GERAKAN BAWAH TANAH DI MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-
1945)
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia 3
Dosen Pengampu:
Drs. Kayan Swastika, M.Si.
Oleh:
(KELAS B)
Dimas Faldi Jiaulhaq (170210302086)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018 MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)
Pendudukan Membuahkan Gejolak Revolusi
Walaupun Jepang telah disambut sebagai pembebas dari penindasan kolonial pada saat mereka tiba di Jawa dalam bulan maret 1942, kepopuleran mereka itu tidak bertahan lama (Anderson, 1988: 56). Berbagai perlakuan tidak manusiawi telah menyebabkan derita lahir batin bagi rakyat Indonesia. Kalangan tani merupakan kalangan yang paling banyak dirugikan akibat perampasan komoditi beras oleh militer Jepang untuk keperluan logistik pasukan. Berbagai pemberontakan rakyat petani timbul sebagai bentuk resistensi atas perlakuan keji “si saudara tua” itu. Bagaimanapun, masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1999: 297). Revolusi Indonesia yang ditimbulkan sebagai hasil mengejutkan dari berbagai perubahan luar biasa yang perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih Jepang secara tak langsung, terlebih lagi nampak setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Pilar-pilar Revolusi Indonesia menjadi semakin kokoh di masa pendudukan Jepang sebagai imbas yang manis dari kebijakan Jepang sendiri yang bergelora dalam memobilisasi kaum muda untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi perang. Pada awalnya pun, Jepang menyadari peranan tokoh-tokoh nasional seperti Sukarno juga htta, yang telah bergelut bagi bangsanya jauh sebelum masa perang (Ricklefs, 1999: 303). Hatta bersama Sjahrir telah dipulangkan ke Jawa oleh pihak Belanda tidak lama sebelum penyerangan Jepang. Kedua tokoh ini menentang fasisime dan telah menawarkan dukungan mereka kepada pihak Belanda. Hatta dan Sjahrir bersahabat akrab dan memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang. Soekarno bergabung dengan Hatta dalam kerja sama dengan pihak Jepang demi tujuan yang luhur, yaitu kemerdekaan. Soekarno dan Hatta mulai segera mendesak pihak Jepang yang masih tetap merasa enggan, supaya membentuk suatu organisasi massa di bawah pimpinan mereka. Yang dilakukan Hatta yang bergerak di atas tanah sebenarnya memiliki maksud, ia hendak mengusahakan dengan posisinya untuk untuk mengurangi tekanan dan kekerasan pihak Jepang kepada masyarakat dan memanipulasi perkembangan-perkembangan demi kepentingan rakyat Indonesi (Ricklefs, 1999: 303). Menurut Kahin (2013) dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia hlm.104, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir pada awal pendudukan itu telah memutuskan bahwa perjuangan nasionalis paling baik dapat dijalankan pada dua tingkat, di atas dan di bawah tanah. Soekarno dan Hatta akan bekerja di atas tanah melalui Jepang, dan Sjahrir, sementara tetap memelihara hubungan dengan Soekarno dan Hatta, akan menyusun perlawanan di bawah tanah. Sudah pasti Hatta akan memberikan bantuan keuangan kepada Sjahrir selama masa ini, dan keduanya tetap berhubungan erat. Sjahrir memilih menjauhkan diri dari permukaan dan membentuk suatu jaringan bawah tanah yang terutama didukung oleh para mantan anggota PNI Baru, dan akan berusaha menjalin hubungan dengan pihak Sekutu (Ricklefs, 1999: 303). Gerakan bawah tanah ini memainkan peranan yang begitu unik dalam masa pendudukan Jepang hingga masa Revolusi Indonesia. Sekelompok pemuda yang memiliki kesadaran politik yang tinggi menjadi bagian dari gerakan penting ini. Sebagai tokoh yang memberikan kepemimpinan berarti bagi Gerakan Bawah Tanah, dalam oposisinya terhadap Jepang tidak semata-mata, atau barangkali bahkan tidak terutama, digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan nasionalis, tapi juga pertimbangan-pertimbangan politik. Ia memandang Jepang sebagai kaum fasis yang mempunyai ikatan integral dengan fasisme Eropa (Legge, 2003: 76). Sebagai organ politik tak resmi yang berfungsi sebagai wadah sikap dan pikiran kaum muda, gerakan ini layak untuk ditempatkan sebagai suatu organ penting dalam mewujudkan tinta perjuangan dan “Revolusi Pemuda” yang bergeliat dalam benak sejarah masyarakat Indonesia. Gerakan Bawah Tanah Sebagai Organ Penting Revolusi Pemuda Gerakan ini memperoleh pengikutnya bukan dari kaum tani dan santri muda dari pedalaman, melainkan di kalangan para pemuda berpendidikan Barat dari pusat-pusat kota besar, teristimewa Jakarta. Perlawanan pemuda kota ini dilakukan dengan cara yang lebih berhati-hati, dalam kelompok-kelompok tak resmi, di bawah tanah, dengan harapan Kenpetai tidak bisa melacak dan mengendus tindakan para pemuda ini (Anderson, 1988: 58). Kaum tani dan santri pedalaman yang lebih dulu menggelorakan perlawanan mereka terhadap Jepang telah meratapi kehancuran mereka akibat kekejaman militer Jepang yang tak kenal ampun. Juga sejarah dari satu-satunya perlawanan di kota yang dilibas secara kejam karena dianggap subversive, berbahaya, oleh pejabat militer Jepang telah menjadikan pemuda-pemuda ini belajar darinya. Dan mungkin, perjuangan di bawah tanah ini merupakan bentuk yang bagus untuk mengoptimalkan segala potensi mereka untuk kejayaan rakyat (Anderson, 1988: 58). Pada dasarnya hampir seluruh gerakan bawah tanah itu, sungguh merupakan perwujudan pemuda. Asrama untuk berbagai golongan pemuda adalah basis-basis kelembagaan utama bagi gerakan bawah tanah di kota besar, tidaklah mengherankan (Anderson, 1988: 60). Mereka bukanlah gerakan-gerakan gerilya atau gerakan-gerakan di bawah tanah dalam arti kelompok-kelompok yang melakukan sabotase, mata-mata, atau subversi. Kebanyakan kegiatan mereka tidak lebih daripada sekadar mempertukarkan gosip politik, membahas hari depan Indonesia, meraba-raba rencana Sekutu, dan mengecam politik Jepang dalam kelompok-kelompok sahabat tertutup. Gerakan ini sepenuhnya berbeda dengan yang pernah dikomandani Amir Syarifuddin, yang "lebih sebagai gerakan pesanan Sekutu", dengan berorientasi kepada perjuangan tingkat internasional antara kekuatan-kekuatan Sekutu dan negara-negara Poros, yang berakhir dengan kegagalan (Anderson, 1988: 60). Gerakan pertama berpusat di asrama Fakultas Kedokteran, di Jalan Parapatan 10, di pusat daerah elit Jakarta. Orientasi pemuda yang terhimpun dalam gerakan ini lebih condong ke Barat daripada gerakan-gerakan abwah tanah lainnya, dan bahwa banyak di antara mereka berada di bawah pengaruh Sjahrir. Para mahasiswa di Fakultas Kedokteran ini hanya sedikit dipengaruhi indoktrinasi Jepang, dalam diri mereka ini, Sjahrir menemukan pengikut yang sudah siap menerima konsepnya mengenai suatu perlawanan yang fokusnya adalah penentangan terhadap kebudayaan politik Jepang dan kesetiaan akan nilai-nilai sosial demokratis internasional (Anderson, 1988: 62). Gerakan bawah tanah yang kedua berpusat di Asrama Angkatan Baru Indonesia di Jalan Menteng Raya 31, juga di daerah tempat tinggal golongan elit Jakarta yang didirikan pada awal pendudukan Jepang dengan bantuan Departemen Propaganda, Sendenbu. Chaerul Saleh dan Sukarni adalah dua tokoh terkenal dari asrama ini, yang memegang kedudukan dalam Sendenbu. Di bawah pimpinan Shimizu, kebanyakan dari latihan yang diberikan di asrama berisi nasionalisme yang kuat, tokoh nasionalis terkemuka seperti Hatta, Sukarno, Sunairo S.H., Yamin, dan Amir Syarifuddin diundang untuk berceramah di asrama ini. Anggota-anggota terkemuka dari asrama ini telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan nasionalis anti Belanda, sekalipun tidak efektif. Beberapa anggota asrama adalah pemuda bekas mahasiswa Fakultas Hukum, juga pemuda dengan tingkat pendidikan lebih rendah yang telah turut serta dalam gerakan pemuda tahun 1930-an. Keanggotaannya lebih sedikit dari asrama Fakultas Kedokteran (Anderson, 1988: 64). Asrama yang ketiga, Asrama Indonesia Merdeka, dibangun atas kemauan Laksamanan Tadashi Maeda yang selama tahun-tahun perang itu memimpin Bukanfu. Didirikan di Kebon Sirih 80 dalam bulan Oktober 1944, setelah adanya pernyataan dari Koiso bahwa kemerdekaan Indonesia di kemudian hari merupakan “janji Jepang”. Dituduhkan oleh kelompok=kelompok yang erat kaitannya dengan Sjahrir bahwa asrama ini didirikan oleh Maeda dan kelompok Kaigun untuk melatih infiltrator-infiltrator yang akan menyusup ke dalam “gerakan-gerakan bawah tanah”. Kesaksian Wikana, dengan tegas membenarkan ketulusan hati Maeda mengenai kemerdekaan Indonesia. Penceramah-penceramah di asrama itu sebenarnya adalah serupa dengan guru-guru di Asrama Angkatan Baru Indonesia (Anderson, 1988: 66). DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ben. 1988. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan
di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kahin, M. G. 2001. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Legge, J. D. 2003. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan
Kelompok Sjahrir. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti.
Ricklefs, M. C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada