selama banjir, besarnya bukaan pintu bergantung kepada
kecepatan aliran masuk yang diizinkan. Kecepatan ini bergantung kepada ukuran
butir bahan yang dapat diangkut.
Kapasitas pengambilan harus sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan
pengambilan (dimension requirement) guna menambah fleksibilitas dan agar
dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek.
Rumus dibawah ini memberikan perkiraan kecepatan yang dimaksud: 𝑉2 ≥

32 ( 𝑑 )1/3𝑑 ...............................................................................(2.18)

di mana:
v : kecepatan rata-rata, m/dt
h : kedalaman air, m
d : diameter butir, m
Dalam kondisi biasa, rumus ini dapat disederhanakan menjadi:
v ≈ 10 d0.5
Dengan kecepatan masuk sebesar 1,0 – 2,0 m/dt yang merupakan
besaran perencanaan normal, dapat diharapkan bahwa butir-butir
berdiameter 0,01 sampai 0,04 m dapat masuk.
Q = μ b a 2gz ............................................................................(2.19)
di mana: Q = debit, m3/dt
μ = koefisiensi debit: untuk bukaan di bawah permukaan air dengan
kehilangan tinggi energi, μ = 0,80
b = lebar bukaan, m
a = tinggi bukaan, m
g = percepatan gravitasi, m/dt2 (≈ 9,8)
Lantai pembilas merupakan kantong tempat mengendapnya bahanbahan
kasar di depan pembilas pengambilan. Sedimen yang terkumpul dapat dibilas
dengan jalan membuka pintu pembilas secara berkala guna menciptakan aliran
terkonsentrasi tepat di depan pengambilan. Pengalaman yang diperoleh dari
banyak bendung dan pembilas yang sudah dibangun, telah menghasilkan
beberapa pedoman menentukan lebar pembilas:
a. lebar pembilas ditambah tebal pilar pembagi sebaiknya sama dengan 1/6 –
1/10 dari lebar bersih bendung (jarak antara pangkalpangkalnya), untuk
sungai-sungai yang lebarnya kurang dari 100 m.
b. lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan
termasuk pilar-pilarnya.
Juga untuk panjang dinding pemisah, dapat diberikan harga empiris.
Dalam hal ini sudut a pada Gambar 2.10 sebaiknya diambil sekitar 60⁰ sampai
70⁰.
Gambar 2.10 Geometri pembilas

Pintu pada pembilas dapat direncana dengan bagian depan terbuka atau
Tertutup. Pintu dengan bagian depan terbuka memiliki keuntungan-keuntungan
berikut:
a. ikut mengatur kapasitas debit bendung, karena air dapat mengalir melalui
pintu-pintu yang tertutup selama banjir.
b. pembuangan benda-benda terapung lebih mudah, khususnya bila pintu
dibuat dalam dua bagian dan bagian atas dapat diturunkan.
Kelemahan-kelemahannya:
a. sedimen akan terangkut ke pembilas selama banjir; hal ini bisa
menimbulkan masalah, apalagi kalau sungai mengangkut banyak bongkah.
Bongkah-bongkah ini dapat menumpuk di depan pembilas dan sulit
disingkirkan.
b. benda-benda hanyut bisa merusakkan pintu.
c. karena debit di sungai lebih besar daripada debit di pengambilan, maka air
akan mengalir melalui pintu pembilas; dengan demikian kecepatan menjadi
lebih tinggi dan membawa lebih banyak sedimen.

2.9 Perencanaan bangunan peredam energi


Kolam olak adalah suatu bangunan berupa olak di hilir bendung yang berfungsi
untuk meredam energi yang timbul di dalam aliran air superkritis yang melewati
pelimpah.
Faktor pemilihan tipe kolam olak :
1. Tinggi bendung
2. Keadaan geoteknik tanah dasar misalnya jenis batuan, lapisan, kekerasan
tekan, diameter butir dsb.
3. Jenis angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai.
4. Keadaan aliran yang terjadi di bangunan peredam energi seperti aliran
tidak sempurna/tenggelam, loncatan air lebih rendah atau lebih tinggi.
Tipe kolam olak:
1. Berdasarkan Bilangan Froude:
a. Untuk Fr ≤ 1,7 tidak diperlukan kolam olak. Pada saluran tanah bagian hilir
harus dilindungi dari bahaya erosi.
b. Bila 1,7 < Fr ≤ 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi
secara efektif. Kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik.
c. Jika 2,5 < Fr ≤ 4,5 maka loncatan air tidak terbentuk dan menimbulkan
gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Kolam olak yang digunakan
untuk menimbulkan turbulensi (olakan) yakni tipe USBR tipe IV.
d. Untuk Fr ≥ 4,5 merupakan kolam olak yang paling ekonomis, karena kolam
ini pendek. Kolam olak yang sesuai adalah kolam USBR tipe III.
2. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam
Jika kedalaman konjungsi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding kedalaman
air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai
kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas
bendung, maka dapat dipakai peredam energi yang relatif pendek tetapi
dalam. Dapat dihitung dengan rumus:
3 𝑞2
ℎ𝑐 = √ 𝑔 .................................................................................(2.20)

Di mana :
hc = kedalaman air kritis (m)
q = debit per lebar satuan (m3/dt.m)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt)
Gambar 2.11 Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam
3. Kolam Vlughter
Kolam vlughter dikembangkan untuk bangunan terjun di saluran irigasi. Batas-
batas yang diberikan untuk Z/hc 0,5; 2,0; 15,0 dihubungkan dengan bilangan
Froude. Bilangan Froude itu diambil dalam Z di bawah tinggi energi hulu.
Kolam vlughter bisa dipakai sampai beda tinggi energi Z tidak lebih dari 4,50
m.

Gambar 2.12 Kolam Vlughter

...............................................................................(2.21)

..........................................................................(2.22)
D = R = L ( ukuran dalam m )
4. Kolam Schoklitsch
Armin Schoklitsch menemukan kolam olakan yang ukuran-ukurannya tidak
tergantung pada tinggi muka air hulu maupun hilir, melainkan tergantung pada
debit per satuan lebar.

Gambar 2.13
Kolam Schoklitsch
( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air)
Panjang kolam olakan L = ( 0,5-1 ) w
1
𝑤 1
Tinggi ambang hilir dari lantai S = 𝛽 𝑞 2 ( 𝑔 )4 dengan harga minimum 0,1 w.

Untuk faktor β dapat diambil dari Gambar grafik di bawah, dan faktor ξ diambil
antara 0,003 dan 0,08. Harga ρ pada umumnya diambil 0,15.

Gambar 2.14 Grafik Faktor β


( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air)

2.10 Analisis stabilitas bendung


Konstruksi bendung harus kuat menahan gaya-gaya yang bekerja. Analisis
stabilitas bendung akan ditinjau pada kondisi air normal dan juga pada kondisi
air banjir. Gaya-gaya yang diperhitungkan dalam perencanaan bendung ini
meliputi :
1. Berat sendiri bendung
2. Gaya gempa
3. Tekanan hidrostatis
4. Gaya angkat (uplift pressure)
5. Gaya akibat tekanan Lumpur
Dari gaya-gaya diatas kemudian dianalisis stabilitas bendung terhadap :
a. Stabilitas guling
b. Stabilitas geser
c. Stabilitas daya dukung tanah
Analisis Stabilitas bendung akan dilakukan pada beberapa macam
kombinasi dari tipe mercu, tipe intake dan tipe peredam energi seperti pada
tabel

Tabel 2.3. kombinasi Tipe Mercu, Tipe Intake dan Tipe Peredam Energi

Stabilitas bendung dianalisis pada tiga macam kondisi yaitu pada saat
sungai kosong, normal dan pada saat sungai banjir.

Gambar 2.15 Gaya-gaya Yang Bekerja pada Tubuh Bendung


Keterangan :
W : Gaya Hidrostatis Up : Gaya Angkat (Uplift Pressure)
Pa : Tekanan Tanah Aktif Pp : Tekanan Tanah Pasif
G : Gaya Akibat Berat Sendiri
Tinjauan stabilitas yang diperhitungkan dalam perencanaan suatu bendung
meliputi:
2.10.1 Analisis Gaya-gaya Vertikal
2.10.1.1 Akibat Berat Sendiri Bendung
Gaya akibat berat sendiri bending adalah :
G = V * γ ...................................................................................(2.23)
Di mana:
V = Volume (m3)
γ = berat jenis bahan, beton = 2,4 T/m3
2.10.1.2 Gaya Angkat (Uplift Pressure)
Rumus yang dipakai:
Px = Hx – H ..............................................................................(2.24)
Px =Hx – (Lx*ΔH/L) ..................................................................(2.25)
(Irigasi dan Bangunana Air, Gunadarma Hal 131)
Di mana:
Px = Uplift Pressure (akibat tekanan air) pada titik X (T/m2)
Lx = jarak jalur rembesan pada titik x (m)
L = panjang total jalur rembesan (m)
ΔH = beda tinggi energi (m)
Hx = tinggi energi di hulu bendung
2.10.2 Analisis Gaya-gaya Horisontal
2.10.2.1 Gaya Akibat Tekanan Lumpur
Rumus yang dipakai:

...............................................................(2.26)
(Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma, hal 132)
Di mana:
Ps = gaya yang terletak pada 2/3 kedalaman dari atas lumpur yang bekerja
secara horisontal (kg)
θ = sudut geser dalam
γ s = berat jenis lumpur (kg/m3) = 1600 kg/m3 = 1,6 T/m3
h = kedalaman lumpur (m)
2.10.2.2 Gaya Hidrostatis
Rumus yang dipakai:
Wu = c.γ w[h2 + ½ ζ (h1-h2)]A .................................................(2.27)
(Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma, hal 131)
Di mana:
c = proposan luas dimana tekanan hidrostatis bekerja (c = 1 untuk semua
tipe pondasi)
γ w = berat jenis air (kg/m3) = 1000 kg/m3 = 1 T/m3
h2 = kedalaman air hilir (m)
h1 = kedalaman air hulu (m)
ζ = proporsi tekanan, diberikan pada Tabel 2.33 (m)
A = luas dasar (m2)
Wu = gaya tekanan ke atas resultante (Ton)

Tabel 2.4Harga-harga ζ

2.9.2.3 Gaya Akibat Tekanan Tanah Aktif dan Pasif


a. Tekanan tanah aktif dihitung dengan rumus sebagai berikut:

...........................................(2.28)

......................................(2.29)
b. Tekanan tanah pasif dihitung dengan rumus sebagai berikut:

......................................................................(2.30)
....................................................................(2.31)

Keterangan :
Pa = tekanan tanah aktif (T/m2)
Pp = tekanan tanah pasif (T/m2)
φ = sudut geser dalam ( 0 )
g = gravitasi bumi = 9,81 m/detik2
h = kedalaman tanah aktif dan pasif (m)
γsub = berat jenis submerged / tanah dalam keadaan terendam
(T/m3)
γsat = berat jenis saturated / tanah dalam keadaan jenuh (T/m3)
γw = berat jenis air = 1,0 T/m3
Gs = Spesifik Gravity
e = Void Ratio
2.9.2.4Gaya Gempa
Untuk menghitung gaya gempa dipakai rumus sebagai berikut:
.............................................................................(2.32)

.......................................................................................(2.33)
Di mana:
ad = percepatan gempa rencana (cm/dt2)
n, m = koefisien untuk masing-masing jenis tanah
aC = percepatan kejut dasar (cm/dt2)
z = faktor yang tergantung dari letak geografis (dapat dilihat
pada“Peta Zona Seismik untuk Perencanaan Bangunana Air Tahan
Gempa”)
E = koefisien gempa
G = percepatan gravitasi = 9,81 m/dt2.
Dari koefisien gempa di atas, kemudian dicari besarnya gaya gempa dan
momen akibat gaya gempa dengan rumus:
K = E x G .................................................................................(2.34)
Di mana:
E = koefisien gempa
K = gaya gempa
G = berat bangunan (Ton)
Momen: → M = K x Jarak (m)
Setelah menganalisis gaya-gaya tersebut, kemudian diperiksa stabilitas
bendung terhadap guling, geser, pecahnya struktur, erosi bawah tanah
(piping) dan daya dukung tanah.
2.9.3 Analisis Stabilitas Bendung
2.9.3.1 Terhadap Guling
Rumus yang digunakan untuk cek terhadap guling adalah sebagai berikut:

.......................................................................(2.35)
Di mana :
SF = faktor keamanan
Σ MT = jumlah momen tahan (Ton meter)
Σ MG = jumlah momen guling (Ton meter)
2.9.3.2 Terhadap Geser
Rumus yang digunakan untuk cek terhadap geser adalah sebagai berikut:

......................................................................(2.36)
Di mana :
SF = faktor keamanan
Σ RV = total gaya vertikal (Ton)
Σ RH = total gaya horisontal (Ton)
f = koefisien gesekan = (0,6-0,75)
2.9.3.3 Terhadap Daya Dukung Tanah
Dari data tanah pada lokasi bendung Sapon, diketahui :
γ = berat jenis tanah (T/m3)
c = kohesi
φ = sudut geser dalam
Df kedalaman pondasi (m)
Nc, Nq, Nγ didapat dari grafik Terzaghi
Rumus daya dukung tanah Terzaghi :
qult = c . Nc + γ . Nq . Df + 0,5 .γ. B . N ..................................(2.37)

.................................................................................(2.38)
Kontrol:

Di mana :
SF = faktor keamanan
RV = gaya vertikal (Ton)
B = panjang tubuh bendung (m)
σ = tegangan yang timbul (T/m2)
σ = tegangan ijin (T/m2)
2.9.3.4 Terhadap Erosi Bawah Tanah (Piping)
Keamanan bendung terhadap erosi bawah bendung dihitung dengan rumus:

......................................................................(2.39)
Di mana :
SF = faktor keamanan
s = kedalaman tanah (m)
a = tebal lapisan pelindung (m)
hs = tekanan air pada kedalaman s (kg/m2)
Rumus di atas mengasumsikan bahwa berat volume tanah di bawah air
dapat diambil 1 (γw = γs = 1 T/m3). Faktor keamanan, SF sekurang-kurangnya
2.

Anda mungkin juga menyukai