Anda di halaman 1dari 97

Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi
Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga akhir masa. Amma ba’du.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak


mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka
itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-
orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta
paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah
dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk
menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan
tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum
mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud
dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya,
berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam
pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat
yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu
Abdullah bin Ummi Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut
sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat


Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal
Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak
menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada
para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman
Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa
dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya
Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)

Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun
adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta
bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang
terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima
Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau,

1
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara
mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang
apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan
pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah
mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya
tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang siapa
yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil
Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta
orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang
kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’
dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-
Nya.” (QS. Al Fath: 29)
2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan
Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta
mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi
menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman
sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang
mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri
mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS.
Al Hasyr [59]: 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-
orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada
di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada
mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath
[48]: 18)
4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu
(berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At
Taubah [9]: 100)
5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya
mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim
[66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)

Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela
seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila
seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar
2
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di
antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan
setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku
(sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq
‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah
amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah
kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat
bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan
Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah
amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan
datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan
Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela
para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para
malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan
tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad,
hal. 78)

Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya,
“Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat)
kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat
dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan
konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui
dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat
adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak,
ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah
sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada
orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang
menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat
adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci
pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh
manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah
madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan
para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak
layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama
saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat


Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah)
menganggap bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di
3
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
antara mereka. Sedangkan kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para
sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan apa yang
mereka perbuat !!

Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah
menurunkan ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang
beriman (para sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka.
Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan
layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui atas segala
sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)

(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-
orang yang berhak dan pantas mendapatkan predikat takwa, sedangkan mereka
(Rafidhah dan Mu’tazilah) justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya,
red) Pada suatu saat Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam supaya berangkat ke Baqi’ dalam rangka memintakan ampunan bagi para
sahabat yang sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan
mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam
keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela mereka !!

Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah
dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan
mereka serta apa yang akan muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal,
sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan seenaknya ….

Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i
yang menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan
mereka sebagi guru umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini
justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah
kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam


Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala
‘anhum kepada umat Islam adalah sebagai berikut.

1. Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam masih hidup dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah seorang yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau
memilih beberapa orang sahabatnya untuk mencatat wahyu, di antara mereka
ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin Ka’ab, dan Zaid
bin Tsabit. Sehingga apabila wahyu turun merekalah yang diperintahkan untuk
mencatat dan di samping juga untuk dihafalkan di dalam ingatan mereka. Di
antara para sahabat ada pula yang berinisiatif untuk menulisnya untuk mereka
pribadi tanpa perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
4
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan hafalan Qur’annya
kepada malaikat Jibril setiap tahun pada setiap malam bulan Ramadhan, maka
para sahabat pun menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang mereka miliki
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tatkala Rasul wafat
al-Qur’an itu sudah terpelihara di dalam dada-dada para sahabat serta tertulis
di dalam shuhuf, kayu, dan lain sebagainya. Kemudian tibalah masa
kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika itu tahun 12 hijriyah terjadi perang
Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-orang yang murtad. Dalam
peperangan ini 70 orang sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Karena itulah
Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk
berupaya mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga
akhirnya Abu Bakar pun menerima saran tersebut. Maka Abu Bakar pun
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dengan mengurutkan ayat
dan surat-suratnya. Sehingga berkat jasa Abu Bakar dan para sahabat lainnya
inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah berbentuk
mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa khalifah
‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal.
118-134)
2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya
hadits-hadits Nabi belum boleh dicatat karena ketika itu kaum muslimin masih
di awal-awal turunnya al-Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan
ayat. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk
mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian larangan itu beliau hapus
sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan baik oleh para sahabat
sehingga tidak dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits tercampur
dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya
pencatatan hadits itu memang sudah terjadi di jaman Nabi bahkan beliau
sendiri yang memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah sabda beliau pada
saat khutbah di tahun pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta
kepada beliau untuk dituliskan ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah
bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau
menceritakan, “Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencatat (hadits)
sedangkan aku tidak mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu pula ketika Nabi ditanya
oleh Abdullah bin Amr, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar
sabdamu dan akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya,
(silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun ridha?” Beliau
menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.”(HR.
Ahmad, sanadnya shahih kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An
Nabawi, Mushthalahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)

Dan cukuplah kiranya dua buah jasa besar ini menjadi sumbangan paling berharga
yang mereka berikan bagi pemeliharaan ajaran Islam yang murni. Sehingga Islam
yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan kemudian diajarkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat bisa sampai di tangan
kita melalui ribuan ayat al-Qur’an dan puluhan ribu hadits Nabi yang tertulis dengan
sanad-sanad yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di dalam kitab-kitab
hadits. Yang dari ayat-ayat dan hadits-hadits itulah umat manusia bisa mengetahui

5
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
apa yang harus mereka yakini, apa yang harus mereka ucapkan dan apa yang harus
mereka perbuat. Dari ayat dan hadits itulah para ulama menarik berbagai prinsip dan
kesimpulan hukum dalam bidang akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain
sebagainya. Sehingga seorang muslim yang hidup di abad 15 Hijriyah bisa
mengetahui secara gamblang dengan tangan yang manakah seharusnya dia makan,
dan dengan tangan yang manakah seharusnya dia mencuci duburnya..!!
Sebagaimana kaum muslimin pada masa sahabat pun mengetahuinya.
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan
tetapi rela menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi
mendiskreditkan dan mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu
mencatat, dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman
berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka tunggulah wahai orang-orang
yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih
ingin selamat !!

Hukum Mencela Sahabat


Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi
menjadi beberapa tingkatan:

1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan


konsekuensi kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka,
atau mendudukkan mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik,
maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena
dia telah berani mendustakan Allah, Rasul-Nya dan berdusta atas nama
agama.
2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam
hal ini ada dua pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini
muncul disebabkan adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat
yang muncul karena kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat
kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati
3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra
keadilan dan agama mereka, seperti dengan menyebut mereka sebagai orang
yang pengecut, pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang
melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir (hukuman khusus)
yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh pemerintahan Islam. (lihat Al
Is’aad, hal. 79)

Urutan Keutamaan Para Sahabat


Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki
keutamaan yang bertingkat-tingkat.
1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum al jamii’. Mereka adalah
orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi
kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang
berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”

6
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar
gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al
Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah
bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah
ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui
apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang
dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al
Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan
turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah
sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut
berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang
yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah
janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10) Sedangkan
yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar.

Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-
Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir
dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan
harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya
demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8)

Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tantang kaum


Anshar, “Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan
beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang
mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka
sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barang siapa
yang dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Al Hasyr [59] : 9)
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan
amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena
mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta
mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…”
(Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul
‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab


berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu,
7
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara
kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi,
kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan
mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda
mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).

Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian
Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut
pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya
sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman.
Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi
ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula
sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang
berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat,
karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka
(Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di
antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua
belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber
dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia
berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia
berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk
meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi;
karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu.
Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya,
serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di
jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang
aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan
polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada
Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa
permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para
sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena
mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada

8
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak
untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih


2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah
sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang
selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus
apa yang dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi
yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan
dan menutup bekas-bekas dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah
umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka
yang diingkari (karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan)
kebaikan mereka. Itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para
Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik.
Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu kaum yang serupa dengan
mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan
atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan
fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat-pendapat
ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya
kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa
mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi.
Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para
tabi’in.

Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in,
demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat
dengan masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun
juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan
orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah
‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)

9
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:

1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka
adalah marfu’ (bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil
dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits
yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamnamun dari sisi periwayatan
makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini yang diambil maka
ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah
sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka
perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk
memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya. Dan mujtahid sesudah
mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang
harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih
kuat berdasarkan dalil yang ada.
3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan
sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’
menurut mayoritas para ulama.
4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam
pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat
lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah ucapannya
itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan adalah sesuatu yang
bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas umat
Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat
kaum filsafat yang menyimpang.

Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah
dengan beberapa syarat yaitu:
1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak
boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila
ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis
itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar,
sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada
perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad
untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang
tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang
menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang
pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak
ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk
kategori ini maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut
pendapat jumhur ulama.

10
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat
bahwasanya ucapan sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk
dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan
tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang bertentangan
dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam. Karena
tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya
sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang
bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi.
Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus
didahulukan daripada analogi !! (lihatMa’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah
wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat
yang bertentangan dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas
analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa mereka benar-benar menghormati dan
memuliakan para sahabat.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan
martabat para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan
kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa
quwwata illa billaah.

Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan
laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash
Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila
disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) Duhai para
tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah
kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!

Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian
untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu
adalah dengan wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan
membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti
urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah
yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi
pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan.
Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca al-
Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak


mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para
sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang
11
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak
suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah
untuk menemani Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran
agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan
mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga
mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah
cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa


akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak
Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat
meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu
tetap konsisten dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di
atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap
daripada bagian atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang
harus diikuti).”

Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al
Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya
aku tahu bahwa kamu hanya sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau
manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi
wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”

Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana
kaum itu (para sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan
landasan ilmu. Mereka menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan
tajam. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang paling mampu untuk
menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih dahulu
melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di
antara kalian yang berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya
tidak ada yang menciptakannya kecuali orang yang menentang petunjuk mereka
serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya mereka telah membicarakannya
dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan. Dan apa yang mereka bicarakan
sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui
mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang
sengaja mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang
melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi
petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat
melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem. Sesungguhnya para

12
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di
atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama
salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah
pendapat-pendapat orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan
ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini sudah terang
dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”

Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah


semakin menambah kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah
jauh dari Allah.”

Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan


kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan:


Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang
benar.”

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis
daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah
sangat kecil harapan taubatnya.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau
ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang
benar dalam hal menafsirkan hadits.”

Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu
Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh
sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad,
maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun menjawabnya,
“Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan
mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah
bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh.
Barang siapa yang menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang
tertinggal darinya pasti akan tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu
kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah membicarakannya
dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah hukum-
hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke
dalam kebatilan.”

Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata:
Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia
13
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab
Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian
agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama
pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari
ini.”

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah


menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan
bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk
sebagai kaum Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang
melihat salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar


Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada seorang yang mencintai
ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal,
Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain. “Maka
ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi
mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”

Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung
dan merangkum wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada
yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang
telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang
tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada hari ini.”
(silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 197-206)

Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas
dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari
seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan
kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik.
Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul
‘Aqidah, hal. 488)

Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci
Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.
14
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran
Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim
kebenaran begitu larisnya bak kacang goreng. Setiap kelompok dan jama’ah
tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar pemahamannya terhadap Islam,
menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan
relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al
Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib
menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai
kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa
ragu, jawabnya adalah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al
Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-
sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.

Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah
mengaku telah berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda
keyakinan, berpecah-belah dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya?
Setidaknya ini menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh
masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah
sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat
Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.

Pengertian Sahabat Nabi


Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah: “Orang yang melihat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan
sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau
Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” (Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari
‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24))

Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang
jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan: “Empat
puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa
sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk.
Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi” (Al Ba’its Al
Hatsits (1/25))

Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan
keutamaan sahabat Nabi: “Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh
15
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al
Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits
Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa
yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Al Ba’its Al Hatsits (1/24))

Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya: “Orang-orang


yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para


sahabatnya. Beliau bersabda: “Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada
orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat
para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat orang yang melihat
sahabatku (tabi’ut tabi’in)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani
dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul
Baari (7/7))

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah


yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”
(HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533)

Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi
bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat
Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita
ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa
Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan
mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka.

Imam Abu Hanifah berkata: “Manusia yang terbaik setelah


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman
lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh
sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka
kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah” (Nur Al Laami’ (199), dinukil dari
kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7))

Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan engkau cela


sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud,
tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu

16
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya” (HR. Bukhari no. 3673, Muslim no.
2540)
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga
tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan
perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar
terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan
Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga
akhirnya sampai kepada kita,walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat
Islam dengan Nabinya.

Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah
yang sama sekali tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari
mana ia mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi
sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari
bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode beragama para
sahabat, akan menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin
jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh
oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita membaca ayat: “Ya Allah, tunjukilah kami
jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah
berfirman: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-
nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Tafsir Ibnu Katsir (1/140))

Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam,
menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah NabiShallallahu’alaihi
Wasallam dan para sahabatnya. (Tafsir At Thabari (1/179))

Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu


Mas’ud radhiallahu’anhu berkata: “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah
para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang yang
paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang
paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik
keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah
jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang
lurus)” (Tafsir Al Qurthubi (1/60))
17
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Beliau juga berkata: “Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia
memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengutusnya dengan risalah.
Allah Ta’alamemperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi,
kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-
Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu
Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu
yang dipandang buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah” (HR. At
Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no.8504. Dalam Majma’ Az Zawaid (8/453), Al
Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah”)

Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
“Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah berpegang teguh dengan
pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani
mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan
solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai
samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bani Israil akan berpecah


menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya
di nereka, kecuali satu golongan” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu
golongan itu, ya Rasulullah?” “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”
(HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua
sanadnya jayyid”)

Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya: “Aku wasiatkan kalian agar
bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia
dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti
sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk.
Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara
yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu
Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)

Jika Sahabat Berselisih Pendapat


Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat
penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat
sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun
jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para
sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu
yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

18
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam
Syafi'i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur'an dan Sunnah, ijma
dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat
Nabi jika mereka berbeda pendapat? Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya
dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan
mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau Ijma'
atau Qiyas yang paling shahih” (Ar Risalah (1/597))

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan

Hadits Dha’if
Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam
haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah
mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits.
Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib
diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak
diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali
sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Saya bertanya kepada
ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang
memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan
tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula
mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah
dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya,
dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya
sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab
tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia
bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan


rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits
yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu
dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi
yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan
beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari
masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal.
218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Para imam dan ulama hadits
hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .

19
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Syari’at ini tidak boleh
bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari
nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).

Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits
yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua
kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang
akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti
ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil
dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut
berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang
menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits
tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).

Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya
bin Ghulam Qadir al-Bakistani.

Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum


Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai
macam perkara baru dalam agama ini (baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah
acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan
bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya hadits dho’if/lemah di tengah-tengah
umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin
sehingga orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah,
“Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian“. (Hadits ini dho’if (lemah)
diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan
bahwa dalam hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).

Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk
menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk melakukan kebaikan dan
menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan
palsu) ini semakin tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat
hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i. Namun menjadi
suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan
sandaran hukum?! Simaklah pembahasan berikut ini.

Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu
diketahui, bahwa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam
orang yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliaushallallahu ‘alaihi

20
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari &
Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan
sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengetahui
keshohihannya, dia terancam masuk neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Cukuplah


seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR.
Muslim). Imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Ketahuilah,
sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang
didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan,
pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil
dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).

Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak
dikatakan berdusta secara langsung namun dia dapat dikatakan mendukung
kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja
hadits yang disampaikan dho’if atau dusta. (LihatMuntahal Amani)

Hukum Memakai Hadits Dho’if


Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
seseorang tidak boleh menyampaikan suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu
keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if
dengan melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.

Imam Muslim -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq


padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang yang mengerti pemilahan antara
riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi
yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak
meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui keshohihan
periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi
riwayat-riwayat yang berasal dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah
(yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini
adalah firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasikmembawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al
Hujurat: 6)

Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan
tidak diterima dan persaksian orang yang tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah
Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa
hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat
hadits dho’if termasuk orang yang fasik.
21
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan Dalam Fadho’il A’mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan
sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam
dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya
menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahala di pihak lain, banyak
ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak meskipun
di dalam masalah fadha’il a’mal.

Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan
menggunakan hadits dho’if bukanlah yang dimaksudkan mereka menggunakan
hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya
dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamana
amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang
shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia
selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut
untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan
hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan
pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits
yang shohih sama sekali yang menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.

Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il
a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits yang boleh diamalkan dalam hal
tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah: (1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah
hadits yang sangat dho’if/lemah, (2). Hendaknya hadits tersebut masuk di bawah
hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum, (3) Di dalam mengamalkannya tidak
diyakini keshohihannya, (4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.

Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan


kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if
dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya
memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al
Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)

Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho’if tidak boleh
digunakan secara mutlak termasuk juga dalam fadha’il a’mal.

Mengapa Harus Manhaj Salaf ?


Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang
lurus” (QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah
Allah jelaskan pada ayat berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang
siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama

22
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi,
para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?


Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud
dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa
bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah
dianugerahi nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya,
generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi Muhammad, imamnya shiddiqin
ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar
bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang
paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah salaf kita, yang jalan mereka
(baca: manhaj) dalam beragama itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam
akidah, muamalah maupun dakwah.

Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran


Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk
baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An
Nisaa’: 115)

Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud adalah para sahabat
Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka dan orang-orang sesudahnya yang
mengikuti mereka serta menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-
orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At
Taubah: 100). Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari
pengaruh-pengaruh peradaban lama dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam
yang sesuai dengan pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an
dan as-Sunnah.

Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah


Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah
menegaskan saat beliau sakit mendekati wafatnya, di mana beliau bersabda kepada
putrinya, Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya
aku adalah sebaik-baik salaf bagimu” (HR. Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu
dan sekarang banyak menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab
mereka. Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka
mengatakan, “Dan setiap kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan
23
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
semua keburukan berasal dari bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang
menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya, bahkan wajib menerimanya
secara ijma’, karena madzhab salaf itulah kebenaran.

Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat


Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut dengan kembalinya
umat pada agama Islam yang murni, yaitu dengan meniti manhajsalaf. Di tengah
maraknya perpecahan umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang
berbeda-beda dan saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang benar yaitu
jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang
kemudian disebut dengan kembali kepada pemahaman yang benar, pemahamannya
Rasulullah dan tiga generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’
tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para imam dan ulama.
Tidak ada jalan lain untuk mencari kebenaran dan ishlah (perbaikan) yang hakiki
melainkan harus kembali kepada pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat terakhir ini kecuali dengan apa
yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”

Mari Mengenal Manhaj Salaf


Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela
dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma
ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah dan taufik-Nya
kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum
mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian
muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama
saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian
dari keindahan ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian
membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca
penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427
H/2006 M, hal. 11-15).

Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer
namun sering disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah
kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan
ini untuk diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah
ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah
menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu
waliyyut taufiiq.

24
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani-
hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku
beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz
Kholid Syamhudi, Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj
Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada
para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut.
Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”

Pemahaman yang Benar dan Niat Baik


Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam
Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari
dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik
adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.
Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan
lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan
kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi
keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari
terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang
memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan
orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga
dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat
(an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik.
Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil
dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).

Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal
mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan
dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya.
Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang
memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa mencermati hakikat suatu
permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang
semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf
pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan
menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’,
namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan
terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang
lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan
Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat
sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang
berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke
Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam
kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan

25
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada
kebenaran.

Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan
untuk memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta
Ulul amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan
maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-
benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi
kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah
mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau
juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an).
Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun
makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan
dalam hal maksiat. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara
ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian
berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa
jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan
dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya
perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini
sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa saja yang kalian
perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10).
Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta
dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak
ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
II/250).

Kata Salaf Secara Bahasa


Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan,
keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur
mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek
moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan
salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza,
hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat
Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum
mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka
26
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf:
55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi
orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang
sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al
Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek
moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang
baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam
sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya
Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu
adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30,
baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).

Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat
seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para
syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita
bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini
supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL
juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang
kami maksudkan…

Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara


bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”.
Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita
mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek
penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita
bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh
sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli
agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka
pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya
tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan
makna ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).

Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama


Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang
mereka maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
27
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di
dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang
membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata


salaf berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam
istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.”
(Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi
awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada
tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red).
Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di
sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap
mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah,


“Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam
ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga
Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan
menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka.
Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan
daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi
mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” (
lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-
baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in)
dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula
setiap orang yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai
orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah
salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada
masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi
kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan
Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah
siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka
berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode
Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan
tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan
mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus
Sunnah, hal. 8).

28
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam
Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai
kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para
sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud
(oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad
adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya
adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam
Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan
selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya
(tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut. Mereka
memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud
(dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri
adalah seorang tabi’in.” (lihatLimadza, hal. 31-32).

Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam
mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin
‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq
mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan
orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia
mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).

Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka.
Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam
kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan,
“Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf)
bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu
sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu
yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka
cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi
‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.

Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah


Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum
salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian
orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno.
Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah
manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar mengajar
yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika
mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung
kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah
kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai
29
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf.
Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum
salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus
dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza, hal.
33).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi
orang yang menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri
kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya
itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf
tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal.
33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang
menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru
yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada
dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga
apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka
adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai
aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang
menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori
oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan
Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya
tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.

Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini


atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat
ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya
tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan
para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang yang mengikuti
pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhumdalam hal akidah dan manhaj sebagai
seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh
Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika
membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain
menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada
memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam
sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang
tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan
tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).

Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’
oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu
Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri
siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah atau bahkan
30
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga
beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan
penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni
adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah
wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan,
red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang
diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.

Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah


Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah
karena ia tidak digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka
jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para
sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin
generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang shahih sehingga tidak
dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan
murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini
sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu
mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama
yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi
?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam
penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi
meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka
demikian pula dengan istilah salafiyah.

Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di


udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas
demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan
lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang
menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah.
Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan
nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).

Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan
katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun
harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah
Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah),
Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini
berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan
istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih
layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya
adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah
dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam
31
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada
individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta
tidak terjamin dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin
kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma’shum
(terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan
kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah
Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya
berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan
Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).

Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam


Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa
harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru
kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan
sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliaurahimahullah menjawab,
“Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang
penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan
syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat
beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan
bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah
aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan
mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya
kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan
para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan,
“Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan
bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada


orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini
dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia
mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah
seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh
mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan
perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia
tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam
yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang
ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam
hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat),
kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh
sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari
menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan
32
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
(salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau
kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang
akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi
‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5
hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

Cinta Salaf Berarti Cinta Islam


Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi
pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus
mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran
mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah
para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak
sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas
kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath
Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan
umat Islam di sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam
mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari
seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan
kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami
tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah
termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul
‘Aqidah, hal. 488).

Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at,
bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana akidahnya kaum
Liberal. Marilah kita buktikan…

Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah
tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di
dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah
mencintai kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah
mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum
Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di
dalam Kitabul Iman dengan lafazh,“Tanda orang munafik adalah membenci Anshar.
Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74)

di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga
membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali
orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu
Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun
33
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”(Muslim
no. 77).

Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman
dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai
mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka
Allah juga membencinya.”(Muslim no. 75).

Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya,
bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci
mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).

Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas


mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui
kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap
agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam
(dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas
penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka,
kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau,
peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang
menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua
menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk
Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita
bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi
terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun
(masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang mengikuti sesudah mereka.
Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah
kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish
shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan membenci
mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah
membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al
Fath: 29).

Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat
dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka
dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga
karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai
belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada beliau.
Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah
akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).

34
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas
yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan
lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di
dalam banyak kitab dengan lafazh khairul quruun(sebaik-baik masa). Saya (Syaikh
Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara keotentikannya. Adapun yang benar
adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).”
(lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).

Benci Salaf Berarti Benci Islam


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-
orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath:
29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat
jengkel dan marah orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan
berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan
hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan
kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena
mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah).
Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir
berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulamaradhiyallahu’anhum pun ikut
menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).

Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita
bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para
pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah
konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama
sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah memberinya petunjuk-,
Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama
suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara
Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis.
Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap
menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang
35
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau
pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi
sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah
teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal
dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang
perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-
bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim
Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok
kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah.
Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama
Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita
karena jasa mereka ini. Bacalah!!).

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih,
begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak
ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka,
semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah
menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka, dan Allah telah
menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin
Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari
Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para
sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah
seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak
bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga
tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam
kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).

Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya


Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100).

Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan
bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al
Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini
merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan
Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah
36
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan
Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para
Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang
awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak
mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka
mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al
Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala
mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih
dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka
adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan kenikmatan serta
kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140).

Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah


seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam
Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang
mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat)
hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang
menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti
para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal
perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As
Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di
dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah).

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud
dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah:
Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari
keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari
Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para
sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang
Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai
Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai
Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak
dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah).
Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan
sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela
shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau
mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau
mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah
37
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi
(diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu
permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan
bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu
dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya
mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir,
4/140)

Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci
maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi
ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun
ridha kepada mereka).

Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan


Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami
dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka
kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan
nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan
wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya
senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada
pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena
sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan
banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para
khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham.
Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua
bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”

Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As
Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh
Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan
(1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no.
2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet.
Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).

Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak
perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah
Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang
dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu; Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201).

38
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah
tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa


sallam memerintahkan kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya
perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh
dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang
teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”.
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish
shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah,
akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan
Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang
difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65).

Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya


jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai
perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).

Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan
beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al
Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para
khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan
dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah;
yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 203).

Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri.


Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah
yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar)
saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang
khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan
yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51,
dinukil dari Limadza, hal. 74-75).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang
dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka
tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi),

39
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza,
hal. 73).

Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan,


“Bukanlah yang dimaksud
dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan
dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dariLimadza, hal.
73).

Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua
keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman
para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa
meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan
oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75)
Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian
banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini
berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh
Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti
pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan kalimat yang ringkas
kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat
maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.

Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah


As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah
ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa
keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari
bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih
adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila
ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah
adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun
sunnah!! (silakan bacaLau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17
baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).

Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu
perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang
bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah
mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al
Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat
yang mulia Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al
Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang
diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30).

40
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya
adalah sejauh mana dia berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni
yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini
telah diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini
menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam
riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama
sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang
sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits
tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam
kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath
Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al
Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits
perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).

Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang
teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para
sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan
mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula
orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah) dan menjauhi
jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan
pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka
mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.
Mereka itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish
Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di
dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh
Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).

Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang
tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik
bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian
mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170).

Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai
ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah
tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua
persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:

1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.


2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua
orang yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah
dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya.
41
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Sebagian orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang
yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak bagi masyarakat.
Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.”
(dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu
Abdil Muhsin hafizhahullah).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud


dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus
Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh
dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak
menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah
maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut
dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas
Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan
mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa
mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar
kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-
habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut
jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang
terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang
mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat).
Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang
mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah
namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush
Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu
Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal.
6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14).

Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya
istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan
hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau. Dan bagi
para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al
Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul
Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga
Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah
Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.

Hanya Satu yang Selamat!

42
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah
beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal
itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam
hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu
Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642),
Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).

Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71


kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat
ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka
kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh
dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang diajarkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang
disebut dengan Al Firqah An Najiyah(kelompok yang selamat). Mereka selamat
dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka
ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi
pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat.
Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan
agama Allah ‘azza wa jalla.”

“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan
selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu
persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela
bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa
mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap
yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena
bukan hanyafirqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak
kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa
sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua
firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan
pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali
nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik
ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan
berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu.
Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan
pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah
termasuk dalamfirqah-firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa
kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja
yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallammengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung
43
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama.
Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul
Islaam, hal. 21-22).

Firqah-Firqah yang Menyimpang


Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai
Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak
di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak
kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam
atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di sini
kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat
penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang
benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan
Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian
yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua
nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak
di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan
dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu
orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya
rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang
yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman
dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini
kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia
dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua
pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya
mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit
maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa
silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai
aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka
sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan
nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak
puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’
dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada
dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan
dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka
jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan
keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka
pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk
ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus
kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik
cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan
44
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata
dan menumpahkan darah manusia tanpa hak. Subhaanallaah…!!

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang


menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli
bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah,
Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang
serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah,
semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi
Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya
ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga
menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul
I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161).

Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul
bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara
cirinya adalah:
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari
bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan,
perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka.
Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun
kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama)
(Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).

Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat


tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa
tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:

1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam


mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-
orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang
lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah
menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini
pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim
hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara
mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh
mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan
baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm
bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid
adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah
takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa
manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam
45
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan
madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa
iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan
amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar
adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di
antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada
penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga
terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak
keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki
kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari
kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini
adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di
antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak
ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena
kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga
cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat
mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna.
Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan
apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal
(menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa
orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang
berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga
tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan
kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin
‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah
menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah
takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku
dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman.
Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan
Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap
dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip
aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum
jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan
tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung
kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan
mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al
Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah
yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku
mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak
langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al

46
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40
tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar
kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada
manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang
tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup,
mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat.
Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan
madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul
I’tiqad, hal. 161-163).

Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat


tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini
adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah
dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum
Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-
kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan
berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang
menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar
kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada
penguasa, red),Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-
jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen,
kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat
internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan
Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al
Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang
tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan
orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al
Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam
tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca
buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).

Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai


Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan
berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan
kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang
diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah
hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum
berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum
muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan
golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang
Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang
mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya
dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran :
103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang
47
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam
keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat
besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-
orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi
bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS.
Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah,
red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah
mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah
belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal
7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).

Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al


‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al
Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam
jama’ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah
justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian mereka
(pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi
beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi
bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan
ia juga bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah
ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)”
(lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang
untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu
tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan,
“Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai
permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka,
kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman
yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah
supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh
No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331,
dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-
56).

Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang
terbentuknya
berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al
Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr
Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan
negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.

48
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran
oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan
mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di
saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya
sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan beraneka
atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa
untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah
salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang
berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek
kepadaDemokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah
orang yang mau merenungkan?

Catatan:
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat
Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah
pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau
perusahaan… jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda
mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan siksa di
akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang
selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat
pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau
bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan
cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh
Shalih Fauzan hal. 11).

Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri
kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan
kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum?
Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang
selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai
dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita
ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman
ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan
manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah
saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah belum cocok
tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah
kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus
ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan,
atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau
apapun namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para
sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau
menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah
Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah kamu
49
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai
pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang
nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS.
Yusuf: 108)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala


berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada
manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk
menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri
kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap kebenaran dan
mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan
beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu
kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar
menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk
itu, dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan
itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku,
(dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan,
kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku],
mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang
nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan
kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-
Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi
aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 406).

Mengenal Salaf dan Salafi


Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada kebenaran-.
Salaf dan salafi mungkin merupakan kata yang masih asing bagi sebagian orang
atau kalau toh sudah dikenal namun masih banyak yang beranggapan bahwa istilah
ini adalah sebutan bagi suatu kelompok baru dalam Islam. Lalu apa itu sebenarnya
salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan berikut ini dapat memberikan jawabannya.

Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami
menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). Dan Kami
jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (QS.
Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai SALAF -yaitu orang
50
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran dari
mereka (salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al
Muhith mengatakan, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari
nenek moyang dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu.”
(Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani, ‘Amr Abdul Mun’im Salim dan Al
Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)

Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama


Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun kata ini
tidaklah asing di kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan,
“Rasyid bin Sa’ad mengatakan, ‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena
kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.” Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan
dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para sahabat dan orang setelah
mereka.

Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al
Adzkar, “Sangat bagus sekali doa para SALAF sebagaimana dikatakan Al
Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang keluar untuk melaksanakan
shalat istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah
…’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan Bilal
adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)

Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti
sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal
inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih).
Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku,
kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad,
Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’ tiga generasi


awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka, semangat
mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah,
semangat mereka berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)

Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih


Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah
kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor serta
kepada orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ta’alaberfirman yang

51
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS.
At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain
kecuali dengan mengikuti salafush sholih.

Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan orang-orang
mukmin ketika ayat ini turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang
menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu,
mengikuti jalan salaf adalah wajib.

Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih


Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib,
maka bolehkan kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebutsalafi (pengikut
salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?

Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu yang
asing di kalangan para ulama, [2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf
berarti berlepas diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih, [3]
Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi tertentu seperti
Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul Hasan Al Asy’ari) tidak
dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari
kesalahan dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara
umum (keterbebasan dari kesalahan) sehingga memuliakan seseorang, [5]
Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan dengan kelompok lainnya
yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah, namun tidak
mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan
pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).

Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan salafi


adalah bentuk penyandaran kepada salaf. Penyandaran seperti ini adalah
penyandaran yang terpuji dan cara beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan
bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai madzhab baru.” (Limadza
Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)

52
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai
perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan
sunnah khulafa’ur rasyidin -yang merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang hidup di antara
kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian
terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidinyang mendapat petunjuk. Maka
berpegang teguh dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih,
HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat


Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya
(salafush sholih) inilah yang selamat dari neraka. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu
golongan masuk surga, 70 golongan masuk neraka. Nashrani terpecah menjadi 72
golongan; satu golongan masuk surga, 71 golongan masuk neraka. Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan;
satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Ada sahabat yang
bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk surga itu?’ Beliau
menjawab, ‘Mereka adalah Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan
Syaikh Al Albani).

Dalam riwayat lain para sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘


Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.‘ (HR.
Tirmidzi)

Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush sholih-
bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan dengan
beraqidah, berakhlak, beragama (bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang
dilakukan salafush sholih.’

Beginilah Seharusnya Seorang Salafy


Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah
wal Jama’ah di negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar
bikin ribut dan tidak pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka
saling menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan mendiskreditkan kelompok
yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi (pengikut Sahabat Nabi).
Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga sama.
Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah
seratus persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam
pandangan masyarakat.

53
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah
penisbatan yang sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang
dengan mudah pihak atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan
ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh sebab itulah pada kesempatan ini
kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam Ahlus Sunnah wal
Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-
Nya.

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah
karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)?
Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di
antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang
Selamat?”

Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh
Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti),
dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda
dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:
Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh
dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya
serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap
mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi
jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-
sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan
kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-
orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului
Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan
oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu.
Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia,
seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka
ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk
bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.

54
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan
sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat
inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum
berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya
niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan
menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka
berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu
tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun
setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka
perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan
dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan.
Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang
diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan
Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan
dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua
masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari
akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang
diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah
mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan
yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (QS.
Asy Syura: 13)

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa


sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah
agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama
mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al An’am: 159).
Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling
menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah-
Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari
ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa
dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka
meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di
antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di
belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam
berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

55
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam
yang baru saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak
membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu
membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum
kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat
maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa
terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari
ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah
perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang
berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan
dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat
saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti
tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka,
karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga
apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang
ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan
mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu
keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan


para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada
juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun
di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau
menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang
telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan
kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah
menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar
sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai
tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar
kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat
pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat
ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan
mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut.
Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain
semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin
yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu
56
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela
suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga
membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling
bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling
memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang
diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk
menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal
pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk
bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka
perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut
pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam
masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji
hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan
kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu
diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara
umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan
maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum
muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka
tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini,
sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu
bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu
dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok
yang beliau gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan
dengan baik isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam
di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta’ala
‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi
mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri
ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena
mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak
grusah-grusuh dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa
salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? Apa salahnya
jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu
adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena
kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak.
Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-
agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas
itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari
ketergelinciran kita.
Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas
pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan
57
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah
dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’?
Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi
terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran?
Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima
kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami
mengakuinya dan kami mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah
persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan para ulama yang
Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan do’a.
Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi
Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin
yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji
bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam
Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai
daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523]
no: 6632)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi


Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia
cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya
[I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang
menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu
merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap
sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak
mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah-
atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

58
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam
perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan
para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling mengetahui
kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika
cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan
kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah
yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk
Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan
oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram
untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang
digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami
bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku
sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk
sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka
Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai
orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-
Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula
oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-
tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara
penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga
terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang
wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia
diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah
tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah
peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”,
tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-
orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.”
Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan
mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan
oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan
oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku
tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan
pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

59
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang
amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh
seorang hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat
datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau
persiapkan untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku
belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang
dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas pun berkata,
“Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata,
“Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku
berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada
mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan
mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan
at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])

Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya di surga kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di
Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita
ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya hakikat
cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang
muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu
‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia
dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita
angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama
Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang
60
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita
harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya
alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Golongan yang berlebih-lebihan.


2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al
Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta
mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para
generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi
terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-
baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah
mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim
dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, antara lain:

a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah


subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak
berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang
mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-
Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-
Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-
Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).

b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan, “Dan apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita


yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu
yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu,
61
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang
melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu
akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari
segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As
Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Barang siapa yang menaati
Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan
membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan
mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan
sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah


yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta
kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk
bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau
melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya.
Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-
ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-
istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa
beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-
jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar
tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan
dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji
(Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah
(bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

62
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan
keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,
karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk
pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab
wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta
setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam
kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk
memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi
sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575],
untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-
361]).

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah


orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya


dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah
cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo
tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari
kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi.
Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar
Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus
dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam
Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal
9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong”
untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan
“fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia
modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama,
Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30
September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap

63
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum,
aamiin.

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka


ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama
Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As
Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-
lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammadshallallahu
‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama
sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana
mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-
amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-


agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat
yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini
adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan
dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!


Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang
musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon
perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah??
(Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11).

Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan
kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati
hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari
ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk
Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan


rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan
64
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi
budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika
tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut
menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it
Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk
diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa
mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam
merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga
generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.

Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa itu:

1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi


dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa(I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad
bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-
’Ibad (I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid
fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin
Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin
Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib
‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-
Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali
dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah

65
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama
al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah
yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka
dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar
wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam
kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar(I/490).
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid
fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-
A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal:
69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan
al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-
Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka


telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan
negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum
muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara
mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani
Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka
mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti
maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya.
Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama
zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama
abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai
menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad,
kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap
agama dan taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis
untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka
merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun
kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-
Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
66
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali
mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari
hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-
Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan,
kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap
membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara
para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih
yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan membawa
pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan
itu, jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat
kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-
Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah
al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan
Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz
azan menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul
paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya
adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya
Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya.
Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus
merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada
mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih
baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan
maslahat-maslahat agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang


yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu
di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang
yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan
idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang
hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala
kekurangan.

67
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Mana Bukti Cintamu pada Nabi?
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir
zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk


membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya.
Namun tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah
yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan
memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-
saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai
daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah
dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir,
7/164, Muassasah Al Qurthubah) Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib.

Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada
nabinya. Allah Ta’ala berfirman, “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang
mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).

Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali jika
ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa
mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.” (Ruhul Ma’ani,
Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir) Oleh karena itu, kecintaan pada
beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Lalu

68
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabishallallahu ’alaihi wa
sallam berkata, ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum
sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian
’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada
diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula
wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari no. 6632)

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?


Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai


Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya
kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang
paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di
antara sifat beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih
sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-
Nya, ”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At
Taubah: 128)

Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang
mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:

[1] Mendapatkan manisnya iman


Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Tiga
perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai
saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana
benci dilemparkan dalam api.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat


Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan
untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan
untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak
sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan bersama
dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639)

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira
sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
69
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka
karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan
mereka.” (HR. Bukhari no. 3688)

[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidaklah beriman
(dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta
manusia seluruhnya.” (HR. Muslim no. 44)

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Pembahasan ini diringkas dari Huququn Nabi
bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa
‘alamatuhu, hal. 13-15. Kami pernah memuat tulisan ini dalam risalah kecil yang
berjudul Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Antara Mencintai dan
Melecehkan, diterbitkan oleh Pustaka Muslim, Jumadats Tsaniyah, 1428 H)

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari
Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy
yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy.
Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim no. 2276,
Watsilah bin Al Asqo’)

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi
rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
yang didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat
bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang
lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7, Darul
Jail, 1973)

70
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan
segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan
akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman, ”Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam


Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji
beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian
yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang
paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku
disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan
Ahmad (1/201). At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini shahih)

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang


pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali
Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi
kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”
(Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy
mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang
dipakai dalam kitab shohih)

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam


Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabishallallahu ’alaihi wa
sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan
sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati

71
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan
syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan
diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara
mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka
rasa keberatan terhadap hukumnya.” (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 28/471, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu
tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman, “(Juga) bagi orang fakir
yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah
dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti


diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin
Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum
musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai
Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau
surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang
diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya
87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya
telah gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang
pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari
telunjuknya.” ( HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903)

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di


antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-


Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mencaci maki salah
seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian
menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud
(yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.” (HR. Muslim
no. 2541)

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka.


Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
72
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh
Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah
hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek,
maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa
orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.” (Minhajus Sunnah An
Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan
pertama, tahun 1406 H)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah


orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan mereka. Hakikatnya,
apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.” (Minhajus
Sunnah An Nabawiyah, 3/463.)

[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu


’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia
pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk
dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?”
Beliau menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an
karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai
Aisyah, pen), “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”
(Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568,
Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.)

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam


Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang
berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan
membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan
kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah
mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan
sabdanya, “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang
mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia
mendengarnya.Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang
yang mendengar.” (HR. Abu Daud no. 3660, At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no.

73
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
makna hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.)

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu
ayat.” (HR. Bukhari no. 3461) Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran)
beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah,
kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya
melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti bukan
melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.( Lihat
penjelasan dalam tulisan Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam
kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad
Al Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.)

Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa


membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan
tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan
pengurangan dalam ajarannya. (Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.)

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan
bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul
Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul
Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam
Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8
Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini
semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang
merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298.)

Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi


[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal
“Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau
74
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan
shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di
dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied
sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu
wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran
beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan,
maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at
maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu
Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti
mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan
waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa
yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang
memberatkan [?]”(As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash
Sholawat, 138-139)

[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih
terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah
madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau
namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan
Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki


dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama
yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal
dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-
adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu
dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau
mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang
wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang
dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak
dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh
sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap
hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang namanya
bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak
bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al
Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)

75
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang
bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan
maupun penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam,
karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang merupakan
sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat
menjalankan agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah
Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)

Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah
laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab,“Sungguh akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746).

Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-
hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam an-
Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26).

Maka orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam
berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam secara
keseluruhan.

Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata,


“(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami
(Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”
(Ushuulus Sunnah, hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat
Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.
(Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)

Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah
sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan
tegak tanpa ada yang lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)

76
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali
‘Imran: 31)

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini
merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai
Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam
masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang


mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha
meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam
kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar
dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika
terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua
ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi
larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau
(contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”
(Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan
meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai
dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan mengatasnamakan cinta
kepada beliau, atau memuji dan mensifati beliau secara berlebihan, dengan
menempatkan beliau melebihi kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau
padanya. (Mahabbatur Rasul bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-71)

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui
batas, sebagaimana orang-orang Nashrani melampaui batas dalam memuji (Nabi
Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka
katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al Bukhari no. 3261)
77
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami
dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabatradhiyallahu ‘anhum.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling
dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan
shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)

Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam Dalam Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan
menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna
kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda
kesempurnaan iman dalam dirinya.

Dua tingkatan tersebut adalah:

1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil
semua petunjuk yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi
Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari
petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang
beliau sampaikan, mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan,
meninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan
berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk
(mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi
(oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan
sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi
meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab
(etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan
yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga
memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai,
mengagungkan dan memuliakan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, senang
mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu
78
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
(mendahulukan) ucapan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan
selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah
meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap
dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan
kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna)
di akhirat (kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi,
hal. 34-35)

Keutamaan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan
kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang
menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
“teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal
mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan
rahmat Allah Ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, hal. 481)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini
merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/626)

Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang
penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah
dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim
untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau


berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini,
yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah
orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari
akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan
balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi
seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Catatan:Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya
keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

79
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah,
adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya.
Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri.
Karena seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan
(pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan
keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan)
mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya)
akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan)
menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal
‘Umrah, hal. 92)

Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al


Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis
Saami’(1/215) berikut ini:

“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah), berusaha untuk membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam
dalam semua urusan tingkah laku dan sikapnya, dengan berusaha mengamalkan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsemaksimal mungkin, dan
membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”

Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran)
ialah:

 Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama


tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
 Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena
amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal dengan
amal lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang
terikat (ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah
muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu
dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan
ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli
80
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-
cara buatan.
 Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
 Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
 Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
 Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
 Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta


banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang
hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli
dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut
terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan
penglihatan (An Nur: 36-37).

 Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.


 Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir
hadits Nabi tentang unta temuan):
.‫ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها‬،‫ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها‬
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia
bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya
kembali” (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).

Walau Engkau Seorang Diri dalam Kebenaran


Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti dianut oleh orang
banyak. Meskipun seseorang bersendirian dalam menggenggam ajaran kebenaran,
dialah yang berada di jalan yang benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita
hanya bersendirian di kampung atau di negeri, sedangkan yang lainnya berada
dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Karena sebenarnya kita bersama dengan Rasul
dan para sahabat yang terlebih dahulu berpegang pada kebenaran.

Ibnu Mas’ud berkata, “Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran,
walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah
wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).

Sebagian salaf mengatakan, “Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran.


Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan
kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu
dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1:
22).

Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu
teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

81
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam
keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada
yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’,
“Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur
ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad
bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang
yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang
sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang
mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177.
Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas kebenaran yang
dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.

Terorisme dan Pengeboman


“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa
beberapa waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak dapat dipisahkan dengan
terorisme dan pengeboman, dia diyakini sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula
dunia internasional sebelumnya dikejutkan dengan munculnya seseorang bernama
Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas tentang sepak terjang
DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang
ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-
mata salah penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan berdampak
buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia secara umum?” Insya Allah di sini akan
sedikit dibahas mengenai terorisme dalam Islam dan bagaimanakah pemahaman
salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan harus diketahui
umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati
dan ikut tertarik dengan pemikiran mereka.

Awas Bahaya Laten Khowarij !!!


Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini
bukanlah pemahaman baru yang dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini
telah ada sejak dulu dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula
oleh orang-orang jahil yang sebetulnya punya semangat tinggi, tapi salah jalan.

Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa
sallam. Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam
membagi ghonimah (harta rampasan perang). Dalam pembagian tersebut ada yang
mendapat bagian banyak adapula yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi.

82
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Kemudian muncullah seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak terima
dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi dan mengatakan, “Berbuat adillah
wahai Muhammad, karena sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak
ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika
saya saja sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi saya jika saya tidak
bisa berbuat adil.” Tatkala itu Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta izin pada Nabi untuk
memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya
dia mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian dibanding sholat
mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka (Mereka adalah ahli ibadah, -ed).
Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka telah
keluar dari batas-batas agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.” (HR.
Bukhori 3610 dan Muslim 1064)

Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya
kedua kholifah tersebut. Pada masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu
‘anhu terjadi suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok Khowarij
ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah, maka
mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian
antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap
beliau dan memisahkan diri, dan menetap di Haruro’ sehingga mereka dikenal
dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa Kholifah Ali telah berhukum dengan
selain hukum Allah.

Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan
mereka. Diantara isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena
berhukum dengan hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari
dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk menyelesaikan perselisihan
mereka. Para penentang ini berdalil dengan firman Allah, “Sesungguhnya hukum
hanya milik Allah.” (QS. Al-An’am: 57).

Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang
membantah pendapat kalian, maukah kalian kembali?” Mereka menjawab, “Ya”.
Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35).

Akhirnya dua ribu orang sadar dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi
Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun
tidak memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar
berkata, “Saya mendengar beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun
83
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin beliau bersabda, ‘Hingga
muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.”(Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja
mereka bisa saja mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui
bahwa perubahan nama tidak merubah hakekat dan wajah asli.

Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!


Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri
itu adalah:

1. Mengkafirkan pelaku dosa besar


Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya
mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka (khowarij)
terhadap Al Quran meski mereka tidak bermaksud menentang Al Quran, mereka
memahami wajibnya mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa
orang mukmin itu hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa
tidak baik lagi bertaqwa dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)

Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus
dikembalikan kepada pada Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana penghalalan,
pengharaman. Kita tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh
kitab dan sunnah atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah cukup
dengan semata-mata didasari prasangka, karena akan menimbulkan akibat-akibat
yang berbahaya, seperti penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling
mewarisi, pernikahannya menjadi batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat
murtadnya seseorang. Karena itulah Nabi memperingatkan dari hukum pengkafiran
terhadap seseorang yang bukan kafir, beliau bersabda: “Apabila seseorang
mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka sungguh akan kembali kalimat
itu pada salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan itu (maka
kalimat itu tidak akan mengenainya) dan jika tidak, maka akan kembali
kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)

Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah


yang didasari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan
mengampuni dosa lain di bawah syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila
seseorang berbuat kesyirikan dan belum bertaubat sampai ia meninggal maka Allah
tidak akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik seperti judi,
minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi
mengampuninya.
Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah
wewenang ulama, bukan orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika
melihat ada orang lain yang melakukan perbuatan kekufuran atau syirik akbar
84
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
langsung mengarahkan meriam takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini
harus melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang (seperti
dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan
mudahnya mereka membom dan menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri.
Yah, karena mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal
untuk ditumpahkan.

2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang sah


Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak pada pemerintah yang
sah seperti kita lihat pada kisah di atas. Mereka telah memberontak kepada Ali bin
Abi Tholib dan kholifah selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan
hukum Islam namun karena satu kesalahan dalam berhukum -menurut paham
mereka- mereka berontak, apalagi apalagi penguasa yang jelas-jelas menerapkan
hukum thogut.

Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan dengan pemahaman


Ahlus Sunnah yang mengharuskan untuk tetap mendengar dan taat kepada mereka
selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat zholim
kepada rakyatnya. Bahkan Nabi melarang untuk menentang kepada para penguasa
kecuali bila melihat ada kekufuran yang sangat jelas dengan sabdanya, “Kecuali
engkau melihat kufur yang nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari
Allah.” (Mutafaqun’alaih). Maksud dari “Kecuali Engkau melihat!” yaitu tidaklah cukup
berdasar pada persangkaan dan kabar angin semata. Maksud dari “…
kekufuran” yaitu tidak cukup adanya kefasikan meskipun besar seperti kezholiman,
minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan monopoli yang diharamkan. “yang
nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup kekufuran yang tidak nyata, tidak jelas, lagi
tidak tampak. Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya yaitu harus
ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya dan gamblang
penunjukannya. Maka tidak cukup jika dalil itu sanadnya lemah dan samar
penunjukannya. Serta sabda Nabi “Dari Allah”, maksudnya yaitu didukung oleh dalil
yang benar dari Al Quran dan As Sunnah.

3. Menghalalkan darah kaum muslimin


Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang Khowarij, “Mereka membunuh
kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala.” (HR. Bukhori, Muslim).
Sehingga pada kenyataannya kita saksikan mereka tidak merasa berdosa telah
membunuh kaum muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa bangga dengan
aksinya itu.

Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan haram untuk diterjang,
yaitu: agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Tidak ada perselisihan diantara
kaum muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa
alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia memikul dosa yang
besar.
85
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja
maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS.
An-Nisa’: 93). Begitu juga sabda Nabi dalam sunan Nasa’i dari Abdulloh bin
Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya
seorang muslim.”

Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli
dzimmah (orang bukan islam yang berada di bawah perlindungan pemerintahan
Islam). Nabi bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang
ada ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya bisa
dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhori)

4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum


berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-
orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya.
Dan demikianlah syiar khowarij dari masa ke masa. Kebodohan mereka yang
berdalil dengan ayat di atas minimalnya mereka tidak memperhatikan makna lafazh
kufur ini. Mereka memahami makna kafir secara tekstual dan tanpa perincian.
Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum dengan selain hukum Allah
merupakan kekufuran yang mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana
kekafirannya orang musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu
makna saja seperti juga dzolim dan fasik. Kata dzolim dan fasik tidak mesti
pelakunya keluar dari Islam.

Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak
seperti pendapat mereka, ini bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur
yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok
2/212, shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini
dalam As-shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu
bahwa seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah,
terkecuali apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib
dilaksanakan atau meyakini bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang
hukum Allah.

5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka


Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wassalam tidak ikhlas dalam pembagiannya, demikian juga khowarj dimasa Ali bin
Abi Tholib dengan beraninya mereka menyelisihi paham para sahabat yang
notabene adalah ulama umat ketika itu. Dan tentunya para sahabat lebih paham
tentang maksud ayat daripada mereka. Demikian pula keadaan khowarij masa kini.
Mereka menutup telinga terhadap nasehat para ulama bahkan menuduh para ulama
86
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
sebagai ulama “piring” atau ulama pemerintah. Mereka maksudkan dengan tuduhan
tersebut bahwa para ulama berfatwa demi kepentingan piring atau pemerintah
semata.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah


mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia. Namun Allah mengangkatnya
dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorangpun
ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai tokoh. Ketika ditanya,
mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi
menyesatkan.”

Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah
meninggalkn fatwa ulama. Imam Ath Thurhusi berkata, “Resapilah hadits ini baik-
baik. Sesungguhnya musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para
ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa atass dasar
kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”

Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?


Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah, bahkan jihad fisik
adalah salah satu dari dua penopang Islam selain tiang bayan (ilmu), yang
merupakan jihad lisan. Penyebaran ilmu syar’i merupakan jihad yang lebih utama
dari jihad fisik, apalagi ketika meratanya kebodohan terhadap ilmu syar’i pada
masyarakat. Dengan jihad maka tegaklah kemuliaan kaum muslimin. Sebaliknya jika
kaum muslimin melalaikan jihad maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad
termasuk ibadah, dan ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal
itu ikhlash dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka harus diserahkan


kepada ulama senior. Merekalah yang berhak mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi
wewenang orang bodoh lagi masih ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu
daya. Para pembohong dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dicap pendusta.
Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat.
Dan para ruwaibidhoh mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa itu
ruwaibidhoh wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berkomentar
tentang urusan rakyat banyak.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa bahan peledak
di tubuhnya lalu meledakkan dirinya, maka perbuatan ini termasuk bunuh diri,
merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana sabda
Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan
besi tajam maka besi itu diletakkan ditangannya, ditusukkan keperutnya di neraka
jahannam dia kekal di dalamnya.”(Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini
disebabkan orang ini membunuh dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan Islam,
87
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
bahkan malah sebaliknya. Mungkin mereka dapat membunuh sepuluh orang kafir
akan tetapi orang kafir membalasnya dengan membantai ratusan kaum muslimin
dengan cara-cara yang biadab.
Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim sendiri, padahal Allah
telah berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An
Nisa: 93)

Di sisi lain perbuatan ini semakin membuat ruang gerak kaum muslimin makin
sempit dan menyebabkan nama Islam tercoreng. Akibatnya dakwah Islam menjadi
lebih sulit tersampaikan.

Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat


dari bahaya pemahaman khowarij. Hal ini mengingat bahwa pemahaman khowarij
akan selalu ada sampai hari kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya
dengan menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga jalan paling baik ialah membekali
kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang benar dan memperingatkan mereka
dari setiap jalan kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu mengembalikan
urusan besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan
pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat bahwa kesesatan
khowarij timbul karena mereka tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada
orang yang lebih alim dalam agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.

Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-
gesa dan dengan mudahnya menghukumi setiap orang yang berpenampilan fisik
sama dengan para pelaku teroris kemudian langsung menghukuminya sebagai
teroris! Karena hal itu merupakan tindakan yang tidak didasari dengan ilmu, serta
berasal dari rasa emosi belaka.

Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa
istiqomah dijaman yang penuh dengan fitnah ini. Marilah kita bertaqwa kepada Allah,
dan bertaubat dengan jujur terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

Pengeboman = Jihad???
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at
merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum
muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir
dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan
Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah
mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain,
tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan

88
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya
menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.

Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i


Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir
juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau
perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya)
dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an
dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga
tidak cukup berdasarkan dugaan saja.

Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar


jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang
artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka
perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu
benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri
orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)

Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan
faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-
syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang
diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja
dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya
teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin
lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka
persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap
pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan,
menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena
itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada penguasa.
Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran
yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq
‘alaih, dari ‘Ubaidah)

Dampak Mudah Mengkafirkan


Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta
milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman
serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-
kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir
yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang
berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya
sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)
89
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi
Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam
beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah
mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan
khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau
“Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-
pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi
tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun
dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata


bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di
sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan
tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga
semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’


Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi
perselisihan. Allah Ta’ala berfirman: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman: “Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan
putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya sepeninggalku akan


terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan
sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham
kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan
pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah
menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat
bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab:
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641.
Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

90
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada
dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu
sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika
ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua
pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan
khilafiyyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil


Para ulama berkata: “Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami,
selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu
‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah
Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Jangan taqlid kepada pendapatku, juga
pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka
mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil
dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata: “Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah
dijelaskan padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia
meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul
Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh
dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan
pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir
dalam kesalahan. Imam Malik berkata: “Saya ini hanya seorang manusia, kadang
salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah,
tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm
dalam Ushul Al Ahkam6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari
para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal. Sulaiman At Taimi berkata,

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau
mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul
padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Auliya, 3172)

91
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang
para ulama berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada
beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang
shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam
permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap orang yang berpegang
pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah,
atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita
mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita
menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa


masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran
biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran
pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal
kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut
kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya,
menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut
bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan
pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’
maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa
tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua
golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika
menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah
sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika dalam suatu
permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada
ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid”
(I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi


1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Bara’ bin ‘Adzib: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa


membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)
 Hadits dari Muhammad bin Sirin: “Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat subuh? Ia
berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia
berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
 Hadits Anas bin Maalik: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut
selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan

92
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR.
Bukhari 1003, Muslim 677)
 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf
Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat
subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu
takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku
shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut
sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam
Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam
Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.

Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila
mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Anas bin Maalik: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut


selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan
Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR.
Bukhari 1003, Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku
Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari
kaum Anshar.
 Hadits Abu Hurairah: “Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam setelah membaca ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِم َده‬
‫ سمع ه‬pada raka’at terakhir dari shalat Isya
beliau membaca doa Qunut: “Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya
Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam.
Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya, Allah
sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah
tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati
Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)
 Hadits Abu Malik Al Asyja-’i: “Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat
menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca
Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak
membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i,
Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954)
dengan sanad shahih: “Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di
waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang
melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

93
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad
shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika
shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan
dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk RasulullahShallallahu’alaihi
Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat
terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu
tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja, walaupun memang beliau
paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits,
pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh


Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa
terkadang Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang
berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan
Ibnu Hazm.

Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada
dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in
dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i.
Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap
muslim.

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam


Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

 Hadits Jabir bin Abdillah: “Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul
Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan
warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)
 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna
hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya
surga” (HR. Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.

Pendapat kedua: makruh


Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

94
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang
yang semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang
dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium
wangi surga bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena
perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan
hitam hanyalah ciri kebanyakan mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan
sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna
hitam

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal
ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering
bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.

Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada
dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap
pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi


1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali

Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya
sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-
immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga
didukung oleh pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya
pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

 Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud
2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Wanita
mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai
wanita berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang
telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali
bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al
Albani dalam Al Irwa 1840)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh
95
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu
Hajar dalam At Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah
pendapat yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para
ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai
kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang
menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

2. Bid’ahnya Doa Istiftah


Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata
lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali
tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum
bahwa hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini
sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

 Hadist dari Abu Hurairah: “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam


setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka
aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan
ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa
yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)”
(Muttafaqun ‘alaih)
 Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata: “Ketika kami shalat bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa
istiftah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran,
dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah
meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam


doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan
demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar
karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik. Walhasil,
kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah
bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi


As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama
yang memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi MuhammadShallallahu’alaihi
Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih
atau pemahaman para salaf, kecuali hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas.
Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i yang fundamental,
diantaranya:

96
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
 Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan
dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam
firman Allah: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah
yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak
ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan (agama) kami,
maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
 Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah
dan
 Para ulama bersepakat atas kaidah: “Tidak ada qiyas dalam menetapkan
ibadah”. Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan
qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah
adalah ranah aqidah.
 Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
 Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata
lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah
ranah aqidah.
 Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka
yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para
sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling
bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.
 Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan
Maulid Nabi
 Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat
merayakan Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa
ditoleransi walaupun memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

97
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/

Anda mungkin juga menyukai