Anda di halaman 1dari 8

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN HARAM DURHAKA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



:




Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu,dari Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Ridha Allh tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka
Allh tergantung kepada kemurkaan orang tua.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh al-Bukhri dalam al-Adabul Mufrad, no. 2; at-Tirmidzi, no. 1899; alBazzar dalam Musnad-nya, no. 2394; Ibnu Hibbn (no. 2026al-Mawrid dan no. 430-at-Talqtul
Hisn); al-Hkim, IV/151-152; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3423 dan 3424
Lihat Shahh al-Adabil Mufrad (no. 2) dan Silsilah al-Ahdts ash-Shahhah (no. 516).
KOSA KATA HADITS:
: Yaitu rela, lawan dari murka. Keridhaan Allh adalah salah satu sifat Allh Subhanahu wa Taala
yang sesuai dengan kemuliaan-Nya dan kita meyakini dan menetapkan bahwa sifat tersebut memiliki
hakikat yang sesuai dengan keagungan-Nya (bukan sekedar sifat yang kosong dari hakikat-red). (Kita
meyakininya-red) tanpa memikirkan bagaimana hakikatnya. kita menetapkan hakikatnya yang sesuai
dengan kemuliaan-Nya serta tidak memikirkan kaifiyat(cara)nya.
: Yaitu murka. Kemurkaan Allh adalah salah satu sifat Allh Azza wa Jalla yang Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam sebutkan. Oleh karena itu, kita meyakini dan menetapkan dengan sebenar-benarnya
bahwa sifat Allh Azza wa Jalla ini memiliki hakikat, dan kita serahkan (pengetahuan-red) tentang
hakikat sifat tersebut kepada Allh Azza wa Jalla. kita menetapi hakikatnya untuk Allh Taala dengan
penetapan yang hakiki dan menyerahkan urusan dan kaifiyatnya kepada Allh Taala. *1+
: Arti makna asalnya adalah bapak, namun dalam hadits di atas, yang dimaksud adalah kedua
orang tua, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dengan kata al-wlidain (kedua orang tua).
SYARH HADITS
Hadits ini menunjukkan keutamaan dan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, yang menjadi
sebab mendapatkan ridha Allh Azza wa Jalla . Hadits ini juga mengandung peringatan keras dan
keharaman durhaka kepada keduanya, yang bisa menyebabkan Allh Azza wa Jalla murka.
Tidak diragukan lagi, ini merupakan wujud kasih sayang Allh Azza wa Jalla kepada kedua orang tua dan
anak-anak. Karena dengan ini, terjalin hubungan yang sangat erat. Tidak ada satupun hubungan yang
serupa dengannya. Kebaikan orang tua tidak bisa disamai oleh kebaikan makhluk manapun. dan juga

kebutuhan anak-anak untuk berbakti kepada keduanya adalah hak yang pasti, sebagai balasan atas
kebaikan keduanya, untuk memperoleh ganjaran, dan pembelajaran untuk keturunan mereka agar
memperlakukan mereka seperti perlakuan mereka terhadap orang tua mereka.
Inilah sebab-sebab yang menjadikan keridhaan kedua orang tua berkaitan erat dengan keridhaan Allh
Azza wa Jalla , begitu juga dengan kemurkaan orang tua sangat berkaitan dengan kemurkaan Allh.[2]
ORANG TUA RIDHA APABILA ANAKNYA TAAT KEPADANYA
Taat kepada kedua orang tua adalah hak orang tua atas anak sesuai dengan perintah Allh dan RasulNya selama keduanya tidak memerintahkan kepada perbuatan maksiat atau hal-hal yang tidak sesuai
dengan aturan atau syariat Allh dan Rasul-Nya.
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Tidak boleh taat kepada seorang pun dalam berbuat maksiat kepada Allh Azza wa Jalla (Yang Mahasuci
dan Mahatinggi)[3]
Berbakti dan taat kepada orang tua terbatas pada perkara yang marf (perbuatan baik) saja. Adapun
apabila orang tua menyuruh kepada kekafiran atau kesyirikan, maka anak tidak boleh taat kepada
keduanya. Allh Azza wa Jalla berfirman:





Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) ke-baikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya *Al-Ankabt/29: 8+
Yang dimaksud dengan birrul wlidain (berbakti kepada kedua orang tua) yaitu menyalurkan setiap
kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila memungkinkan mencegah gangguan terhadap
keduanya. Menurut Ibnu Athiyyah Radhiyallahu anhu, kita wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang
mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang.
Di dalam al-Qur'n, Allh Azza wa Jalla mewajibkan seorang anak agar berbakti kepada kedua orang
tuanya. Sebagaimana firman Allh Azza wa Jalla :







Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu jangan-lah kamu beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari

keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut di dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah
engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak keduanya. Dan
katakanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan
penuh kasih sayang dan ucapkanlah,Wahai Rabb-ku!Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil.*Al-Isr'/17:23-24]
Dan firman-Nya:



Danberibadahlah kepada Allh dan janganlah menye-kutukan-Nya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu-bapak *An-Nis'/4:36]
Apabila ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbakti kepada kedua orang tua diperhatikan, kita akan
mengetahui bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah masalah yang penting setelah
mentauhidkan Allh Azza wa Jalla . Bila selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah aqidah
AhlusSunnahwalJamaah, aqidah Salaf, maka selanjutnya wajib pula bagi setiap Muslim dan Muslimah
untuk mengkaji masalah berbakti kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi pada seorang yang
bertauhid kepada Allh Azza wa Jalla tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya, wal iyydzubillh.
Bagi seorang Muslim, terutama bagi seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti
kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur-an, penyebutan tentang bertauhid kepada Allh Azza wa Jalla selalu diiringi
dengan berbakti kepada kedua orang tua. Para Ulama telah menjelaskan hikmah dari hal ini, yaitu:
1. Pertama: Allh Azza wa Jalla yang menciptakan manusia dan Allh yang memberikan rezeki
kepadanya, maka Allh Azza wa Jalla sajalah yang berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua
adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu,
kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allh Azza wa Jalla harus diiringi dengan berbakti
kepada kedua orang tuanya.
2. Kedua: Allh-lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh para hamba-Nya, maka hanya
Allh Azza wa Jalla saja yang wajib disyukuri. Kemudian kedua orang tualah yang telah memberikan
segala yang kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga wajib bagi kita
untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu, kewajiban seorang anak atas nikmat yang
diterimanya adalah bersyukur kepada Allh Azza wa Jalla dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
3. Ketiga: Allh adalah Rabb yang membina dan mendidik manusia di atas manhaj-Nya, maka Allh-lah
yang berhak untuk diagungkan dan dicintai. Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita
sejak kecil, maka kita harus bersikap tawdhu (merendah hati), tauqr (menghormati), ta`addub
(beradab), dan talaththuf (berlaku lemah lembut) dalam perkataan dan perbuatan kepada keduanya.

Inilah hikmah mengapa dalam al-Qur'n, Allh Subhanahu wa Taala menyebutkan tentang berbakti
kepada-Nya kemudian diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua.[4]
Bentuk-bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua di antaranya bergaul bersama keduanya dengan
cara yang baik, berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut, tawdhu (rendah hati),
tidak sombong dan angkuh kepada orang tua, memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua,
mendoakan kedua orang tua, dan lainnya.
Sebaliknya, orang tua murka apabila anaknya durhaka. Maka kita dilarang durhaka kepada kedua orang
tua karena hal itu termasuk dosa besar yang paling besar. Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
: .
: : - -


.

:
"Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar? Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam berkata tiga kali. Kami (para Shahabat) menjawab, Tentu, wahai Raslullh. Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, Menyekutukan Allh dan durhaka kepada kedua orang tua.Awalnya Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam bersandar kemudian duduk dan bersabda, Serta camkanlah, juga
perkataan bohong dan saksi palsu.Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu mengulanginya
sehingga kami berkata (dalam hati kami), Semoga Beliau diam.*5+
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa seseorang tidak masuk surga apabila durhaka kepada kedua
orang tuanya. Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Tidak masuk Surga: (1) orang yang suka mengungkit-ungkit (menyebut-nyebut) kebaikan (yang sudah
diberikan), (2) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dan (3) pecandu khamr[6]
Uqqul wlidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orang tuanya, baik
berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya
yang berupa perkataan yaitu dengan mengatakan ah atau cis, berkata dengan kalimat yang keras atau
menyakitkan hati, menggertak, mencaci, dan yang lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah
berlaku kasar seperti memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau
menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturahim atau
tidak memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.
Di antara bentuk durhaka (uqq) adalah:
1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan (ucapan) ataupun perbuatan
yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.

2. Berkata ah dan tidak memenuhi panggilan orang tua.


3. Membentak atau menghardik orang tua.
4. Melaknat dan mencaci kedua orang tua.
5. Bakhil (pelit), tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih mementingkan yang lain daripada
mengurusi orang tuanya padahal orang tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun,
dilakukan dengan penuh perhitungan.
6. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh,
kolot dan lain-lain.
7. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan. Pekerjaan tersebut
sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika si Ibu
melakukan pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa dan karena itu anak
harus berterima kasih.
8. Menyebutkan kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
9. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, menghisap rokok, dan lain-lain.
10. Mendahulukan taat kepada istri daripada taat kepada orang tua. Bahkan ada sebagian orang dengan
teganya mengusir ibunya demi menuruti kemauan istrinya, nadzubillh.
11. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan keberadaan orang tua dan
tempat tinggalnya ketika status sosialnya meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah
sikap yang amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua. Oleh karena itu kita harus
berhati-hati dan membedakan dalam berkata dan berbuat kepada orang tua dengan selain keduanya.
Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhri dalam al-Adabul Mufrad, Abu Dwud dan at-Tirmidzi dari Shahabat Abu Bakrah
Radhiyallahu anhu , Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Tidak ada dosa yang Allh cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia ini di samping adzab yang telah
disediakannya di akhirat daripada berlaku zhalim dan memutuskan silaturahim.[7]
Dalam hadits lain Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
:
.
Dua perbuatan dosa yang Allh cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia: berbuat zhalim dan al-uquq
(durhaka kepada orang tua).*8+
Keridhaan orang tua harus kita dahulukan daripada keridhaan istri dan anak. Karena Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam mengatakan bahwa anak yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak
akan masuk surga dan Allh Azza wa Jalla tidak akan melihatnya pada hari Kiamat. Raslullh Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:

...

:

Ada tiga golongan yang tidak akan masuk Surga dan Allh tidak akan melihat mereka pada hari Kiamat:
(1) anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, (2) perempuan yang menyerupai laki-laki, dan (3)
kepala rumah tangga yang membiarkan adanya kemungkaran (zina dan selainnya) dalam rumah tangganya ... *9+
Jadi, diantara penyebab seseorang tidak masuk surga adalah durhaka kepada kedua orang tuanya.
Terlihat dalam kehidupan nyata, orang yang durhaka kepada orang tuanya, hidupnya tidak berkah dan
selalu mengalami berbagai macam kesulitan. Kalaupun orang tersebut kaya maka kekayaannya tidak
akan menjadikannya bahagia.
Seandainya ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, kemudian kedua orang tuanya
tersebut mendoakan kejelekan, maka doa kedua orang tua tersebut akan dikabulkan oleh Allh Azza
wa Jalla . Sebab, dalam hadits yang shahih Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:





:
Ada tiga doa yang dikabulkan oleh Allh Azza wa Jalla yang tidak diragukan tentang doa ini: (1) doa
orang yang dizhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang dalam perjalanan), dan (3) doa kedua orang
tua terhadap anaknya.[10]
Hendaklah memperhatikan kedua orang tua seumur hidup dan jangan merasa lelah, capek, maupun
letih dalam berbakti kepada keduanya, sebagaimana kita tidak merasa capek dan letih dalam taat
kepada Allh Azza wa Jalla.
Jika selama ini kita pernah durhaka kepada orang tua, segeralah minta maaf dan berbuat baik kepada
keduanya. Jangan mengulangi lagi dan bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya, baik laki-laki
maupun perempuan. Mohon ampunlah dan bertaubat kepada Allh Azza wa Jalla , kemudian rubah lah
sikap. Seandainya kedua orang tua sudah meninggal, mohonkanlah ampunan kepada Allh Azza wa Jalla
untuk keduanya, doakan mereka dan jalinlah silaturahim dengan teman-teman kedua orang tua.
Kalau ingin bahagia dan mendapat berkah dari Allh Azza wa Jalla dan diluaskan rizki serta dipanjangkan
umur dan dimudahkan segala urusan dan dimasukkan ke dalam surga maka harus terus berbuat baik
kepada orang tua. Jangan lupakan semua yang pernah diberikan kedua orang tua karena semua
kebaikan mereka tidak dapat dihitung dengan apa pun juga.
Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang shalih dan shalihah, berbakti kepada kedua orang tua,
dan mudah-mudahan anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, yang taat kepada
Allh dan Rasul-Nya serta berbakti kepada kedua orang tua.



... Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, dari pasangan kami dan dari keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. [AlFurqn/25:74]
FAWAA-ID:
1.Hadits ini menjelaskan tentang wajibnya birrul wlidain (berbakti kepada kedua orang tua) dan
haramnya durhaka kepada keduanya.
2. Hak kedua orang tua sangat besar, Allh Azza wa Jalla mengiringi penyebutan hak-Nya dengan hak
kedua orang tua, sebagaimana dalam surat Luqmn ayat ke-14.
3. Allh Subhanahu wa Taala menjadikan ridha-Nya tergantung dari ridha orang tua, murka-Nya
tergantung dari murka orang tua. Siapa yang orang tuanya ridha kepadanya, maka Allh pun ridha
kepadanya, begitu pula sebaliknya.
4. Wajibnya mendapat ridha dari kedua orang tua, karena mendapat keridhaan dari keduanya termasuk
hal yang wajib
5. Haramnya membuat murka keduanya, karena mendapat murka dari keduanya merupakan hal yang
diharamkan.
6. Taat kepada kedua orang tua hanyalah pada perkara yang marf saja, tidak ada ketaatan kepada
keduanya dalam hal maksiat kepada Allh Azza wa Jalla .
7. Tidak boleh taat kepada orang tua dalam hal yang Allh murkai, misalnya: orang tua menyuruh
berbuat syirik kepada Allh Azza wa Jalla , berbuat bidah, melanggar syariat, maka tidak boleh taat.
8. Tidak boleh mentaati larangan orang tua dalam hal yang Allh ridhai. Misalnya:
melarang menuntut ilmu syari, karena menuntut ilmu syari wajib.
melarang shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, karena shalat berjamaah wajib bagi laki-laki.
melarang anak perempuannya yang sudah baligh untuk memakai jilbab, karena memakai jilbab wajib
bagi wanita. Dan contoh-contoh lainnya.
MARAAJI:
1. Kutubussittah.
2. Al-Adabul Mufrad.
3. Musnad Al-Bazzar.
4. At-Talqtul Hisn ala Shahh Ibni Hibbn.
5. Syarhus Sunnah, al-Baghawi.
6. Shahh al-Adabil Mufrad.
7. Silsilah al-Ahdts ash- Shahhah
8. Taudhhul Ahkm min Bulghil Marm.
9. Bahjatu Qulbil Abrr.
10. Bahjatun Nzhirin Syarh Riydish Shlihn, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali.
11. Birrul Walidain Berbakti kepada Kedua Orang Tua, cet. 10, Pustaka at-Taqwa-Bogor.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271858196]
_______
Footnote
[1]. Taudhhul Ahkm min Bulghil Marm (VII/371)
[2]. Bahjatu Qulbil Abrr (hlm. 414).
[3]. Shahih: HR. Ahmad (V/66). Lihat Silsilah al-Ahdts ash- Shahhah, no. 179
*4+. Bahjatun Nzhirin Syarh Riydish Shlihiin (I/391), oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali .
[5]. Shahih: HR. Al-Bukhri, no. 2654, 5976; Muslim, no. 87; Ahmad, V/36, 38; dan at-Tirmidzi, no. 1901,
2301, 3019 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu .
[6]. Shahih: HR. An-Nas-i (VIII/318), dari Shahabat Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu. Lihat Shahh
al-Jmiish Shaghr, no. 7676.
[7]. Shahih: HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (Shahh al-Adabul Mufrad (no. 23); Abu Dawud, no.
4902; at-Tirmidzi, no. 2511; Ibnu Majah, no. 4211; Ahmad, V/36, 38; al-Hkim (II/356 dan IV/162-163).
At-Tirmidzi berkata, Hadits hasan shahih, al-Hkim berkata, Shahih sanadnya, dan disepakati oleh
adz-Dzahabi.
[8]. Shahih: HR. Al-Bukhri dalam Trkh dan ath-Thabrani dalam al-Mujamul Kabr dari Abu Bakrah
Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga oleh al-Hkim (IV/177) dari Anas bin Mlik Radhiyallahu anhu.
Lihat Silsilah al-Ahdts ash- Shahhah (no. 1120) dan Shahh al-Jmiish Shagr (no. 137, 2810).
[9]. Shahih: HR. Ahmad (II/134), al-Hakim, I/72 dan al-Baihaqi, X/226 dari Ibnu Umar c . Al-Hkim
berkata, Shahih sanadnya. Dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Syaikh al-Albani menshahihkannya
dalam Jilbb al-Mar-atil Muslimah (hlm. 145-146).
[10]. Shahih: HR. Al-Bukhri dalam al-Adabul Mufrad (Shahh al-Adabil Mufrad , no. 24, 372; Ahmad,
II/258, 348, 478, 517, 523; Abu Dawud, no. 1536; at-Tirmidzi, no. 1905, 3448; Ibnu Mjah, no. 3862; Ibnu
Hibbn, no. 2406; dan ath-Thaylisi, no. 2517 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Lihat
Silsilah al-Ahdts ash- Shahhah, no. 596.

Anda mungkin juga menyukai