Anda di halaman 1dari 5

Al ‘Adl (Asmaul Husna)

Kata ini adalah kata dasar, di mana Allah menyifatkan diri-Nya sebagai sifat
mubalaghah, yakni bersifat adil yang sempurna. Dia bersih dari sifat aniaya, baik dalam hukum-
Nya maupun dalam perbuatan-Nya. Di antara hukum-Nya mengenai hak hamba-hamba-Nya
adalah, bahwasanya tidak ada bagi manusia itu kecuali apa yang dia usahakan, dan bahwa hasil
dari segala usahanya itu akan dilihatnya. Sesungguhnya orang-orang yang saleh berada di dalam
surga yang penuh dengan kenikmatan, dan bahwa orang-orang durhaka akan dimasukkan ke
dalam api neraka jahanam.
harus adil, tidak memihak untuk menyesuaikan dengan benar, untuk membuat bahkan
untuk meluruskan, memperbaiki, menegakkan keadilan untuk menyeimbangkan, mengimbangi,
untuk membuat yang sama, seragam untuk mengaktifkan salah satu dari sesuatu, benar langsung
untuk membuat nyaman dengan apa yang benar
·         “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan ...” (an-Nahl:
90)
·         “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil”. (al-Ma’idah: 8)
·         Alhasil, semua sifat Allah, selain sifat berkuasa (al-qudrah) dan mengetahui (al-‘ilm).
Sifat-sifat Allah terdiri dua jenis; (a) sifat-sifat yang tidak dapat terpisah dari Zat-Nya, seperti
sifat mengetahui, berkuasa, dan hidup; (b) sifat-sifat yang ada pada Zat-Nya namun dapat
dipisahkan dari-Nya. Seperti Mahapencipta. Dalam hal ini, kita dapat menggambarkan bahwa
Allah itu eksis (ada) namun tidak menciptakan sesuatu. Sebaliknya, kita tidak dapat
menggambarkan bahwa Allah itu eksis tetapi tidak berkuasa, berilmu, dan hidup.
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan –  wa ‘udûlan
– wa ‘adâlatan (ً‫ َوعَداَلَة‬- ً‫ ) َع َد َل – يَ ْع ِد ُل – َع ْدالً – َو ُع ُدوْ ال‬. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf  ‘ain (
‫) َعيْن‬, dâl (‫)دَال‬, dan lâm (‫)الَم‬, yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (‫اَاْل ِ ْستِ َواء‬ = keadaan lurus)
dan ‘al-i‘wijâj’ (‫اَاْل ِ ْع ِو َجاج‬ = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut
mengandung makna yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi,
seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama,
bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan
pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula
seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah
sama-sama harus mem peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan
tidak sewenang-wenang.
Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Se
mentara itu, pakar lain men definisikan kata‘adl  dengan ‘penempatan sesuatu pada tempat yang
semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa  ‘adl  adalah ‘memberikan hak kepada pemilik
nya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan
makna kata ‘adl dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.
Kata ‘adl (‫ ) َعدْل‬di dalam berbagai bentuk nya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an.
Kata ‘adl sendiri disebut kan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua
kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70,
QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula
pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut
penelitian M. Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan.
Pertama, ‘adl di dalam arti ‘sama’. Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam
Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-
Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adldengan arti
‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di
dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegas kan, Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi
al-‘adl (‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل‬ ِ َّ‫واِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬ =
َ Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl  di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang men
cakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, me nuntun
hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya
tempat duduk, penyebut an nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan
wajah, ke sungguh an mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang
termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa
kata ‘adl bermakna ‘berada di per tengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dike
muka kan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh pakar
bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (me mutuskan perkara) berdasarkan apa
yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan
bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini
berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia.
Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan
sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Kedua, ‘adl di dalam arti ‘seimbang’. Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah
[5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya
dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka (‫ك‬ َ َ‫ك فَ َع َدل‬ َ َ‫اَلَّ ِذىْ َخلَق‬ = [Allah] Yang telah
َ ‫ك فَ َسوَّا‬
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan men jadi kan [susunan tubuh]mu
seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemu kan pada suatu
kelompok yang di dalam nya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama
syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpun nya syarat yang
ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan ke hadir an nya. Jadi,
seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat
yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam
pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakin an bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan
Maha Mengetahui mencipta kan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna men capai tujuan. Keyakinan ini nantinya meng antarkan kepada pengertian
‘Keadilan Ilahi’. 
Ketiga, ‘adl di dalam arti ‘perhatian ter hadap hak-hak individu dan memberi kan hak-
hak itu kepada setiap pemiliknya’. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan
sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’.
Lawannya adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggar an terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini
disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ ( ‫َواِ َذا‬
‫قُ ْلتُ ْم فَا ْع ِدلُوْ ا َولَوْ َكانَ َذاقُرْ بَى‬ = Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun
dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini me lahirkan keadilan sosial.
Keempat, ‘adl di dalam arti ‘yang dinisbah kan kepada Allah’. ‘Adl di sini berarti ‘me
me lihara kewajaran atas ber lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan
perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke mungkin an untuk itu’. Jadi, keadilan Allah pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan dung konsekuensi
bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. ‫آ‬li ‘Imrân [3]: 18, yang
menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (‫قَائِ ًما بِ ْالقِسْط‬ = Yang menegakkan ke adilan).

Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’,
seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandar kan perbuatan kepada selain Allah
dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat
sekutu bagi Allah atau mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]:
1 dan 150; (4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]:
70.
‘Adl/Al-‘Adl (‫ ) َعدْل‬merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk
menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya
jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (‫اَ ْل َع ْدل‬ = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah
pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam pada itu, M. Quraish Shihab me negaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani
sifat Allah yang ‘adl (‫ ) َع ْدل‬ini—setelah meyakini keadilan Allah—dituntut untuk me negak kan
ke adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Keadilan per tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan
jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal
dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika
demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
Dari akar 'adl yang memiliki konotasi Arab klasik berikut:
untuk bertindak adil, adil
Istilah 'Adl tidak secara khusus digunakan sebagai Nama Indah dalam Al Qur'an.

Kata-Kata Al’adl

Perbuatan Allah Yang Tergolong Asmaul Husnah :


·         Menciptakan alam semesta beserta isinya
·         Dapat menkukr Dosa manusia
·         Selalu menjadi hakim yang adil
·         dll

Contoh perbuatan yang mencerminkan Al’adl       :


·         Tidak membedakan-bedakan sesuatu
·         Memberi tugas dengan adil
·         dalam menghadapi masalah harus diselesaikan dengan melihat yang salah dan benar
·         dalam membagi sesuatu harus adil
·         dll

Cara kita untuk mewujudkanya adalah dengan melakukan sesutu dengan sebaik mungkin dan
selalu ingat Allah swt  serta jangan mementinkan kelompok tertentu saja tanpa memikirkan mana
yang harusnya dilakukan.
Al ‘Adl (Asmaul Husna)
Keadilannya bersifat mutlak. Keadilan adalah lawan kezaliman. Kezaliman menyebabkan
penderitaan, kerusakan, dan rasa sakit hati, sedangkan keadilan menjamin kedamaian,
keseimbangan, keteraturan, dan keselarasan. Alloh Yang Maha Adil adalah musuh orang-orang
zalim : Dia membenci orang-orang yang mendukung kaum zalim maupun sahabat, simpatisan,
dan rekan-rekan mereka. Di dalam Islam, apa pun bentuk kezaliman diharamkan. Adil adalah
kemuliaan dan pertanda kebaikan seorang muslim.
Dua hal yang berlawanan ini  keadilan dan kezaliman  mempunyai implikasi yang luas
dan lebih penting daripada hanya sekedar akibat-akibat moral dan sosial belaka. Keduanya setara
dengan keselarasan lawan ketidakselarasan, keteraturan lawan kekacauan, benar lawan salah.
Jika dalam mengungkapkan kedermawanannya seseorang memberikan uang kepada orang kaya,
memberikan pedang kepada para ilmuwan, dan memberikan buku kepada tentara, maka dalam
hal tertentu dia dianggap zalim, karena pedang hanya cocok bagi tentara, buku bagi para
ilmuwan, dan si miskinlah yang membutuhkan uang. Akan tetapi, jika Alloh berbuat hal yang
sama maka tindakan-Nya itu adil, karena Dia melihat segala, yang terdahulu dan yang
terkemudian, yang zahir dan yang batin. Dialah Yang Maha Mengetahui , Yang Maha Pengasih,
Yang Maha Penyayang, Keadilan Yang Mutlak. Dia menciptakan sebagian indah dan sebagian
yang lain jelek, sebagian kuat dan yang lainnya lemah. Lalu Dia membuat yang indah menjadi
jelek, yang kuat menjadi lemah, yang kaya menjadi miskin, yang bijaksana menjadi bodoh, yang
sehat menjadi sakit. Semuanya adil. Semuanya benar.
Tampak bagi sebagian kita adalah tidak adil bahwa ada orang yang lumpuh, buta, tuli,
kelaparan, gila, dan bahwa ada anak muda yang mati.

Alloh adalah Pencipta segala keindahan dan keburukan, kebaikan, dan kejahatan. Dalam hal ini
ada rahasia yang sulit dimengerti. Tetapi setidak-tidaknya, kita memahami bahwa seringkali
orang harus mengenal lawan kata dari sesuatu untuk memahaminya. Orang yang tidak pernah
merasakan kesedihan, tidak akan mengenal kebahagiaan. Jika tidak ada yang buruk, kita tidak
akan mengenal keindahan. Baik dan buruk sama pentingnya. Alloh menunjukkan yang satu
dengan yang lain, yang benar dengan yang salah, dan menunjukkan kepada kita akibat dari
masing-masingnya. Dia memperlihatkan pahala sebagai lawan kata dari siksaan. Lalu
dipersilakan-Nya kita untuk menggunakan penilaian kita sendiri. Sesuai dengan takdirnya,
masing-masing mendapatkan keselamatan dalam penderitaan dan rasa sakit, atau kutukan dalam
kekayaan. Alloh mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Hanya Alloh yang mengetahui
nasib kita. Perwujudan dari nasib itu adalah keadilan-Nya.
Selain nama indah Alloh, al ‘Adl, kita harus bersyukur atas kebaikan, dan menerima,
tanpa prasangka atau keluhan, apa pun nasib kita yang tampaknya kurang baik. Dengan
demikian, mungkin rahasia keadilan Alloh akan terungkap kepada kita dan kita akan merasa
berbahagia dengan kesenangan dan penderitaan yang berasal dari Sang Kekasih.

BAGIAN HAMBA
‘Abd Al ‘Adl orang yang pertama-tama memberlakukan terhadap dirinya sendiri apa yang
ingin diberlakukannya kepada orang lain. Perbuatannya tak pernah didasarkan atas rasa marah,
dendam, atau kepentingan diri sendiri : perbuatannya itu tak pernah merugikan orang lain. Dia
bertindak dan berbuat sesuai dengan hukum Alloh. Tetapi orang seperti itu mengetahui bahwa
keadilan Tuhan tidaklah seperti yang dibayangkan manusia. Dia memberikan hak-hak mereka
sesuai dengan hak yang memang mereka miliki.
Manusia yang bermaksud meneladani sifat Alloh ini, setelah meyakini keadilan Ilahi, dituntut
untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu bapak dan dirinya (baca QS. An
Nisa’ : 135) bahkan terhadap musuhnya sekalipun (baca QS. Al Maidah : 8).
Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri. Dengan
jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal
dan agama, bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agamanya. Karena
jika demikian, ia tidak berlaku adil, yakni tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya yang
wajar.
Jangan duga, tulis Alghozali  bahwa penganiayaan (lawan dari keadilan) adalah gangguan
dan keadilan adalah memberi manfaat kepada manusia. Tidak! Bahkan seandainya seorang
penguasa membuka dan membagi-bagikan isi gudang yang penuh dengan senjata, buku, dan
harta benda, kemudian dia membagikan buku-buku kepada ulama, harta benda kepada hartawan
dan senjata kepada tentara yang siap berperang, maka walau sang penguasa memberi manfaat
kepada mereka tetapi dia tidak berlaku adil, dia menyimpang dari keadilan, karena dia
menempatkannya bukan pada tempatnya. Sebaliknya kalau seseorang memaksa si sakit untuk
meminum obat yang pahit sehingga mengganggunya, atau menjatuhkan hukuman mati atau
cemeti kepada terpidana, — maka inipun walau menyakitkan, adalah keadilan, karena pada
tempatnya, sakit dan gangguan itu ditempatkan.

Ya Alloh, Aku bermohon kiranya Engkau melindungi aku dari keadilan-Mu dengan kelemah
lembutan dan kasih sayang-Mu. Ya Alloh Aku berlindung dengan kemurahan-Mu dari keadilan-
Mu. Wahai Tuhan Yang Maha Adil lagi Maha lemah lembut , Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.

Anda mungkin juga menyukai