Dosen Pengampu:
Yen Fikri Rani, M.Ag
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji bagi Allah SWT. Karena berkat rahmat dan innayah-Nya
makalah ini dapat ditulis sebagaimana mestinya, dan juga tidak habis-habisnya
sholawat beriring salam kita sanjungkan kepada Nabi tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW. Yang telah menghantarkan kita dari zaman jahiliyah kepada
zaman Islamiyah. Alhamdulillah, kami sebagai penulis akhirnya bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ahlussunnah wal Jama’ah” subtitansi
materi dari matakuliah Ilmu Kalam. Kami juga ingin menyampaikan banyak
terimakasih atas semua yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini
yaitu sumbangsih berupa materi maupun pemikirannya. Dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat sebagaimana fungsi awal dibuatnya.
PEMBAHASAN
Sunnah secara etimologis adalah cara dan tingkah laku1, namun para
ulama bahasa berbeda pandangan, yaitu apakah sunnah secara bahasa terbatas
pada cara yang terpuji saja ataukah menjangkau lebih jauh dari arti itu sendiri
sehingga menjadikannya bersifat umum dalam hal cara, baik yang terpuji ataupun
yang tercela.
Al-Azhari berkata, “Sunnah adalah jalan yang terpuji dan lurus.” Oleh
sebab itu dikatakan , ‘Fulan adalah dari Ahlussunnah’, maka artinya adalah dari
para pemilik cara yang lurus dan terpuji. Ibnu Mandzur berkata, “Sunnah adalah
tingkah-laku, baik yang bagus atau yang buruk.” Az-Zajjaj berkata, “Hukum
Allah yang telah berlalu pada umat-umat dahulu adalah mereka telah
menyaksikan adzab dengan mata kepala mereka sehingga orang-orang musyrik
meminta dengan mengatkan, ya Allah jika yang demikian ini adalah kebeneran
dari sisi-Mu maka turunkan hujan batu dari langit atas kami.”2
Yang benar pendapat kedua yaitu pendapat dari Ibnu Mandzur sekalipun
penetapan dalil dari ayat yang ia lakukan kurang tepat, yaitu firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala,
1
Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili, Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah Terhadap Ahli Bid’ah dan Pengikut
Hawa Nafsu, (Jakarta: Darul Fatah, 2008), hal. 23
2
Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili, Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah Terhadap Ahli Bid’ah dan Pengikut
(Nawawi, 2014)Hawa Nafsu, hal. 23
Bahwa sunnah dalam ayat ini adalah sunnah tercela sebagaimana disebutkan oleh
para mufassir (ahli tafsir) bahwa tafsir kata-kata: “Sunnatul awwaliin”dalam ayat
itu berarti 'kehancuran'," sebagaimana disebutkan pula oleh Az-Zamakhsyari.
Atau mereka ditimpa oleh adzab hingga orang terakhir di antara
mereka.Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dan sebagaimana diketahui
bahwa artinya adalah "kehancuran” atau adzab sekalipun mereka adalah
penyebabnya adalah bukan karena perbuatan mereka, tetapi karena perbuatan
Allah dan sunnah-Nya atas mereka dan orang-orang seperti mereka. Demikianlah
yang ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa'di" di dalam tafsirnya untuk
ayat tersebut. Ia mengatakan, "Tidak akan ada, melainkan akan datang kepada
mereka sunnah (hukum) dan yang biasa Allah datang kan kepada orang-orang
yang terdahulu bahwa jika mereka tidak beriman maka akan disegerakan adzab
kepada mereka."
Dengan demikian, di dalam penetapan dalil dari ayat di atas tidak ada
alasan bahwa 'sunnah' di dalam ayat itu adalah sunnah yang buruk, karena
bagaimana mungkin sunnah Allah bisa dikatakan buruk. Allah Mahatinggi dari
yang demikian itu, bahkan yang demikian itu suatu kebathilan yang paling bathil.
Akan tetapi, alasan di dalam hadits adalah jelas dan gamblang. Dimana Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam membagi sunnah kepada sunnah baik dan sunnah
buruk.
Jika baku bahwa sunnah menurut bahasa adalah cara atau jalan baik atau
buruk, maka perbedaan antara keduanya akan bisa diketahui dari konotasi
ungkapannya. Baik dengan idhafah, dengan diidhafah- kannya sunnah kepada
sesuatu yang terpuji maka dia adalah bagus, seperti idhafahnya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau kepada para Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman
Allah,
Telah disifatkan sunnah di dalam hadits ini, yang pertama dia baik dan
yang kedua dia buruk. Sedangkan apa yang dijadikan alasan oleh Al-Azhan
bahwa tiada lain makna sunnah selain jalan lurus, berupa ungkapan orang yang
mengatakan: Fulan ini dari golongan Ahlussunnah, adalah bahwa yang dimaksud
dengan sunnah' di sini adalah bukan makna etimologis (bahasa), akan tetapi
makna terminologis (istilah). Sedangkan pembahasan ini berkisar pada makna
etimologis.
Oleh sebab itu, jika seorang Arab mendengar ungkapan itu sebelum ada
makna terminologis untuk kata-kata 'sunnah' maka dia tidak akan memahaminya
bahwa artinya adalah jalan lurus', tetapi kita akan mengetahui hal itu dari makna
terminologis dan bahwa yang dimaksud dengan 'sunnah di sini adalah sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih
tahu.
Menurut istilah para ahli hadits 'sunnah' adalah apa-apa yang dinukil dari
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, keputusan,
sifat akhlak, sifat bentuk penampilan, atau ting- kah-laku, baik sebelum diutus
atau setelahnya.3
Menurut Istilah para ahli ushul 'sunnah' adalah apa-apa yang datang
dengan dinukil dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam khususnya berkenaan
dengan apa-apa yang tidak ditulis di dalam Al-Kitab Al-Aziz (Al-Qur'an), tetapi
ditulis dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai penjelas tentang apa-apa
yang ada sebelumnya di dalam Al-Kitab (Al-Qur'an). Lebih luas dari semua itu
'sunnah' disebutkan sebagai kebalikan 'bid'ah'. Hal itu terjadi setelah
perkembangan berbagai macam bid'ah dan meluasnya hawa nafsu setelah abad-
abad yang diutamakan.
3
Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili, hal. 28
4
Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili, hal. 29
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Abu Al-Hasan
Muhammad bin Abdul Malik Al-Karji, "Ketahuilah bahwa 'sunnah' adalah jalan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berbuat sesuai dengan tingkah-
lakunya. Sunnah ada tiga macam: perkataan, perbuatan, dan akidah."5
Ibnu Rajab mengatakan, "Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Hal itu
mencakup sikap berpegang-teguh kepada apa-apa yang men- jadi pegangan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para khulafa'ur-rasyidin berupa keyakinan,
amal, perkataan, dan itulah sunnah yang seutuhnya. Oleh sebab itu, kalangan salaf
di zaman dahulu tidak menyebutkan sunnah kecuali yang mencakup semua unsur
itu. Hal itu diriwayatkan dari Al-Hasan," Al-Auza dan Al-Fudhail bin lyadha.6
Jika kata-kata 'sunnah' diucapkan dalam bab akidah, maka yang dimaksud
adalah makna yang menunjukkan betapa komprehensifnya kata-kata itu sehingga
mencakup agama seutuhnya. Sehingga tidak sama dengan istilah para ulama atau
para ulama ushul.
Hukum syara‟ merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab
(al-hukm asy-syar’i) yang terdiri dari dua kata yakni, hukum dan syara’. Kata al-
hukm secara etimologi berarti mencegah, memutuskan, menetapkan, dan
menyelesakan. Sedangkan kata asy-syara’ secara etimologi berarti jalan menuju
aliran air, atau jalan yang mesti di lalui, atau aliran air sungai. Pada mulanya
istilah syara’ menunjuk pengertian “ad-din” dalam makna totalitasnya. Al-Qur’an
menggunakan kata syara’ atau syariah untuk menunjuk pengertian: jalan yang
terang dan nyata untuk mengantarkan manusia kepada kemaslahatan dan
kesuksesan di dunia dan di akhirat. Hubungan makna generik syari‟ah sebagai
jalan menuju aliran sungai dan syariah Islam adalah, jika air sungai yang bersih
dan bening akan memuaskan dahaga dan kesehatan serta menumbuhkan tubuh
orang yang meminum dan menggunakannya, maka syariah Islam juga akan
memberikan kepuasan batin atas uapaya manusia mencari kebenaran, dan akan
menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat dari kesesatan.10
9
Nawawi, Ilmu Kalam: dari Teosentris Menuju Antroposentris, (Malang: Genius Media, 2014),
hlm. 86
10
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 33.
diketahui bahwa yang dimaksud dengan hukum syara‟ adalah firman atau
titah Allah (termasuk juga haditss-hadits Nabi Saw) yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk thalab (tuntutan/ perintah) untuk
melakukan perbuatan, ataupun laragan meninggalkan suatu perbuatan, ataupun
takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan), dan
wadh’i (ketentuan syari’ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai sebab
(sabab), syarat (syarth), atau halangan (mani’) dari suatu perbuatan tertentu).11
Sementara itu ijma‟ dan qiyas sebenarnya bukan sumber hukum, tetapi
hanya dalil hukum. Sebab keduanya bukan merupakan dasar lahirnya hukum
Islam, tetapi merupakan penunjuk untuk menemukan hukum Islam yang terdapat
di dalam al-Qur‟andan as-Sunnah melalui upaya ijtihad. Demikian juga halnya
dengan istihsan, mashlahah al-mursalah, ‘urf, syar’u manqablana, madzhab
shahabi, dan lain-lain, yang jika dikumpulkan seluruhnya berjumlah 45 macam.
Secara sederhana, dapat dijelaskan perbedaan antara sumber hukum dan dalil
hukum Islam. Sumber hukum Islam adalah dasar utama dan asli yang melahirkan
hukum Islam, yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sedangkan yang disebut dengan
dalil hukum Islam adalah cara-cara yang ditempuh melalui ijtihad untuk
menemukan hukum Islam itu sendiri. Cara-cara tersebut dapat berupa istihsan,
mashlahah al-mursalah, ‘urf, syar’u manqablana, madzhab shahabi, dan lain-
lain.
Dalam pada itu, meskipun hanya al-Qur‟an dan sunnah yang dapat disebut
sebagai sumber hukum Islam, hal itu tidak menghalangi keduanya disebut sebagai
dalil hukum, apabila keduanya memberi petunjuk untuk menemukan hukum Islam
itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikatakan, hubungan antara sumber dan dalil
hukum Islam bersifat umum dan khusus, yakni sumber hukum Islam dapat disebut
dalil hukum Islam, tetapi tidak semua dalil hukum Islam dapat disebut sebagai
sumber hukum Islam.12
1. Al-Qur‟an
11
Nawawi, Ilmu Kalam: dari Teosentris Menuju Antroposentris,(Malang: Genius Media, 2014),
hlm. 86
12
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. 2, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 114.
Secara etimologi, al-Qur‟an merupakan bentuk masdhar dari kata
qara’a; timbangan kata (wazan)-nya adalah fu’lan, yang artinya adalah
bacaan. Lebih lanjut, pengertian al-Qur‟an secara bahasa adalah yang
dibaca, dilihat, dan ditelaah. Adapun dalam pengertian terminologi,
menurut Muhammad Ali AshShabuni al-Qur‟an adalah “Firman Allah
yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada “Penutup para Nabi
dan Rasul”; (Muhammad Saw) melalui malaikat Jibril, yang termaktub di
dalam mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah an-Nas.13
Selanjutnya mengenai kehujjahan al-Qur‟an, semua umat
sependapat bahwa al-Qur‟an merupakan hujjah bagi setiap muslim, karena
ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya muta>watir.
Periwayatan al-Qur‟an sendiri, selain dilakukan oleh orang banyak dari
satu generasi ke generasi yang lain, sejak generasi shahabat Nabi Saw,
juga dilakukan dalam bentuk lisan dan tulisan, dimana tidak seorangpun
berbeda pendapat dalam periwayatannya, padahal para perawi al-Qur‟an
pun berbeda-beda suku, bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, keberadaan keseluruhan ayat-ayat al-
Qur‟an bersifat pasti (qath’i ats-tsubut) sebagai wahyu Allah.
2. Sunnah
Ditinjau dari segi etimologi, makna kata sunnah adalah perbuatan
yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain,
baik perbuatan itu terpuji ataupun tercela. Sedangkan pengertian sunnah
secara terminologi, terkhusus menurut para ahli hadits, ialah sunnah sama
dengan hadits, yaitu sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw,
baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau dalam suatu peristiwa.
Selebihnya seperti yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.14
Selanjutnya, mengenai kedudukan sunnah sebagai sumber hukum
Islam yakni dapat dilihat dari dua sisi. Dari segi kewajiban umat Islam
mematuhi dan meneladani Rasulullah Saw, dan dari segi fungsi sunnah
13
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. 2, hal 115-116.
14
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 130-131
terhadap al-Qur‟an. Dari segi yang pertama, sudah menjadi sangat jelas
bahwa kepatuhan kepada Allah Swt tidak bisa dipisahkan dari kepatuhan
kepada Rasulullah Saw. Dalam pada itu, tentu saja mematuhi dan
meneladani Rasulullah Saw berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum
yang ditetapkan beliau. Karena mengingat bahwa sampainya al-Qur‟an
kepada seseorang melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan
Allah melalui malaikat Jibril kepada beliau. Selanjutnya, kedudukan
sunnah sebagai sumber dan dalil ditinjau dari segi fungsi sunnah, yakni
menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-Qur‟an, men-takhsish ayat-ayat
al-Qur‟an yang bersifat umum, mengukuhkan dan mempertegas kembali
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur‟an, serta menetapkan
hukum baru yang menurut zharinya tidak terdapat di dalam al-Qur‟an
Maka, dengan adanya hal tersebut, menunjukkan bahwa al-Sunnah
merupakan sumber dan dalil hukum kedua setelah alQur‟an.
Sementara itu, di dalam as-Sunnah yang merupakan sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an sendiri tidak hanya mencakup sunnah Nabi saja,
tetapi termasuk juga di dalamnya sunnah shahabat Nabi. Mengapa
demikian, hal ini karena sering kita jumpai sebuah fatwa atau penjelasan
ataupun ketentuan yang berkenaang dengan peristiwa syara‟ yang berasal
dari shahabat menjadi sebuah sumber hukum atau menjadi pedoman dalam
suatu ritual keagamaan. Sholat tarawih secara berjamaah misalnya,
merupakan salah satu potrer dari ritual keagamaan yang ada, yang jika kita
telusuri baik nama sholat tarawih maupun dalam berjama‟ah, tidak pernah
terjadi pada zaman Nabi Saw.
Pada masa itu, shalat malam Ramadhan dilakukan di penghujung
malam dan munfarid. Keadaan seperti itu berlangsung sampai zaman Abu
Bakr dan permulaan zaman „Umar. „Umar kemudian mengatur shalat
tarawih dan menetapkan untuk pertama kalinya shalat tarawih dalam
keadaan berjama‟ah.15
Dan ketetapan tersebut tetap terlaksana dan menjadi pedoman
hukum hingga saat ini. Inilah salah satu fakta yang membuat sunnah
15
Jalaluddin Rahmat, Misteri Wasiat Nabi, (Bandung: Misykat, 2015), hlm. 49
shahabat ikut menempati posisi sunnah sebagai sumber hukum Islam,
selain dari sunnah Nabi sendiri. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada
hierarki inilah sunnah shahabat menempati posisinya sebagai salah satu
sumber hukum Islam, yang jika kita telusuri merupakan cabangan dari
sumber hukum yang kedua, yakni sunnah (karena sunnah terbagi menjadi
dua, yakni sunnah nabi dan sunnah shahabat itu sendiri).
3. Ijma’
Dari segi kebahasaan, kata ijma’ mengandung dua arti. Pertama,
bermakna “ketetapan hati terhadap sesuatu”, dan yang kedua bermakna,
“kesepakatan terhadap sesuatu”. Sedangkan, pengertian ijma’ secara
terminologi, ialah kesepakatan semua ulama mujtahid muslim dalam satu
masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah Saw yang berkaitan dengan
hukum syara‟.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ijma’ mengandung
beberapa unsur yakni adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan
umat Islam (ulama), suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah
dinyatakan secara jelas, yang melakukan kesepakatan tersebut adalah
mujtahid, kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya rasulullah Saw
(karena pada masa hidupnya Rasul Saw, pemegang otoritas keagamaan
adalah beliau sendiri, sehingga tidak diperlukan adanya ijma‟), selanjutnya
yang disepakati itu adalah berkenaan dengan hukum syara‟mengenai suatu
masalah atau peristiwa hukum tertentu.
Pada posisi ini pulalah istilah yang sering kita kenal dengan
madzhab shahabi/ qaul shahabi/ sunnah shahabat menempati dan menjadi
salah satu bagian dari dalil hukum atau penunjuk untuk menemukan
hukum Islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an maupun as-Sunnah melalui
upaya ijtihad, seperti yang telah dijelaskan dimuka. Hal ini dikarenakan,
sunnah shahabat juga merupakan suatu kesepakatan atau ijma‟ yang
dilakukan setelah Rasulullah Saw wafat yang dilakukan oleh para generasi
sebaik-sebaiknya umat Rasul Saw, yakni para Shahabat r.a
Selanjutnya, mengenai kedudukan ijma’ sebagai sumber dan dalil
hukum ialah jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ merupakan dasar
penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan
diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama menetapkan ijma’ sebagai
sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah al-Qur‟an dan as-Sunnah.16
4. Qiyas
Kata qiyas secara etimologi berarti qadr (ukuran, bandingan).
Adapun secara terminologi, menurut Ibnu As-Subki, qiyas adalah
menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain karena
adanya kesamaan ‘illah hukum menurut mujtahid yang menyamakan
hukumnya. Adapun unsur-unsur qiyas yakni al-Ashl (sesuatu yang telah
ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik berupa al-Qur‟an
maupun as-Sunnah). Al-Far’u ialah masalah yang hendak di qiyaskan,
yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Hukum Ashl,
ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu
ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-Qur‟an maupun as-Sunnah. Dan
yang terkhir, ‘Illah, ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali
suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari
suatu peristiwa hukum
Selanjutnya, terkait kedudukan qiyas sebagai sumber hukum, yakni
salah satunya berdasarkan pertimbangan logika. Pertama,
ketentuanketentuan hukum yang ditetapkan Allah Swt. selalu rasional,
dapat dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illah untuk mencapai
kemaslahatan, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Kedua,
Imam asy-Syafi‟i, sebagai orang pertama yang secara sistematis
menguraikan kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, menegaskan bahwa di
dalam Islam, semua peristiwa ada hukumnya. Sebab syari‟at Islam bersifat
umum, mencakup dan mengatur semua peristiwa hukum. Oleh karena itu,
pastilah Allah telah menyediakan aturan hukumnya, baik dalam bentuk
nash, ataupun isyarat, ataupun melalui pemahaman yang menunjukkan
hukum peristiwa tersebut.17
Dengan adanya pernyataan tersebut, maka sudah jelaslah bahwa
menentukan hukum melalui nash adalah jelas. Sedangkan menemukan
16
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 148-150
17
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 182-183
ketentuan hukum melalui penunjuk hukum adalah melalui ijtihad,
penggalian hukum, maupun melalui cara menghubungkan dan
menyamakan hukum yang memiliki kesamaan ‘illah.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Ahlu Sunnah Wal Jama'ah' adalah golongan terbesar umat Islam yang
menyandarkan amal ibadahnya kepada mazhab yang empat: Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hambali. Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan salafiyah
yang dilakukan Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahab
dengan gerakan Wahabiyahnya yang sekarang menjadi mazhab resmi kerajaan
Arab Saudi. Melalui kajian- kajian kesejarahan teranglah bahwa yang disebut
dengan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah adalah kelompok yang mengakui Khulafa Al-
Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khalifah yang syah setelah
Nabi wafat. Dan sebaliknya golongan yang menolak Khulafa Al-Rasyidin sebagai
khalifah-khalifah yang syah setelah Nabi wafat disebut rafidaha atau Syiah.
REFERENSI
Ar-Ruhaili, I. b. (2008). Sikap Ahlussunnah Terhadap Ahli Bid'ah dan Pengikut
Hawa Nafsu. Jakarta: Darul Falah.
Tijani, M. (2007). Al Syiah Hum Ahlu Sunah Syiah Sebenar-benarnya Ahlu Sunah
Nabi SAW Studi Kritis Informatif Polemik antara Klaim dan Fakta.
Jakarta: El Faraj Publishing.