AL QUR’AN
} َو ُهللا َغ ُفْو ٌر َر ِح ْيٌم، {ُقْل ِإْن ُكْنُتْم ُتِح ُّبْو َن َهللا فاَّتِبُعوِني ُيْح ِبْبُك ُم ُهللا وَيْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنْو َبُك ْم
“Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang
mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah,
maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini,
sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad
dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”.
“Ketahuilah bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah adalah jika
terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada
Rasulullah yang utama adalah (dengan) meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya,
mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan
menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau
(contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”.
1.1 Kedudukan Sunnah Rasul dan Hadist
Sunnah Rasulullah, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah , baik
ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung
dalam Islam, karena Allah sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku
Rasulullah, dalam firman-Nya:
Ayat ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah, ummul mu’minin ‘Aisyah, ketika
beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah , beliau menjawab: “Sungguh
akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an”.
Ini berarti bahwa Rasulullah adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan
mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan
adab-adabnya. Demikian pula dalam firman-Nya :
}{َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا ُأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِلَم ْن َك اَن َيْر ُجو َهَّللا َو اْلَيْو َم اآلِخَر َو َذ َك َر َهَّللا َك ِثيًرا
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ayat ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah,
karena Allah sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah sebagai “teladan
yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah
berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan
membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah.
Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan
landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah dalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaan beliau”. Kemudian firman Allah di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah
yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa
semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah
merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata: “Teladan
yang baik (pada diri Rasulullah ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk
mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan
kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta
pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi
seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah”.
Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah memberikan
anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau , terlebih lagi
sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang
menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia,
maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah , terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena
itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab:
(keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan
(manusia). Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan
mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah
manusia yang telah melupakannya.
Secara garis besar, didalam hukum Islam, As-Sunnah memiliki kedudukan sebagai
berikut :
Kaum muslim sepakat bahwa As-sunnah menjadi dasar hukum islam yang kedua
setelah Al-Qur'an. Kesimpulan itu diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk
tentang kedudukan dan fungsi As-sunnah. Allah berfirman :
Artunya : "......Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah......" (QS Al-Hasur (59 :7))
يا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُوُجوَهُك ْم َو َأْي ِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِف ِق َو اْمَس ُحوا ِبُرُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم
ِإَلى اْلَكْع َبْيِن ۚ َوِإْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرواۚ َوِإْن ُكْنُتْم َم ْر َض ٰى َأْو َع َلٰى َس َفٍر َأْو َج اَء َأَح ٌد ِم ْنُك ْم ِم َن اْلَغاِئ ِط َأْو اَل َم ْس ُتُم
الِّنَس اَء َفَلْم َتِج ُدوا َم اًء َفَتَيَّمُم وا َصِع يًدا َطِّيًب ا َفاْمَس ُحوا ِبُوُج وِهُك ْم َو َأْي ِد يُك ْم ِم ْن ُهۚ َم ا ُيِريُد ُهَّللا ِلَيْج َع َل َع َلْيُك ْم ِم ْن
َح َر ٍج َو َٰل ِكْن ُيِريُد ِلُيَطِّهَر ُك ْم َوِلُيِتَّم ِنْع َم َتُه َع َلْيُك ْم َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُروَن
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS: Al-Maidah: 6).
Hadts di atas menjelaskan secara rinci dari Qs Al Baqarah ayat 43 yang artinya
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa...(QS Al Baqarah)
Artinya : “Islam itu dibangun atas lima (fondasi), yaitu: kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah,
mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan
menunaikan haji bagi yang telah mampu.”
Hadits ini berfungsi untuk menegaskan kembali (mentaqrir) ayat ayat berikut
]4[
.…و أقيموا الصلوة واتوا الزكوة
“Dan kepada Allah manusia menunaikan ibadah haji bagi yang mampu….”
b. Bayan At-tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir ialah menjelaskan (memberikan
rincian) dan memberi penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-
ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat
yang masih bersifat umum. Fungsi hadits sebagai bayan at-tafsir ini dibagi
menjadi tiga, yaitu
1. Tafsil Al-mujmal
Hadits memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat yang masih
bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum,
sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir.[7]
)صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى
والوقت, وكان ظّل الرجل كطوله ما لم يحضر وقت العصر,وقت الظهر إذا زالت الشمس
)……(رواه مسلم,العصر ما لم َتْص َفَّر الشمس
]8[
2. Takhsish al ‘amm
Hadits mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang umum[9], seperti pada
contoh ayat berikut;
3. Taqyid al muthlaq
Hadits membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Al-Qur’an
keterangannya secara mutlaq kemudian di taqyid dengan hadits
tertentu[12], misalnya pada ayat dibawah ini;
)38 : 5 والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-
tangan mereka” (QS Al Maidah 38)
Dalam ayat tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang harus di
potong oleh karenanya ditaqyid dengan hadits berikut ini;
أتي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri,
maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”
c. Bayan At tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati Al-Qur’an, atau dalam Al quran hanya
terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja.[13] Para ulama berbeda pendapat tentang
fungsi sunnah sebagai dalil pada suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an. Mayoritas mereka bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum
dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung
atau tersirat secara implisit dalam teks Al-Qur’an.[14]
Didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al-Qur’an.
Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada
yang berupa penjelasan terhadap kandungan Al-Qur’an dan dalam hal-hal
tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang
tidak tertuang (eksplisit dalam Al-Qur’an).[15]
d. Bayan Al-nasakh
Hadits berfungi menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-
Qur’an.
Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 180
رأحدكم الموت إن ترك خيراا لوصية للوالدين واألقربين بالمعروف حقا على€€كتب عليكم إذا حض
)180 : 2 المتقين (البقراة
Namun demikian perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini
masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan
adanya naskh namun ada juga yang menolak naskh dengan alasan tersendiri.
Diantara kelompok yang membolehkan naskh yaitu golongan mu’tazilah,
hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri. Sedangkan ulama yang menolak
naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian besar pengikutnya,
pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij[17].