Anda di halaman 1dari 9

POSISI SUNNAH RASULULLAH TERHADAP

AL QUR’AN

1. Kedudukan Sunnah Rasul Dan Hadist

Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah, semestinya dia selalu


berusaha untuk meneladani sunnah beliau dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia
mengaku sebagai ahli sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku
mencintai beliau adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan
beliau. Allah berfirman :

} ‫ َو ُهللا َغ ُفْو ٌر َر ِح ْيٌم‬، ‫{ُقْل ِإْن ُكْنُتْم ُتِح ُّبْو َن َهللا فاَّتِبُعوِني ُيْح ِبْبُك ُم ُهللا وَيْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنْو َبُك ْم‬

Artinya : “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah


(sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata:

“Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang
mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah,
maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini,
sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad
dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”.

Imam Al-Qadhi ‘Iyadh Al-Yahshubi berkata:

“Ketahuilah bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti
dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah adalah jika
terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada
Rasulullah yang utama adalah (dengan) meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya,
mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan
menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau
(contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”.
1.1 Kedudukan Sunnah Rasul dan Hadist

Sunnah Rasulullah, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah , baik
ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki kedudukan yang sangat agung
dalam Islam, karena Allah sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku
Rasulullah, dalam firman-Nya:

} ‫{َوِإَّنَك َلَع لى ُخ ُلٍق َع ِظ يٍم‬

Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang


agung” (QS Al-Qalam:4).

Ayat ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah, ummul mu’minin ‘Aisyah, ketika
beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah , beliau menjawab: “Sungguh
akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an”.

Ini berarti bahwa Rasulullah adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan
mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan
adab-adabnya. Demikian pula dalam firman-Nya :

}‫{َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفي َر ُسوِل ِهَّللا ُأْس َو ٌة َحَس َنٌة ِلَم ْن َك اَن َيْر ُجو َهَّللا َو اْلَيْو َم اآلِخَر َو َذ َك َر َهَّللا َك ِثيًرا‬

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ayat ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah,
karena Allah sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah sebagai “teladan
yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah
berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan
membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah.

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan
landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah dalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaan beliau”. Kemudian firman Allah di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah
yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa
semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah
merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata: “Teladan
yang baik (pada diri Rasulullah ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah ) untuk
mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan
kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta
pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi
seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah”.

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah memberikan
anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau , terlebih lagi
sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang
menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia,
maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”.

Hadits ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah , terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena
itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab:
(keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan
(manusia). Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah
Rasulullah akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan
mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah
manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shaleh Al-’Utsaimin berkata: “Sesungguhnya sunnah Rasulullah


jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar),
karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan
(sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan
manusia”.

Secara garis besar, didalam hukum Islam, As-Sunnah memiliki kedudukan sebagai
berikut :
Kaum muslim sepakat bahwa As-sunnah menjadi dasar hukum islam yang kedua
setelah Al-Qur'an. Kesimpulan itu diperoleh dari dalil-dalil yang memberi petunjuk
tentang kedudukan dan fungsi As-sunnah. Allah berfirman :

Artunya : "......Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah......" (QS Al-Hasur (59 :7))

1. Menguatkan hukum suatu peristiwa yang ditetapkan hukumnya di dalam alqur’an


Hukum yang ada di dalam Al Qur'an di kuatkan oleh As-sunnah. Contohnya,
perintah Allah kepada umat islam untuk melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji,
larangan durhaka kepada orang tua, dan larangan membunuh, kecuali yang berhak
seperti hukuman pidana mati. Semua hukum tersebut selain telah disebutkan di
dalam Al Qur'an, juga disebutkan di dalam As-Sunnah seperti yang terdapat dalam
hadis yang berbunyi : " Rasulullah saw bersabda, tidak di terima salat seorang yang
berhada sebelum ia berwudhu" (HR Bukhari ).
Hadits di atas memperkuat Q.S. Al-Maidah (5:6) mengenai kewajiban berwudhu
bagi seorang yang akan melaksanakan shalat yaitu

‫يا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا ُقْم ُتْم ِإَلى الَّص اَل ِة َفاْغ ِس ُلوا ُوُجوَهُك ْم َو َأْي ِدَيُك ْم ِإَلى اْلَم َر اِف ِق َو اْمَس ُحوا ِبُرُء وِس ُك ْم َو َأْر ُج َلُك ْم‬
‫ِإَلى اْلَكْع َبْيِن ۚ َوِإْن ُكْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرواۚ َوِإْن ُكْنُتْم َم ْر َض ٰى َأْو َع َلٰى َس َفٍر َأْو َج اَء َأَح ٌد ِم ْنُك ْم ِم َن اْلَغاِئ ِط َأْو اَل َم ْس ُتُم‬
‫الِّنَس اَء َفَلْم َتِج ُدوا َم اًء َفَتَيَّمُم وا َصِع يًدا َطِّيًب ا َفاْمَس ُحوا ِبُوُج وِهُك ْم َو َأْي ِد يُك ْم ِم ْن ُهۚ َم ا ُيِريُد ُهَّللا ِلَيْج َع َل َع َلْيُك ْم ِم ْن‬
‫َح َر ٍج َو َٰل ِكْن ُيِريُد ِلُيَطِّهَر ُك ْم َوِلُيِتَّم ِنْع َم َتُه َع َلْيُك ْم َلَع َّلُك ْم َتْشُك ُروَن‬

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (QS: Al-Maidah: 6).

2. Memberi Penjelasan terhadap Ayat” alqur’an


Tidak semua perintah Allah di dalam Al Qur'an telah menunjukkan perbuatan
yang rinci sehingga mudah di mengerti oleh umat islam. Sebaliknya , banyak ayat
Al Qur'an yang berisi hukum yang masih umum sehingga peran As-Sunnah adalah
memberi penjelasan secara Rinci . Contoh Hadist yang menerangkan tentang
bagaimana cara mendirikan salat. Nabi bersabda :
"Salatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku Salat." ( HR. Bukhari )

Hadts di atas menjelaskan secara rinci dari Qs Al Baqarah ayat 43 yang artinya

“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang


yang rukuk.” (QS . Al Baqarah(2 : 33))

3. Menciptakan hukum baru yang tidak terdapat dalam Alqur’an


Salah satu sifat Al Qur'an berlaku sepanjang masa adalah adanya peran dan
kedudukan As-Sunnah terhadap yang bersifat li at-tasry, yaitu menetapkan hukum
yang tidak ada di dalam Al Qur'an, contohnya hadist tentang zakat fitrah :
"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam
pada bulan romadhon satu Sha' (setara 2,5 kg) kurma atau gandung untuk setiap
orang , baik merdeka atau hamba , laki - laki atau perempuan." ( HR Muslim )

1.2 Fungsi Sunnah Rasul Dan Hadist


Secara garis besar, fungsi sunnah dan hadits dalam ajaran Islam bisa dibagi menjadi
tiga, yaitu :
a. Bayan At-taqrir
Bayan at-taqrir atau disebut juga bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat yaitu
memperkuat dan menegaskan kembali keterangan atau perintah mengenai apa
yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya
memperkokoh kandungan Al quran[2]. Contohnya seperti hadits dibawah ini
)‫فأذا رأيتم الهالل فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم‬

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila


melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR Muslim)

Hadits ini berfungsi untuk menegaskan kembali (mentaqrir) ayat tersebut

)185 :2 ‫فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة‬

“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia
berpuasa...(QS Al Baqarah)

Selain itu terdapat pula contoh yang lain seperti


‫بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال هّللا و أّن محّم دا رسول هللا وإقام الصال ة وإيتاء الزكاة‬
]3[
.‫وصوم رمضان و َح ِّج البيت من استطاع إليه سبيال‬

Artinya : “Islam itu dibangun atas lima (fondasi), yaitu: kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah,
mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan
menunaikan haji bagi yang telah mampu.”

Hadits ini berfungsi untuk menegaskan kembali (mentaqrir) ayat ayat berikut
]4[
.…‫و أقيموا الصلوة واتوا الزكوة‬

“Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat……”


]5[
...‫يا أّيهاالذين كتب عليكم الصيام‬

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa…”

….]6[.…‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال‬

“Dan kepada Allah manusia menunaikan ibadah haji bagi yang mampu….”

b. Bayan At-tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir ialah menjelaskan (memberikan
rincian) dan memberi penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-
ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat
yang masih bersifat umum. Fungsi hadits sebagai bayan at-tafsir ini dibagi
menjadi tiga, yaitu
1. Tafsil Al-mujmal
Hadits memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat yang masih
bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum,
sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir.[7]
)‫صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى‬

“Shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat” (HR Al bukhari)

‫ والوقت‬,‫ وكان ظّل الرجل كطوله ما لم يحضر وقت العصر‬,‫وقت الظهر إذا زالت الشمس‬
)‫……(رواه مسلم‬,‫العصر ما لم َتْص َفَّر الشمس‬
]8[

“Waktu dhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah


tengah langit, hingga bayangan seorang laki laki sama panjangnya
dengan tubuhnya, itulah waktu ashar. Dan waktu ashar adalah ketika
matahari belum terbenam…..”
Hadits-hadits di atas menjelaskan bagaimana sholat harus didirikan
dan menjelaskan tentang waktu shalat dengan haditsnya, sedangkan
dalam Al quran perintah sholat tidak dijelaskan secara rinci, seperti
pada ayat berikut;
)43 : 2 ‫وأقيموا الصالة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة‬
“Dan kerjakanlah sholat, tunaikan zakat, dan ruku’lah bersama orang-
orang yang ruku’ “ (QS Al-Baqarah:43)

2. Takhsish al ‘amm
Hadits mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang umum[9], seperti pada
contoh ayat berikut;

..…‫يوصيكم هللا في أوالدكم للذكر مثل حّظاألنثيين‬


]10[

“Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu, bagian anak


laki laki sama dengan bagian dua bagian anak perempuan.” (QS An-
Nisa:11)

Ayat tersebut bersifat umum, yakni ayat tersebut menjelaskan setiap


anak mendapat warisan dari orang tuanya. Hal ini dikhususkan oleh
Nabi dengan sabdanya :
]11[ ‫ القاتل ال َيِرُث‬: ‫عن أبي هريرة رضي هللا أّن رسول هللا صّلى هللا عليه وسّلم قال‬

“Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :


Pembunuh itu tidak mewarisi (tidak mendapat warisan)”

3. Taqyid al muthlaq
Hadits membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-Qur’an. Artinya Al-Qur’an
keterangannya secara mutlaq kemudian di taqyid dengan hadits
tertentu[12], misalnya pada ayat dibawah ini;
)38 : 5 ‫والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة‬
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-
tangan mereka” (QS Al Maidah 38)

Dalam ayat tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang harus di
potong oleh karenanya ditaqyid dengan hadits berikut ini;
‫أتي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف‬
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri,
maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”
c. Bayan At tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau
ajaran-ajaran yang tidak didapati Al-Qur’an, atau dalam Al quran hanya
terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja.[13] Para ulama berbeda pendapat tentang
fungsi sunnah sebagai dalil pada suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-
Qur’an. Mayoritas mereka bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum
dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung
atau tersirat secara implisit dalam teks Al-Qur’an.[14]

Didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al-Qur’an.
Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada
yang berupa penjelasan terhadap kandungan Al-Qur’an dan dalam hal-hal
tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang
tidak tertuang (eksplisit dalam Al-Qur’an).[15]

Surat Al A’raf ayat 157 menunjukkan demikian. Disana disebutkan;


)157 ‫ (األعرف‬...‫ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهمم الخبائث‬
“…Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk” (QS Al-A’raf:157)
Contoh hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an tetapi hanya terdapat
dalam hadits yaitu larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya dalam
waktu yang sama[16].
...‫ال يجمع بين المرأة وعمتها وال بين المرأة وخالتها‬
“Tidak boleh dikumpulkan seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau
dengan saudara ibunya”
Selain itu juga larangan memakan daging “himar jinak” dan hewan yang
mempunyai taring dan berkuku tajam. Aturan yang hanya terkandung dalam
sunnah ini mengikat semua orang islam sebagaimana Al-Qur’an mengikat
mereka.

d. Bayan Al-nasakh
Hadits berfungi menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-
Qur’an.
Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 180
‫رأحدكم الموت إن ترك خيراا لوصية للوالدين واألقربين بالمعروف حقا على‬€€‫كتب عليكم إذا حض‬
)180 : 2 ‫المتقين (البقراة‬

“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah kewajiban) atas orang-
orang yang bertaqwa.” (QS Al baqarah 180)

Ayat diatas dinasakh dengan hadits Nabi;

‫إن هللا قد اعطى كل ذي حق حقه وال وصية لوارث‬


“Sesungguhnya Allah member-hak kepada setiap orang yang mempunyai hak
dan tak ada wasiat itu wajib bagi waris.” (HR An nasa’i)

Namun demikian perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini
masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan
adanya naskh namun ada juga yang menolak naskh dengan alasan tersendiri.
Diantara kelompok yang membolehkan naskh yaitu golongan mu’tazilah,
hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri. Sedangkan ulama yang menolak
naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian besar pengikutnya,
pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij[17].

Anda mungkin juga menyukai