Anda di halaman 1dari 78

MAKSUD DAN MAKNA ITTIBA

Adapun makna atau maksud ittiba ialah:

Ittiba: Ialah apabila seseorang mengikuti apa yang datangnya dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan dari para sahabat baginda. Kemudian dari sesudah tabiin adalah perkara yang pilihan.[1]

Setiap orang yang beriman adalah wajib bermanhaj (berittiba) atau mengikut jalannya para Salaf as-Soleh. Ia adalah manhaj al-Quran, di atas manhaj inilah Nabi sallallahu alaihi wa-sallam beramal yang diikuti oleh para sahabat dan semua para aimmah Salaf as-Soleh kemudiannya. Manhaj inilah menjadikan para sahabat golongan yang terpuji, paling sempurna dan terbaik.

Imam Al-Barbahari[2] rahimahullah berkata:

Tidak akan selamat seseorang hamba sehinggalah dia berittiba kemudian percaya dan

(menjadi) seorang muslim. Sesiapa yang menyangka bahawa sesungguhnya masih terbaki sesuatu dari urusan Islam yang tidak dijelaskan kepada kita oleh para sahabat Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam maka ia telah membohongi mereka.[3]

Berittiba kepada Salaf as-Soleh adalah jalan yang boleh memudahkan seseorang untuk memahami Islam dengan sempurna. Ahli ilmu bersepakat bahawa asas segala kefaqihan dalam hukum ahkam, segala yang berkait dengan akidah, penyelesaian seluruh perkara (permasalahan agama) semuanya diambil dari pemahaman manhaj al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah yang dikenali sekarang sebagai manhaj Salaf. Semuanya ini menjadi kenyataan berpunca dari berittiba (mentaati) firman Allah Azza wa-Jalla yang memerintahkan:[4]

Ikutlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya.[5]

Segala perintah dan larangan wahyu telah diimplementasikan oleh para Salaf. Oleh itu mereka terpilih sebagai umat terbaik untuk dicontohi sebagaimana difirmankan oleh Allah Taala:

. "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang makruf dan menegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah".[6]

Maksud "Kamu adalah umat yang terbaik" ialah para salaf terutamanya para sahabat kerana mereka dijamin oleh al-Quran sebagai ummah yang sentiasa berpegang kepada manhaj al-Quran dan dijamin oleh Rasulullah kerana bersahabat dengan baginda. Mereka paling tahu dan mengerti tentang perkataan (sabda), perbuatan (amalan) taqrir (persetujuan) dan kehendak Rasulullah, sama ada yang wajib dilakukan atau yang wajib ditinggalkan, sama ada dari jenis ucapan atau amalan, yang zahir atau yang batin. Dan baginda bersabda:

Kamu akan sentiasa dalam kebaikan selama di kalangan kamu ada orang yang pernah melihat aku dan bersahabat denganku. Demi Allah kamu sentiasa dalam kebaikan selama di kalangan kamu ada orang yang melihat orang yang pernah melihat aku dan bersahabat denganku.[7]

Sekali lagi dijelaskan bahawa menurut hadis-hadis sahih, salaf yang paling mulia setelah para sahabat ialah para tabiin, para tabiut at-tabiin dan kemudian barulah orang-orang yang mengikut (berittiba) dan berpegang kepada athar-athar mereka. Buktinya ialah sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam:

Aku dan orang-orang yang bersamaku, kemudian orang-orang yang berdiri di atas athar, kemudian orang-orang yang berdiri di atas athar.[8]

Seterusnya Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam bersabda:

"Dari Ibnu Masoud radiallahu anhu berkata: Bersabda Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam: Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabiin) dan kemudian orang-orang yang sesudahnya (tabiut at-tabiin)".[9]

Menurut Ibnu Hajar rahimahullah: Perkataan salaf adalah orang-orang dari kalangan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka iaitu tabiin.[10] Dan para sahabat digelar sebagai sebaik-baik generasi kerana lahir dikurun mufadhalah ( ) Kurun Terbaik.

Maka dengan penjelasan yang dipadatkan dengan hujjah ini, nyatalah bahawa sesiapa yang meragui manhaj Salaf as-Soleh, dia telah meragui manhaj rabbani. Sesiapa yang menentang manhaj Salaf maka dia telah menentang manhaj Rasullullah dan dia telah mengikut manhajnya orang-orang yang tidak beriman, sedangkan orang-orang yang paling beriman adalah para sahabat, tabiin dan para tabiut at-tabiin yang telah menyeru agar kita mengikuti manhajnya. Allah telah mengancam orang-orang yang menentang manhaj yang menjadi manhajnya Rasulullah kerana ia juga adalah menjadi manhaj atau jalannya orang-orang beriman . Allah berfirman:

Dan sesiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan (manhaj) yang bukan jalan (manhaj) orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.[11]

Ayat ini dengan jelas menekankan bahawa orang-orang yang mengikut jalan yang bukan jalannya orang-orang beriman, maka dia dianggap sebagai menentang Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam.

Menurut Syeikh Nasruddin al-Albani rahimahullah apabila menjelaskan tentang salaf:

Apabila kami menyebut lafaz salaf maka yang dimaksudkan ialah para sahabat Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam, kemudian para tabiin (generasi kedua) dan kemudian para tabiut at-tabiin. Orang-orang yang hidup pada tiga generasi itulah yang digelar sebagai salaf.[12]

[1] . Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad, 2/149.

Lihat: Sifat Solat Nabi hlm. 35. [2] . Nama Penuh beliau ialah: Al-Barbahari al-Hasan bin Ali bin Khalaf. Wafat pada 329H. [3] . Lihat: 2/27-28.

[4] . Lihat: lA .71 .mlH -Abbasi. [5] . Al-Araf. 7:3. [6] . Ali-Imran, 3:110. [7] . H/R Ibnu Abi Syaibah dengan sanadnya yang hasan. Lihat: Fathul Bari. 7/5. Ibnu Hajar al-Asqalani. [8] . H/R Imam Ahmad 2/297. Abu Nuaim dalam al-Hilyah 2/78. [9]. Mutaffaqun alaihi. Bukhari No 2652. Muslim No 2533 (211). [10]. Lihat: Fathul Bari, 6/51. [11] . An-Nisaa, 115. [12] . Lihat: Al-Hawi 2/266.

IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA'

Sumber Hukum Islam Kata-kata Sumber Hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masdir al-Ahkm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulamaulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka

menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashdir al-Ahkm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syariyyah. Yang dimaksud Masdir al-Ahkm adalah dalil-dalil hukum syara (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas). Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsn, maslahah mursalah, istishb, uruf, madzhab as-Shahbi, syaru man qablana. Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzarai. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad. Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. yang diambil

: : : : : : : : Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: Saya berhukum dengan kitab Allah. Nabi berkata: Jika tidak terdapat dalam kitab Allah ?, ia berkata: Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw. Nabi berkata: Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw ? ia berkata: Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad). Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw. Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.

A. IJTIHAD PENGERTIAN IJTIHAD ( )adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh., yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang

sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam. Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at. Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari`at. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah qiyas. TUJUAN IJTIHAD adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalamberibadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. JENIS-JENIS IJTIHAD ijma' Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Ijma dalam istilah ahli ushul

Ijma dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara' Adapun rukun ijma dalam definisi di atas adalah adanya sepakat para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara . Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal: 1. Tidak cukup ijma dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena kesepakatan dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain. 2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma. Karena ijma tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa. 3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan. 4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang banyak secara ijma sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syari yang pasti dan mengikat. Kehujjahan Ijma

Apabila rukun ijma yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu. Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syari yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma dengan hukum syari yang qathi dan tidak dapat dihapus (dinasakh).

Qiys Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiys (analogi) 1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.

2.

Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.

3.

Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh). Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Quran dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok: 1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Quran, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama. 2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Quran dan hadits. Kehujjahan Qiyas Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syari dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari. Diantara ayat Al Quran yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan kembali kepada Allah dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata qiyas. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang kallah kemudian ia berkata: Saya katakan (pengertian) kallah dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan kallah adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kallah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak. Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Quran maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara. Karenanya

qiyas merupakan sumber hukum syara yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah. Rukun Qiyas Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal: 1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi. 2. Fara (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqs. 3. Hukm al-asal, yaitu hukum syari yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara. 4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.

Istihsan Beberapa definisi Istihsn 1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. 2. 3. 4. Argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

5.

Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.

Maslahah murshalah Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. Sududz Dzariah Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat. Istishab Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. Urf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan

MUJTAHID DAN SYARAT-SYARATNYA

Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat : Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang wajib. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah). Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat : Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut. Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat yaitu Mengetahui apa yang ada pada Tuhan dan mengetahui/percaya adanya Rasul & apa yang dibawanya juga mukjizatmukjizat ayat-ayat-Nya. Al-Syatibi berpendapat bahwa mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat: Syarat pertama, memiliki pengetahuan stentang Al Quran, tentang Sunnah, tentang masalah Ijma sebelumnya. Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih. Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.

Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid alsyariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah. TINGKATAN MUJTAHID 1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain. 2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

MACAM-MACAM IJTIHAD Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam; Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i. Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.

Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.

B. TAQLID (taqldan). (yuqollidu) Secara bahasa taqlid berasal dari kata (qallada) Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana asal kata itu. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu. Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan (pendapat) yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah swt ): ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah swt turunkan. Mereka menjawab: Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami. Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah swt ) (QS. Al-Baqarah[2]: 170). Hukum Taqlid Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan. Taqlid yang diharamkan. Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam : a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits. b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya. c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. Taqlid yang dibolehkan Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji

dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama. Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan: a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab. b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama. Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa). Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya Taqlid yang diwajibkan Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr

adalah al-Quran dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya: Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)(QS. al-Ahzab[33]:34) lnilah Adz-Dzikr yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba(mengikuti) kepadanya, dan Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba kepadanya. Taqlid yang Berkembang Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali). Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu. Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid

a. Imam Abu Hanifah (80-150 H) Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu. b. Imam Malik bin Anas (93-179 H) Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan. c. Imam asy Syafi`i (150-204 H) Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW. d. Imam Hambali (164-241 H) Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orangorang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan. Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini melalui ayat-ayat-Nya diantaranya, Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti)

jejak mereka". Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Rasul itu) berkata: Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya? Mereka menjawab: Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya (QS. azZukhruf[43] : 22-24) Para Imam Melarang Taqlid dan Mewajibkan Ittiba Terdapat perbedaan antara taqlid dan ittiba diantara hal yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba adalah larangan para imam kepada para pengikutnya untuk taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba: Pertama, Al-Imam Abu Hanifah berkata, Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya Dalam riwayat lain beliau berkata, Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku Kedua, Al-Imam Malik berkata : Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah Ketiga, Al-Imam Asy-Syafii berkata, Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah saw, ittibalah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun

Beliau juga berkata, Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadis shahih yang menyelisihinya, maka hadis Nabi lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku. Keempat, Al-Imam Ahmad berkata, Janganlah engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah Beliau juga berkata, Ittiba adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya Mengikuti Manhaj Para Ulama Bukan Berarti Taqlid Kepada Mereka lbnul Qayyim berkata, Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut. Dikatakan kepadanya, Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Allah swt . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka. Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagai timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah saw. C. ITTIBA`

Menurut bahasa Ittiba berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittabaa ( )yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa (()menelusuri jejak), qudwah(( )bersuri teladan) dan uswah(( )berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Sedangkan menurut istilah ittiba adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi(orang yang mengikuti). Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaranajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba` ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid. 2. Macam-Macam Ittiba` a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.

Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi). 3. Tujuan Ittiba` Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan. Ittiba Kepada siapa kita wajib ittiba? Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah."(QS. Al-Ahzab[33]:21). Dalam ayat lain Allah swt berfirman: :

Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr[59]: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya. Ittiba kepada Nabi saw dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi saw sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya apakah merupakan kewajiban, kebidahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dst dengan alasan karena beliau saw meyakininya. Ittiba kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:

: ..... ...() Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat..(HR. Bukhori). Ittiba kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau. Sedangkan ittiba kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan

alasan karena beliau saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba di dalam perbuatan. Hukum Ittiba Seorang muslim wajib ittiba kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Quran yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt. :

Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang kafir (QS. Ali lmran[3]: 32). Dalam ayat lain Allah swt berfirman: : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah swt dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Hujurat[49]:1). Demikian juga Allah swt memerintahkan setiap muslim agar ittiba kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:

: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa[4]: 115). Kedudukan Ittiba Dalam Islam Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah: Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua: 1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata. 2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah swt semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah swt. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu

sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik." Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman: : "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Ali Imran[3]: 31). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya." Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada RasulNya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt dan sebagai wali syaitan."

Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus[10]: 62). Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah swt menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.

D. TALFIQ Talfiq berarti manyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah

sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi. Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat. Pendapat-Pendapat tentang Talfiq Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan talfiq. Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqan itu. Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya. Ruang Lingkup Talfiq Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah(perkara yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (maluumun minaddiini bidhdharuurah),

dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq. Hukum Talfq Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan: Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'. Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(iddah melahirkan dan iddah yang ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja. Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:

1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga. 2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma'). Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq. Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq, akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya seperti Al Fahmah Al Amr dan Al Fdhil Al Baijuri telah menukilkan apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim adanya ijma' adalah bathil. Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau lebih dalam sebuah masalah: Para ahli ushul berbeda pendapat tentang hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya (talfiq). Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: Adapun klaim ulama Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala dengna i'tibar ahli mazhab (ijma'

mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma', pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya) juga.... Dalil Kelompok yang Membolehkan Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan: Alasan Pertama Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum. Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra, Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu kasus yang sama. Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya, maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain. Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.

Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para imam mazhab sendiri? Alasan Kedua Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada. Alasan Ketiga Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut . Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan yang lebih ringan. Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt. Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa yang telah nabi lakukan?

Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu member kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw: Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan. Diantara para ulama yang mendukung talfiq adalah: Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah swt dalam surat al-Hajj ayat 78: Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya. Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang, semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syariyat.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. 2. Pelaku Ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syari, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum itiqadi atau hukum khuluqi, 3. Status hukum syari yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jamu l-Jawami (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu. (Jamu l-Jawami, Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mutazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ulama telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.Wallohu A'lam Terima kasih kami haturkan pada segenap mahasiswa dan dosen ushul kami serta segala pihak yang telah menunjang terselesaikannya makalah ushul fiqih ini. Mohon maaf atas segala khilaf dan salah. dalam isi makalah ini yan tidak lain adalah copy paste dari beberapa website yang kami jadikan referensi. Terimakasih Wallohul Muwafiq ila aqwamit Thoriq

Pembagian Hukum

Ada tiga bentuk ketentuan syari terhadap para mukallaf, yaitu : tuntutan, pilihan dan wadhi. Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum Wadhi. 1. Hukum Taklifi Yang dimaksud hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum taklifi terbagi empat, yaitu: wajib, mandub, haram dan makruh. Hukum wajib dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (1) Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya; (2) Wajib dilihat dari segi subyek pelakunya; (3) Wajib dilihat dari segi batas dan ukuran tuntutannya; (4) Wajib dilihat dari segi perbuatan yang dituntutnya. Mandub terbagi tiga, yaitu : sunah muakkad, zaidah, dan fadhilah. Sunah Muakkad adalah ketentuan syara yang tidak mengikat tapi sangat penting, karena Rasulullah SAW senantiasa melakukannya, dan hamper tidak pernah meninggalkannya. Seperti: adzan sebelum shalat, shalat berjamaah untuk shalat-shalat fardhu, dan dua sembahyang ied. Sunah Zaidah adalah ketentuan syara yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunah muakkad, karena Rasulullah SAW biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya. Seperti: berpuasa di hari senin-kamis. Sedang sunah fadhillah adalah mengikuti tradisi Rasulullah dari segi kebiasaan-kebiasaan kulturalnya. Seperti: cara beliau makan, minum, tidur dan sebagainya. Haram itu ada dua, yaitu haram dzati dan haram aridhi. Haram dzati adalah perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan oleh syarI semenjak perbuatan itu lahir. Seperti: pencurian, pernikahan

antara mahram, shalat tanpa bersuci, jual beli bangkai dan sebagainya. Sedang yang dimaksud dengan haram aridhi adalah perbuatan-perbuatan yang pada awalnya tidak haram, tapi pada saat perbuatan itu dilaksanakan disertai berbagai hal yang membuat perbuatan itu menjadi haram. Seperti: shalat dengan memakai pakaian hasil pencurian, jual beli dengan cara menipu dan sebagainya. Ketentuan makruh biasanya dinyatakan dengan shigat larangan, namun disertai dengan qarinah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat. Seperti pada QS.5:101, Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tas aluu an asy yaa-a in tubda lakum tasukum, artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak bertanya tentang berbagai hal, karena kalau dibeberkan semuanya justru akan membuat kalian sukar. Penggalan ayat laa tas aluu an asy yaa-a merupakan shigat larangan yang menimbulkan pengertian hukum haram, yakni haram bertanya tentang berbagai hal. Namun kata-kata in tubda lakum tasukum merupakan qarinah yang menurunkan konotasi hukumnya menjadi makruh.

Hukum Taklifi mengandungi 5 hukum iaitu

1. Wajib 2. Haram 3. Makruh 4. Harus 5. Sunat

WAJIB ( Iijab)

ialah tuntutan syarak ke atas mukallaf supaya melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun). Sekiranya tidak dilaksanakan, dia akan berdosa. Jika dilaksanakan mendapat pahala. Contohnya solat lima waktu.

Firman Allah SWT : )65( "Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah". An-Nur : 56

Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu adalah WAJIB kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.

Para ulama' mazhab Hanafi membezakan di antara wajib dan fardhu. Jika tuntutan supaya melakukan sesuatu dalam bentuk pasti (jazmun) berdasarkan al-Quran dan Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika berdasarkan dalil-dalil lain, selain drp al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan WAJIB.

Contohnya, membaca mana-mana surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia berdasarkan dalil qat'i iaitu al-Quran. Sementara membaca surah al-Fatihah pula adalah WAJIB kerana ia berdasarkan dalil yang zanni iaitu HADIS AHAD.

HARAM

ialah tuntutan syarak supaya meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun). Sekiranya seseorang mukallaf itu melakukannya, dia akan berdosa. sebaliknya jika ditinggalkan berdosa.

Contohnya, larangan mengumpat.

Firman Allah SWT; )21( Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani. al-Hujarat : 12

Ayat di atas menjelaskan bahawa mengumpat itu adalah HARAM kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.

MAKRUH

Sesuatu perkara yang mana lebih afdhal (utama) ditinggalkan dari dilakukan atau apa yg dituntut oleh syarak kepada setiap mukallaf supaya ditinggalkan (bukan dgn ilzam), di mana lafaz adalah lafaz benci @ larangan tetapi terdapat qarinah yang menunjukkan ia bukanlah haram, tetapi Makruh.

Contoh. )202( Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Al-Maidah : 101.

Qarinah daripada hukum Haram kepada hukum Makruh berdasarkan..

Dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Al-Maidah : 101.

Hukum Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang meninggalkannya (tidak membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan pujian drp Allah SWT.

HARUS

Sesuatu perkara yang mana Syarak telah memberi pilihan kepada setiap mukallaf sama ada untuk melakukannya atau meninggalkannya. Tidak ada pujian dan celaan kepada sesiapa yang melakukannya atau meninggalkannya jadi hukumnya adalah HALAL. Contohnya )6( Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. Al-Maidah ; 5 )136(

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepadaNya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Al-Baqarah : 235 )52( Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya[1051] atau dirumah kawankawanmu. tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. An-Nuur : 61

SUNAT (MANDUB)

Apa yang dituntut oleh syarak utk melakukannya dengan lafaz tidak jazmun (tidak qat'ie), iaitu dengan memuji org yang melakukannya dengan mengurniakan pahala, tidak mencela dan tidak berdosa org yang meninggalkannya.

Contohnya ialah sunat menulis/mencatatkan hutang.. )181(

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberikan tempoh sehingga ke suatu masa yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa bayarannya) itu. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu yang menulisnya dengan adil (benar). Dan janganlah seseorang penulis enggan menulis sebagaimana Allah telah mengajarkannya. Oleh itu, hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu merencanakan (isi surat hutang itu dengan jelas). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangkan sesuatu pun dari hutangnya itu. Kemudian jika orang yang berhutang itu bodoh atau lemah atau ia sendiri tidak dapat hendak

merencanakan (isi surat itu), maka hendaklah direncanakan oleh walinya dengan adil (benar); dan hendaklah kamu mengadakan dua orang saksi lelaki dari kalangan kamu. Kemudian kalau tidak ada saksi dua orang lelaki, maka bolehlah, seorang lelaki dan dua orang perempuan dari orang-orang yang kamu persetujui menjadi saksi, supaya jika yang seorang lupa dari saksi-saksi perempuan yang berdua itu maka dapat diingatkan oleh yang seorang lagi. Dan janganlah saksisaksi itu enggan apabila mereka dipanggil menjadi saksi. Dan janganlah kamu jemu menulis perkara hutang yang bertempoh masanya itu, sama ada kecil atau besar jumlahnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih membetulkan (menguatkan) keterangan saksi, dan juga lebih hampir kepada tidak menimbulkan keraguan kamu. Kecuali perkara itu mengenai perniagaan tunai yang kamu edarkan sesama sendiri, maka tiadalah salah jika kamu tidak menulisnya. Dan adakanlah saksi apabila kamu berjual beli. Dan jangalah mana-mana jurutulis dan saksi itu disusahkan. Dan kalau kamu melakukan (apa yang dilarang itu), maka sesungguhnya yang demikian adalah perbuatan fasik (derhaka) yang ada pada kamu . Oleh itu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah; dan (ingatlah), Allah (dengan keterangan ini) mengajar kamu; dan Allah sentiasa Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu. Al-Baqarah : 282.

Lafaz di atas menunjukkan lafaz tuntutan yang pasti (jazmun) tetapi terdapat qarinah . )183( Dan jika kamu berada dalam musafir (lalu kamu berhutang atau memberi hutang yang bertempoh), sedang kamu tidak mendapati jurutulis, maka hendaklah diadakan barang gadaian

untuk dipegang (oleh orang yang memberikan hutang). Kemudian kalau yang memberi hutang percaya kepada yang berhutang (dengan tidak payah bersurat , saksi dan barang gadaian), maka hendaklah orang (yang berhutang) yang dipercayai itu menyempurnakan bayaran hutang yang diamanahkan kepadanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan Tuhannya. Dan janganlah kamu (wahai orang-orang yang menjadi saksi) menyembunyikan perkara yang dipersaksikan itu. Dan sesiapa yang memyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan (ingatlah), Allah sentiasa Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan. Al-Baqarah : 283

Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283) menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah Sunat (Mandub) bukannya Wajib.

Dan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan berkahwin, hendaklah mereka menjaga kehormatannya sehingga Allah memberi kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya; dan hamba-hamba kamu (lelaki dan perempuan) yang hendak membuat surat perjanjian untuk memerdekakan dirinya (dengan jumlah bayaran yang tertentu), hendaklah kamu melaksanakan perjanjian itu dengan mereka jika kamu mengetahui ada sifat-sifat yang baik pada diri mereka (yang melayakkannya berbuat demikian) dan berilah kepada mereka dari harta Allah yang telah dikurniakan kepada kamu dan janganlah kamu paksakan hamba-hamba perempuan kamu melacurkan diri manakala mereka mahu menjaga kehormatannya, kerana kamu berkehendakkan kesenangan hidup di dunia. Dan sesiapa yang memaksa mereka, maka

sesungguhnya Allah sesudah paksaan yang dilakukan kepada mereka Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. An-Nuur : 33.

"hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka".

Ayat di atas juga menunjukkan TIDAK WAJIB menulis/membuat perjanjian dengan adanya Qarinah berdasarkan kaedah syarak Sesungguhnya pemilik harta mempunyai kebebasan dalam mengurus/membelanjakan hartanya

Sunat

(Mandub) juga

diistilahkan

sebagai AS-SUNNAH,

AN-NAAFILAH,

AL-

MUSTAHAB, AT-TATHAUU, AL-IHSANdan AL-FADHILAH.

2. Hukum Takhyiri Dalam pembahasan ilmu ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan syarI dalam tiga bentuk, yaitu: dengan menafikan dosa pada perbuatan yang dimaksud, seperti: QS.2: 173, yang artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa. Memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Kemudian dengan ungkapan penghalalan, seperti pada QS.5: 5. Dan terakhir dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan dimaksud. Seperti: mendengarkan radio, menonton televisi, dan yang sebangsanya yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap mereka. 3. Hukum Wadhi

Hukum wadhi adalah ketentuan-ketentuan yang dituntut syarI untuk ditaati dengan baik, karena mempengaruhi terwujudnya perbuatan-perbuatan taklif lain yang terkait langsung dengan ketentuan-ketentuan wadhI tersebut. Hukum wadhI ada tiga, yaitu: sabab, syarath dan mani. Sebab adalah sesuatu yang Nampak dan jelas yang dijadikan oleh syarI sebagai penentu adanya hukum. Seperti: masuknya waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat. Secara umum, sebab terbagi dua, yaitu: sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian keadaan dhorurot yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua, sebab yang timbul dari perbuatan mukallaf sendiri, seperti : melakukan perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan hubungan seksual. Yang dimaksud dengan syarath adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Syarath ada dua macam, yaitu: syarath yang menyempurnakan sebab, seperti haul yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus juga menjadi penyempurna terhadap nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat. Kedua, syarath yang menyempurnakan musabab, seperti : wudhu, menutup aurat dan menghadap qiblat dalam shalat. Mani merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain. Seperti: nishab itu merupakan sebab wajibnya bayar zakat. Akan tetapi , kalau pemilik barang itu mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak wajib bayar zakat. Dengan demikian, hutang itu merupakan mani, sekaligus menjadi sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat.

Mani terbagi menjadi dua, yaitu mani yang mempengaruhi sebab, seperti contoh di atas, dan mani yang mempengaruhi musabab. Contoh: seorang ayah membunuh anaknya. Secara hukum, setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishas. Akan tetapi, karena pembunuhnya itu bapaknya sendiri, hukuman qishas menjadi gugur. Dengan demikian, posisi kebapakan menjadi mani terhadap pelaksanaan qishas. Oleh: Dr. Edi Suresman, M.Ag

Mahkum Fih dan Mahkum Alaih

Penulis : Humairah

NIM 1002110332 (Mahasiswa Jurusan Syariah, Prodi Ahwal Asy-

Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya, Dipresentasikan dalam diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011) dan Diedit kembali oleh Abdul Helim

PENDAHULUAN Pada makalah sebelumnya kita telah mempelajari mengenai Al Ahkam dan Al Hakim, yang mana keduanya merupakan induk dasar mengenai adanya Mahkum Fih dan Mahkum Alaihi. Pada makalah ini, akan dibahas mengenai Mahkum Fih dan Mahkum Alaihi mulai dari pengertian, syarat-syaratnya, macam-macamnya, pembagiannya, hingga membahas mengenai dasar taklifi dan juga syarat-syarat taklifi.

PEMBAHASAN

MAHKUM FIH Pengertian Mahkum Fih Mahkum fih ialah yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hukum yang lima, yang masing-masing ialah: 1. 2. 3. 4. 5. Yang berhubungan dengan ijab, dinamai wajib; Yang berhubungan dengan nadb, dinamai mandub/sunnah; Yang berhubungan dengan tahrim, dinamai haram; Yang berhubungan dengan karahah, dinamai makruh; Yang berhubungan dengan ibahah, dinamai mubah.[1] Syarat-syarat Mahkum Fih Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, ia harus memenuhi tiga syarat : 1. Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya. 2. Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya.

3.

Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.[2]

Macam-macam Mahkum Fih Perbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah: 1. Wajib Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan.[3] Contoh Wajib : . q)9$$/ (#qrr& (#qYtB#u %!$# $ygr't ) ( Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Surat Al-Maidah, ayat 1). Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.[4] 2. Mandub Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.[5]

Contoh Mandub: wK|B 9@y_r& #n<) Ay/ LZt#ys? #s) (#qZtB#u %!$# $ygr't ) (4 nq7F2$$s

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.... (Surat Al-Baqarah, ayat 282) . Nadab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutang yang hukumnya mandub (sunat).[6] 3. Haram Haram ialah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.[7] Contoh Haram: [Z9$# (#q=G)s? wur ) ( Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa ... (Surat Al-Anam, ayat 151). Tahrim yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf,

yaitu membunuh jiwa yang hukumnya haram.[8] 4. Makruh Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar tidak berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.[9] Contoh Makruh: . tbq)Y? mZB y]7y9$# (#qJJus? wur ) ( Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya (Surat Al-Baqarah, ayat 267).

Karahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang hukumnya makruh.[10] 5. Mubah Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Kalau dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, misalnya makan yang halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya.[11] Contoh Mubah: BQ$- `iB os 9xy 4n?t rr& $D N3ZB c%x. `yJs ) (.4 tyz& r& Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (Surat Al-Baqarah, ayat 184). Ibahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah.[12] MAHKUM ALAIHI Pengertian Mahkum Alaihi Mahkum alaihi ( ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[13]

Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: ) ( . Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali.[14] Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.[15]

Syarat-syarat Taklif Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian: 1. 2. Harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya. Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain: a. adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain. Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.

Jadi ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wajib. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu: 1) Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya adalah kurang. 2) Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mempunyai ahliyyatul wujub.[16] b. adalah kepantasan seseorang mukallaf untuk diperhitungkan oleh syara, ucapan dan perbuatannya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk

menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayiz saja.[17] Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah ada mempunyai tiga keadaan, yaitu: 1) Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah ada, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun. 2) Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada-nya. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidakl berakal, Ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz. 3) Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah ada yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah ada yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.[18]

Dasar Taklif Sebagai kebijaksanaan Allah SWT., perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada

orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.[19] Halangan Ahliyyah Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut : yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu: 1. = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia.[20] Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.[21] 2. = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak (hal-hal

manusia.[22] Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.[23] Kesimpulan Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah. Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.

Mahkum fih terbagi menjadi 5 macam, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah. Mahkum alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf. Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada. Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Bakry, Nazar, Fiqh &Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003. Rifai, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Almaarif, tt. Hanafie, A., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya Djakarta, 1965. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.

Http://www.scribd.com/doc/21104309/Hakim-Mahkum-Fih-Dan-Mahkum-Alaih, diunduh pada 01-102011.

[1]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, cet. I, Bandung: PT Almaarif, h. 19. [2]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 40-41. [3]http://www.scribd.com/doc/21104309/Hakim-Mahkum-Fih-Dan-Mahkum-Alaih, diunduh pada 01-10-2011. [4]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, 1975, h. 38. [5]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, h. 20. [6]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 38. [7]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, h. 20. [8]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 38-39. [9]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, h. 20. [10]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 39. [11]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, h. 20. [12]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 39.

[13]Moh. Rifai, Ushul Fiqih, h. 16. [14]Ibid., h. 16-17. [15]Ibid., h. 17. [16]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, cet. I, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 202-203. [17]Nazar Bakry, Fiqh &Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, h.170-171. [18]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 203-204. [19]A. Hanafie, Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta: Widjaya Djakarta, 1965, h. 24. [20]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 46. [21]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 205. [22]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 46. [23]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 205.

Read more: http://www.abdulhelim.com/2012/04/mahkum-fih-dan-mahkumalaih.html#ixzz2UmvLhllN

1. Pengertian ) hukum

Hukum taklifi adalah

Taklifi : )

Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.

Maka hukum taklifi ada tiga yakni 1) tuntutan melakukan, 2) tuntutan meninggalkan, 3) pilihan: melakukan Contoh atau hukum meninggalkan taklifi:

1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah/2 : 183)

2. Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua. .

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka (QS Al-Isra/17 : 23)

3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men -qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir (QS An-Nisa/4 : 101)

Bila dikaitkan dengan tegas atau tidaknya titah Allah, Ulama Ushul Fiqih membedakan tiga macam hukum taklifi diatas menjadi lima (5) macam hukum:

a. Iijab: Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan Definisi itu ijab : menjadi wajib. adalah

Al Ijab ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu sebagai suatu keharusan. Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya. Contoh hukum wajib adalah shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, berbakti kepada kedua orangtua, dan lain sebagainya. Semua Seperti perintah firman tersebut hukumnya Allah pasti SWT. dan tegas. :

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. AnNisa/4:36)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(QS. Al-Alaq/87 : 1) Hukum 1) Dilihat wajib dari segi dibagi waktu menjadi pelaksanaannya, beberapa wajib ada 2 macam macam, yaitu : :

a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan. b) Wajib muwassa, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.

c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.

d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.

2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut. a) Wajib Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.

b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili Contoh : mengurus oleh jenazah, kelompok menjawab salam, dan tertentu). lain-lain.

3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini. a) Wajib : muhaddad, jumlah ghoiru : yaitu rakaat yaitu kewajiban dalam yang shalat, yang sudah jumlah belum ditentukan besarnya ditentukan dan kadarnya. zakat. kadarnya. shodaqoh.

Contoh b) Wajib

muhaddad, infaq,

kewajiban

Contoh

tolong

menolong,

4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini. a) Wajib muayyan, : yaitu kewajiban shalat, yang telah puasa, ditentukan jenis perbuatannya. fitrah.

Contoh

zakat

b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan. Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.

b. Nadb : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan Defisnisi : itu disebut mandub atau masnunah. Nadb

An nadbu ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu perbuatan tetapi bukan suatu keharusan.

Konsekuensi Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Istilah Sunah/sunat dalam istilah Ulama ushul fiqih disebut juga mandub, Umpamanya, nafilah, tathawwu, firman mustahab, Allah dan SWT ihsan. : Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah Hukum kamu sunah/sunat menuliskannya. dibagi (QS menjadi Al-Baqarah/2 2 : macam 282) :

1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting) 2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

c. Tahrim : Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan perbuatan itu dinamakan haram. Definisi Tahrim : adalah :

Al Tahrim ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan sebagai suatu keharusan.

Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan, sementara bagi yang meninggalkan akan mendapat pahala dan kemuliaan. Umpamanya, firman Allah SWT :

Janganlah kamu mencibirkan ibu bapakmu (mengatakan cis kepada ibu bapakmu) QS AlIsra/17 Contoh lainnya katakanlah saku tidak mendapati pada apa yang diwahyukan kepada sesuatu yang haram bagi orang yang memakannya kecuali bila hal itu bangkai, darah mengalir, daging babi, karena hal itu adalah keji/kotor dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S Al-Anam /6: 145. :23 :

d. Karahah : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan : perbuatan itu dinamakan makruh. Definisi Karahah adalah :

Al Karahah ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan yang bukan sebagai keharusan.

Misalnya saja pada ayat berikut ini :

Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS Al-Jumuah/62 : 9)

e. Ibahah : titah Allah yang bersifat memberikan pilihan antara melakukan atau meninggalkan, sedangkan perbuatannya dinamakan mubah. Disebut juga dengan halal atau jaz. Definisi ibahah adalah : :

Al Ibahah ialah khitab/firman Allah yang membolehkan memilih di antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

Mubah tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan. Umpamanya firman Allah :

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. (QS Al-Baqarah/2 : 235)

pabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al-Jumuah /62: 10)

2.

Hukum

Wadhi

Hukum wadhi yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Melihat kepada pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahawa a. hukum wadhi itu terdiri dari tiga macam, yaitu :

Sebab

Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS an-Nur/24 : 2)

Contoh lain, membunuh orang yang tidak berdosa dengan sengaja menjadi sebab berlakunya hukum qishah; adanya perkawinan menjadi sebab berlakunya hukum waris bagi suami atau istri bila salah satunya meninggal dunia; tergelincirnya matahari menjadi sebab adanya kewajiban shalat dzuhur; melihat bulan tanggal 1 Ramadhan menjadi sebab diwajibkannya puasa Ramadhan, dll.

b.

Syarat

yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya syarat tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah

mukamu dan tanganmu samai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dua mata kaki. (QS Al-Maidah/5 : 6)

Tidak ada wudhu berarti tidak ada shalat, akan tetapi adanya wudhu tidak mesti ada shalat, karena seseorang melakukan wudhu itu mungkin untuk keperluan membaca al-Quran, hendak belajar, bekerja, dll.

Contoh lain, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seorang mukallaf.

Antara sebab dengan syarat memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah tidak ada sebab mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada syarat, hukum pun tidak ada. Sementara itu perbedaannya adalah dengan adanya sebab harus ada hukum, akan c. tetapi, dengan adanya Mani syarat tidak harus ada hukum.

(Penghalang)

Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.

Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan. Sabda Rasulullah SAW :

Tidak mewarisi orang Islam atas harta waris orang kafir, dan sebaliknya rang kafir tida mewarisi atas harta orang Islam. (HR Jamaah)

Contoh lain, pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwarris, menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, haid bagi seorang perempuan menjadi penghalang kewajiban sholat, najis pada pakaian menghalangi sahnya shalat, dll.

Selain tiga hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga memasukkan shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh dalam hukum wadhi.

Suatu perbuatan dikatakan shah (shahih) secara hukum apabila telah dilaksanakan sesuai syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya , pernikahan dikatakan shah apabila telah memenuhi syarat-syarat rukun-wajib nikah. Amal ibadah yang shah (shahih)lah yang diharapkan ada pahala dari Allah SWT. Suatu perbuatan dikatakan batal apabila tidak memenuhi ketentuan syara baik syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya, pernikahan dilaksanakan tanpa menghadirkan calon mempelai laki-laki, maka pernikahan itu disebut batal di sisi hukum.

Azimah adalah hukum syara yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.

Adapun rukhsoh adalah peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok. Pembagian Rukhsah terbagi menjadi 4 Rukhsah macam.

a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam Contoh : keadaan darurat.al baqarah:173/an nahl:115

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.albaqarah: 173

b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syari.

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.(Q.s al Baqarah/2:184)

c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).

d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid. Sebagaimana firman Allah :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS Al Baqarah/2 : 286)

A. 1. a. Mahkum Bihi

Unsur-Unsur / Mahkum Mahkum Fihi Bihi (

Hukum \ / Mahkum :

Islam ) fihi

Pengertian

Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara).

Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Secara Contoh Yang Yang Yang Yang Yang lengkap berhubungan berhubungan berhubungan berhubungan berhubungan sudah firman dengan dengan dengan dengan dijelaskan dengan nadb ijab dinamai tahrim karahah ibahah pada Allah sub dinamai mandub/ dinamai dinamai dinamai bab SWT wajib. sunat haram makruh mubah. sebelumnya. :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. (QS al-Baqoroh/2 : 183) Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya Contoh lain, firman adalah Allah SWT wajib. :

Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan

keji

dan

jalan

yang

buruk.

(QS

Al-Isra/17

32)

Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu mendekati zina. Status b. Syarat-syarat hukumnya Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah Mahkum adalah sebagai haram. bihi berikut.

a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara.

b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT. c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.

d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat. 2. a. Pengertian Mahkum Mafkum Alaih (( Alaih

Mahkum alaihi adalah orang mukallaf(

) yang mendapatkan khitab/

perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras, dll.

Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anakanak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu

disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya taklif/tuntutan. Allah SWT berfirman :

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. (QS al -Baqarah/2 : 286). Syarat-syarat mahkum mahkum alaih alaih (mukallaf) (mukallaf). adalah :

b. Syarat-syarat

1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Quran atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal Sebagaimana ) (gila) sabda tidaklah Nabi dikatakan Muhammad mukallaf. SAW . (

2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut. 3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan

kewajiban

dikelompokkan

menjadi

tiga,

yaitu

1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut awarid al -ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.

(1) Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.

(2) Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.

2) Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.

3) Sempurna, apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

Anda mungkin juga menyukai