Anda di halaman 1dari 9

Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Rabu, 9 Desember 2015 15:13:53 WIB


Kategori : Al-Masaa'il
AQIDAH AHLUS SUNNAH TENTANG SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA
SALLAM
Oleh
Al-Yazid bin Abdul Qadir Jawas
KECINTAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH KEPADA SELURUH SAHABAT
Di antara prinsip dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamah adalah mencintai, loyal, dan memohon
keridhaan dan ampunan untuk seluruh Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .
Allh Azza wa Jalla berfirman :






Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allh ridha kepada
mereka dan Allh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [AtTaubah/9:100]




Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, Wahai
Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang." [Al-Hasyr/59:10]
Sebagaimana Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa mereka (para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam) lebih utama dibanding orang-orang yang datang setelah mereka. Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :


Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang
sesudahnya (masa Tabiin), kemudian yang sesudahnya (masa Tabiut Tabiin).[1]
Sebagai konsekuensinya, maka Ahlus Sunnah berlepas diri dari setiap orang yang menghina atau
melecehkan para Sahabat, baik dari kalangan orang-orang Rfidhah (Syiah) atau an-Nawshib

(orang-orang yang menyakiti Ahlul Bait).


Prinsip dasar Ahlus Sunnah ini yaitu mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
- berlandaskan dalil-dalil al-Qur'n dan as-Sunnah yang menuntut cinta dan berwala (loyal)
kepada mereka.
Allh Azza wa Jalla berfirman :



Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) wali (berkasih
sayang, menjadi penolong) bagi sebagian yang lain [At-Taubah: 71]
Imam Abu Nuaim rahimahullah (wafat th. 430 H) berkata, Maka menahan lisan dari
membicarakan Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak menyebutkan kesalahan
mereka, (dan berusaha) menyebarkan kebaikan dan keutamaan-keutamaan mereka, dan
membawa segala urusan mereka kepada sisi atau makna yang terbaik merupakan ciri orangorang yang beriman yang mengikuti jejak mereka dengan baik.[2]
MENGIKUTI TUNTUTAN NASH DALAM MENENTUKAN KEDUDUKAN SAHABAT
DAN MENETAPKAN KEUTAMAAN MEREKA
Metode Ahlus Sunnah wal Jamah dalam menetapkan dan menjelaskan setiap permasalahanpermasalahan pokok dalam agama ini, dengan berlandaskan kepada nash-nash al-Qur'n dan asSunnah. Serta mengamalkan tuntunan dari nash tersebut sesuai dengan pemahaman para Sahabat
Radhiyallahu anhum , dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Ulama salafus
shlih yang Allh Azza wa Jalla berikan cahaya dan petunjuk kepada hati mereka untuk
mengikuti al-Qur'n dan as-Sunnah.
Di antara prinsip pokok tersebut adalah sikap Ahlus Sunnah terhadap keutamaan dan kedudukan
para Sahabat Radhiyallahu anhum . Ahlus Sunnah senantiasa mengikuti nash-nash al-Qur'n dan
as-Sunnah dalam hal ini. Ini berbeda dengan orang-orang yang sesat yang berani mencela,
menghina para Sahabat.
Penjelasan Tentang Tingkatan Keutamaan Para Sahabat Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Yang Berdasarkan Nash Al-Qur'n Dan As-Sunnah :
Sahabat yang paling mulia secara mutlak adalah Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu ,
kemudian Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , kemudian Utsmn bin Affn Radhiyallahu
anhu, kemudian Ali bin Abi Thlib Radhiyallahu anhu .
Kemudian setelah itu Ahlus Syra[3] yang lainnya, kemudian sepuluh orang yang dijamin masuk
Surga[4] , kemudian yang ikut perang Badr dari kalangan Muhjirn, kemudian yang
menyaksikan perang Badr dari kalangan Anshr, dan orang-orang yang berbaiat kepada Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam di bawah pohon.

Tidak akan masuk Neraka seorang pun yang berbaiat di bawah pohon[5]
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda :


Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut dalam Perang Badar dan Perjanjian
Hudaibiyyah.[6]
Kemudian mereka yang hijrah dan yang ikut berperang sebelum al-Fath (perdamaian
Hudaibiyyah) lebih tinggi derajatnya daripada orang yang menafkahkan hartanya dan ikut
berperang setelah itu, dan masing-masing telah Allh janjikan kebaikan (pahala).[7]
Allh Azza wa Jalla berfirman :










Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allh, padahal Allh-lah
yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi. Tidak sama di antara kamu orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi
derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allh
menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allh mengetahui
apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadd/57:10]




Sungguh, Allh telah meridhai orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu
(Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia
memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat. [AlFath/48:18]
Adapun pengutamaan Ahlus Sunnah terhadap Abu Bakar Radhiyallahu anhu kemudian Umar
Radhiyallahu anhu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
:
Ikutilah dua orang yang hidup sesudahku, (yaitu): Abu Bakar dan Umar.[8]
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam -dalam suatu perjalanan- beliau bersabda
tentang urusan manusia :
... ...
Jika mereka mentaati Abu Bakar dan Umar niscaya mereka mendapat petunjuk...[9]

Umat Islam juga telah sepakat dalam mendahulukan mereka (Abu Bakar dan Umar) berdua
karena memiliki banyak keutamaan, sebagaimana telah dipersaksikan Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam dan para Sahabat setelah Beliau Shallallahu alaihi wa sallam .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata, Ahlus Sunnah wal
Jamah sungguh telah sepakat berdasarkan apa yang telah dinukilkan secara mutawatir dari
Amrul Mukminin Ali bin Abi Thlib Radhiyallahu anhu , beliau berkata, Orang yang terbaik
dari kalangan umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar kemudian Umar Radhiyallahu
anhuma.[10]
Adapun keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu menurut Ahlus Sunnah berdasarkan
keutamaan-keutamaan khusus yang beliau miliki dan tidak dimiliki oleh selain beliau,
diantaranya adalah keutamaan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Amru bin
al-Ash Radhiyallahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengutus beliau
sebagai amir pasukan perang Dztus Salsil , beliau (Amru bin al-Ash) berkata, Lalu saya
datang kepada Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, "Siapakah orang yang paling
kamu cintai? Beliau menjawab, Aisyh, saya bertanya lagi, Dari laki-laki? Beliau
menjawab, Bapaknya (Abu Bakar), Saya bertanya lagi, Kemudian siapa ? Beliau menjawab,
Umar bin Khaththab, Kemudian beliau menyebut nama-nama yang lain.[11]
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :


...



.
Sesungguhnya orang yang paling terpercaya bagiku dalam persahabatan dan harta adalah Abu
Bakar, seandainya aku mengambil seorang sebagai khalil (kekasih) selain Allh tentu aku akan
mengambil Abu Bakar, akan tetapi hanya persaudaraan dan kasih sayang (dalam) Islam, jangan
dibiarkan ada di dalam masjid (masjid Nabawi) satu pintu pun kecuali ditutup kecuali pintu Abu
Bakar.[12]
Tentang keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu , kemudian Umar Radhiyallahu anhu
kemudian Utsmn Radhiyallahu anhu , Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata,
Yang terbaik dari kalangan umat ini sesudah Nabi-Nya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq,
kemudian Umar bin Khaththab, kemudian Utsmn bin Affn. Kita mendahulukan mereka
bertiga sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat. Mereka tidak berselisih pendapat dalam
hal itu, dan kita berpendapat sesuai dengan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , yaitu,
Kami mengatakan sedang Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam masih hidup dan para
Sahabatnya masih banyak-, Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami
diam.
Hal senada dikatakan oleh Ali al-Madni rahimahullah (wafat th. 234 H)[14]
WAJIBNYA MENAHAN LISAN (TIDAK IKUT CAMPUR) DALAM PERSELISIHAN
YANG TERJADI DI ANTARA SAHABAT

Di antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh Ulama salaf dan yang diikuti oleh para imam yang

datang sesudah mereka serta yang dipegang oleh seluruh Ahlus Sunnah adalah kewajiban
menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat semoga
Allh meridhai mereka semua-, mendoakan mereka kerahmatan bagi mereka, mencintai dan
tidak menyebut mereka kecuali dengan pujian yang baik lagi indah, sebagaimana yang terdapat
dalam al-Qur'n, as-Sunnah, dan perkataan salaf dan para Ulama yang datang sesudah mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, Ahlus Sunnah bersikap menahan diri dari
perselisihan yang terjadi di antara para Sahabat Radhiyallahu anhum . Mereka mengatakan
bahwa riwayat-riwayat tentang hal kejelekan yang terjadi di antara mereka ada yang dusta
(bohong), ada yang ditambah, ada yang dikurangi, serta ada juga yang diselewengkan dari yang
sebenarnya. Sedangkan dalam riwayat yang shahih, mereka dimaafkan karena mereka adalah
orang-orang yang berijtihad yang bisa benar dan bisa pula salah. Meskipun demikian, Ahlus
Sunnah tidak mempunyai keyakinan bahwa setiap individu para Sahabat itu mashm
(terpelihara) dari dosa besar atau dosa kecil, bahkan bisa saja mereka itu mempunyai dosa-dosa,
tetapi mereka itu memiliki kelebihan (keutamaan), yaitu lebih dulu beriman dan memiliki
keutamaan yang banyak yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka -kalau pun hal itu adasehingga mereka diberikan ampunan atas kesalahan-kesalahan mereka, yang tidak diberikan
kepada orang-orang sesudahnya.
Dalam hadits shahih, Raslullh bersabda :



.

Janganlah kamu mencaci-maki Sahabatku, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, jika
seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar gunung Uhud berupa emas, maka belum
mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka infaq hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua
telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.[15]
Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan :



Janganlah kalian mencaci-maki para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Sungguh, berdirinya mereka sesaat bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lebih baik
daripada ibadah salah seorang kalian selama empat puluh tahun.[16]
Dalam riwayat lain disebutkan, ...lebih baik daripada ibadah seorang dari kalian sepanjang
hidupnya.[17]
Perkara-perkara ini, apabila dibandingkan dengan kesalahan mereka, maka kesalahan-kesalahan
itu akan hapus dengan kebaikan yang sekian banyak, dan tidak ada seorang pun yang menyamai
mereka Radhiyallahu anhum.
Sesungguhnya kadar yang diingkari dari perbuatan mereka (yang tidak menyenangkan) sangat
sedikit sekali, lagi pula dapat terampuni jika dibandingkan dengan keutamaan dan kebaikankebaikan mereka.

Siapa pun yang memperhatikan dengan ilmu dan benar akan sirah (perjalanan hidup) para
Sahabat serta keistimewaan-keistimewaan yang dikaruniakan Allh kepada mereka, maka ia
akan tahu bahwa para Sahabat adalah sebaik-baik manusia sesudah para Nabi, yang tidak pernah
ada sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang seperti mereka. Mereka adalah orang-orang pilihan
dari generasi umat ini. Mereka adalah sebaik-baik umat yang dimuliakan oleh Allh Azza wa
Jalla .[18] Mudah-mudahan Allh meridhai mereka semuanya.
Dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tatkala beliau ditanya tentang perang (Shiffin) dan
perang Jamal, beliau rahimahullah menjawab, Itu adalah pertumpahan darah yang Allh Azza
wa Jalla selamatkan tanganku dari keterlibatan, maka aku tidak suka melibatkan lisanku dalam
kejadian tersebut.[19]
Imam Ahmad rahimahullah ketika ditanya tentang (perang Shiffin) yang terjadi antara Ali
Radhiyallahu anhu dan Muwiyah Radhiyallahu anhu , beliau t menjawab, Aku tidak berkata
tentang mereka kecuali kebaikan.[20]
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullah tentang apa yang terjadi
antara Ali Radhiyallahu anhu dan Muwiyah Radhiyallahu anhu, lalu Imam Ahmad
membacakan ayat :




Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu
usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka
kerjakan. [Al-Baqarah/2:141] [21]
Imam Abul Hasan al-Asyari rahimahullah (wafat th. 324 H) berkata, Adapun yang terjadi
antara Ali dan Az-Zubair bersama Aisyah g hanya berdasarkan takwil dan ijtihad. Ali
Radhiyallahu anhu adalah seorang imam dan semua mereka adalah ahlul ijtihd (orang yang
berhak berijtihad) dan semuanya telah dipersaksikan oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam akan masuk Surga. Ini menunjukkan bahwa mereka semuanya benar dalam ijtihad
tersebut.
Begitu juga yang terjadi antara Ali Radhiyallahu anhu dan Muwiyah Radhiyallahu anhu
berdasarkan takwil dan ijtihad, dan seluruh Sahabat adalah para imam yang terpercaya (jujur)
tidak diragukan agama mereka. Allh dan Rasul-Nya telah memuji mereka secara keseluruhan,
dan memerintahkan kita untuk menghormati, memuliakan, dan mencintai mereka dan berlepas
diri dari setiap orang yang mencela salah seorang dari mereka Radhiyallahu anhum.[22]
Dan Imam al-Muzani rahimahullah (wafat th. 264 H) -tatkala menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah
tentang sahabat- beliau berkata, Disampaikan keutamaan mereka serta disebutkan dengan
amalan-amalan mereka yang baik, dan kita menahan (lisan) dari ikut campur dalam perselisihan
yang terjadi antara mereka. Karena mereka adalah manusia terbaik sesudah Nabi mereka. Allh
Azza wa Jalla telah meridhai mereka sebagai sahabat Nabi-Nya, serta menciptakan mereka
sebagai penolong atau pejuang agama-Nya. Mereka adalah para imam dalam agama ini dan para

Ulama kaum Muslimin semoga Allh meridhai mereka seluruhnya-.[23]


Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat th. 329 H) berkata, Apabila kamu melihat seseorang
mencela salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa ia
adalah orang yang memiliki perkataan jelek dan (pengikut) hawa nafsu, berdasarkan sabda
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam :

Apabila disebut para sahabatku maka tahanlah (lisan) kalian.[24]
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam telah mengetahui kesalahan yang akan muncul dari
mereka sesudah beliau wafat[25] , akan tetapi Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak
mengatakan tentang mereka kecuali kebaikan.[26]
Imam Ibnu Baththah rahimahullah (wafat th. 387 H) dalam menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah
berkata, Dan sesudah itu kita menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam , (karena) mereka telah ikut dalam peperangan bersama
beliau, dan lebih awal meraih kemuliaan. Sungguh Allh telah mengampunkan (dosa) mereka
dan memerintahkan kamu untuk istighfr (memohon ampunan kepada Allh) bagi mereka serta
mendekatkan diri kepada Allh dengan mencintai mereka. Hal itu telah diwajibkan oleh Allh
lewat lisan Nabi-Nya sedang ia mengetahui apa (kesalahan) yang akan muncul dari mereka dan
akan terjadi peperangan di antara mereka.[27]
Imam Abu Utsmn ash-Shabni rahimahullah (wafat th. 449 H) berkata, Mereka meyakini
(wajibnya) menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam , dan membersihkan lisan dari membicarakan sesuatu yang mengandung
tudingan dan celaan terhadap mereka. Mereka (salaf) meyakini (wajibnya) memohon rahmat
buat seluruh para Sahabat dan mencintai mereka.[28]
Imam Ibnu Qudmah rahimahullah (wafat th. 620 H) berkata, Di antara sunnah adalah berwala
(setia) kepada Sahabat Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dan mencintai mereka,
menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, meminta rahmat dan ampunan untuk mereka, menahan
lisan dari menyebut kesalahan dan perselisihan yang terjadi antara mereka dan meyakini
keutamaan mereka serta mengetahui bahwa mereka orang yang lebih dahulu (dalam meraih
keutamaan dan memperjuangkan agama).[29]
Orang-orang Syiah dan lainnya yang mencela dan mencaci-maki para Sahabat, pada hakikatnya,
mereka adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Mereka telah menyimpang sangat jauh
dari agama Islam yang lurus. Mereka adalah orang-orang zindiq (munafik) seperti perkataan
Imam Abu Zurah ar-Rzi rahimahullah. Keyakinan mereka (Syiah) yang sesat yang mencela
bahkan mengkafirkan para Sahabat Radhiyallahu anhum , berarti mereka:
1. Telah mendustakan al-Qur'n yang telah memuji para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam
puluhan ayat al-Qur'n.
2. Telah menuduh Allh Azza wa Jalla tidak memilih untuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi

wa sallam orang-orang yang dapat menjaga agama Islam.


3. Telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam gagal dalam mendidik dan
membina para Sahabatnya.
4. Membatalkan semua riwayat yang disampaikan oleh para sahabat.
5. Membatalkan al-Qur'n dan as-Sunnah, karena yang menyampaikan al-Qur'n dan as-Sunnah
adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan lainnya.[30]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271761016]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Al-Bukhri (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Abdullah bin Masd
Radhiyallahu anhu
[2]. Al-Immah war Raddu ala ar-Rfidhah (hlm. 373).
[3]. Yaitu mereka yang diwasiatkan oleh Umar z untuk memilih khalifah sepeninggal beliau.
Mereka adalah: 1. Utsmn bin Affn, 2. Ali bin Abi Thlib, 3. Zubair bin Awwam, 4.
Abdurrahman bin Auf, 5. Saad bin Abi Waqqsh, 6. Thalhah bin Ubaidillh Radhiyallahu
anhum
[4]. Mereka adalah khalifah yang empat dan Ahlus Syra. Sepuluh orang sahabat yang dijamin
masuk Surga oleh Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam :
Abu Bakar ash-Shiddiq, Az-Zubair bin Awwm,
Umar bin al-Khaththab, Saad bin Abi Waqqsh,
Utsmn bin Affn, Said bin Zaid,
Ali bin Abi Thlib, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan
Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Radhiyallahu anhum
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dwud (no. 4649-4650), at-Tirmidzi (no. 3748,
3757), Ibnu Mjah (no. 133, 134), Ahmad 9I/187, 188, 189), Ibnu Abi Ashim (no. 1428, 1431,
1433, dan 1436), dan al-Hakim (IV/440). Lihat juga Taisr al-Karmir Rahmn Fii Tafsri
Kalmil Mannn (hlm. 909), cet. Maktabah Maarif, 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Ahmad (III/350), Abu Dwud (no. 4653), at-Tirmidzi (no. 3860), dari shahabat
Jbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu . At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albni dalam Shahh al-Jmiis Shaghr (no. 7680).
[6]. Shahih: HR. Ahmad (III/396), dari Shahabat Jbir bin Abdillh Radhiyallahu anhuma.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albni dalam Silsilah al-Ahdts ash-Shahhah (no. 2160).
[7]. Lihat: Syarh Ushl Itiqd Ahlus Sunnah wal Jamah (I/179), Syarhus Sunnah karya Imam
al-Barbahari (hlm. 53-55, no. 25) tahqiq Ahmad Abdurrahman al-Jumaiji, Syarh an-Nawawi
terhadap Shahh Muslim (XV/148), dan al-Baits al-Hatsts Ibnu Katsir (II/501-505) taliq
Syaikh al-Albani.
[8]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3662), Ibnu Mjah (no. 97), Ahmad (V/382) atau (no. 23245)
dan Al-Hkim (III/75), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih karena
ada beberapa penguatnya. Lihat Hidyatur Ruwh (no. 6006).
[9]. Shahih: HR. Muslim (no. 681), dari Abu Qatdah Radhiyallahu anhu
[10]. Majm Fatw (III/153).
[11]. Shahih: HR. Al-Bukhri (no. 3662) dan Muslim (no. 2384).
[12]. Shahih: HR. Al-Bukhri (no. 466 dan 3654) dan Muslim (no. 2382) dari Abu Said al-

Khudri Radhiyallahu anhu


[13]. Syarh Ushl Itiqd Ahlis Sunnah wal Jamah (I/179), dan atsar Ibnu Umar dikeluarkan
Imam Ahmad dalam al-Musnad (II/14) atau (no. 4626).
[14]. Syarh Ushl Itiqd Ahlis Sunnah wal Jamah (I/187).
[15]. Shahih: HR. Al-Bukhri (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud (no. 4658), atTirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan
Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (no. 988), dari Shahabat Abu Said al-Khudri z .. Lihat Fathul Bri (VII/34-36).
[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadh-ilush Shahbah (no. 20) dan Ibnu Abi
shim (no. 1006). Lihat Syarah Aqdah Thahwiyah (hal. 469) takhrij Syaikh al-Albani.
[17]. Fadh-ilush Shahbah (no. 15) karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq dan takhrij
Washiyyullah bin Muhammad Abbas.
[18]. Lihat at-Tanbht al-Lathfah ala Mahtawat alaihi al-Aqdah al-Wsthiyyah minal
Mabhitsil Munfah (hlm. 96-97) dengan sedikit tambahan dalil, karya Syaikh Abdurrahman bin
Nashir as-Sadi, taliq Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan takhrij Syaikh Ali Hasan.
[19]. Lihat as-Sunnah karya al-Khallaal (II/461-462, no. 717). Maksudnya, kita wajib diam,
jangan membicarakan tentang kesalahan dalam peperangan tersebut, tidak ada manfaatnya
bahkan berdosa.
[20]. Manqibul Imam Ahmad bin Hanbal (hlm. 221), karya Imam Ibnul Jauzi tahqiq DR.
Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy.
[21]. Ibid
[22]. Al-Ibnah an Ushl ad-Diynah (no. 271) tahqiq Basyir Muhammad Uyun.
[23]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Muzani (hlm. 88, no. 17) taliq DR. Jamal Azun.
[24]. HR. At-Thabarani dalam al-Mujamul Kabr (II/96, no. 1427) dan Abu Nuaim dalam
Hilyatul Auliyaa (IV/114, no. 4953). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah alAhdts ash-Shahhah (no. 34).
[25]. Maksudnya: Berdasarkan wahyu yang Allh sampaikan kepada beliau, karena Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang peperangan yang terjadi antara sahabat,
seperti pengabaran beliau tentang Hasan bin Ali c bahwa Allh akan mendamaikan antara dua
golongan dari kaum Muslimin. [HR. Al-Bukhri, no. 3746].
[26]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (no. 124) tahqiq dan taliq Abdurrahman bin
Ahmad al-Jumaizi.
[27]. Asy-Syarhu wal Ibnah alaa Ushlis Sunnah wad Diynah (hlm. 294) tahqiq DR. Ridha
Nasan Muthi.
[28]. Aqdah Salaf wa Ash-hbil Hadts (hlm. 294) tahqiq DR. Nashir bin Abdurrahman bin
Muhammad al-Judai.
[29]. Lumatul Itiqd Syarh Syaikh Utsaimin (hlm. 150).
[30]. Disadur dari catatan kaki Syarh Ushl Itiqd Ahlis Sunnah wal Jamah karya al-Lalikaa-i
(VII/1311) tahqiq DR. Ahmad Saad Hamdani.

Anda mungkin juga menyukai