Anda di halaman 1dari 118

Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir masa. Amma ba’du.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang
yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang
paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah
suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran
agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di
atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan
Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam
pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk
dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat
(lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat


Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai
mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para
sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan

1
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya
Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)

Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-
nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di
antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah
perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap
mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian
apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang
siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al
Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap
keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa
mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)
2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan
meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut
(Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam
hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada
diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr [59]: 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al
Fath [48]: 18)

2
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan
Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)
5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman
bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal.
77-78)

Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena
sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu
tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan
setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah
musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku.
Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para
sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu
(perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan
laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash
Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat


1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk
menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah

3
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-
pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat
dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua
sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan
ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali
Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia
ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah
dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang
menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat


Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap bahwasanya semua sahabat adalah
kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang
terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!

Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah menurunkan ketenangan dari-Nya kepada
Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka
itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui
atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)

(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-orang yang berhak dan pantas mendapatkan
predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah) justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada
suatu saat Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’ dalam rangka
memintakan ampunan bagi para sahabat yang sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan mereka. Dan

4
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru
mencela mereka !!

Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian
yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka
serta apa yang akan muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan
seenaknya ….

Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang menyampaikan agama-Nya serta
menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini
justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam


Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada umat Islam adalah sebagai
berikut.

1. Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan sesudahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau memilih beberapa
orang sahabatnya untuk mencatat wahyu, di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin
Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Sehingga apabila wahyu turun merekalah yang diperintahkan untuk mencatat dan di samping
juga untuk dihafalkan di dalam ingatan mereka. Di antara para sahabat ada pula yang berinisiatif untuk menulisnya untuk
mereka pribadi tanpa perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyetorkan hafalan Qur’annya kepada malaikat Jibril setiap tahun pada setiap malam bulan Ramadhan, maka para
sahabat pun menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang mereka miliki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga tatkala Rasul wafat al-Qur’an itu sudah terpelihara di dalam dada-dada para sahabat serta tertulis di dalam shuhuf,
kayu, dan lain sebagainya. Kemudian tibalah masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika itu tahun 12 hijriyah terjadi
perang Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-orang yang murtad. Dalam peperangan ini 70 orang sahabat

5
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
penghafal al-Qur’an gugur. Karena itulah Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya
mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga akhirnya Abu Bakar pun menerima saran tersebut. Maka Abu
Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga
berkat jasa Abu Bakar dan para sahabat lainnya inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah berbentuk
mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 118-134)
2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya hadits-hadits Nabi belum boleh dicatat karena ketika
itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya al-Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat. Sehingga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian larangan itu
beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan baik oleh para sahabat sehingga tidak dikhawatirkan lagi
catatan atau hafalan hadits tercampur dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya pencatatan
hadits itu memang sudah terjadi di jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah sabda
beliau pada saat khutbah di tahun pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta kepada beliau untuk dituliskan
ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau
menceritakan, “Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencatat (hadits) sedangkan aku tidak mencatat.” (HR.
Bukhari) Begitu pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar sabdamu
dan akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya, (silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun
ridha?” Beliau menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.”(HR. Ahmad, sanadnya shahih kata
Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi, Mushthalahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)

Dan cukuplah kiranya dua buah jasa besar ini menjadi sumbangan paling berharga yang mereka berikan bagi pemeliharaan ajaran
Islam yang murni. Sehingga Islam yang diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan kemudian diajarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat bisa sampai di tangan kita melalui ribuan ayat al-Qur’an dan puluhan ribu
hadits Nabi yang tertulis dengan sanad-sanad yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di dalam kitab-kitab hadits. Yang
dari ayat-ayat dan hadits-hadits itulah umat manusia bisa mengetahui apa yang harus mereka yakini, apa yang harus mereka
ucapkan dan apa yang harus mereka perbuat. Dari ayat dan hadits itulah para ulama menarik berbagai prinsip dan kesimpulan
hukum dalam bidang akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya. Sehingga seorang muslim yang hidup di abad 15

6
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Hijriyah bisa mengetahui secara gamblang dengan tangan yang manakah seharusnya dia makan, dan dengan tangan yang
manakah seharusnya dia mencuci duburnya..!! Sebagaimana kaum muslimin pada masa sahabat pun mengetahuinya.
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela menghinakan dirinya dengan
mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat,
dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka
tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin selamat !!

Hukum Mencela Sahabat


Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan:

1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi kafirnya semua sahabat atau
sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka
tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah, Rasul-Nya dan
berdusta atas nama agama.
2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama tentang status
kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul
karena kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati
3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan agama mereka, seperti dengan
menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan
perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh
pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)

Urutan Keutamaan Para Sahabat


Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu
‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk
mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”

7
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu: Abu
‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para
sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di
dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan
yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada
sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara
orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi
daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan
(surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10) Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian
Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar.

Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang
artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta
mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8)

Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tantang kaum Anshar, “Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri
tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di
dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada
diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barang siapa yang dijaga dari rasa bakhil dalam
jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr [59] : 9)

8
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya
kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka
dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah
‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena
perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka
kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah
menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin)
memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di
Mekkah, red).

Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian
‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat
terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman
kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang
tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka
tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah
Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah;
sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak
(antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila
ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu
pahala.

9
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud
membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab
mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini
selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR.
Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk
memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap
yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum
dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang
selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai
berikut:

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih


2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang
Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan
musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk
memperolehnya.

10
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat
sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan
juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada suatu
kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa
para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat-pendapat
ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung
dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga fatwa-fatwa
para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.

Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap
kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin
mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al
Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)

Macam-Macam Perkataan Sahabat


Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:

1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’ (bersumber dari Nabi). Ucapan
itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamnamun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini yang
diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan secara
tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan
sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya. Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid

11
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang
lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang
dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para ulama.
4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat
yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak,
sedangkan hal yang disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas
umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat kaum filsafat yang menyimpang.

Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan beberapa syarat yaitu:
1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’
(bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat
yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat
yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus
berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua
dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka
sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila
suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur
ulama.
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan sahabat yang telah disepakati
oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!)
memang ada ucapan mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam.
Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut
mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan
sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihatMa’alim Ushul Fiqih ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
12
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang bertentangan dengan analogi daripada
pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti bahwa mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para
sahabat.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum
muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata
illa billaah.

Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku
maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24)
Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal
mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!

Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat.
Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat
ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi
pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada
Allah wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah
meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik
hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum

13
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh
karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.”
Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti
urusan kaum tua/para sahabat.”

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama
mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-
orang memandangnya sebagai kebaikan.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari
terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”

Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad
berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya
bukan karena aku melihat bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”

Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Karena
mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal
sebenarnya mereka adalah orang yang paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih
dahulu melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang berkata: ada ajaran
baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada yang menciptakannya kecuali orang yang menentang petunjuk mereka
serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan.
Dan apa yang mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui mereka maka
dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang sengaja mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia

14
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka sehingga
akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem.
Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi
menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang
indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”

Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah kesungguhannya melainkan dia
pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”

Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang
sepadan dengannya.”

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia
masih berada di atas jalan yang benar.”

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa
diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh saja
kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”

Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara
yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu
memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan
atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”

15
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya niscaya akan
selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat
itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara
dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam kebatilan.”

Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di
dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia
juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan
apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan
(kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum Ash-habul hadits (pembela
hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada seorang
yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga
menyebutkan nama-nama yang lain. “Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi
mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”

Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan merangkum wasiat para imam di atas.
Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil
memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk

16
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 197-
206)

Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam
kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam
mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang
yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak
menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan
membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal.
488)

Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu
ta’ala a’lam bish shawaab.

Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran


Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya bak kacang goreng. Setiap
kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang lebih benar pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan
kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini
bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling
memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai
pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah
sumber kebenaran.

Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah berpedoman pada Al Qur’an dan
Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini
17
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami
berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di dunia ini yang
paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah para sahabat
Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.

Pengertian Sahabat Nabi


Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah: “Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan
Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau Rasulullah belum
pernah melihat ia sama sekali” (Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24))

Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi
Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan: “Empat
puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut
bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi” (Al Ba’its Al
Hatsits (1/25))

Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi: “Menurut keyakinan
Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an.
Juga dikarenakan banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal perbuatan
mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (Al Ba’its Al Hatsits (1/24))

Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan

18
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda: “Kebaikan akan tetap ada
selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku
(tabi’in) dan orang yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani
dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7))

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah
mereka, kemudian setelah mereka” (HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533)

Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat
kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan
kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas
bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak
mencela mereka.

Imam Abu Hanifah berkata: “Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar,
lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, kita tidak boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah” (Nur Al Laami’ (199), dinukil dari
kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7))

Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang
berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya” (HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540)

19
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang
yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap
agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita,walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam
dengan Nabinya.

Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali tidak diyakini dan tidak
diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya?
Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita
perlu menyadari bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan menjerumuskan
kita kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalan yang
ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita membaca ayat: “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan
dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Tafsir Ibnu Katsir (1/140))

Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini
adalah NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya. (Tafsir At Thabari (1/179))

20
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata: “Siapa saja yang mencari teladan,
teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat
ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik
keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya.
Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”
(Tafsir Al Qurthubi (1/60))

Beliau juga berkata: “Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan
mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’alamemperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian
menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh
kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk
oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah” (HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no.8504. Dalam Majma’ Az
Zawaid (8/453), Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah”)

Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami
adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari
hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah
menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya
Rasulullah?” “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi
berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya: “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat
kepada pemimpin, walaupun ia dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan melihat

21
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah
diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah perkara yang diada-adakan, karena ia
adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)

Jika Sahabat Berselisih Pendapat


Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang
memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika
dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari
beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi'i, aku dengar engkau mengatakan
bahwa setelah Al Qur'an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi
jika mereka berbeda pendapat? Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para
sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau Ijma' atau Qiyas yang paling
shahih” (Ar Risalah (1/597))

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if


Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits
dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan
penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak
diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits
tersebut shahih ataukah tidak?

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang
memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia
22
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang
lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya?
Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab
tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal
tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan
pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka
adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang
menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl
Ilmi as-Salaf hal. 57) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak
berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).

Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad,
(maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan
dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui
salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang
menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).

Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.

23
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini
(baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya. Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya
hadits dho’if/lemah di tengah-tengah umat. Contoh dari hadits dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga
orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut adalah, “Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara kalian“.
(Hadits ini dho’if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam hadits ini
terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).

Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk
melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin
tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para da’i.
Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?! Simaklah
pembahasan berikut ini.

Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang
demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa yang berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari & Muslim). Dari hadits ini
terlihat jelas bahwasanya seseorang yang menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa
mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan
setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya
24
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang
menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id
Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).

Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia
dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang
disampaikan dho’if atau dusta. (LihatMuntahal Amani)

Hukum Memakai Hadits Dho’if


Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan suatu
hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan melihat
perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau- berikut ini.

Imam Muslim -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah -semoga Allah memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang
yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari
perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui
keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-
orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan kami ini adalah
firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasikmembawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)

Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang tidak
adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa
hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.

25
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan Dalam Fadho’il A’mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il
a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka. Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya
menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahala di pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak boleh
diamalkan secara mutlak meskipun di dalam masalah fadha’il a’mal.

Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang
dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya
dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il a’mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah
disyari’atkan dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa, dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa
manusia selalu mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau menjadi takut untuk melaksanakan suatu
kejelekan. Para ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki
landasan pokok dari hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil dari hadits yang shohih sama sekali yang
menjadi landasan pokok dalam penetapan hukum.

Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di dalam fadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits
yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut adalah: (1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang
sangat dho’if/lemah, (2). Hendaknya hadits tersebut masuk di bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum, (3) Di dalam
mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya, (4) Hadits ini tidak boleh dipopulerkan.

Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari mereka tidak
bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di dalamnya memiliki
landasan dari hadits yang shohih dengan yang tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)

Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho’if tidak boleh digunakan secara mutlak termasuk juga dalam fadha’il
a’mal.

26
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Mengapa Harus Manhaj Salaf ?
Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang
lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqqin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?


Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para
sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi
nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi
Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al
Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah
salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah
maupun dakwah.

Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran


Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)

Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud adalah para sahabat Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka dan
orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka serta menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka
27
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang
besar” (QS. At Taubah: 100). Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari pengaruh-pengaruh peradaban lama
dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an
dan as-Sunnah.

Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah


Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah menegaskan saat beliau sakit mendekati wafatnya, di
mana beliau bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya aku adalah
sebaik-baik salaf bagimu” (HR. Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak menggunakan istilah salaf dalam
ucapan dan kitab-kitab mereka. Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka mengatakan, “Dan setiap
kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang menampakkan madzhab salaf dan
bernasab padanya, bahkan wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah kebenaran.

Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat


Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut dengan kembalinya umat pada agama Islam yang murni, yaitu
dengan meniti manhajsalaf. Di tengah maraknya perpecahan umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-beda
dan saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang benar yaitu jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Inilah yang kemudian disebut dengan kembali kepada pemahaman yang benar, pemahamannya Rasulullah dan tiga
generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para imam
dan ulama. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebenaran dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali kepada
pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat terakhir ini kecuali dengan apa
yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”

28
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Mari Mengenal Manhaj Salaf
Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat
sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga
dan para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah
dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik.
Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada
sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus
kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian membawa
berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As
Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).

Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian
orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk
diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai “benang kusut”
ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.

Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini
dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,
Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan
kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak
sayang…”

Pemahaman yang Benar dan Niat Baik


Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum
muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul
29
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan
Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang
yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan
niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).

Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita
hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini
sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa
mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di
sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya
(meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan
ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian
da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia
(Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang
berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah
(kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul
musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.

Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian.
Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian

30
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An
Nisaa’: 59)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan
juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an).
Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam
rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam
hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan
Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut
maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf
yang lain.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan
oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan
tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan apa
saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang
diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada
sesudah kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).

Kata Salaf Secara Bahasa


Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar
bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak
kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para
sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna
semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami
murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf

31
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
(pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai
pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau
mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam
kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-
baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7).

Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun
yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita bicarakan
sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul
komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami
maksudkan…

Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya
menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at dan objek
penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng
secara total dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda
jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah
demikian; hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.”
(lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).

32
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3
kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa
menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat
secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini
karena sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan
para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap
orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan
terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah
generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga
Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini
pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya
mereka untuk menasihati umat dan memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai
keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di
jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari
dan Muslim)

33
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah
sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi,
artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan
yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar
adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh
karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf.
Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan
tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau
bahkan saudara Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal.
8).

Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”


Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin
Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah
seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.”
Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku
menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut.
Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para
sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihatLimadza, hal. 31-32).

Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan
hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku
mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin

34
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.”
(Limadza, hal. 32).

Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang
dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah
engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan.
Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena
sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah
sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.

Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah


Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah
sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang
dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah
sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika mendengarnya adalah
sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana
itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun realitanya
mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf.
Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang
baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai
pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu
dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’
Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada
umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul

35
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan
pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka
adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak
sopan. Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al
Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu
sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.

Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang
yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung
dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap
orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhumdalam hal akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut
Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin
Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu
kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni) belum pernah terjun
dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak
ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).

Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada
tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup
pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah
atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut sebagai
pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni
adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal… Anak kelas 5 SD
pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan
sebaliknya. Wallaahul musta’aan.

36
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa
sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat
karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam
yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu
khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini
sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan
Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi
?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah
ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian pula
dengan istilah salafiyah.

Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan
adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus.
Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an dan
As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman yang masih murni ini dengan
pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).

Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen
dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali
(pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia
mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu,
namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau
Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan
Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah
penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan

37
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak
ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula
wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik
Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).

Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam


Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah
ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan
sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka beliaurahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat
dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan
syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah
Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.
Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan
ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja.
Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan,
“Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum
khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia
mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia
mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan,
“Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak
diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk
berlepas diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan selainnya dari

38
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti
orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk
berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia
berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang
akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah
Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

Cinta Salaf Berarti Cinta Islam


Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita
mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka
untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Inilah
akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian kepada para sahabat
Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di
sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam
mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang
yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak
menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan
membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal.
488).

Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan belaka
sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…

Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari
rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai
kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau

39
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no.
17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul Iman dengan lafazh,“Tanda orang munafik adalah membenci
Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74)

di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang
beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”(Muslim no.
77).

Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang
munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah
juga membencinya.”(Muslim no. 75).

Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum
Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).

Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah
barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya
mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam
menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau,
peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi menjunjung tinggi
Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim,
2/139).

40
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian
keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik,
ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang
mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik
karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah
keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah membuat orang-orang
kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29).

Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah
‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena
mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul
dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).

Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun
(masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam
banyak kitab dengan lafazh khairul quruun(sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara
keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).”
(lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).

Benci Salaf Berarti Benci Islam


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu

41
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam
ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam
Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan
kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu
karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang membenci para
sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulamaradhiyallahu’anhum pun ikut
menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).

Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum
Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik
atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan
syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi
secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib
dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di
dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya
menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan
Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama
dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!! (silakan
baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah
dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram

42
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa mereka
ini. Bacalah!!).

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat
Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga
Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal
mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan
kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu
tidak bisa mencapai (pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah,
diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).

Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya


Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100).

Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat
yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah
‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang

43
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan
Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada
orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan
kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140).

Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul
Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di
dalam ayat ini adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”
merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat
dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka
terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul
Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah).

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan bahwasanya
barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla
wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian
kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan
melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah Syamilah).

44
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan
membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela
mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah memberitakan sikap
orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan
‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah)
menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka
terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir,
4/140)

Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang
pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada
mereka).

Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan


Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan
sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan
kepada beliau, “Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya
anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada
Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena
sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan
Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah
perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah
sesat.”

Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan
shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad

45
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
(4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith
Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).

Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala
menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan
Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang
empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201).

Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 202).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat
perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah
beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”.
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan yang beliau
tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)
beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka
pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65).

Dengan demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki
Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).

46
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“…Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan
beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya
(Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada
umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.”
(lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).

Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu
umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah
dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu
jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-
75).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur
Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka
dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).

Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud
dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam…” (dinukil dariLimadza, hal. 73).

Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan,
“Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan
penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75)

47
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan
dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah
(ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan
kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
agung ini.

Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah


As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari
bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila
dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah
seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan bacaLau Kaana Khairan karya
Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).

Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah syar’i, al
jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka
hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh
karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala
yang sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30).

Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang teguh
dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah
diisyaratkan oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali
satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan
para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu

48
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih
dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal.
348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-
faidah dari hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).

Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam
berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah)
dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga
datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan.
Mereka itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40,
baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor
Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah).

Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan
hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah
dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170).

Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata,
“Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada dua
persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:

1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.


2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)

49
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara otomatis
menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang
sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak
bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan
buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau
menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan
As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam
urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah,
yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda
dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk
As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan
pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari
berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An
Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku
sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang
dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyun (para
pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14).

Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami
sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang
diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-

50
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun
Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I
hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam
membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.

Hanya Satu yang Selamat!


Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya
perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau
menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As
Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul
Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)).

Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara
berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali
satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana
yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An
Najiyah(kelompok yang selamat). Mereka selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api
neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang
akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan
agama Allah ‘azza wa jalla.”

“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian
ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela
bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah
disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang
lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanyafirqah-firqah yang sudah ada ini saja

51
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya.
Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat bahwa
bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman
ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah
disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah
menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari
petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalamfirqah-firqah ini. Dan bisa
juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita ketahui
keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu
‘alaihi wa sallammengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang sebagaimana
pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul
Islaam, hal. 21-22).

Firqah-Firqah yang Menyimpang


Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah
pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita cermati.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan
Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang
yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan
niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44)

52
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus
adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang ada
pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada
juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka. Dan
kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah
dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali
‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam.
Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran
Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama
Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk
ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para
generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan
massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak.
Subhaanallaah…!!

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas
Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah,
Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan
kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal
90. Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya
yang juga menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161).

Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan
mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah:

53
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik
yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada
kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).

Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari
penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:

1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga
mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di
antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin
Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di
zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram
1427 hal. 49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab
mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah
menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki
pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut
paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan
amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna
imannya. Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena
alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim
dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan
baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa
hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah.
54
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di
antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan
hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja.
Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan
kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al
Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara
dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka
dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah
takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak
kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah.
Karena Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan. Inilah anehnya
bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum
syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat
Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen
tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam
Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam
Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau
bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus
Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu:
hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara
total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal.
161-163).

55
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang
sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan
berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam
kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai
macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka
telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red),Jama’ah
Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen,
kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional
(bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah).
Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang
mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul
I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan
membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).

Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai


Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan
umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai
oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di dalam Islam,
dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah
dalam agama mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang
dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya.
Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang
teguhlah kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah
kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai macam keterangan kepada
mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun

56
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red)
yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan
(bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H,
lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).

Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak
terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah
dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak
ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan
anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah untuk berdakwah
ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh
tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan
untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam)
dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.”
(Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan
sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56).

Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya
berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar
kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan
ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.

57
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang
menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama
mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan
kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk mencoblos partai
mereka dan tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang
berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepadaDemokrasi demi mendapatkan jatah
kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?

Catatan:
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan…
jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di
dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al
Manshuurah (kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau
bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad,
dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).

Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita,
ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah
baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta
Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti jejak dakwah
Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan
As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru
saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan pemahaman sahabat ataukah
belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan
mengenal siapa yang benar!’ Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan,

58
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
atau organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua
menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau
menggalang massa, sadarilah kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya
yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini
kuat-kuat!!

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu
suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap
kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak
ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar
menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka dari
bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku)
tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang
yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-Nya.
[dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi
kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan
mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).

59
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Mengenal Salaf dan Salafi
Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada kebenaran-. Salaf dan salafi mungkin merupakan kata yang
masih asing bagi sebagian orang atau kalau toh sudah dikenal namun masih banyak yang beranggapan bahwa istilah ini adalah
sebutan bagi suatu kelompok baru dalam Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan berikut ini
dapat memberikan jawabannya.

Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka
membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). Dan Kami jadikan mereka
sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai
SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran dari mereka (salaf). Oleh
karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari
nenek moyang dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani,
‘Amr Abdul Mun’im Salim dan Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)

Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama


Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam
Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad mengatakan, ‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena kuda
seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.” Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah para
sahabat dan orang setelah mereka.

Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau Al Adzkar, “Sangat bagus sekali doa para SALAF
sebagaimana dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’ (minta hujan),

60
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah …’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan
Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda Syaikh al-Albani)

Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang
mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih). Merekalah
tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia
adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari
dan Tirmidzi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’ tiga generasi awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan
dan kemuliaan mereka, semangat mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka tentang syari’at Allah, semangat
mereka berpegang teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan Mu’taqod
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)

Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih


Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak
ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush sholih.

Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang

61
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115). Yang dimaksudkan dengan orang-orang mukmin ketika ayat ini
turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan jahannam. Oleh
karena itu, mengikuti jalan salaf adalah wajib.

Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih


Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah wajib, maka bolehkan kita menyandarkan diri pada
salaf sehingga disebutsalafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?

Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan para ulama, [2] Keengganan
untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih, [3] Kenapa
penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut
Abul Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari kesalahan dan
dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum (keterbebasan dari kesalahan) sehingga memuliakan
seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan dengan kelompok lainnya yang semuanya mengaku
bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah, namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para sahabat dan
pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).

Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali, “Penamaan salafi adalah bentuk penyandaran kepada
salaf. Penyandaran seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan bukan
penyandaran yang diada-adakan sebagai madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)

Solusi Perpecahan Umat


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh
pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang

62
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidinyang mendapat petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan
gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih, HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat


Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari
neraka. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu golongan
masuk surga, 70 golongan masuk neraka. Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71 golongan
masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu
golongan masuk surga dan 72 golongan masuk neraka. Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk
surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani).

Dalam riwayat lain para sahabat bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘ Beliau menjawab,‘Orang yang mengikuti jalan
hidupku dan para sahabatku.‘ (HR. Tirmidzi)

Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu pengikut salafush sholih- bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi
harus dibuktikan dengan beraqidah, berakhlak, beragama (bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang dilakukan salafush
sholih.’

63
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Beginilah Seharusnya Seorang Salafy
Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri kita ini terkesan sebagai
dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling
menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku
Salafi (pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga sama. Namun
ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang
ada di dalam pandangan masyarakat.

Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang sangat mulia. Salaf bukanlah
sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka
ngotot dan membantah). Oleh sebab itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan
koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang
Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara
karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?”

Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh
dengan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah
(interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri
mereka:

64
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-
Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan
berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-
jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya
perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat
beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah
yang tidak diijinkan oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain
mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah,
berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka
menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual
dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa
adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka
akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai bagian
dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat.
Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya
hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya
membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.

65
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata
karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan
bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah
mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy
Syura: 13)

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang
yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS.
Al An’am: 159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh
Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang
bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun
kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan
ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status
tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Si
imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan
wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika
dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka
memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya
bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah
berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka

66
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya
saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga
apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada
hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu
keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan
banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara
mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril
datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan
perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di
Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah
perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di
Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah
kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka
ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke
sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun
demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu
tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil
ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya
menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu
kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang
mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan
membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu

67
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik
kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda
pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman
yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang
lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di
antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di
antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah
menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak
demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok
yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya
sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik
isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para
sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan
dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima
dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu
cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita?
Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman
yang hilang? Apakah semata-mata karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak.
Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah
saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari
ketergelinciran kita.

68
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru
memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan
umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi
terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon kepada-Mu ya Allah,
bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami
mengakuinya dan kami mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran
dan bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan do’a. Semoga shalawat
dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut
mereka kaum Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru
sekalian alam.

Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
“Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau
lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan
dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-
nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia
merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu
69
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh
manusia.

Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi
adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta
dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling
mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh
lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara Abu
Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh
kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah
posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke
keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya
tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah
aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa
an-Nihayah, karya Ibnu Katsir [V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud,
tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan
tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah
jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika
dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya
perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera
menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka

70
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai
Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami
dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad
bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim
dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa cinta
mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran
maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari
kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan
untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak,
hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas
pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka
aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa)
beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi
dalam Sunan-nya [2385])

71
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga
kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para sahabat
kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, ada perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu: bagaimanakah sebenarnya
hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya
kepada al-Habib al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia
dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang
menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
telah mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima
pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-
lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Golongan yang berlebih-lebihan.


2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.

Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih) dalam
mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah generasi terbaik umat ini,
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari
dan Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’in), kemudian
72
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan
Muslim dalam Shahih-nya [IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:

a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul
yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh
Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).

b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan, “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia,
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi,
karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-
tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai
dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

73
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah
subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa
dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
hal: 138).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati
Allah.” (QS. An-Nisa: 80)

f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat.
Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan
sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi
jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk
bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala
karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-ibadah yang
seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua
perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan
umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana
orang-orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka
ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka
antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl
[II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui

74
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban
untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-
Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-
361]).

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan
kecintaan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang telah disebutkan di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa
harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi.
Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah
tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-
aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam
Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala zaman,
sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik
tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.”
(Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).

75
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari
Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, aamiin.

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang
menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer
dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka
kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak
disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush
shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah
apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!


Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).

76
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa
ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11).

Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid
dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna
ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya,
hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa
jika tidak turut menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah
diperintahkan oleh Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa
pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah
akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan
kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun
dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.

77
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada masa-masa
itu:

1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-
Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa(I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda
wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif
al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar
al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-
Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang
lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz
lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat
kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar,
karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-
Khuthathi wa al-Atsar(I/490).
78
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-
Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi
wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap
Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di
Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga
pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati
rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-
maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra
Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para
ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang
sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap
agama dan taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid,
dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul
bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).

79
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu
bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah
yang telah terkenal di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum mukminin.
Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara para ulama muslimin
dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang
dengan membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu, jika tidak memungkinkan
maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-
Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar
merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan
menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka
(Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi
IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari
kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan
kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk
membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah
yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya
setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar
maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?

80
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mohon maaf atas segala kekurangan.

Mana Bukti Cintamu pada Nabi?


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula
kecintaan pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak
semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah
memudahkan dan memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih
kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan
Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/164,
Muassasah Al Qurthubah) Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
makhluk lainnya adalah wajib.

81
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman, “Nabi itu
(hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6).

Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho
pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa
tersebut selalu mengajak pada keburukan.” (Ruhul Ma’ani, Syihabuddin Al Alusi, 16/42, Mawqi’ At Tafaasir) Oleh karena itu,
kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.

‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin
Khaththab radhiyallahu’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali
terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabishallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya
(imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang,
demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat
ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari no. 6632)

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?


Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai


Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau
adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau
dalam firman-Nya, ”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
(QS. At Taubah: 128)

82
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antara faedah tersebut adalah:

[1] Mendapatkan manisnya iman


Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Tiga perkara yang membuat seseorang akan
mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai
saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.” (HR. Bukhari no.
16 dan Muslim no. 43)

[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat


Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari
kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak
shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari no. 6171 dan
Muslim no. 2639)

Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas
pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa
bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.” (HR.
Bukhari no. 3688)

83
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya
dari anak dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR. Muslim no. 44)

Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Pembahasan
ini diringkas dari Huququn Nabi bainal Ijlal wal Ikhlal, hal.40-46, Hubbun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ‘alamatuhu, hal. 13-
15. Kami pernah memuat tulisan ini dalam risalah kecil yang berjudul Mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Antara
Mencintai dan Melecehkan, diterbitkan oleh Pustaka Muslim, Jumadats Tsaniyah, 1428 H)

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang
terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani
Hasyim.” (HR. Muslim no. 2276, Watsilah bin Al Asqo’)

Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat
ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang
didahulukan adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah,
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al
Jauziyah, 1/7, Darul Jail, 1973)

84
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta
atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan
datang. Karena Allah Ta’ala berfirman, ”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam


Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian
yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama
adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang
yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201). At Tirmidzi
mengatakan hadits ini hasan shohih ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena
(ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .” (Diriwayatkan
oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya
adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

85
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta)
dan ittiba’ (mengikuti Nabishallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan
sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia
serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.” (Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 28/471,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H)

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan.
Allah Ta’ala berfirman, “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang
yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8)

Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam
mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu terhadap
perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya.
Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari Uhud.”
”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian
kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum

86
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang
mengenalinya dari jari telunjuknya.” ( HR. Bukhari no. 2805, 4048 dan Muslim no. 1903)

Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:

[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-


Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah
seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang diinfakkan) salah
seorang mereka dan tidak pula separuhnya.” (HR. Muslim no. 2541)

Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-
orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)

Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja mencela
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah
ingin mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-sahabatnya juga jelek. Jika
seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.” (Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, 7/459, Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan
perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah Muhammad.” (Minhajus Sunnah An
Nabawiyah, 3/463.)

87
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang
mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau
menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi
menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen), “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti
itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)” (Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, hal. 568, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1417 H.)

Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam


Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum
batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah
syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya, “Semoga
Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia
mendengarnya.Betapa banyak orang yang diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR. Abu Daud no. 3660,
At Tirmidz no. 2656, Ibnu Majah no. 232 dan Ahmad (5/183). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat makna
hadits ini dalam Faidul Qodir, Al Munawi, 6/370, Mawqi’ Ya’sub.)

Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk
menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR.
Bukhari no. 3461) Yang disampaikan pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang
tidak ada tuntunannya.

88
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya, konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan
berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan) dalam agama berarti
bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.( Lihat penjelasan dalam tulisan Mahabbatun
Nabi wa Ta’zhimuhu (yang terdapat dalam kumpulan risalah Huququn Nabi baina Ijlal wal Ikhlal), ‘Abdul Lathif bin Muhammad Al
Hasan, hal. 89, Maktabah Al Mulk Fahd, cetakan pertama, 1422 H.)

Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak
beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam
ajarannya. (Lihat Mahabbatun Nabi wa Ta’zhimuhu, hal. 89.)

Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang
yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang
merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298.)

Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi


[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”.
Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah,
nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan

89
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau
sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang
mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.

Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat
lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-
orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung
bid’ah. …”

Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih
dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”(As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)

[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa
maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam
‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali.
Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang
senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan
maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid
bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena
yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan
oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan

90
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
merayakan maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin-
tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)

Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi


Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah
Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang
merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)

Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau menjawab,“Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746).

Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-
Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam
kitab Syarh Shahih Muslim 6/26).

Maka orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah
yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.

Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam)
menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)
91
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi wal
Hikam, hal. 321)

Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang
masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)

Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang
yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia
adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang
dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/477)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya
dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti
semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-
adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi
Huquuqil Mushthafa, 2/24)

92
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha
mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan
mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau memuji dan mensifati beliau secara berlebihan, dengan menempatkan beliau
melebihi kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-71)

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan
dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nashrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena
sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al Bukhari no. 3261)

Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini,
para sahabatradhiyallahu ‘anhum.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan shahih oleh At
Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)

Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua
tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.

93
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dua tingkatan tersebut adalah:

1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung
konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah
dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan
dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan,
meninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan
kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan
tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung
konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan
yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang
suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam,
senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan
beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah
meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya
(sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak)”
(Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)

Keutamaan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang

94
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh
ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat
keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, hal. 481)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/626)

Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara
meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini
berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-
orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada
Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk
meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Catatan:
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan
jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku
sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah

95
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena
seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan
mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin
dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan
mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan
manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)

Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir
Raawi wa Aadaabis Saami’(1/215) berikut ini:

“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk membedakan dirinya dari
kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsemaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”

96
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:

 Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
 Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan
tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah
muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama
tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia
memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-
cara buatan.
 Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
 Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
 Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
 Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
 Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan
shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat
Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan
hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).

 Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.


 Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):
.‫ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها‬،‫ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها‬
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai
bertemu dengan pemiliknya kembali” (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).

97
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Walau Engkau Seorang Diri dalam Kebenaran
Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti dianut oleh orang banyak. Meskipun seseorang bersendirian dalam
menggenggam ajaran kebenaran, dialah yang berada di jalan yang benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita hanya
bersendirian di kampung atau di negeri, sedangkan yang lainnya berada dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Karena sebenarnya
kita bersama dengan Rasul dan para sahabat yang terlebih dahulu berpegang pada kebenaran.

Ibnu Mas’ud berkata, “Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai
dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).

Sebagian salaf mengatakan, “Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya
orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya
orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).

Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits,

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam
keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74.
Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan
sanad jayyid)

98
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beruntunglah orang-orang
yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada
di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR.
Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat,
yang jauh dari syirik dan bid’ah.

Terorisme dan Pengeboman


“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa beberapa waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak
dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional
sebelumnya dikejutkan dengan munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas
tentang sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: “Apakah aksi-aksi
pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata salah penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan
berdampak buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai
terorisme dalam Islam dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan harus
diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati dan ikut tertarik dengan pemikiran
mereka.

Awas Bahaya Laten Khowarij !!!


Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini bukanlah pemahaman baru yang dipelopori oleh
Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak dulu dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula oleh
orang-orang jahil yang sebetulnya punya semangat tinggi, tapi salah jalan.

Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wa sallammembagi ghonimah (harta rampasan perang). Dalam pembagian tersebut ada yang mendapat bagian banyak
99
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
adapula yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi. Kemudian muncullah seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak
terima dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi dan mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad, karena sesungguhnya
ini adalah pembagian yang tidak ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika saya saja
sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.” Tatkala itu Umar rodhiyallahu
‘anhu meminta izin pada Nabi untuk memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya dia
mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian dibanding sholat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka
(Mereka adalah ahli ibadah, -ed). Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka telah keluar dari
batas-batas agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan Muslim 1064)

Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhuma,
yang berbuntut pada terbunuhnya kedua kholifah tersebut. Pada masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi
suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib
dengan Mu’awiyah, maka mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara Khalifah Ali dan
Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap beliau dan memisahkan diri, dan menetap di Haruro’ sehingga mereka
dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.

Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan mereka. Diantara isi dialognya adalah
penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan
dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini berdalil dengan firman
Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.” (QS. Al-An’am: 57).

Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah kalian
kembali?” Mereka menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35).

100
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Akhirnya dua ribu orang sadar dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan muncul satu generasi
yang membaca Al Quran namun tidak memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar berkata, “Saya
mendengar beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin
beliau bersabda, ‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.”(Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja mengatakan, “Kami bukan
Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan nama tidak merubah hakekat dan wajah asli.

Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!


Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri itu adalah:

1. Mengkafirkan pelaku dosa besar


Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah rodhiyallahu
‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka (khowarij) terhadap Al Quran
meski mereka tidak bermaksud menentang Al Quran, mereka memahami wajibnya mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini
beralasan bahwa orang mukmin itu hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa tidak baik lagi bertaqwa dia
kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)

Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus dikembalikan kepada pada Allah dan Rosul-Nya,
sebagaimana penghalalan, pengharaman. Kita tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab dan sunnah
atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah cukup dengan semata-mata didasari prasangka, karena akan menimbulkan
akibat-akibat yang berbahaya, seperti penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi, pernikahannya menjadi
batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat murtadnya seseorang. Karena itulah Nabi memperingatkan dari hukum pengkafiran
terhadap seseorang yang bukan kafir, beliau bersabda: “Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka

101
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
sungguh akan kembali kalimat itu pada salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan itu (maka kalimat itu tidak akan
mengenainya) dan jika tidak, maka akan kembali kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)

Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman Allah, “Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa lain di bawah syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila seseorang
berbuat kesyirikan dan belum bertaubat sampai ia meninggal maka Allah tidak akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di
bawah syirik seperti judi, minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi mengampuninya.
Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang ulama, bukan orang-orang jahil. Tidak boleh
bagi seseorang ketika melihat ada orang lain yang melakukan perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan
meriam takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini harus melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang
(seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan mudahnya mereka membom dan
menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal
untuk ditumpahkan.

2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang sah


Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak pada pemerintah yang sah seperti kita lihat pada kisah di atas.
Mereka telah memberontak kepada Ali bin Abi Tholib dan kholifah selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan
hukum Islam namun karena satu kesalahan dalam berhukum -menurut paham mereka- mereka berontak, apalagi apalagi
penguasa yang jelas-jelas menerapkan hukum thogut.

Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah yang mengharuskan untuk tetap
mendengar dan taat kepada mereka selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat zholim kepada
rakyatnya. Bahkan Nabi melarang untuk menentang kepada para penguasa kecuali bila melihat ada kekufuran yang sangat jelas
dengan sabdanya, “Kecuali engkau melihat kufur yang nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari Allah.” (Mutafaqun’alaih).
Maksud dari “Kecuali Engkau melihat!” yaitu tidaklah cukup berdasar pada persangkaan dan kabar angin semata. Maksud dari “…
kekufuran” yaitu tidak cukup adanya kefasikan meskipun besar seperti kezholiman, minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan

102
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
monopoli yang diharamkan. “yang nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup kekufuran yang tidak nyata, tidak jelas, lagi tidak tampak.
Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya yaitu harus ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya dan
gamblang penunjukannya. Maka tidak cukup jika dalil itu sanadnya lemah dan samar penunjukannya. Serta sabda Nabi “Dari
Allah”, maksudnya yaitu didukung oleh dalil yang benar dari Al Quran dan As Sunnah.

3. Menghalalkan darah kaum muslimin


Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang Khowarij, “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah
berhala.” (HR. Bukhori, Muslim). Sehingga pada kenyataannya kita saksikan mereka tidak merasa berdosa telah membunuh kaum
muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa bangga dengan aksinya itu.

Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan haram untuk diterjang, yaitu: agama, jiwa, harta, kehormatan dan
akal. Tidak ada perselisihan diantara kaum muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa alasan
yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia memikul dosa yang besar.

Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93).
Begitu juga sabda Nabi dalam sunan Nasa’i dari Abdulloh bin Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada
terbunuhnya seorang muslim.”

Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli dzimmah (orang bukan islam yang berada di bawah
perlindungan pemerintahan Islam). Nabi bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada ikatan
perjanjian) maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya bisa dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR.
Bukhori)

103
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya. Dan demikianlah syiar khowarij dari masa ke
masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan ayat di atas minimalnya mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini.
Mereka memahami makna kafir secara tekstual dan tanpa perincian. Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum dengan
selain hukum Allah merupakan kekufuran yang mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang musyrik, Nasrani
dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu makna saja seperti juga dzolim dan fasik. Kata dzolim dan fasik tidak mesti
pelakunya keluar dari Islam.

Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak seperti pendapat mereka, ini bukan kufur yang
mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok 2/212,
shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah
pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu bahwa seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah, terkecuali
apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau meyakini bahwa hukum buatan manusia itu
lebih baik ketimbang hukum Allah.

5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka


Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam tidak ikhlas dalam pembagiannya, demikian
juga khowarj dimasa Ali bin Abi Tholib dengan beraninya mereka menyelisihi paham para sahabat yang notabene adalah ulama
umat ketika itu. Dan tentunya para sahabat lebih paham tentang maksud ayat daripada mereka. Demikian pula
keadaan khowarij masa kini. Mereka menutup telinga terhadap nasehat para ulama bahkan menuduh para ulama sebagai ulama
“piring” atau ulama pemerintah. Mereka maksudkan dengan tuduhan tersebut bahwa para ulama berfatwa demi kepentingan piring
atau pemerintah semata.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia.
Namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorangpun ulama, manusia

104
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
mengangkat orang-orang jahil sebagai tokoh. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka
sesat lagi menyesatkan.”

Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah meninggalkn fatwa ulama. Imam Ath Thurhusi
berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah
wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa atass dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”

Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?


Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah, bahkan jihad fisik adalah salah satu dari dua penopang Islam
selain tiang bayan (ilmu), yang merupakan jihad lisan. Penyebaran ilmu syar’i merupakan jihad yang lebih utama dari jihad fisik,
apalagi ketika meratanya kebodohan terhadap ilmu syar’i pada masyarakat. Dengan jihad maka tegaklah kemuliaan kaum
muslimin. Sebaliknya jika kaum muslimin melalaikan jihad maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad termasuk ibadah, dan
ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal itu ikhlash dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wa sallam.

Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka harus diserahkan kepada ulama senior. Merekalah yang berhak
mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi wewenang orang bodoh lagi masih ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur
sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat. Dan para
ruwaibidhoh mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Orang bodoh berkomentar tentang urusan rakyat banyak.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa bahan peledak di tubuhnya lalu meledakkan dirinya, maka
perbuatan ini termasuk bunuh diri, merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana sabda
Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan ditangannya,
ditusukkan keperutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.”(Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini disebabkan orang ini

105
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
membunuh dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan Islam, bahkan malah sebaliknya. Mungkin mereka dapat membunuh sepuluh
orang kafir akan tetapi orang kafir membalasnya dengan membantai ratusan kaum muslimin dengan cara-cara yang biadab.
Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim sendiri, padahal Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisa: 93)

Di sisi lain perbuatan ini semakin membuat ruang gerak kaum muslimin makin sempit dan menyebabkan nama Islam tercoreng.
Akibatnya dakwah Islam menjadi lebih sulit tersampaikan.

Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat dari bahaya pemahaman khowarij. Hal ini
mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu ada sampai hari kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya dengan
menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga jalan paling baik ialah membekali kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang benar
dan memperingatkan mereka dari setiap jalan kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu mengembalikan urusan besar
yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat
bahwa kesesatan khowarij timbul karena mereka tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih alim dalam
agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.

Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-gesa dan dengan mudahnya menghukumi setiap
orang yang berpenampilan fisik sama dengan para pelaku teroris kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris! Karena hal
itu merupakan tindakan yang tidak didasari dengan ilmu, serta berasal dari rasa emosi belaka.

Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa istiqomah dijaman yang penuh dengan fitnah ini.
Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat dengan jujur terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

106
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pengeboman = Jihad???
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya
adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).
Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif
telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik
berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara
tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.

Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i


Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-
Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama.
Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti
yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.

Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak
kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu
akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan
kembali kepada diri orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)

Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang
diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya;
maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang
menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??

107
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya
akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah
dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang
pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata,
yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)

Dampak Mudah Mengkafirkan


Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum,
peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini
dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa
orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya
sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)

Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi


Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk
meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah”
atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan khilafiyah”.
Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa
membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah.
Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa
tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

108
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan
Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman: “Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura:
10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR.
Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah
menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al
Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”)

Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman
generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada
perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal,
hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

109
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata: “Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah
Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats
Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah
Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata: “Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul
Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing
dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam
kesalahan. Imam Malik berkata: “Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap
yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..”
(Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi,
27)

110
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At Taimi berkata,

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari
pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Auliya, 3172)

Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?


Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi
perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau
pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap
orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya
berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih,
walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar. Dan
pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat
menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari menurut
kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan
penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan
pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada
masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika
menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama.
Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama

111
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid
maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi


1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Bara’ bin ‘Adzib: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR.
Muslim 678)
 Hadits dari Muhammad bin Sirin: “Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut
ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’
sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
 Hadits Anas bin Maalik: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan
keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003,
Muslim 677)
 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau
ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi Raja’
ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi
Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud Rahimahumullah.

112
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Anas bin Maalik: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau mendoakan
keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003,
Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah. Mereka
membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
 Hadits Abu Hurairah: “Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca ُ‫َّللاُ ِل َم ْن َح ِم َده‬
‫ سمع ه‬pada
raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut: “Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah
Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum mu’minin. Ya,
Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti
tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)
 Hadits Abu Malik Al Asyja-’i: “Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam
namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku
pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun
ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah
itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih: “Aku bertanya kepada Ibnu
Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106)
 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak
pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata:
“Petunjuk RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi
musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat Shubuh saja,
walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).

113
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu Syabramah,
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh


Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan
terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan
Ibnu Hazm.

Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan
pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i.
Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam


Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

 Hadits Jabir bin Abdillah: “Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau putih seperti
tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan
hitam’” (HR. Muslim, 2102)
 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang
menyemir rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR.
Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.

114
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung
oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan
menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah
ciri kebanyakan mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir
rambut dengan warna hitam
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan
menyemir rambut dengan warna hitam

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan
Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul
Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.

Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman
para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam
permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

115
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali

Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf
Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh
pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

 Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Tidak sah nikah kecuali
dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak atas
maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki wali, maka penguasa
adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: “Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At
Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil
syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada
Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk
perkara khilafiyah.

2. Bid’ahnya Doa Istiftah


Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama,
1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa
hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil diantaranya:

116
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
 Hadist dari Abu Hurairah: “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak
sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku,
aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa
istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
 Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata: “Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada
seorang lelaki yang berdoa istiftah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya
pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR.
Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan
banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam Malik.
Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini termasuk
perkara khilafiyah.

3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi


As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan
Maulid Nabi MuhammadShallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau
pemahaman para salaf, kecuali hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah syar’i
yang fundamental, diantaranya:

 Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan
termasuk yang disebut dalam firman Allah: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah
mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS.
Asy Syura: 21)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari
urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)
117
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/
 Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
 Para ulama bersepakat atas kaidah: “Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”. Sebagaimana juga mereka bersepakat
tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah
 Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan masalah
pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu selama itu
tidak ada di antara mereka yang merayakan Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling
dahulu memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling cinta terhadap
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
 Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi
 Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

118
Rujukan: Pelajaran Dasar Agama Islam: Pembahasan soal: Manhaj Sumber: http://muslim.or.id/

Anda mungkin juga menyukai