Anda di halaman 1dari 12

AL-SUNNAH DAN METODOLOGINYA

Dosen Pengampuh : SUDIRMAN, MA


Disusun Oleh :
SUCI INDAH LESTARI
NURSYAKILA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE

1
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami ucapkan kehadiran Allah SWT yang telah
meimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana, dengan judul
‘AL-SUNNAH DAN METODOLOGINYA’.

Sholawat serta salam mari kita hanturkan kepada junjungan kami baginda Rasulullah
SAW, yang kami nantikan syafaat-Nya di yaumil kiamah kelak nanti. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada bapak dosen pengampu mata kuliah ushul fiqih.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Parepare, 13 Mei 2023

Kelompok 7

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN........................................................................................................................5
A. Pengertian Al-Sunnah.....................................................................................................5
B. Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam...........................................................................6
C. Macam-macam Sunnah Dari Segi Bentuknya................................................................7
D. Petunjuk Sunnah Atas Hukum Islam..............................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
A. Kesimpulan...................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu keistimewaan agama Islam ini terletak pada otentisitas dan
orisinalitas sumber-sumber hukumnya. Demikian pula dengan sunnah Rasulullah
SAW., tidak ada penambahan sedikitpun dalam Sunnah sebagai halnya dengan al-
Qur’an., mengingat sunnah dikuatkan melalui metode transmisi (riwayah) dan kritik
(naqd) dengan serangkaian kaidah yang dimilikinya.
Ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid didalam
menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak terdapat nashnya, juga
merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam memahami isi undang-undang
secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil sesuai dengan
maksud syar’i.
Dalam hal ini kami akan membahas sumber hukum islam yang ke-2 yaitu As-Sunnah,
ulama Fiqh memandang As-sunnah secara etimologi berarti jalan, tetapi kalau kata ini
dikaitkan dengan Rasulullah SAW, baik dalam kata ataupun pengertiannya, maka maksudnya
adalah suatu sabda atau perbuatan atau taqrir beliau. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-sunnah?
2. Pengertian Sunnah sebagai sumber hukum islam
3. Apa saja macam-macam sunnah dari segi bentuknya?
4. Petunjuk sunnah atas hukum islam

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Al-sunnah
2. Mengetahui sunnah sebagai sumber hukum islam
3. Mengetahui macam-macam sunnah
4. Mengetahui petunjuk sunnah atas hukum islam

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Sunnah
Secara etimologi, Al-sunnah yaitu cara atau jalan yang terpuji ataupun tercela.
Secara terminologi, Al-sunnah adalah sebagai berikut :1
a. Menurut Prof. DR. Suparman Usman, Al-sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan
penetapan (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) Nabi Muhammad SAW, merupakan
penjelas (bayan) terhadap Al-Qur’an.2
b. Menurut Imam Subki dalam kitab Matan Jami’ Al-jawani, sebagaimana dikutip
oleh Romli SA, Al-sunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi
Muhammad SAW.3
c. Menurut Abdul Wahab Khalaf, sebagaimana dikutip oleh Romli SA, Al-sunnah
adalah sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapan.4

Al-Sunnah juga berarti lawan dari bid’ah. Barangsiapa mengerjakan amalan


agama tanpa didasari oleh tradisi atau tata cara agama, maka ia mengada-ada
(membuat bid’ah). Dan juga bisa berarti jalan hidup (al-sirah). Oleh karena itu, al-
Sunnah Nabi berarti jalan hidupnya Nabi, dan al-Sunnah Allah adalah jalan/hukum
Allah yang telah ditetapkan-Nya (Q.S. al-Fath: 23).
‫ت ِم ْن قَ ْب ُل ۖ  َولَ ْن ت َِج َد لِ ُسنَّ ِة هّٰللا ِ تَ ْب ِد ْياًل‬
ْ َ‫ُسنَّةَ هّٰللا ِ الَّتِ ْي قَ ْد َخل‬

“Sebagai suatu sunnatullah yang Telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada
akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu”.5

Sedangkan menurut ulama ushul fiqih, yang dimaksud dengan alSunnah


adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw. selain Alquran, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrir-nya, yang ada sangkut pautnya dengan hukum.
Perbedaan pengertian tersebut disebabkan karena ulama hadis memandang Nabi Saw.
sebagai manusia yang sempurna, yang dapat dijadikan suri tauladan bagi umat Islam,
sebagaimana firman Allah dalam (Q.S. al-Ahzab: 21)

‫ لَقَ ْد َكا نَ لَ ُك ْم فِ ْي َرسُوْ ِل هّٰللا ِ اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكا نَ يَرْ جُوا هّٰللا َ َوا ْليَوْ َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْيرًا‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah”.

1
Romli SA, Loc. Cit., hlm. 65.
2
Suparman Usman, Loc. Cit.
3
Romli SA, Op. Cit., hlm. 66
4
Ibid.
5
Tadjab et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam (Surabaya: Karya Aditama, 1994),

5
Oleh karena itu mereka membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi Saw., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat
maupun tidak, dan baik ketika ia sudah menjadi Rasul ataupun sebelumnya. Berbeda
halnya dengan ulama usul fiqih, mereka memandang Nabi Saw. sebagai musharri’
(pembuat undang-undang) di samping Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-
Hashr: 7, yang maksudnya: “Apa yang diperintahkan oleh rasul maka ambillah atau
kerjakanlah, dan apa yang dilarang oleh rasul maka jauhilah". Sehingga sesuatu yang
datang dari rasul, yang tidak berkaitan dengan hukum, bukan termasuk dalam kategori
6
al-Sunnah dan tekanannya pada setelah beliau diangkat menjadi rasul.

B. Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam


Secara terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai “Segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il
(perbuatan), taqrîr, 7perangai, dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya,
baik sebelum maupun setelah diangkatnya jadi Rasul.8
Para fukaha memberikan definisi Sunah sebagai “Sesuatu yang dituntut oleh
pembuat syara’ untuk dikerjakan dengan tuntutan yang tidak pasti.” Dengan kata lain,
“Sunah adalah suatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa.”
Sunah sebagai dasar hukum (dalil) menduduki urutan kedua setelah al-Quran.
Sunah juga bisa menjadi hujjah, sumber hukum dan menjadi tempat mengistinbatkan
hukum syara’ karena didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya:
a. Allah memerintahkan umatnya untuk taat kepada Rasulullah sebagai bentuk
ketaatan terhadap Allah, sebagaimana ayat alQuran:
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ۘ ‫َو َمٓا ٰا ٰتى ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َما نَ ٰهى ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ۚا َواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7).
b. Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan alQuran, seperti
dijelaskan dalam firman Allah:
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.
Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
c. Sunah adakalanya menerangkan ayat al-Quran yang masih mujmal dan
adakalanya menambah hukum yang tidak diatur secara jelas dalam al-Quran.
9
Sehingga sudah tentu Sunah yang menjelaskan al-Quran akan menempati
posisi kedua setelah al-Quran.
d. Wurûd al-Quran qath’iy seluruhnya, sedangkan Sunah banyak yang wurûd-
nya dzanniy.

6
Tadjab et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam, 131.
7
Taqrir: perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah dan dibiarkan dan/atau dibenarkannya.
8
Jamaluddin Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits Min Funun Mushthalah Al-Hadits. Cet. Ke-2. (Beirut: Dar Al-
Nafa’is, 1993), hlm. 35-38.
9
Aly Hasabalah, Ushûl at-Tasyrî’, (Mesir: Daarul Maarif, 1946), hlm. 37-39.

6
e. Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan
Sunah pada tempat yang kedua.
C. Macam-macam Sunnah Dari Segi Bentuknya
Dilihat dari segi bentuknya, maka sunnah diklasifikasikan kepada tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Qauliyah
Hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi SAW, dalam berbagai
kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para
sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan oleh Nabi
tersebut. Contoh sunnah qauliyah, misalnya yaitu: “sesungguhnya semua
amal itu didasarkan pada niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang
diniatkan”.
‫آن و َعلَّ َم ُه‬
َ ْ‫َخ ْي ُر ُك ْم َمنْ َت َعلَّ َم القُر‬
Artinya: "Sebaik-baik kamu ialah orang yang belajar Al Quran dan
mengajarkannya kepada orang lain," (HR Bukhari).
2. Sunnah Fi’liyah
Hadis-hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh
Nabi SAW, yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat kemudian
disampaikan kepada rang lain. Misalnya hal-hal yang berhubungan tata cara
pelaksanaan ibadah. Contoh berikut ini yang berasal dari Umar yang
menjelaskan cara Rasululah bertakbir dalam shalat: “adalah Rasulullah
apabila ia hendak mengerjakan shalat ia mengangkat kedua tangannya
sejajar denga dua sisi bahunya seraya bertakbir mengucapkan Allahu Akbar,
jika ia ingin ruku’, ia lakukan seperti itu juga dan demikian pula ketika
bangkit dalam ruku”.

‫ْت َرسُو َل‬ ُ ‫ي ع َْن َسالِ ٍم ع َْن َأبِي ِه قَا َل َرَأي‬ ُّ ْ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َوابْنُ َأبِي ُع َم َر قَااَل َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ بْنُ ُعيَ ْينَةَ عَن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬
‫ْأ‬
‫ي َم ْن ِكبَ ْي ِه َوِإ َذا َر َك َع َوِإ َذا َرفَ َع َر َسهُ ِم ْن‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َذا ا ْفتَتَ َح ال‬
َ ‫ه َحتَّى يُ َحا ِذ‬žِ ‫صاَل ةَ يَرْ فَ ُع يَ َد ْي‬ َ ِ ‫هَّللا‬
ِ ‫الرُّ ُك‬
‫وع‬

Imam At-Tirmidzi berkata, ”Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan


Ibnu Abu Umar keduanya berkata, ”Telah menceritakan kepada kami Sufyan
bin Uyainah dari Az Zuhri dari Salim dari ayahnya ia berkata,

”Saya melihat Rasulullah SAW ketika membuka shalat mengangkat kedua


tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya. Beliau juga mengangkat
tangan ketika rukuk dan mengangkat kepalanya dari rukuk.” [At-Tirmidzi
no. 237]

3. Sunnah Taqririyah
Perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan dihadapan atau
sepengetahuan Rasulullah, tetapi beliau mendiamkan dan tidak menolaknya.
Sikap diam Rasulullah tersebut dan tidak menolak atas perbuatan atau ucapan
para sahabat itu, dipandang sebagai persetujuan beliau.

7
Dalam hubungan ini, Wahab Khalaf memberikan contoh dengan
mengutip riwayat dua orang sahabat yang bepergian. Dalam riwayat tersebut
diceritakan bahwa ditengah perjalan kedua orang sahabat itu akan
mengerjakan shalat, karena sudah waktunya mengerjakan shalat, tetapi mereka
tidak menemukan air untuk berwudhu. Kemudian kedua sahabat itu
bertayamum lalu mengerjakan shalat. Namun setelah itu mereka menemukan
air dan salah seorang dari sahabat itu mengulangi shalatnya dengan berwudhu.
Setelah kembali lagi dari bepergian kedua sahabat itu menceritakan kepada
Nabi apa yang telah mereka perbuat itu. Dalam menanggapi kejadian ini
Rasulullah berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “engkau telah
melaksanakan sunnah dan engkau mendapat pahala dari shalatmu” dan
kepada yang mengulangi shalatnya Rasulullah berkata “engkau mendapat
pahala dua kali”.10
ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫النبي‬
ُّ ُّ َ‫ فَ ْالتَف‬،ُ‫ت ل ِآ ُخ َذه‬
‫ فَِإ َذا‬،‫ت‬ ُ ْ‫ فنَ َزو‬،‫ب فيه شَحْ ٌم‬ ٌ ‫ فَ َر َمى إ ْن َس‬،‫ص ِرينَ قَصْ َر َخ ْيبَ َر‬
ٍ ‫ان ب ِج َرا‬ ِ ‫ُكنَّا ُم َحا‬
‫ْت منه‬ ُ ‫فَا ْستَحْ يَي‬،‫عليه وسلَّ َم‬.

”Kami mengepung benteng Khaibar (milik Yahudi). Lalu ada seseorang dari


Yahudi membuang sebuah kantong kulit yang di dalamnya terdapat
lemak. Lalu aku mencarinya untuk kuambil. Kemudian aku berpaling, ternyata
Nabi SAW. Aku menjadi malu kepada beliau.” [Hadits riwayat Al-Bukhari
no. 3153]

10
Sulaiman Abdullah, Loc. Cit.,hlm. 69-70

8
D. Petunjuk Sunnah Atas Hukum Islam
Sudah menjadi suatu yang ma’lum bi adh-dharurah bahwa sunnah menjadi
sumber hukum kedua setelah alQur’an. Meskipun al-Qur’an menjadi grand concept
dari seluruh rangkaian hukum Islam, namun hukumnya mayoritas bersifat global,
tidak menyentuh hal-hal kecil dan spesifik.
Abd al-Wahhab Khallaf (1972: 22-23) mengungkapkan bahwa hukum-hukum
yang ada dalam al-Qur’an secara garis besar dibagi menjadi tiga macam:
1. Hukum yang berkaitan dengan aqidah yang wajib diyakini oleh umat Islam.
2. Hukum yang terkait dengan moral dan etika sehingga menjadikan umat Islam
memiliki akhlak yang mulia.
3. Hukum yang menyangkut interaksi antara manusia dengan Tuhan dan
interaksi antar sesama manusia.
Dengan demikian, hukum interaksi ini dibedakan menjadi hukum ibadah dan
hukum muamalah. Adapun penjelasan terperinci dan spesifik ditemukan dalam
Sunnah.

1. Definisi dan Fungsi Sunnah


Sunnah secara literal adalah jalan, baik jalan kebaikan ataupun jalan
keburukan, sementara sunnah menurut pemaknaan terminologis para
muhadditsin, sunnah adalah sabda, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau
jasmani) baik sebelum menjadi Rasulullah SAW.
Adapun sunnah menurut para fuqaha adalah suatu sifat hukum atas suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan memperoleh pahala, sementara jika
ditinggalkan maka tidaklah berdosa. Pemaknaan ini dilatarbelakangi bahwa
para fuqaha memposisikan sunnah sebagai salah satu hukum syara’ yang lima
yang mungkin berlaku terhadap suatu perbuatan.
Banyak literatur yang menjelaskan tentang fungsi sunnah yang seluruhnya
mengarah pada tiga fungsi:
Pertama, sunnah berfungsi sebagai bayan ta’kid, artinya bahwa sunnah
memiliki fungsi memperkokoh uraian hukum yang telah ditetapkan dalam al-
Qur’an, seperti perintah menunaikan shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kedua, sunnah berfungsi sebagai bayan tafshil/bayan tafsir, di sini sunnah
berfungsi menjelaskan dan memerinci petunjuk yang global dalam al-Qur’an,
seperti tata cara menunaikan shalat dan menjalankan ibadah haji.
Ketiga, sunnah berfungsi sebagai bayan tasyri’, mengandung maksud
bahwa sunnah dapat menentukan suatu hukum secara mandiri yang belum
dijelaskan kepastian hukumnya oleh alQur’an, seperti hukum menghimpun
pernikahan antara bibi dan keponakan perempuan yang dijelaskan melalui
hadis Rasulullah SAW.
2. Klasifikasi Sunnah
Ushuliyyin mengklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu:

9
Pertama, Sunnah qauliyyah, adalah sunnah dalam bentuk sabda yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW. kepada para sahabat, lalu para sahabat ini
menyampaikan kepada para sahabat lainnya. Misalnya, tatkala Rasulullah
SAW. bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada
niatnya.”
Kedua, Sunnah fi’liyyah, adalah sunnah dalam bentuk tindakan atau
perbuatan yang dilaksanakan dan diteladankan oleh Rasulullah SAW., seperti
tindakan Rasulullah SAW dalam meneladankan gerakan shalat, pentasharrufan
zakat, dan manasik haji.
Ketiga, Sunnah taqririyah, adalah sunnah dalam bentuk ketetapan beliau
SAW., tatkala para sahabat sedang melakukan suatu perbuatan di hadapan
beliau atau sepengetahuan beliau SAW. namun didiamkan atau tidak dicegah,
maka hal itu merupakan pengakuan dari Rasulullah SAW.
3. Dikotomi Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghayr Tasyri’iyyah
Sejalan dengan dikotomi sunnah tasyri’iyyah dan nontasyri’iyyah, Ibn
Qutaibah dalam Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits (1997: 181-184) menguraikan
sunnah ke dalam tiga bentuk: Pertama, sunnah yang disampaikan Jibril dari
Allah swt. Kedua, sunnah dimana Rasulullah SAW. diberikan keleluasan
untuk menjelaskan hukum syariat. Ketiga, sunnah yang ditetapkan Rasulullah
SAW. sebagai pelajaran moral. Jika diikuti memperoleh pahala, sedangkan
jika tidak diikuti tidak berdosa. Dengan demikian, dua bentuk pertama dari
klasifikasi Ibn Qutaibah ini merupakan sunnah tasyri’iyyah sedangkan bentuk
ketiga merupakan sunnah ghayr tasyri’iyyah.
4. Sunnah dan Kekuatan Hukumnya
Sunnah yang memiliki kekuatan hukum terkait aqidah memiliki syarat
yang sangat ketat. Ini dikarenakan aqidah merupakan kepercayaan dan
keyakinan yang pasti, dan tidak ada yang dapat menghasilkan keyakinan yang
pasti itu kecuali yang pasti pula. Sehingga sunnah yang berdaya hukum dalam
bidang aqidah harus dihasilkan dari sunnah yang pasti (qath’i), baik dari segi
asal mula kemunculan sabda (wurud) nya, lafaznya, dan petunjuk hukum
(dilalah)nya. Sunnah jenis ini dapat ditemukan dalam sunnah shahihah
mutawatirah yang sangat terbatas jumlahnya.
5. Pemaknaan dan Pola interaksi dengan Sunnah
Muhammad al-Ghazali, salah satu guru Yusuf alQaradhawi, pernah berujar
“Tidak ada Islam tanpa sunnah.” Statemen ini dipertegas oleh Abd al-Halim
Uways dalam bukunya al-Fiqh al-Islami bayn at-Tathawwur wa ats-Tsabat
(1998: 89) sebagai berikut:
“Tanpa sunnah yang mulia yang tercermin di dalam kehidupan Rasulullah
SAW. baik berupa sabda ataupun perbuatan dan aplikasinya di muka bumi
yang memberikan kemaslahatan bagi para pencari kehidupan yang mulia,
Islam hanya akan menjadi undang-undang semata, seperti halnya hukum
positif, dan menjadi suatu filsafat, seperti halnya filsafat logika yang
kering. Filsafat sendiri hanya merupakan produk logika semata tanpa ada
kaitannya dengan jiwa dan realitas. Ia pun hampa dari ruh dan kehidupan”.

10
11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, Al-sunnah yaitu cara atau jalan yang terpuji ataupun tercela.
Secara terminologi, Al-sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan (qauliyah,
fi’liyah dan taqririyah) Nabi Muhammad SAW, merupakan penjelas (bayan) terhadap
Al-Qur’an.
Secara terminologi, para ahli hadits mengartikan sunah/hadits sebagai “Segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il
(perbuatan), taqrîr, perangai, dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannya,
baik sebelum maupun setelah diangkatnya jadi Rasul.
Dilihat dari segi bentuknya, maka sunnah diklasifikasikan menjadi 3 macam
yaitu Sunnah Qauliyah, Sunnah Fi’liyah, Sunnah Taqririyah.
B. Saran

11
Abd al-Halim Uways, al-Fiqh al-Islami bayn at-Tathawwur wa atsTsabat, (Fiqh Statis dan Fiqh Dinamis), terj.
A. Zarkasyi Chumaydi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).

11
DAFTAR PUSTAKA

Romli SA, Loc. Cit., hlm. 65.


Suparman Usman, Loc. Cit.
Romli SA, Op. Cit., hlm. 66
Ibid.
Tadjab et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam (Surabaya: Karya Aditama, 1994),

Tadjab et.al., Dimensi-Dimensi Studi Islam, 131.


Taqrir: perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah dan dibiarkan dan/atau dibenarkannya.
Jamaluddin Al-Qasimi, Qawaid Al-Tahdits Min Funun Mushthalah Al-Hadits. Cet. Ke-2. (Beirut: Dar Al-
Nafa’is, 1993), hlm. 35-38.
Aly Hasabalah, Ushûl at-Tasyrî’, (Mesir: Daarul Maarif, 1946), hlm. 37-39.
Abd al-Halim Uways, al-Fiqh al-Islami bayn at-Tathawwur wa atsTsabat, (Fiqh Statis dan Fiqh Dinamis), terj.
A. Zarkasyi Chumaydi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).

12

Anda mungkin juga menyukai