Anda di halaman 1dari 14

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Pengertian Pengukuran Beda Tinggi


Secara konseptual, beda tinggi diartikan sebagai selisih antara dua bidang nivo
yang melalui dua titik di permukaan bumi. Bidang nivo adalah suatu bidang horisontal
bersifat ekuipotensial yang tegak lurus dengan garis arah gaya berat yang melalui suatu
titik (Umaryono,1988).
Pengukuran beda tinggi adalah adalah suatu perkerjaan pengukuran untuk
menentukan beda tinggi beberapa titik di muka bumi terhadap tinggi muka air laut rata-
rata, perkejaan survey ini di aplikasikan pada perkerjaan kontruksi bangunan dimana
titik-titik kontruksi tersebut harus di tentukan ketinggiannya atas elevasinya untuk
pekerjaan pengukuran pada perkerjaan kontruksi memerlukan alat pengukur beda tinggi
yang mempunyai akurasi yang tinggi.
Dalam pengukuran tinggi ada beberapa istilah yang sering digunakan, yaitu:
 Garis vertikal adalah garis yang menuju ke pusat bumi, yang umum dianggap sama
dengan garis unting-unting.
 Bidang mendatar adalah bidang yang tegak lurus garis vertikal pada setiap titik.
Bidang horisontal berbentuk melengkung mengikuti permukaan laut.
 Datum adalah bidang yang digunakan sebagai bidang referensi untuk ketinggian,
misalnya permukaan laut rata-rata.
 Elevasi adalah jarak vertikal (ketinggian) yang diukur terhadap bidang datum.
 Banch Mark (BM) adalah titik yang tetap yang telah diketahui elevasinya terhadap
datum yang dipakai, untuk pedoman pengukuran elevasi daerah sekelilingnya.

2.2 Prinsip dan Pengukuran Beda Tinggi


Alat didirikan pada suatu titik yang diarahkan pada dua buah rambu yang berdiri vertical.
Maka beda tinggi dapat dicari dengan menggunakan pengurangan antara bacaan muka
dan bacaan belakang.

1
Rumus beda tinggi antara dua titik adalah sebagai berikut:
BT = BTB – BTA
Keterangan : BT = beda tinggi
BTA = bacaan benang tengah A
BTB = bacaan benang tengah B
Namun, apabila beda tinggi yang dicari adalah beda tinggi antara tempat alat dan
bacaan muka terakhir dari alat tersebut maka persamaan yang dipakai adalah:
BT = Hi – BTM
Keterangan: BT = beda tinggi
Hi = tinggi alat
BTM = bacaan tengah muka
Sebelum mendapatkan beda tinggi antara dua titik, diperlukan terlebih dahulu
pembacaan benang tengah titik tersebut, dengan menggunakan rumus :
BT = BA + BB / 2
Keterangan : BT = bacaan benang tengah
BA = bacaan banang atas
BB = bacaan benang bawah
Untuk mencari jarak optis antara dua titik dapat digunakan rumus sebagai berikut.:
J = (BA – BB) x 100
Keterangan : J = jarak datar optis
BA = bacaan benang atas
BB = bacaan benang bawah
100 = konstanta pesawat
Dalam setiap pengukuran tidaklah lepas dari adanya kesalahan pembacaan angka,
sehingga diperlukan adanya koreksi antara hasil yang didapat di lapangan dengan hasil
dari perhitungan.
Fungsi dari pengukuran beda tinggi ini, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Merancang jalan raya, jalan baja, dan saluran-saluran yang mempunyai garis
gradien paling sesuai dengan topografi yang ada.
b. Merencanakan proyek-proyek konsruksi menurut evaluasi terencana.
c. Menghitung volume pekerjaan tanah.
d. Menyelidiki ciri-ciri aliran di suatu wilayah.
e. Mengembangkan peta-peta yang menunjukkan bentuk tanah secara umum.

2
Fungsi dari pengukuran beda tinggi ini digunakan untuk menentukan ketinggian titik-
titik yang menyebar dengan kerapatan tertentu untuk membuat garis-garis ketinggian
(kontur).
1. Pengukuran sipat datar resiprokal (reciprocal levelling)
Pengukuran sipat datar resiprokal adalah pengukuran sipat datar
dimana alat sipat datar tidak dapat ditempatkan antara dua statiun.Misalnya
pengukuran sipat datar menyeberangi sungai/lembah yang lebar.
2. Pengukuran sipat datar teliti (precise levelling)
Pengukuran sipat datar teliti adalah pengukuran sipat datar yang
menggunakan aturan serta peralatan sipat datar teliti.

2.3 Metode Sipat Datar


Metode sipat datar prinsipnya adalah Mengukur tinggi bidik alat sipat datar optis
di lapangan menggunakan rambu ukur. Hingga saat ini, pengukuran beda tinggi dengan
menggunakan metode sipat datar optis masih merupakan cara pengukuran beda tinggi
yang paling teliti. Sehingga ketelitian kerangka dasar vertikal (KDV) dinyatakan sebagai
batas harga terbesar perbedaan tinggi hasil pengukuran sipat datar pergi dan pulang.
Maksud pengukuran tinggi adalah menentukan beda tinggi antara dua titik. Beda
tinggi h diketahui antara dua titik a dan b, sedang tinggi titik A diketahui sama dengan
Ha dan titik B lebih tinggi dari titik A, maka tinggi titik B, Hb = Ha + h yang diartikan
dengan beda tinggi antara titik A.

2.4 Pengukuran Sipat Datar Memanjang


Sipat datar memanjang adalah suatu pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui
ketinggian titik-titik sepanjang jalur pengukuran dan pada umumnya digunakan sebagai
kerangka vertikal bagi suatu daerah pemetaan.Sipat datar memanjang terbagi menjadi
sipat datar terbuka dan tertutup.

3
Gambar 2.1 Metode Sipat Datar Memanjang
Adapun yang perlu diperhatikan dalam pengukuran ini adalah sebagai berikut :
a. Usahakan jarak antara titik dengan alat sama.
b. Seksi dibagi dalam jumlah yang genap.
c. Baca rambu belakang, baru kemudian dibaca rambu muka.
d. Diukur pulang pergi dalam waktu satu hari.
e. Jumlah jarak muka=jumlah jarak belakang.

Kesalahan utama dalam sipat datar memanjang adalah kesalahan tidak dengan jumlah
pengukuran yang diadakan sedang jumlah pengukuran yang diambil tergantung pada
besarnya jarak yang diukur. Menyipat datar memanjang disengaja dan besarnya dianggap
sebanding keliling, biasanya untuk satu penyipatan datar yang memerlukan perbedaan tinggi
dua titik dengan jarak yang tidak jauh kita pilih. Jalan yang sama untuk penyipatan pergi dan
penyipatan pulang sehingga kita mendapat tinggi beberapa titik lagi yang penyipatan datar ini
berbentuk segi banyak. Suatu segi banyak ini dapat kita letakkan misalnya sekeliling suatu
lapangan, gedung dan lain sebagainya yang akan kita sipat lagi dengan teliti pada pengerjaan
lanjutan, pada banyak Negara sudah dilakukan suatu jaringan titik (Irvene, 1995).

2.5 Ketelitian Pengukuran Sipat Datar


Untuk menentukan baik buruknya pengukuran menyipat datar, sehingga
pengukuran harus diulang atau tidak, maka akan ditentukan batas harga kesalahan
terbesar yang masih dapat diterima.
Bila pengukuran dilakukan pulang pergi, maka selisih hasil pengukuran pulang pergi
tidak boleh lebih besar dari pada:
k1 = ± (2,0 √ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama (First Order Levelling)
k2 = ± (3,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat kedua (Second Order Levelling)
k3 = ± (4,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat ketiga (Third Order Levelling)
Untuk pengukuran menyipat datar yang diikat oleh dua titik yang telah diketahui
tingginya sebagai titik-titik ujung pengukuran, maka beda tinggi yang didapat dari tinggi
titik-titik ujung tertentu itu tidak boleh mempunyai selisih lebih besar dari pada:
k1 = ± (2,0 ± 2,0 √ Skm) mm untuk pengukuran tingkat pertama
k2 = ± (2,0 ± 3,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat kedua
k3 = ± (2,0 ± 6,0 √Skm) mm untuk pengukuran tingkat ketiga
Pada rumus-rumus Skm berarti jarak pengukuran yang dinyatakan dalam kilometer.

4
2.6 Alat Ukur Metode Sipat Datar Optis
a. Dumpy level (type kekar)
Pada tipe ini sumbu tegak menjadi satu dengan teropong. Semua bagian pada
alat sipat datar tipe kekar adalah tetap. Nivo tabung berada di atas teropong, teropong
hanya dapat digeser dengan sumbu kesatu sebagai sumbu putar.

Gambar 2.2 Dumpy Level

Keterangan :
1. Teropong. 10. Sumbu ke-1.
2. Nivo tabung. 11. Tombol Fokus.
3. Pengatur Nivo.
4. Pengatur dafragma.
5. Kunci Horizontal.
6. Skrup Kiap
7. Tribrach.
8. Trivet.
9. Kiap (Leveling Head).
b. Reversible level (type reversi)
Pada tipe ini teropongnya dapat diputar pada sumbu mekanis dan disangga
oleh bagian tengah yang mempunyai sumbu tegak. Pada alat ini teropongnya dapat
diputar pada sumbu mekanis dan disangga oleh bagian tengah yang mempunyai
sumbu tegak. Di samping itu teropong dapat diungkit dengan skrup (no 13) sehingga
garis bidik dapat mengarah ke atas, ke bawah, maupun mendatar. Sumbu mekanis,

5
disamping sebagai sumbu puitar teropong merupakan garis penolong untuk membuat
garis bidik sejajar dengan dua garis jurusan nivo reversi.

Gambar 2.3 Revesible Level


Keterangan :
1. Teropong. 9. Kiap.
2. Nivo Reversi. 10. Sumbu ke-1 (Sumbu Tegak).
3. Pengatur Nivo. 11. Tombol Fokus.
4. Pengatur Diafragma. 12. Pegas.
5. Skrup Pengunci Horizontal. 13. Skrup Pengungkit Teropong.
6. Skrup Kiap. 14. Skrup Pemutar Teropong.
7. Tribrach. 15. Sumbu Mekanis.
8. Trivet.

c. Tilting level (type jungkit)


Pada tipe ini sumbu tegak dan teropong dihubungkan dengan engsel dan skrup
pengungkit.Berbeda dengan tipe reversi, pada tipe ini teropong dapat diungkit dengan
skrup pengungkit.
d. Automatic level (type Otomatis)

6
Tipe ini sama dengan tipe kekar, hanya di dalam teropongnya terdapat akat
yang disebut kompensator untuk membuat agar garis bidik mendatar. Berbeda dengan
3 tipe sebelumnya, pada type otomatik ini tidak terdapat nivo tabung untuk
mendatarkan garis bidik sebagai penggantinya di dalam teropong dipasang alat yang
dinamakan kompensator.
Bila benang silang diafragma telah diatur dengan baik, sinar mendatar dan masuk
melalui pusat objektip akan selalu jatuh depat di titik potong benang silang
diafragma, walaupun teropong miring (sedikit). Dengan demikian, dengan
dipasangnya kompensator antara lensa objektip dan diafragma garis bidik menjadi
mendatar. Walaupun demikian type otomatik mempunyai kekurangan yaitu mudah
dipengaruhi getaran, karena sebagai kompensatornya dipergunakan sistim pendulum.

Gambar 2.4 Automatic Level


Keterangan :
1. Teropong. 7. Trivet.
2. Kompensator. 8. Kiap.
3. Pengatur Diafragma. 9. Tombol Fokus.
4. Pengunci Horizontal.
5. Skrup Kiap.
6. Tribrach.

2.7 Alat-Alat Pegukuran Beda Tinggi dengan Metode Sipat Datar


1. Rambu ukur
Rambu ukur dapat terbuat dari kayu, campuran alumunium yang diberi skala
pembacaan.Ukuran lebarnya 4 cm, panjang antara 3m-5m pembacaan dilengkapi dengan
angka dari meter, desimeter, sentimeter, dan milimeter. Umumnya dicat dengan warna
merah, putih, hitam, kuning. Selain rambu ukur, ada juga waterpass yang dilengkapi

7
dengan nivo yang berfungsi untuk mendapatkan sipatan mendatar dari kedudukan alat
dan unting-unting untuk mendapatkan kedudukan alat tersebut di atas titik yang
bersangkutan. Kedua alat ini digunakan bersamaan dalam pengukuran sipat datar. Rambu
ukur diperlukan untuk mempermudah/membantu mengukur beda tinggi antara garis
bidik dengan permukaan tanah. (Yogie, 2010)

Gambar 2.5 Rambu Ukur


Kesalahan yang sering terjadi dalam penggunaan rambu ukur adalah sebagai berikut:
1. Garis bidik tidak sejajar dengan garis jurusan nivo.
2. Kesalahan pembagian skala rambu.
3. Kesalahan panjang rambu.
4. Kesalahan letak skala nol rambu.
2. Tripod (Statif)
Statif (kaki tiga) berfungsi sebagai penyangga waterpass dengan ketiga
kakinya dapat menyangga penempatan alat yang pada masing-masing ujungnya
runcing, agar masuk ke dalam tanah.Ketiga kaki statif ini dapat diatur tinggi
rendahnya sesuai dengan keadaan tanah tempat alat itu berdiri.Seperti tampak pada
gambar dibawah ini.

8
Gambar 2.6 Tripod (kaki tiga)

3. Theodolit
Theodolit adalah salah satu alat ukur tanah yang digunakan untuk menentukan
tinggi tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak. Berbeda dengan waterpass yang
hanya memiliki sudut mendatar saja.

Gambar 2.7 Theodolit

Theodolite merupakan alat yang paling canggih di antara peralatan yang


digunakan dalam survei. Pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang
ditempatkan pada suatu dasar berbentuk membulat (piringan) yang dapat diputar-
putar mengelilingi sumbu vertikal, sehingga memungkinkan sudut horisontal untuk
dibaca. Teleskop tersebut juga dipasang pada piringan kedua dan dapat diputarputar
mengelilingi sumbu horisontal, sehingga memungkinkan sudut vertikal untuk dibaca.

9
Kedua sudut tersebut dapat dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi (Farrington
1997).
4. Nivo
Pada waktu melakukan pengukuran dengan alat-alat ilmu ukur wilayah, baik
pengukuran mendatar maupun pengukuran tegak, haruslah sumbu kesatu tegak lurus
dan sumbu kedua tegak lurus pada sumbu kesatu.Untuk mencapai keadaan dua sumbu
itu, digunakan suatu alat yang dinamakan nivo.Menurut bentuknya nivo dibagi dalam
dua macam yaitu nivo kotak dan nivo tabung.
Nivo kotak terdiri atas kotak dari gelas yang dimasukkan dalam montur dari
logam sedemikian higga bagian atas tidak tertutup.Kotak dari gelas itu diisi dengan
eter atau alkohol dan diatas di bagian dalam tutup kotak diberi bentuk bidang
lengkung dari bulatan dengan jari-jari yang besar.Bagian kecil kotak itu tidak berisi
zat cair sehingga bagian ini kelihatan sebagai gelembung.Pada bagian tengah tutup
dinyatakan dengan satu atau lebih lingkarang yang konsentris.

Gambar 2.8
Nivo tabung terdiri atas tabung dari gelas yang berbentuk silinder dengan
bidang dalamnya yang atas digosok, hingga mempunyai bentuk bidang bulanan
dengan jari-jari yang besar.Irisan memanjang bidang dalam atas menjadi mempunyai
bentuk busur lingkaran. Setelah tabung diisi dengan eter kecuali sebagian kecil yang
tidak diisi, kedua ujung tabung ditutup dengan menggunakan api colok. Bagian yang
tidak diisi dengan zat cair eter akan berisi uap eter jenuh dan dari atas kelihatan lagi
sebagi gelembung. (Soetomo, 1992).
5. Pita Ukur

10
Pita Ukur terbuat dari fiberglass dengan panjang 30-50 m. Pita ukur ini dilengkapi
dengan tangkai yang berfungsi untuk mengukur jarak antara patok yang satu dengan
patok yang lain.

Gambar 2.9 Pita Ukur

6. Alat penunjang lain


Alat penunjang lainnya yaitu seperti kertas HVS untuk mencatat data, lalu
kalkulator dan alat tulis lainnya. Alat-alat penunjang lain ini dipakai untuk
memperlancar jalannya praktikum.

Gambar 2.10 Alat Penunjang Lain

2.8 Kesalahan- Kesalahan yang terjadi pada Pengukuran


2.8.1 Kesalahan Perorangan dan Alat
1. Kekeliruan dalam membaca angka pada rambu dapat diatasi dengan membaca
ketiga benang diafragma.
2. Kekeliruan penulis dalam mencatat data ukur.
3. Karena kesalahan pemegang rambu waktu menempatkan rambu di atas titik
sasaran.

11
4. Kebanyakan orang pada waktu mengukur menggunakan satu mata saja. Mata itu
akan lelah, yang lambat laun akan mengakibatkan kasarnya pembacaan. apalagi
bila nivo harus di lihat tersendiri, karena tidak terlihat di dalam medan lihat
teropong, sehingga kurang tepatnya meletakan gelembung nivo di tengah-tengah.
2.8.2 Kesalahan dari Alat
1. Karena garis bidik tidak sejajar dengan garis arah nivo. Hal ini dapat di
hindarkan dengan menempatkan alat di tengah-tengah rambu belakang dan
rambu muka (dp = dm) atau usahakan jumlah jarak rambu belakang = jumlah
jarak muka.
2. Kesalahan karena garis nol skala dan kemiringan rambu. Misalnya letak garis nol
skala pada rambu A dan B tidak betul,maka hasil pembacaan pada rambu A
harus di koreksi Ka dan pada rambu B sebesar Kb.
2.8.3 Kesalahan yang Bersumber Pada Alam
1. Kesalahan karena melengkungnya sinar (refraksi), Sinar cahaya yang datang dari
rambu ke alat penyipat datar karena melalui lapisan-lapisan udara yang berbeda
baik kepadatan, tekanan maupun suhunya maka sinar yang datang bukanlah lurus
melainan melengkung.
2. Kesalahan karena melengkungnya bumi. Sesuai dengan prinsip dasar pengukuran
beda tinggi, maka beda tinggi antara titik A dan B sama dengan jarak antara
bidang nivo melalui titik A dan bidan nivo yang melalui b.
3. Kesalahan karena masuknya statip alat penyipat datar ke dalam tanah. Alat
penyipat datar selama pengukuran mungkin saja bergerak ke samping ataupun ke
bawah, sehingga gelembung nivo pada alat penyipat datar tidak di tengah lagi,
dengan demikian garis bidik tidak mendatar lagi. Meskipun demikian alat
penyipat datar dapat saja bergerak ke dalam tanah tetapi gelembung nivo tetap di
tengah. Masuknya statip penyipat datar ke dalam tanah akan memberi pengaruh
pada hasil pengukuran.
4. Kesalahan karena panasnya sinar matahari dan getaran udara. Alat penyipat datar
apabila selalu kena sinar matahari maka akan menimbulkan perubahan pada
gelembung nivo sehingga akan mengakibatkan kesalahan pada hasil
pengukuran. Untuk menghindari hal tersebut pada waktu pengukuran alat
penyipat datar harus di lindungi dengan payung. Pengaruh getaran udara ini
dapat di hindari dengan melakukan pengukuran pada waktu lapisan udara tenang
yaitu waktu pagi dan sore.

12
2.3.4 Kesalahan tak terduga
Semua kesalahan-kesalahan selain kedua jenis kesalahan di atas dapat di
klasifikasikan sebagai kesalahan tak terduga dan kesalahan semacam ini tidak di
ketahui penyebabnya secara pasti. Walaupun kadang-kadang dapat di ketahui
penyebabnya, akan tetapi pengurainnya kedalam masing-masing factor
penyebabnya sangatlah sukar. Dalam hal demikian maka di usahakan agar di
peroleh kesalahan yang bersifat gelobal, sedemikian rupa sehingga menghasilkan
nilai yang mendekati nilai yang sebenarnya. Dalam pekerjaan pengukuran,
kesalahan tak terduga biasanya dip roses sebagai rangkaian distribusi normal
dengan nol sebagai harga rata-ratanya. Untuk estiminasi harga sangat mungkin
biasanya dengan menggunakan metode kuadrat terkecil.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2008.PengukuranBedaTinggi.Terdapatpada:
http://geomatika07.wordpress.com/2008/07/18/pengukuran-beda-tinggi/. Diakses pada
tanggal 2 Desember 2018 pukul 20.33 WIB)
Irvene, W. 1995.Pengujian untuk Konstruksi.Edisi kedua. Bandung:ITB Press.
Sosrodarsono, S., dan Takasaki, M. 2005.Pengukuran Topografi dan Teknik
Pemetaan.Jakarta:Pradnya Paramita.
Wahyudi, Noor. 2006. Ilmu Ukur Tanah.Lab. Dasar Ukur Tanan Teknik Sipil.Banjarbaru.
Yogie. 2010. Rambu Ukur. Terdapat pada http://yogie-civil.blogspot.com/2010/06/rambu-
ukur_14.html (diakses pada tanggal % April 2016 pukul 21.02 WIB).

14

Anda mungkin juga menyukai