Anda di halaman 1dari 123

DIKTAT

HUKUM AGRARIA

Oleh:
I Ketut Sudiarta, S.H.,M.H.
Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, S.H.,M.Kn.,LLM.
I Nengah Suharta, S.H.,M.H.
Putu Novarisna Wiyatna, S.H.,M.H.
Putu Niti Suari Giri, S.H.,M.H.
Putu Ade Harriesta Martana, S.H.,M.H.
Dr. I Nyoman Suyatna, S.H.,M.H.
Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H.,M.Hum.
Prof. Dr. Ibrahim R, S.H.,M.Hum.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang


Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan berkah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan
Diktat Hukum Agraria ini dapat terselesaikan.
Diktat Hukum Agraria ini disusun dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan bacaan di bidang hukum, khususnya bagi
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang
menempuh mata kuliah hukum agraria. Dalam diktat ini disajikan
pokok-pokok bahasan mengenai Pengertian Hukum Agraria dan
Hukum Tanah, Politik Hukum Agraria, Hukum Agraria sebelum
berlakunya UUPA, Sejarah Pembentukan UUPA, Hukum Tanah
Nasional, Hak-Hak Atas Tanah, Ketentuan Pokok Hak-Hak
Penguasaan atas Tanah, Ketentuan Pokok Landreform, dan
Ketentuan Pokok Tata Guna Tanah.
Penyusun menyadari bahwa substansi diktat ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan diktat ini. Kami berharap diktat ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para
mahasiswa dalam mempelajari permasalahan-permasalahan
agraria.

Denpasar, Juli 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan ........................................................ 1


1.1 Pengertian Hukum Agraria dan Hukum
Tanah ............................................................... 1
1.2 Hubungan Politik Agraria Nasional dalam UUD
1945 dalam kebijakan pemerintah dengan
UUPA ................................................................ 4
1.3 Ruang lingkup pengaturan UUPA ...................... 7

BAB II Hukum Agraria Sebelum Berlakunya UUPA ........... 11


2.1 Hukum Tanah yang Dualistik dan Pluralistik .... 11
2.2 Hak-Hak penguasan tanah yang bersumber
pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah
Barat ................................................................ 15
2.3 Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia
Belanda ............................................................ 18

BAB III Sejarah Pembentukan UUPA ................................. 24


3.1 Panitia Agraria Yogyakarta ................................ 24
3.2 Panitia Agraria Jakarta ..................................... 25
3.3 Panitia Agraria Soewahjo................................... 26
3.4 Rancangan Soenarjo ......................................... 27
3.5 Rancangan Sadjarwo......................................... 27

BAB IV Hukum Tanah Nasional ........................................ 29


4.1 Hukum Adat Sebagai Dasar Berlakunya
Hukum Tanah Nasional .................................... 30
4.2 Tujuan Hukum Agraria Nasional ....................... 31
4.3 Asas-Asas Hukum Tanah Nasional .................... 34
4.4 Asas-asas Hukum Tanah Nasional .................... 36

ii
BAB V Hak Atas Tanah menurut UUPA ............................ 45
5.1 Pengertian dan Isi masing-masing Hak Atas
Tanah ............................................................... 45
5.2 Subjek dari objek masing-masing Hak Atas
Tanah ............................................................... 53
5.3 Hak-hak yang dapat dibebani Hak
Tanggungan ...................................................... 54

BAB VI Ketentuan Pokok Hak-Hak Penguasaan Atas


Tanah .................................................................. 60
6.1 Pencabutan Hak Atas Tanah ............................. 60
6.2 Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum ......... 61

BAB VII Ketentuan Pokok Pendaftaran Hak Atas Tanah..... 65


7.1 Pengertian, tujuan, dan peraturan yang
mengatur Pendaftaran Hak Atas Tanah (HAT) ... 65
7.2 Kegiatan penyelenggaraan pendaftaran
tanah ................................................................ 70
7.3 Sistem Pendaftaran Atas Tanah ........................ 79
7.4 Asas-asas dalam Pendaftaran Atas Tanah ......... 82

BAB VIII Ketentuan-ketentuan Landreform ........................ 85


8.1 Dasar untuk penyelenggaraan Landreform ........ 85
8.2 Pengertian dan Tujuan Landreform ................... 87
8.3 Program Landreform ......................................... 91

BAB IX Ketentuan Pokok Tata Guna Tanah ...................... 99


9.1 Dasar Hukum Tata Guna Tanah ......................... 99
9.2 Pengertian dan Tujuan Penatagunaan Tanah ...... 104
9.3 Asas-asas Tata Guna Tanah ............................... 111
9.4 Kegiatan-kegiatan Tata Guna Tanah ................... 112

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah


Kata “Agraria” menurut Boedi Harsono, berasal dari
kata agrarius, ager (Latin) atau agros (Yunani), Akker
(Belanda) yang artinya tanah pertanian.
Kementrian Agraria yang dibentuk tahun 1955, yang
berubah menjadi Departemen Agraria dan kemudian
dijadikan Direktorat Jendral Agraria di bawah Departemen
Dalam Negeri, menurut segi Yuridisnya. Sekarang Instansi
termasuk menjadi Badan Pertanahan Nasional (Kepres No.
26/1988). Sekarang kembali pada kementrian Agraria + TR.
UUPA (UU No.5/1960) sendiri tidak memberikan
batasan mengenai arti Agraria. Tapi dari berbagai rumusan
yang terdapat dalam undang-undang, yaitu :
1. Konsiderans “menimbang” huruf a dan “berpendapat”
huruf a;
2. Pengaturan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, 5, 14, 16,
46, 47, 48;
3. Penjelasan undang-undang.
Dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kata “Agraris” dipergunakan untuk menggambarkan corak
dari susunan kehidupan, termasuk perekonomiannya,
rakyat Indonesia.
2. Materi yang diatur menyangkut pengolahan bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan didalamnya.
3. Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah (sebagai
lapisan permukaan bumi termasuk yang dibawah air) dan

1
tubuh bumi, juga hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa.
Menurut Boedi Harsono, hukum agrarian tidak selalu
dipakai dalam pengertian yang sama, baik mengenai ruang
lingkup maupun tempatnya dalam sistematika tata hukum.
UUPA menganur arti dan ruang lingkup hukum agrarian yang
luas, yaitu merupakan kelompok dari berbagai hukum yang
mengatur hak- hak penguasan tanah atas sumber-sumber
alam, yang berupa lembaga-lembaga hukum dan hubungan-
hubungan hukum kongkret dengan sumber-sumber alam,
yaitu hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan dan
hukum yang penguasaan (unsur-unsur tertentu dari ruang
angkasa).
Selain itu perlu diperhatikan bahwa lingkup hukum
dibidang agrarian, tidak hanya hukum perdata (Boedi
Harsono : Hukum Agraria/Tanah Perdata), tetapi juga hukum
public dibidang administrasi Negara (Boedi Harsono : Hukum
Agraria Administratife). Dalam sejarah hukum Agraria,
hukum perdata agrarian diatur dalam BW Buku II dan
hukum agrarian/tanah adat. Sedangkan hukum administrasi
Negara ditemukan dalam Agrarichewet tahun 1870,
Agrarische besluit S.1870:118 dengan domein verklaring-nya
dalam berbagai ordonansi. Sekarang kedua bidang tersebut
tercakup dalam UUPA dan perundang-undangan
pelaksanaannya.
Subekti/Tjitosoedibjo (Kamus Hukum, 1969) menurut
Boedi Harsono, memberikan arti yang luas pada Hukum
agraria, karena mencakup seluruh ketentuan, baik hukum
perdata, hukum tata Negara maupun hukum tata usaha
Negara, yang mengatur hubungan-hubungan antara orang,

2
termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang
angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-
hubungan tersebut.
Pengertian hukum agrarian oleh Gouwgioksiong,
menurut Boedi Harsono, adalah pengertian dalam arti sempit
yaitu identic dengan hukum tanah.
E. Utrecht (Pengantar dalam Hukum Indonesia,
Jakartan1961) menurut Boedi Harsono, memberikan secara
tegas pengertian yang sama kepada “Hukum Agraria” dan
“Hukum Tanah”. Menurut E. Utrecht, hukum agrarian
(hukum tanah) menjadi bagian Hukum Tata Usaha Negara.
W.L.G Lemaire (Het Recht In Indonesia 1952)
membicarakan hukum agrarian sebagai suatu kelompok
hukum yang bulat meliputi bagian hukum Privat maupun
bagian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara.
Kiranya dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan,
bahwa pengertian agraria dapat diartikan luas maupun
sempit. Dalam arti sempit, agraria diartikan sebagai tanah
pertanian yang dipertentangkan dengan Tanah Permukiman/
Tanah Perkotaan. Lebih sempit lagi masalah agrarian
diartikan sebagai masalah Pemecahan atau Pembagian
(Distribusi) Tanah.
Dalam arti luas agraria dimaksudkan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan tanah. Jadi Hukum Agraria
disamakan dengan Hukum Tanah. Lebih luas arti agrarian
dalam UUPA, karena diatur bukan saja diatur berkaitan
dengan tanah (yang merupakan Lapisan Permukaan Bumi),
tetapi juga berkaitan dengan tubuh bumi itu, dengan air dan
dengan ruang angkasa termasuk kekayaan didalamnya.

3
Dengan demikian, maka menurut UUPA yang dimaksud
dengan hukum agraria jauh lehih luas dari hukum
(per)tanah(an), yang meliputi Hukum Perairan,
Keruangangkasaan, Pertambangan, Perikanan, dan
sebagainya. Dalam pada itu, hukum agrariapun telah
berkembang kearah pembahasan secara bulat, baik yang
berkaitan dengan Singkatnya Hukum Agraria (dalam arti
sempit), yaitu Hukum Agraria = Hukum Tanah, yaitu bidang
hukum positif yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Hukum Agraria (dalam arti luas), yaitu bidang hukum
positif yang mengatur unsur-unsur sumber alam adan
masing-masing unsur dijabarkan lebih lanjut dalam bidang
hukum tertentu, yang meliputi hukum tanah, hukum air,
hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum kehutanan
dan hukum ruang angkasa (bukan dalam arti “space law”).
Latihan : Uraikan pengertian agrarian dari berbagai sarjana;
dan apakah hukum agrarian sama dangan hukum tanah ?

1.2 Hubungan Politik Agraria Nasional dalam UUD 1945 dalam


Kebijakan Pemerintah dengan UUPA
Landasan hukum dalam Undang-Undang Darar 1945
mengenai pengaturan keagrariaan atau pertanahan terdapat
dalam Bab XIV tentang kesejahteraan Sosial, pasal 33 ayat (3)
yang berbunyi sebagai berikut : “Bumi dan Air dan Kekyaan
alam yang terkandung dialamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Analisis dari pada rumusan mengenai pengaturan
kesejahteraan sosial :
1. Materi pokok-pokok kemakmuran yang dikelola : bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

4
2. Cara pengelolaan : dikuasai oleh negara.
3. Tujuan pengelolaan : sesuai dengan judul Bab XIV
tentang kesejahteraan sosial untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Hubungan antara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan
UUPA (UU No. 5 Th 1960) :
1. Landasan hukum yang terdapat dalam konstitusi berarti
landasan hukum dasar. Dalam konsideran “Mengingat”
UUPA, Pasal 33 UUD 1945 itu dijadikan dasar hukum
bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum
(materiil) bagi pengaturannya. Juga ditegaskan dalam
rumusan Pasal 2 ayat (1) UUPA.
2. Dalam penjelasan umum UUPA angka I, dirumuskan
bahwa hukum agrarian nasional harus mewujudkan
penjelmaan daripada asas kerohanian Negara dan cita-
cita bangsa yaitu Pancasila serta khusus merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
3. Juga dirumuskan dalam penjelasan umum angka I itu,
bahwa salah satu dari tujuan pembentukan dari UUPA
adalah meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum
agrarian nasional yang akan merupakan alat untuk
membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan
bagi Negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat
yang adil dan makmur.
Kiranya dapat disimpulkan kembali, bahwasanya:
1. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar
hukum bagi pembentukan UUPA (UU No.5/1960),
merupakan sumber hukum (materii) dalam pembinaan
hukum agrarian nasional.

5
2. Bahwa pengaturan keagrariaan/pertanahan dalam UUPA
yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin
penggunaannya, harus merupakan perujudan
pengamalan dasar Negara Pancasila dan merupakan
pelaksanaan dari UUD 1945.
3. Bahwa UUPA harus pula meletakan dasar-dasar bagi
hukum agrarian nasional yang akan membawa
kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian
hukum, bagi bangsa dan Negara.
Untuk jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Hukum Agraria yang dasarnya adalah UUPA, tidak
hanya mengatur tanah saja, tetapi ruang lingkupnya meliputi
seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya. Ditegaskan pula bahwa
pengertian “bumi,” “Air” dan “Ruang angkasa” adalah sebagai
berikut :
1. “Bumi”, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air;
2. “Air”, termasuk baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia;
3. “Ruang angkasa” ialah ruang diatas bumi dan air.
Sedangkan yang dimaksud dengan “tanah” adalah
hanya “permukaan bumi” jadi merupakan bagian daripada
bumi.
Yang termasuk ruang lingkup Hukum Agraria seperti
tersebut diatas, luas sekali. Sehingga bolehlah dikatakan
bahwa Hukum Agraria meliputi pula Hukum Tanah, atau
dengan kata lain bahwa hukum Tanah adalah bagian dari
Hukum Agraria.

6
1.3 Ruang Lingkup Pengaturan UUPA
Walaupun bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 menyatakan kemerdekaannya, namun keadaan ini
belum dapat membawa perubahan hingga lahirnya lahirnya
undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan
dasar pokok-pokok Agraria (UUPA), yang bertujuan:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusun hukum Agraria
Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
memasyarakatkan yang adil dan makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertahanan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat
seluruhnya.
Oleh karena itu sejak diundangkannya UU No. 5 tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria maka
cabang ilmu hukum agraria merupakan cabang ilmu hukum
yang berdiri sendiri. Bahkan dimaksudkan adalah untuk
adanya unufikasi hukum dan kepastian hukum yang
mengatur masalah keagrariaan.
Menurut Prof. Suhardi, S.H., bahwa sejak itu hukum
agraria dipenuhinya persyaratan ilmiah untuk berdirinya
suatu cabang ilmu, yaitu terpenuhinya persyaratan objek
Materiil dan Objek formal.
Objek materiil oleh UUPA telah disebutkan secara tegas
yaitu, Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, sebagai pembeda terhadap
cabang-cabang ilmu lainnya.

7
Objek formalnya yaitu, UUPA sendiri yang merupakan
dasar atau pedoman dalam Penyusun hukum agraria
nasional.
Lemaire disamping berdasarkan adanya perkembangan
masyarakat, juga adanya perkembangan hukum, yaitu
hukum agraria sendiri.
Hukum Agraria dalam salah satu cabang ilmu hukum
agraria yang berdiri sendiri, kiranya adalah suatu tuntutan
atau keharusan, karena :
1. Persoalan Agraria mempunyai arti penting bangsa dan
Negara Agraris.
2. Dengan adanya kesatuan/kebulatan, akan memudahkan
bagi semua pihak untuk mampelajarinya.
3. Disamping masalah Agraria (dalam hal ini tanah) yang
mempunyai sifat Magis Religius, masalah tanah adalah
masalah masyarakat, bukan hanya persoalan
perseorangan.
4. Hukum Agraria sebagai bagian dari berbagai cabang ilmu
hukum lainnya, yaitu dalam :
a. Ilmu hukum Perdata
b. Ilmu hukum Adat
c. Ilmu hukum Tata Negara dan/Administrasi Negara
d. Ilmu hukum Antar/golongan (Intergentil)
Dalam ajaran hukum klasik (dahulu sejak jaman
penjajahan belanda) kaidah hukum agraria tidak dibicarakan
dalam rangkaian berdiri sendiri dalam salah satu cabang ilmu
hukum yang berdiri sendiri seperti cabang-cabang hukum
dagang, hukum perdata, hukum adat, hukum pidana dan
sebagainya. Akan tetapi kaidah hukum agraria dibicarakan

8
sebagai bagian dari berbagai cabang ilmu hukum lainnya,
yaitu dalam :
1. Hukum Agraria Adat, yakni keseluruhan dari kaidah-
kaidah hukum Agraria yang bersumber pada hukum adat
dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan
hak-hak atas tanah yang diatur hukum adat, yang
selanjutnya sering disebut tanah Indonesia atau tanah
adat, misalnya :
a. Tanah ulayat.
b. Tanah hak milik perseorangan.
2. Hukum Agraria Barat, yakni keseluruhan kaidah hukum
agraria yang bersumber pada hukum perdata barat,
khususnya yang bersumber pada BW. misalnya :
a. Tanah hak Eigendom
b. Tanah hak Erfpacht
c. Tanah hak Opstal
d. Recht van Gebruik (hak cipta)
e. Bruikleen (pinjam pakai)
Disamping itu juga ada hak atas tanah yang
bersumber pada hukum yang tidak tertulis, yaitu
berdasarkan kebiasaan, misalnya persewaan tanah di
Batavia (Bataviasche Grondhuur) yang untuk bangunan,
walaupun tidak khusus diperlukan di Batavia saja.
3. Hukum Agraria Administratif, yakni keseluruhan dari
peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang
merupakan pelaksanaan dari penguasa. Yang dimaksud
politik agraria disini adalah sikap pemerintah yang
dilakukan mengenai tanah-tanah yang ada di Indonesia,
yang meliputi persoalan antara lain :

9
a. Siapa yang boleh menguasai tanah dan apa syarat-
syaratnya?
b. Tanah-tanah itu diperuntukkan apa?
c. Apa peranan pemerintah didalam kegiatan masyarakat
dalam bidang agraria?
4. Hukum Agraria Antar Golongan
Seperti yang kita ketahui bahwa sistem hukum
agraria perdata bersifat dualistis bahkan pluralistis, yaitu
dengan berlakunya hukum perdata barat untuk orang-
orang non pribumi dan berlakunya hukum agraria adat
untuk orang-orang pribumi. Persoalan antar golongan itu
misalnya orang Indonesia asli (Pribumi) memperoleh
tanah barat karena :
a. Membeli dari orang barat
b. Kawin dengan orang bukan Indonesia asli
c. Pemberian oleh pemerintah
Sehingga akan mengakibatkan timbulnya tanah dan
pemegang haknya diatur dengan (tunduk dengan) hukum
yang berlainan.

10
BAB II
HUKUM AGRARIA SEBELUM BERLAKUNYA UUPA

2.1 Hukum Tanah yang Dualistik dan Pluralistik


Sebagaimana halnya dalam hukum perdata yang
bersumber pada KUH Perdata, hukum agraria lama
mempunyai sifat dualistis sebagai akibat politik hukum dari
pemerintah kolonial Belanda dahulu. Dualisme dalam hukum
agraria artinya disamping berlakunya hukum agraria adat
yang bersumber pada hukum adat, saat itu juga berlaku
hukum agraria barat yang bersumber pada hukum perdata
barat.
Hak-hak atas tanah yang diatur menurut hukum adat
disebut dengan Tanah Adat atau Tanah Indonesia.

Hukum agraria adat :


Sumber pada hukum adat sifatnya tidak tertulis
jiwanya gotong royong dan kekeluargaan sesuai dengan sifat
hukum adat.
Meskipun hukum agraria adat tersebut pokok-pokok
dan asas-asasnya sama, tetapi menunjukkan juga adanya
perbedaan-perbedaan berdasarkan daerah atau masyarakat
tempat berlakunya hukum agraria adat itu. Oleh sebab itu
nampak bahwa hukum agraria adat itu isinya beraneka
ragam sehingga disebut pluralistis.
Kelemahannya disamping formulasinya tidak tertulis,
mempunyai kelemahan disamping tidak tegas juga tidak
memberikan jaminan kepastian hukum.

11
Hukum agraria barat :
Bersumber pada hukum perdata barat khususnya yang
diatur dalam KUH Perdata yang sebagian besar dimuat pada
buku II, III dan IV.
Sifatnya tertulis oleh sebab itu nampak formulasinya
tegas dan mudah untuk dipaksakan berlakunya sebagai
hukum positip.
Jiwanya liberal individualistis, berdasarkan asas
konkordansi dalam penyusunan perundang-undangan Hindia
belanda dahulu, akibatnya KUH Perdata Indonesia juga
konkordan dengan BW Negeri Belanda yang berjiwa liberal
individualistis.

Konsekuensi dari sifat dualistis :


Maka hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi dikalangan orang-orang dari golongan
Indonesia (asli) akan diselesaikan menurut hukum adat.
Sedangkan hubungan-hubungan dan peristiwa hukum
yang yang terjadi di kalangan orang-orang dari golongan
Eropa dan yang dipersamakan akan diselesaikan menurut
hukum barat.
Apabila terjadi hubungan-hubungan dan peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi antara orang-orang dari
golongan Indonesia asli dengan orang-orang dari golongan
Eropa. Untk mengatasi persoalan hukum seperti ini ada yang
disebut dengan Hukum Antar Golongan.
Berlaku asas “tanah itu mempunyai status hukum
tersendiri yang terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status
atau hukum dari subyek yang menghendaki” . Oleh sebab itu
tanah adat (Indonesia) tetap tunduk pada hukum agraria

12
adat, meskipun dipunyai oleh golongan eropah, demikian
pula sebaliknya.
Asas hukum agraria antar golongan seperti tersebut
diatas, tidak merupakan ketentuan hukum tertulis, tetapi
diperkuat/ dipertegas dalam berbagai putusan pengadilan.
Tanah pada waktu ini mempunyai pasaran bebas,
artinya baik orang-orang dari golongan eropa dan yang
dipersamakan dapat mempunyai tanah adat. Demikian pula
sebaliknya orang-orang dari golongan bumi putera dapat
mempunyai tanah barat / eropah. Dalam perkembangan
selanjutnya bagi orang-orang bukan Indonesia asli untuk
memperoleh tanah-tanah adat (Indonesia) diadakan
pembatasan, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan
Larangan Pengasingan Tanah (Grond vervreemdings
verbod) yang diundangkan dalam S.1875 No 179.
Maksud dikeluarkannya peraturan larangan
Pengasingan tanah :
1. Untuk melindungi bangsa Indonesia yang kedudukanya
lemah dalam
2. bidang ekonomi apabila dibandingkan dengan bukan
bangsa Indonesia asli.
3. Untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri yaitu agar
kultur kopi Gubermen dapat terlindungi, sebab
pemerintah menganggap pengusaha-pengusaha Eropa
sangat membahayakan.
Dalam larangan pengasingan tanah (S 1875 No 179) ini
ditetapkan bahwa hak milik atas tanah kepunyaan bangsa
Indonesia asli tidak dapat diasingkan oleh bangsa Indonesia
kepada bukan bangsa Indonesia, baik langsung maupun
tidak langsung.

13
Pengasingan secara langsung misalnya dengan jual-
beli, pengibahan, pewarisan dengan jalan legal atau dengan
surat wasiat. Sedangkan pengasingan secara tidak langsung
terjadi dengan penyelundupan yaitu sistem kedok atau
stroom. Akan tetapi tanah milik bangsa Indonesia dapat
dialihkan kepada bukan bangsa Indonesia dengan beberapa
cara, yaitu:
1. dengan mengadakan perkawinan campuran
2. dengan pewarisan ab intestato
3. karena perubahan status kewarganegaraannya dengan
jalan naturalisasi
Dalam mengatasi persoalan-persoalan hukum agraria
antar golongan, tanah merupakan titik pertalian sekunder,
yaitu faktor-faktor yang menentukan hukum apa yang harus
diperlakukan. Ada dua pandangan yang membahas tanah
sebagai titik pertalian sekunder.
1. Pertama, mengatakan bahawa tanah selalu merupakan
titik pertalian yang sekunder, artinya setiap pemindahan
hak atas tanah harus diperlakukan menurut hukum dari
tanahnya, serta tidak memperdulikan siapa yang
mengalihkan tanah tersebut
Contoh : Tanah adat dapat digadaikan menurut hukum
adat, tetapi tanah eigendom tidak dapat digadaikan
menurut hukum adat. Tanah eigendom dihypotikan,
sebab tanah adat tunduk pada hukum adat, sedangkan
tanah eigendom tunduk pada hukum barat.
2. Pendapat yang kedua dari Kollewijn, mengatakan bahwa
tidak selalu tanah merupakan titik pertalian sekunder
(faktor yang menentukan hukum apa yang harus
diperlakukan) karena menurut hukum agraria antar

14
golongan, banyak hal-hal yang dapat menjadi titik
pertalian sekunder misalnya:
a. kehendak pihak-pihak yang bersangkutan;
b. suasana setempat
c. status orang yang bersangkutan
Contoh: Tanah adat (Indonesia) dengan hak milik
disewakan oleh orang Indonesia asli kepada orang bukan
indonesia asli. dapat juga jawabannya seperti pendapat
pada contoh pertama, tetapi apabila pihak-pihak yang
bersangkutan dalam sewa-menyewa tanah itu
menghendaki dilakukan menurut hukum barat, dapat
juga dilaksanakan. Dalam hal ini faktor tanah
dikesampingkan, karena “kehendak yang bersangkutan”
ini merupakan titik pertalian sekunder.
Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa dualism dalam
hukum agrarian mengandung banyak sekali masalah-
masalah yang sulit untuk memecahkannya, meskipun hukum
agraria antar golongan akhirnya mampu untuk mengatasinya.

2.2 Hak-Hak penguasan tanah yang bersumber pada Hukum


Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat
Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya
bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi
(individualistis /liberalistis), sehingga pangkal dan pusat
pengaturan terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu
pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, di samping
domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah
oleh Negara.
Hukum Adat demikian juga hukum adat tanahnya
sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari

15
pemungutan kepentingan masyarakat (komonalitas) yang
berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan
umum dan kepentingan perorangan. Dalam hukum tanah
adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum
atas tanah, merupakan pusat pengaturan. Hak perorangan
warga masyarakat adat, memperoleh hak milik garapannya,
setelah memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga
tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara
efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif
dan dapat turun temurun. Akan tetapi apabila warga tersebut
menghentikan kegiatan menggarapnya, maka tanah itu
kambali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan
hukumnya dan hak miliknya melebur.
Jadi dengan demikian ada landasan filsafat yang
berlainan antara hukum perdata barat dengan :
1. Hak-hak atas tanah yang terpenting menurut hukum
perdata barat.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
kedudukan tanah-tanah sebelum berlakunya UUPA, perlu
diketahui terlebih dahulu macam-macam hak atas tanah
pada zaman colonial, yang dikenal dengan hak-hak Barat
diatur dalam Burgerlijk Wetboek, diantaranya hak
eigendom, hak postal, hak erfpacht dan sebagainya.
a. Hak Eigendom.
Hak eigendom adalah hak kebendaan yang
paling luas. Pasal 570 B.W. menerangkan,bahwa
eigendom adalah hak untuk dengan bebas
mempergunakan (menikmati) suatu benda sepenuh-
penuhnya dan untuk menguasainya seluas-luasnya,
asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau

16
peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh
instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya,
serta tidak mengganggu hak-hak orang lain, semua itu
kecuali pencabutan eigendom (onteigening) untuk
kepentingan umum dengan pembayaran yang layak
menurut peraturan-peraturan umum.
Dalam pasal ini ditetapkan dengan tegas, bahwa
eigendom itu adalah suatu hak kebendaan (zakelijk
recht), artinya orang yang mempunyai eigendom itu
mempunyai wewenang untuk :
1) Menggunakan atau menikmati benda itu dengan
batas dan sepenuh-penuhnya;
2) Mengasai benda itu dengan seluas-luasnya.
3) Onteigening (dicabut) harus untuk kepentingan
umum dengan ganti kerugian yang layak dan
menurut peraturan-peraturan hukum.
b. Hak Erfpacht.
Dalam Pasal 720 BW Hak Erfpacht adalah hak
kebendaan untuk menikmati sepenuhnya kegunaan
sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban
untuk membayar setiap tahun sejumlah uang atau
hasil bumi kepada pemilik tanah sebagai pengakuan
atas hak eigendom dari pemilik itu.
c. Hak Opstal.
Menurut pasal 711 BW hak postal adalah suatu
hak kebendaan (zakeijk recht) untuk mempunyai
rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman
diatas tanah milik orang lain.

17
2. Hak-hak tanah yang terpenting menurut hukum Adat.
Sedangkan hukum adat mengenal peristilahan
a. Hak persekutuan atas tanah :
1) Hak ulayat;
2) Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga
luas.
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yasan (inland bezetrecht),
2) Hak wewenang pilih, hak kima-cek, hak
mendahulu (voorkeursrecht),
3) Hak menikmati hasil (genotsrecht),
4) Hak pakai (gebruiksrecht), dan hak menggarap/
mengolah (ontginningsrecht),
5) Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijtrecht),
6) Hak wewenang beli (naastingsrecht).

2.3 Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda


1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pada zaman VOC (1602-1799) yang berkaitan
dengan politik pertanahan, telah dikenal memberlakukan
peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan
yang sangat menindas rakyat miskin.
a. “Contingenten” yaitu berupa pajak atas hasil pertanian
yang harus diserahkan kepada penguasa kolonial.
b. Peraturan “Verplichte Leverantieen” yaitu raja wajib
menyerahkan seluruh hasil pertanian dengan
pembayaran yang harganya sudah ditentukan secara
sepihak.
Pada tanggal 31 Desember 1979 VOC membubarkan
diri, maka pada tanggal 1 januari 1800 seluruh tanah

18
jajahan menjadi bagian dari wilayah Negeri Belanda
dengan status sebagai negara jajahan Hindia Belanda.
Gubernur pertama yang memerintah Hindia belanda
adalah Herman Willem Daendels (1808 – 1811). Politik
yang dijalankan berkaitan dengan tanah adalah menjual
tanah-tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada
Cina, Arabmaupun kepada bangsa Belanda. Tanah-tanah
yang dijual ini disebut dengan Tanah partkelir.
Daendels digantikan oleh Jan Willmen Janssens,
tidak beberpa lama pemerintah kolonial Belanda jatuh
ketangan Inggris, Janssens diganti oleh Stamford Raffles
(1811-1816).
Raffles dalam bidang pertanahan mewujudkan
pemikiran tentang fiscal (pajak) yang dikenal dengan
“landrent “ (pajak tanah). Landrent tersebut tidk
dibebankan langsung kepada para pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada para Kepala Desa.
Pada tahun 1816 Pemerintah Inggris menyerahkan
kekuasaannya kembali kepada Pemerintah Belanda,
dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Pada tahun
1830 diadakan sistem tanam paksa (cultur stelsel).
Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda
mengesahkan undang-undang agraria yang disebut
dengan “Agrarische Wet”. Stb 1870 No 55 Undang-undang
yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk
memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar
asing agar dapat berkembang di Indonesia.
a. Dasar dari hukum agraria lama adalah agrarische wet
yang dijadikan satu dalam pasal 51 IS (Indische Staats

19
Regeling) Adapun bunyi ketentuan Pasal 51 IS adalah
sebagai berikut:
1) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah
2) Didalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah
yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota
dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/ industri.
3) Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah,
menurut ketentuan-ketantuan yang ditetapkan
dengan ordonansi. Adapun tanah-tanah yang telah
dibuka oleh orang-orang Indonesia asli atau yang
dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan
umum atau atas dasar lainnya tidak boleh
dipersewakan.
4) Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
dengan ordonansi diberikan tanah dengan hak
erfpacht selama waktu tidak boleh lebih dari 75
tahun.
5) Gubernur jenderal menjaga jangan sampai ada
pemberian tanah yang melanggar hak-hak
penduduk Indonesia asli.
6) Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-
tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri
atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempat
pengembalaan umum atau atas dasar lainnya.
Kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan
pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan yang
diselenggarakan atas perintah atasan, dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.

20
7) Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang
Indonesia asli dengan hak milik, atas permintaan
pemiliknya yang sah diberikan kepadanya hak
eigendom dengan pembatasan-pembatasan
seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi.
8) Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah
untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli
kepada bukan orang-orang indonesia asli
dilakukan menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi.
Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet
pelaksanaannya diatur lebih lanjut didalam berbagai
peraturan dan keputusan. Salah satu diantaranya
yang penting ialah yang diatur dalam Koninkjlk
Besluit yang kemudian dikenal dengan nama Agrarisch
Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118. Pasal
1 dari Agrarisch Besluit ini menentukan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan ke2 dan ke 3 dari Undang-undang tersebut
(ayat 5 dan 6 Pasal 51 IS) maka tetap dipegang teguh
dasar hukum yang menyatakan bahwa: semua tanah
yang tidak ada buktinya hak eigendom adalah
kepunyaan negara”.
b. Asas domein (domein beginsel) atau pernyataan
domein berdasarkan ketentuan pasal 20 S 1870 No
118 hanya diberlakukan di Jawa dan Madura saja.
Tetapi dengan S 1875 No 119a, pernyataan domein itu
diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan
Madura. Pernyataan domein yang dimuat dalam S
1870 No 118 dan S 1875 No 119a itu bersifat umum

21
dan oleh karena itu disebut juga pernyataan domein
umum.
c. Disamping itu ada juga pernyatan domein khusus
yang pada pokoknya berbunyi: “semua tanah liar
(kosong) termasuk tanah negara, kecuali tanah-
tanah yang dihaki rakyat berdasarkan atas haknya
untuk membuka tanah” Pernyataan domein khusus
ini berlaku bagi daerah Sumatera, Manado, dan
Kalimantan Selatan dan Timur, dimuat dalam Stb
1874 No 94f; Stb 1877 No 55 dan Stb 1888 No 58.
d. Kenyataan dalam praktek domein verklaring ini
mempunyai beberapa fungsi antara lain :
1) Dipakai sebagai landasan hukum bagi pemerintah
kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat, yaitu hak-hak yang diatur didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti
Misalnya: Hak Eigendom, hak Erfpacht, hak
Opstaal.
2) Untuk keperluan pembuktian, yaitu apabila negara
berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan
hak eigendomnya atas tanah yang diperkarakan,
tetapi pihak lainlah yang wajib untuk
membuktikan haknya.
C Van Vollenhoven mengkritik praktek-praktek
domeinverklaring ini, sebab domein verklaring ini sangat
kejam dan sangat merugikan rakyat. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa tafsiran domein verklaring itu ada
tiga, yaitu :
a. Semua tanah yang bukan tanah eigendom menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

22
b. Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula
tanah agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik
rakyat yang telah bebas dari kungkungan hak ulayat.
c. Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula
tanah agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik
rakyat baik yang sudah maupun yang belum bebas
dari kungkungan hak ulayat.
Rumusan ini tidak dipergunkan oleh pemerintah
kolonial Belanda, pemerintah kolonial Belanda tetap
mempergunakan rumusannya sendiri, yaitu barang siapa
tidak dapat membuktikan hak eigendom atau hak
agrarische eigendomnya atas sebidang tanah, maka
tanah itu adalah domein negara.
2. Periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Dualisme hukum agraria ternyata masih
berlangsung meskipun negara Republik Indonesia sudah
merdeka. Ketentuan-ketentuan agraria lama terpaksa
masih diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal II AP
UUD 1945.
Sejak berlakunya UUD 1945 politik pemerintah
kolonial Belanda ditinggalkan, diganti dengan politik
agraria yang baru seperti yang telah digariskan didalam
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.

23
BAB III
SEJARAH PEMBENTUKAN UUPA

3.1 Panitia Agraria Yogyakarta


Usaha-usaha yang kongkrit untuk menyusun dasar-
dasar Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan
Hukum Agraria Kolonial, tepatnya tahun 1948 dengan
dibentuknya Panitia Agraria Yogya melalui Penetapan
Presiden Indonesia tanggal 21 Mei 1948 N0.16, berkedudukan
di Yogyakarta dan ditunjuk sebagai ketua panitia adalah
Sarimin Reksodiharjo, Kepala bagian agrarian Kementian
Dalam Negeri. Panitia Agraria Yogyakarta mempunyai tugas :
1. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang
hukum tanah pada umumnya;
2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat
politik agraria NRI;
3. Merancang perubahan, penggantian, pencabutan
peraturan-peraturan lama baik dari sudut legeslatif
maupun dari sudut praktek;
4. Menyelidiki soal-soal lainnya yang berhubungan dengan
hukum tanah.
Selanjutnya mengenai asas-asas yang akan merupakan
dasar-dasar dari hukum agrarian yang baru, Panitia Agraria
Yogya mengusulkan sebagai berikut :
1. Meniadakan asas domein verklaring dan pengakuan hak
ulayat;
2. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak
perorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat
dibebani hak tanggungan;

24
3. Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di negara-negara
lain, terutama Negara-negara tetangga, sebelum
menentukan apakah orang-arang asing dapat pula
memiliki hak milik atas tanah;
4. Mengadakan penetapan luas minimum tanah, agar
supaya para petani kecil dapat hidup layak, dan untuk
jawa diusulkan 2 hektar;
5. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah
dengan tidak memandang macam tanahnya dan untuk
jawa diusulkan 10 hektar, sedangkan luar jawa masih
diperlukan penyelidikan lebih lanjut;
6. Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang
diusulkan oleh panitia Agraria Yogya;
7. Mengadakan pendaftaran tanah milik dan hak-hak
menumpang yang penting.

3.2 Panitia Agraria Jakarta


Atas pertimbangan bahwa Panitia Agraria Jogya tidak
lagi sesuai dengan keadaan Negara, maka berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 36 tanggal 19 Maret 1951
Panitian Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia
baru, yaitu berkedudukan di Jakarta, sehingga panitia ini
disebut panitia Agraria Jakarta.
Panitia ini tugasnya hampir sama dengan panitian
agrarian yogya dan tidak banyak perubahan yang dapat
dihasilkan karena seringnya ketua mendapat tugas-tugas
keluar dari pemerintah. Panitia Agraria Jakarta diketuai oleh
Sarimin Reksodiharjo, yang kemudian tahun 1953 diganti
oleh Singgih Prapdihardjo.

25
3.3 Panitia Agraria Soewahjo
Dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955
tanggal 29 Maret 1955 dibentuk Kementrian Agraria dengan
tugas antara lain mempersiapkan pembentukan perundang-
undangan agrarian nasional yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 38 ayat (3), Pasal 26 dan 37 ayat (1)
UUDS.
Karena melihat tidak banyak yang diharapkan dari
panitia Jakarta, maka tanggal 14 Januari 1956 panitia
tersebut dibubarkan dan dibentuk panitia baru, yaitu :
Panitia Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo.
Tugas utamanya : mempersiapkan rencana UUPA yang
bersifat nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
Pada tanggal 1 Januari 1957 Panitia ini berhasil
menyelesaikan tugasnya berupa Naskah Rencana UUPA.
Isi dari naskah tersebut :
1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat
yang harus ditundukan pada kepentingan umum (Negara);
2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara atas
dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950; dalam
hukum adat maupun hukum
3. Dualisme hukum agrarian dihapuskan, diadakan
kesatuan hukum yang akan membuat lembaga-lembaga
dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam
hukum adat maupun hukum barat. Jadi tidak dipilih
salah satu hukum sebagai salah satu dasar hukum
agrarian baru;

26
4. Menentukan hak-hak tanah : hak milik sebagai hak yang
terkuat, yang berfungsi social, juga ada hak usaha, hak
bangunan dan hak pakai;
5. Hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang warga
Indonesia, tidak diadakan perbedaan antara warga Negara
asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya
tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;
6. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan
minimum luas tanah yang boleh dimiliki seseorang atau
badan hukum;
7. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan
penggunaan tanah.

3.4 Rancangan Soenarjo


Rancangan dari dari Panitia Soewahjo setelah diadakan
beberapa perubahan diajukan oleh Menteri Agraria yang pada
waktu itu yaitu Soenarjo kepada Dewan Mentri pada
sidangnya 14 Maret 1958. Selanjutnya rancangan ini dikenal
dengan sebutan rancangan Soenarjo dan kemudian
rancangan ini diajukan ke DPR.

3.5 Rancangan Sadjarwo


1. Berhubung dengan berlakunya kembali UUD 1945 (Dekrit
Presiden 5 Juli 1959), maka rancangan Soenarjo yang
masih memakai UUDS ditarik kembali dengan surat
Presiden 23 Maret 1960 Nomor 1532/HK/1960.
2. Dalam rangka menyesuaikan RUUPA tersebut dengan
UUD 1945 baik pihak DPR maupun kementrian Agraria

27
masih selalu mengadakan hubungan dan minta saran
dari UGM.
3. Untuk mengadakan tukar pikiran dan minta penjelasan
mengenai RUUPA yang dibuat oleh UGM, pada tanggal 29
Desember 1959 Mentri Agraria yang baru yaitu MR
Sadjarwo beserta stafnya yaitu Singgih Prapto Dihardjo,
Mr Budiharsono, Mr Soemitro dating ke Yogya untuk
mengadakan pembicaraan dengan seksi Agraria UGM
pada waktu itu dijabat oleh Prof Drs Notonagoro, SH dan
Drs Imam Soetinjo.
4. Hasil penelitian ilmiah seksi Agraria UGM serta konsep
RUUPA-nya digunakan dalam menyusun UUPA.

28
BAB IV
HUKUM TANAH NASIONAL

Dalam kajian beberapa literatur, dapat dijumpai ada 3(tiga)


nilai dasar yang berfungsi sebagai pengarah dan acuan dalam
pembentukan dan pelaksanaan hukum, yaitu1:
1. Kepastian hukum
2. Nilai dasar keadilan; dan
3. Nilai kemanfaatan
Jika dikaitkan dengan sejarah pembentukan dan substansi
pengaturan dalam UUPA, nampak jelas ketiga nilai-nilai tersebut
diatas diacu sebagai pengarah dan acuan dalam pembentukannya.
Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960,
menjelaskan bahwa usaha untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur memang memerlukan ikut sertanya semua manusia
dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik hukum
dan social budaya. Hukum Agraria Nasional sebagai salah satu
bidang hukum merupakan alat untuk tercapainya tujuan tersebut.
Hal ini sudah jelas dinyatakan dalam dasar hukum dari politik
hukum agraria nasional, yaitu Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa penggunaan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya harus
diarahkan bagi tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat,
baik perseorangan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Ketentuan hukum agraria nasional sebagimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA,
merupakan dasar bagi politik hukum agraria nasional. Oleh

1 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Pendekatan

Ekonomi-Politik, Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis


Masyarakat dan Ekologis 2007, h. 23-30.

29
karena ketentuan-ketentuannya hanya berupa pokok-pokok atau
asas-asasnya saja. Sedangkan kelengkapannya diserahkan pada
perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam bidang
keagrariaan.

4.1 Hukum Adat Sebagai Dasar Berlakunya Hukum Tanah


Nasional
Beberapa pakar menentukan hukum adat yang menjadi
dasar berlakunya hukum agraria nasional, seperti yang
dikatakan oleh Boedi Harsono, Hazairin dan Sudiman
Kartohadiprodjo2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Pasal 5 nya menentukan, hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat.
Selanjutnya ketentuan tersebut menetapkan syarat-syarat
hukum adat yang menjadi dasar hukum agraria yaitu:
1. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
2. tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam UUPA;
3. tidak bertentangan dengan perturan perundang-undangan
lainnya.
Mengacu pada ketentuan Pasal 5 UUPA secara hukum
kedudukan hukum adat berada pada posisi yang penting
dalam tatanan sistem hukum agraria nasional. Namun dalam
kenyataannya berbagai masalah muncul dalam menentukan
dan mengaktualisasikan hukum adat yang menjadi dasar
hukum agraria nasional3

2 Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum,


Rajawali Pers Jakarta, 2009, h 47- 48.
3 Ibid.

30
4.2 Tujuan Hukum Agraria Nasional
Upaya untuk meletakan dasar bagi pendayagunaan
obyek hukum agrarian yaitu Bumi, Air, Ruang Angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tahun
1960 telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960(UUPA) dikatakan
sebagai hukum agraria nasional karena UUPA memenuhi dua
kriteria. Pertama, secara formal UUPA dibuat oleh lembaga
legislative yaitu DPR bersama Presiden sebagai pembentuk
Undang-Undang. Kedua, substansi UUPA secara materiil
memenuhi syarat sebagai hukum nasional, oleh karena:
1. Isi UUPA merupakan penjelmaan dari sila-sila Pancasila.
Hal ini sesuai dengan kedudukan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Konsekuensinya peraturan hukum tidak boleh
bertentangan dengan prinsip Pancasila. Didalam UUPA
sebagai penjelmaan dari :
a. Sila Ketuhanan Yan Maha Esa adalah ketentuan
pasal 1 ayat 2 UUPA mengenai pengakuan bahwa
BARA +K sebagai karuania Tuhan.
b. Sila Kemanusiaan adalah Pasal 2 tentang hak
menguasai Negara atas BARA +K, Pasal 4 tentang
kemungkinan bagi perseorangan untuk mempunyai
hak atas tanah, Pasal 6 tentang Keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat.
c. Sila Persatuan Indonesia adalah Pasal 9 ayat 1 hanya
warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah.

31
d. Sila Kerakyatan dan keadilan social adalah Pasal 9
ayat 2 bahwa semua orang secara demokratis
mempunyai kesempatan yang sama untuk mempunyai
hak atas tanah. Setiap orang harus memperoleh
manfaat dari hasil tanahnya secara adil.
2. Ketentuan UUPA harus sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat. Untuk inilah UUPA menjadikan hukum adat
sebagai dasar pembentukannya.
3. Tujuan UUPA harus sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia yang ada dalam UUD 1945. Dalam hal ini UUPA
jelas bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
Dengan adanya hukum agraria nasional, hukum
agraria lama yang bersifat dualistis dan pluralistis tidak
berlaku lagi. Hal ini terbukti dengan adanya pencabutan
terhadap peraturan-peraturan yang menjadi landasan dari
hukum agraria lama, yaitu :
1. Peraturan-peraturan yang dicabut secara tegas:
a. Agrarisch Wet, atau Hukum Agraria yang dimuat
dalam Stb 1870 No 55;
b. Semua peratutan yang memuat pernyataan domein (
domein verklaring ), peraturan tentang Agrarisch
eigendom yang dimuat dalam Stb 1872 No 117
berserta peraturan pelaksanaannya. Asas domein
verklaring (pernyataan domein) termuat dalam Pasal 1
Agrarische Besluit ( S.1870-118) yang terjemahannya
berbunyi: “Dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan dalam ayat dua dan tiga Agrarische Wet,
maka tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah

32
yang pihak lain tidak dapat membuktikan, bahwa
tanah itu tanah eigendomnya adalah domein negara”4
c. Buku II KUH Perdt ( Hukum Belanda) sepanjang
mengatur mengenai Bumi, Air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
2. Peraturan yang isinya bertentangan dengan prinsip / asas
UUPA atau materinya sudah diatur dalam UUPA, secara
diam-diam dinyatakan dicabut, misalnya:
a. Ketentuan mengenai larangan pengasingan tanah dari
orang pribumi kepada orang-orang non pribumi.
Menurut ketentuan ini semua tanah yang dipunyai
orang-orang pribumi dilarang dialihkan kepada orang-
orang timur asing dan orang Eropa.
b. Ketentuan yang terdapat dalam Buku III dan Buku IV
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang
ketentuan itu mengatur tentang tanah, seperti aturan
khusus yang berlaku bagi sewa tanah.
Pencabutan terhadap peraturan-peraturan tersebut
dengan pertimbangan agar pencapaian masyarakat adil dan
makmur melalui pendayagunaan BARA+K tidak terhambat.
Pertimbangan lainnya adalah hukum agraria lama disusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi politik hukum
pemerintah penjajah, bersifat dualistis menyebabkan adanya
ketidak pastian hukum bagi rakyat Indonesia.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
hukum agraria nasional mempunyai tujuan –tujuan
sebagaimana yang tertuang dalam UUPA, yaitu5:

4 Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma


baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media Yogyakarta,2007, h. 29-30
5 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan
Pemerintah Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, 2008, h.66-73

33
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita
masyarakat adil dan makmur, terutama kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan masyarakat petani.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

4.3 Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional.


Sumber hukum tanah terdiri dari sumber hukum
materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil
merupakan sumber yang menentukan isi dari hukum itu
sendiri. Sumber hukum formal merupakan sumber hukum
dilihat dari bentuk formalnya, yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, perjanjian, yurisprudensi dan
kebiasaan.
Sumber hukum materiil dari hukum di Indonesia
adalah Pancasila, karena Pancasila merupakan rechtsidee
dari bangsa Indonesia. Segala peraturan perundang-
undangan di Indonesia harus mencerminkan isi dari
Pancasila. Kemudian, sumber hukum formal dalam bentuk
peraturan perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan
pada pengaturan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2. Ketetapan MPR

34
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Sumber hukum tanah nasional menurut Boedi Harsono
dibagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum tertulis dan
sumber hukum tidak tertulis.6
1. Sumber hukum tertulis, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3).
b. Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
d. Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Pokok
Agraria
e. Peraturan-peraturan yang bukan Peraturan Pelaksana
dari Undang-Undang Pokok Agraria yang dikeluarkan
setelah tanggal 24 September 1960 karena suatu
masalah perlu diatur (seperti : Undang-Undang Nomor
51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, LN 1960-158,
TLN 2160.
f. Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara
masih berlaku berdasarkan ketentuan pasa-pasal
peralihan yang merupakan bagian hukum tanah yang
positif, bukan bagian hukum tanah nasional.

6 Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, h. 9.

35
2. Sumber hukum tidak tertulis, yaitu :
a. Norma-norma hukum adat yang sudah di-saneer
menurut ketentuan Pasal 5, Pasal 56 dan Pasal 58
Undang-Undang Pokok Agraria
b. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan
praktik administrasi yang berkaitan dengan tanah
Selain sumber di atas, yang dapat menjadi sumber
hukum tanah nasional adalah perjanjian yang diadakan oleh
para pihak berdasarkan pengaturan Pasal 1338 Kitab
Undang-Undnag Hukum Perdata. Akan tetapi terdapat
pembatasan dari ketentuan pasal tersebut, khususnya di
bidang hukum tanah sepanjang perjanjian tersebut tidak
melanggar atau tidak bertentangan dengan sebagaimana yang
telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.

4.4 Asas-Asas Hukum Tanah Nasional


Sebelum membahas mengenai asas-asas hukum tanah
nasional lebih jauh lagi, ada baiknya memahami terlebih
dahulu mengenai pengertian asas itu sendiri. Kalau dilihat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
“asas” diuraikan sebagai berikut:
1. dasar (sesuatu yg menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat);
2. dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi;
3. hukum dasar.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
dalam setiap asas hukum, manusia melihat suatu cita-cita
yang hendak diraihnya. Asas hukum bukanlah merupakan
suatu peraturan hukum yang konkrit, melainkan merupakan

36
pikiran dasar yang bersifat umum yang melatarbelakangi
suatu peraturan yang konkrit.
Terdapat beberapa asas yang menjadi dasar di dalam
pembentukan hukum tanah di Indonesia. Asas-asas hukum
tanah tersebut terdiri dari:
1. Asas Kenasionalan
Wilayah Indonesia merupakan kesatuan tanah air
seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa Indonesia yang
menunjukkan bahwa tanah bagi bangsa Indonesia
mempunyai sifat komunalistik. Bersifat komunalistik
maksudnya adalah semua tanah yang terdapat dalam
wilayah negara Republik Indonesia merupakan tanah
bersama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia, menjadi hak bagi bangsa Indonesia, dan bukan
semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.7
Bagi bangsa Indonesia, tanah memiliki sifat religius.
Seluruh tanah yang ada di wilayah negara Republik
Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini merupakan perwujudan dari Sila Pertama
Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.8
Selama rakyat Indonesia bersatu sebagai bangsa
Indonesia dan selama bumi, air dan ruang angkasa
Indonesia masih ada, sehingga dalam keadaan apapun
tidak akan ada suatu kekuasaan yang dapat memutuskan
maupun meniadakan hubungan tersebut. Jadi hubungan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan bumi, air dan

7 Santoso, Urip, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media


Goup, Jakarta, Cet. 1, 2012, h. 54.
8 Loc. cit.

37
ruang angkasa adalah merupakan hubungan yang
bersifat abadi.9
2. Asas pada Tingkatan Tertinggi Bumi, Air, Ruang
Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di
Dalamnya Dikuasai oleh Negara
Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah
melainkan negara bertindak sebagai badan penguasa dari
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia yang
memiliki wewenang pada tingkatan tertinggi untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai negara tersebut ditujukkan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyak untuk
mewujudkan rakyat Indonesia yang bahagia dan
sejahtera. Berdasarkan hak menguasai tersebut, negara
dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan
hukum dengan suatu hak menurut peruntukkan dan
keperluannya, seperti:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai; atau

9 Loc. cit.

38
e. Memberikan tanah dalam pengelolaan kepada suatu
badan penguasa untuk digunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing.10
3. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara
yang Berdasarkan Atas Persatuan Bangsa dari pada
Kepentingan Perseorangan atau Golongan
Keberadaan hak ulayat diakui bagi kesatuan
masyarakat hukum adat tertentu yang sepanjang
kenyataannya masih ada. Hak ulayat ini ini dapat dilihat
dari kegiatan sehari-hari Kepala Adat yang masih diakui
sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur dan
memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan
tanah bersama warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Pelaksanaak dari penggunaan hak ulayat
ini tetap harus sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara yang dilaksanakan berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan aturan-
aturan yang berlaku nasional. Apabila keberadaan hak
ulayat ini kenyataannya sudah tidak ada, maka hak
ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat dihidupkan
lagi maupun tidak dapat diciptakan kembali hak ulayat
yang baru. Kepentingan suatu masyarakat hukum adat
harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang
kepentingannya lebih luas, sehingga pelaksanaan dari hak
ulayat suatu masyarakat hukum adat harus sesuai
dengan pelaksanaan kepentingan negara.11

10 Op. cit., h. 55-56.


11 Op. cit., h. 56-57.

39
4. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial
Hak atas tanah apapun yang dimiliki oleh
seseorang, tidak akan dibenarkan apabila tanah tersebut
digunakan semata-mata untuk kepentingannya sendiri
yang merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga
bermanfaat baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi masyarakat dan negara. Kepentingan masyarakat
dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi yang mewujudkan kemakmuran, keadilan
dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Tanah wajib
dipelihara sebaik-baiknya agar kesuburannya tetap
terjaga dan dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara
tanah ini tidak hanya dibebankan kepada pemegang hak
tanahnya, juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab
dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang
memiliki suatu hubungan dengan tanah tersebut. Apabila
kepentingan umum menghendaki diambilnya hak atas
tanah, maka pemegang hak atas tanah harus melepaskan
hak atas tanahnya dengan pemberian ganti kerugian yang
layak sesuai dengan mekanisme pencabutan hak atas
tanah.12
5. Asas Hanya Warga Negara Indonesia yag Mempunyai
Hak Atas Tanah
Asas ini menegaskan bahwa hanya warga negara
yang memiliki kedudukan sebagai subjek dari Hak Milik.
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia tidak dapat
mempunyai tanah yang berstatus Hak Milik, melainkan
hanya memiliki Hak Pakai atas tanah dan Hak Sewa

12 Op. cit., h. 58-59.

40
Bangunan dengan jangka waktu terbatas. Demikian juga
untuk badan-badan hukum, tidak dapat memiliki Hak
Milik atas tanah. Perkecualian hanya untuk badan
hukum yang bergerak dalam bidang lapangan social dan
keagamaan yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah,
sepanjang Hak Milik atas tanahnya digunakan untuk
menjalankan usahanya di bidang lapangan social dan
keagamaan tersebut.13
6. Asas Persamaan Bagi Setiap Warga Negara Indonesia
Baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh hak-hak atas
tanah, sepanjang memiliki status kewarganegaraan warga
negara Indonesia. Hak-hak atas tanah yang dapat
diperoleh, yaitu:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai;
e. Hak Sewa untuk Bangunan.
Untuk melindungi setiap masyarakat di dalam
penidasan ataupun penyalahgunaan oleh pihak-pihak
tertentu terhadap penggunaan hak-hak atas tanah
tersebut, hendaknya dibuatkan pengaturan mengenai
perlindungan dan pencegahan terhadap penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampauai
batas dalam bidang-bidang usaha agraria.14

13 Op. cit., h. 59-60.


14 Op. cit., h. 60-61.

41
7. Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau
Diusahakan Secara Aktif oleh Pemiliknya Sendiri dan
Mencegah Cara-Cara yang Bersifat Pemerasan
Pelaksanaan asas ini, akhir-akhir ini menjadi dasar
dari pelaksanaan land reform atau agrarian reform and
rural development yang berupa pengerjaan atas tanah
pertanian dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri. Maksud dari asas ini adalah bahwa
tanah pertanian tidak boleh ditelantarkan oleh
pemiliknya, tidak digunakan atau tidak diusahakan
sesuai dengan sifat, tujuan, dan keadaannya.
Penelantaran tanah merupakan penyebab hapusnya hak
atas tanah dan berakibat hak atas tanah kembali menjadi
tanah yang dikuasai langsung oleh negara (menjadi tanah
negara).15
8. Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara
Berencana
Pemerintah di dalam rangka sosialisme Indonesia
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
digunakan untuk:
a. Keperluan negara;
b. Keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya
sesuai dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social,
kebudayaan dan kesejahteraan;

15 Op. cit., h. 61-62.

42
d. Keperluan mengembangkan produksi pertanian,
peternakan, dan perikanan serta kegiatan yang sejalan
dengan itu;
e. Keperluan mengembangkan industri, transmigrasi,
dan pertambangan
Perencanaan mengenai peruntukkan, penggunaan,
dan persediaan atas bumi, air dan ruang angkasa guna
kepentingan rakyat dan negara diperlukan untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Adanya perencanaan ini,
maka penggunaan tanah akan dapat dilakukan secara
terpimpin dan teratur sehingga memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi rakyat dan negara.16
9. Asas Kesatuan Hukum
Kesatuan hukum tersebut maksudnya kesatuan
pengaturan yang meliputi bidang-bidang hukum, hak atas
tanah, pendaftaran tanah, dan hak jaminan atas tanah.
Kesatuan hukum dalam hukum tanah diwujudkan
dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar dari
pembentukan hukum tanah nasional. Tujuannya yaitu
agar hanya terdapat satu hukum tanah yang berlaku di
wilayah negara Republik Indonesia.17
10. Asas Jaminan Kepastian Hukum dan Perlindungan
Hukum
Hukum tanah kolonial bagi rakyat Indonesia sli
tidak memberikan jaminan kepastian hukum, karena
tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia tidak
didaftar. Meskipun hak atas tanah memiliki fungsi sosial,
bukan berarti kepentingan pemegang hak atas tanah

16 Op. cit., h. 62-63.


17 Op. cit., h. 63-64.

43
diabaikan begitu saja. Untuk memberikan penghormatan
dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah,
hak atas tanah yang dimilikinya tidak dapat begitu saja
diambil oleh pihak lain meskipun itu untuk kepentingan
umum, sehingga kepada pemegang hak atas tanah
diberikan ganti rugi yang layak.18
11. Asas Pemisahan Horizontal
Implementasi dari asas ini adalah Hak Sewa Untuk
Bangunan. Seseorang atau suatu badan usaha menyewa
tanah Hak Milik orang lain yang tidak ada bangunannya
dengan membayar sejumlah uang sebagai uang sewa yang
besarnya ditetapkan atas dasar kesepakatan, untuk
jangka waktu yang ditentukan, dan penyewa diberikan
hak untuk mendirikan bangunan yang digunakan untuk
jangka waktu tertentu yang telah disepakati kedua belah
pihak. Dalam Hak Sewa Untuk Bangunan terdapat
pemisahan secara horizontal antara pemilik tanah dengan
pemilik bangunan yang ada diatasnya.19

18 Op. cit., h. 64-65.


19 Op. cit., h. 65.

44
BAB V
HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA

5.1 Pengertian dan Isi masing-masing Hak Atas Tanah


Pembahasan mengenai hak atas tanah berdasarkan
UUPA harus diawali dengan pembahasan mengenai Hak
Bangsa. Hak Bangsa ditetapkan pada pasal 1 ayat (2) UUPA
yang mengandung pemahaman bahwa tanah merupakan
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia. Turunan dari Hak Bangsa, adalah Hak Menguasai
Negara. Kewenangan Negara berdasarkan pada Hak
Menguasai Negara tersebut, adalah :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi,air, dan ruang angkasa
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pengertian adanya hak atas tanah didasarkan pada
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Pokok Agraria (UUPA),
yaitu atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.
Jenis-jenis hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16 dan
Pasal 53 UUPA, meliputi :
1. hak milik,

45
2. hak guna usaha,
3. hak guna bangunan,
4. hak pakai,
5. hak sewa,
6. hak membuka tanah,
7. hak memungut hasil hutan
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah
yang berasal dari tanah negara. Macam-macam hak atas
tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah
Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas
tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Macam-macam
hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, Hak
Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan,
Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian.20
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 16
dan Pasal 53 UUPA, yang dikelompokkan menjadi tiga bidang,
yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak atas tanah
ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan undang-undang yang baru.

20 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Edisi

Pertama, Cetakan ke-1,Kencana,h.91.

46
Jenis-jenis hak atas tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak
Membuka Tanah, Hak Sewa untuk Bangunan, dan Hak
Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-
undang, yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian,
yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Hak atas tanah ini jenisnya belum ada.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas
tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat
akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan
dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini
adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa
Tanah Pertanian.21
Penjelasan masing-masing hak atas tanah tersebut,
akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Hak Milik
Hak milik didasarkan pada ketentuan Pasal 20 – 27
UUPA. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan bahwa semua hak atas tanah memiliki fungsi
sosial. Fungsi sosial dari hak atas ditetapkan pada Pasal 6
UUPA.
Hak milik timbul dapat didasarkan pada ketentuan
hukum adat, berdasarkan ketentuan undang-undang
melalui ketentuan konversi serta dimungkin karena

21 ibid

47
penetapan pemerintah melalui permohonan yang diajukan
kepada instansi yang mengurus tanah.22 Peralihan hak
atas hak milik berdasarkan pada Pasal 26 ayat (1) dapat
didasarkan pada perbuatan hukum jual beli, tukar
menukar, hibah, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut adat. Hak lain yang dapat dibebankan atas hak
milik atas tanah :
a. Hak Guna Bangunan (Pasal 37 jo 35 UUPA)
b. Hak Pakai (Pasal 41 jo 43 UUPA)
c. Hak Gadai (Pasal 53 UUPA dan Pasal 7 UU No. 56 Prp
Tahun 1960)
d. Hak Usaha Bagi Hasil (UU No. 2 tahun 1960 jo Pasal
53 UUPA)
e. Hak Menumpang (Pasal 53 UUPA)
Hapusnya hak milik atas tanah dapat disebabkan
oleh beberapa hal :
a. Tanahnya jatuh kepada negara
1) Pencabutan hak berdasarkan pasal 18
2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3) Diterlantarkan
4) Ketentuan pasal 21 ayat 3 dan pasal 26 ayat 2
UUPA
b. Tanahnya musnah
Sifat dasar dari hak milik adalah :
a. Turun Temurun : Hak tersebut dapat berlangsung
terus menerus selama empunya tanah masih hidup,
dan bila ia meninggal hak tersebut dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya.

22 Hak Milik, http://www.jurnalhukum.com/hak-milik/

48
b. Terkuat : Jangka waktunya tak terbatas dan haknya
kuat karena haknya didaftar dan yang empunya
diberikan tanda bukti hak hingga mudah
dipertahankan terhadap pihak lain.
c. Terpenuh : Hak itu memberikan wewenang kepada
empunya, hak paling luas bila dibandingkan hak atas
tanah yang lain; tidak berinduk pada hak atas tanah
yang lain; dan peruntukannya tidak terbatas selama
tidak ada pembatasan dari penguasa.
2. Hak Guna Usaha
Pengertian Hak Guna Usaha ditetapkan pada Pasal
28 ayat (1) UUPA yaitu hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
tertentu yang digunakan untuk perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan. Dasar hukum pengaturan
hak guna usaha terdapat pada Pasal 28-34 UUPA dan
Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah pada Pasal 2 – 18.
Kekhususan Hak Guna Usaha :
a. Pendirian bangunan diperbolehkan/tidak dilarang,
asalkan bangunan-bangunan itu berhubungan
langsung dengan usaha-usaha pertanian, perikanan,
atau peternakan itu.
b. Tidak bersumber pada hukum adat
c. Diberikan untuk jangka waktu yang lama
d. Berasal dari tanah negara
Hak Guna Usaha dapat terjadi karena diberikan
keputusan pemberian hak oleh menteri atau Pejabat yang
ditunjuk. Ketentuan pada Pasal 16 PP No. 40 tahun 1996

49
menetapkan bahwa peralihan Hak Guna Usaha dapat
terjadi dengan cara:
a. Jual beli
b. Tukar menukar;
c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah;
e. Pewarisan.
Hak guna usaha juga dapat hapus, disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adalah :
a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang
sebelum jangka waktunya berakhir karena :
1) tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang
hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan/atau Pasal 14;
2) putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. Apabila pemegang Hak Guna Usaha tidak lagi menjadi
Warga Negara Indonesia atau tidak lagi merupakan
Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka
apabila dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna

50
Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna
Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
menjadi tanah Negara.
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu tertentu,
sebagaimana ditetapkan pada Pasal 35 ayat (1). Dasar
hukum yang mengatur Hak Guna Bangunan adalah
ketentuan Pasal 35-40 UUPA serta ketentuan Pasal 35 –
40 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996. Hak Guna
Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan yang
diberikan atas tanah Hak Milik didasarkan pada
perjanjian dan kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang Hak Guna Bangunan. Hal tersebut diatur
berdasarkan ketentuan Pasal 40 tahun 1996. Untuk
peralihan Hak Guna Bangunan bisa melalui peristiwa : a.
Jual beli; b. Tukar menukar; c. Penyertaan dalam modal;
d. Hibah; e. Pewarisan.
Sebagaimana ditetapkan pada Pasal 34 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996.
4. Hak Pakai
Adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

51
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
UUPA. Pengertian mengenai Hak Pakai tersebut
ditetapkan pada Pasal 41 UUPA.
5. Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak yang diberikan kepada
seseorang atau suatu badan hukum untuk
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya
sejumlah uang sebagai sewa. Hal tersebut diatur pada
ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUPA.
6. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
Menurut Urip Santoso, Hak Membuka Tanah dan
Hak Memungut hasil hutan bukanlah hak atas tanah
dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang
kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah
atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Namun, sekadar menyesuaikan dengan sistematika
Hukum Adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan juga
ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya
kedua hak tersebut merupakan “pengejawantahan” dari
hak ulayat masyarakat Hukum Adat.23

23 Urip Santoso, Op.Cit, h. 91

52
5.2 Subjek dari objek masing-masing Hak Atas Tanah
Pembahasan mengenai subjek dan objek pada hak atas
tanah akan disajikan dalam bentuk tabel yang disarikan dari
UUPA dan PP No. 40 tahun 1996.
Tabel. 1 Subjek dan Objek Hak Atas Tanah
HAK SUBJEK OBJEK JANGKA
ATAS WAKTU
TANAH
Hak Milik - WNI - Tanah Milik
- Badan Hukum (bank
pemerintah /badan
keagamaan dan soaial)
Hak Guna - WNI - Tanah 35 tahun
Usaha - Badan Hukum yang Negara +
didirikan menurut 25 Tahun
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia.
Hak Guna - WNI - Tanah 30 tahun
Bangunan - Badan Hukum yang Negara +
didirikan menurut - Tanah 20 Tahun
hukum Indonesia dan Pengelolaan
berkedudukan di - Tanah Hak
Indonesia. Milik
Hak Pakai - Warga Negara Indonesia; - Tanah 25 tahun
- Badan hukum yang Negara; +
didirikan menurut - Tanah Hak 20 Tahun
hukum Indonesia dan Pengelolaan;
berkedudukan di - Tanah Hak
Indonesia; Milik.
- Departemen, Lembaga
Pemerintah Non
Departemen, dan
Pemerintah Daerah;
- Badan-badan keagamaan
dan sosial;
- Orang asing yang
berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum asing yang
mempunyai perwakilan
di Indonesia;

53
- Perwakilan negara asing
dan perwakilan badan
Internasional.
Hak Sewa - Warganegara Indonesia; - Tanah Milik Sesuai
Atas - Orang asing yang Perjanjian
Bangunan berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia;
- Badan hukum asing yang
mempunyai perwalikan
di Indonesia.

5.3 Hak-hak yang dapat dibebani Hak Tanggungan


Pengertian Hak Tanggungan, berdasarkan Pasal 1
angka 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan tanah (selanjutnya disebut UUHT), adalah: hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa pada
dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk
jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan
objek (jaminan)nya berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

54
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok
Agraria.24

Pemberian Hak Tanggungan


Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan
Pasal 10 UUHT yang menetapkan bahwa Pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan adanya perjanjian untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu. Kesepakatn tersebut dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut. Perjanjian pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Isi perjanjian atau janji-janji yang dapat dituangkan
dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam
ketentuan Pasal 11 UUHT. Janji-janji tersebut adalah:
1. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan
dan atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa
dan atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
2. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan

24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta

Kekayaan Hak Tanggungan, Edisi Pertama, Cetakan Ke-3, h.13

55
objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan
apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
4. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang
Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak
Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan
eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan
karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan
undang-undang;
5. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuatan sendiri
objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
6. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan
pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan
dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan
melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
8. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima
pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya
apabila objek Hak Tanggungan dilapaskan haknya oleh
pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum.

56
9. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima
pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;
10. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan
mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu
eksekusiHak Tanggungan;
11. janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Isi janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak
Tanggungan apabila debitor cidera janji, maka hal tersebut
batal demi hukum, sebagaimanan diatur dalam ketentuan
Pasal 12 UUHT.

Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Atas Tanah


Pada rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
UUHT hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan
adalah :
1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha; dan
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai atas tanah negara
a. Pembebanan hak tanggungan tidak hanya dibebankan
kepada hak atas tanahnya saja. Tetapi dapat meliputi
bangunan, tanaman, dan hasil karya, baik yang telah
ada, maupun yang akan dan akan menjadi satu
kesatuan dengan tanah yang dibebani hak
tanggungan. Apabila terdapat peristiwa, bahwa pemilik
dari bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut
berbeda dengan pemilik hak atas tanah, maka

57
pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau
yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta
autentik. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat
(4) dan ayat (5) UUHT.

Eksekusi Hak Tanggungan


Dalam pembebanan Hak Tanggungan, apabila debitor
cidera janji atau dapat dipahami dengan tidak mampu
melaksanakan seluruh kewajibannya yang telah
diperjanjikan, maka Hak Tanggungan dapat dieksekusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a, yang
memiliki hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan adalah
pemegang Hak Tanggungan pertama. Penjualannya dapat
dilakukan dengan pelelangan umum atau melalui tata cara
lainnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.

Hapusnya Hak Tanggungan


Hak Tanggungan dapat hapus berdasarkan Pasal 18
UUHT disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan;
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

58
Pencoretan Hak Tanggungan
Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan
sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat
Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan
bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditetapkan
dalam UUHT Pasal 22 ayat (1) dan (2).

59
BAB VI
KETENTUAN POKOK HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

6.1 Pencabutan Hak Atas Tanah


Istilah “Pencabutan Hak Atas Tanah” secara formal
dimunculkan dari Pasal 18 UUPA yang mengatur : “Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-
Undang”. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa pasal ini
merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan
syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti
kerugian yang layak.25
Dasar hukum lainnya yang terkait dengan pencabutan
hak atas tanah adalah Undang-Undang No 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda Yang
Ada di Atasnya. Pada ketentuan Pasal 1 undang-undang
tersebut ditetapkan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan
pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa
setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan
Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Pencabutan hak ini merupakan pemutusan hubungan
hukum antara pemegang hak dengan objek tanahnya yang

25 Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis,2011 Pencabutan Hak,

Pembebasan, dan Pengadaan Tanah Cetakan Ke-1 : Maret 2011 Penerbit CV.
Mandar Maju, Bandung., h. 21.

60
dilakukan oleh penguasa secara sepihak, namun tindakan
pencabutan hak ini harus memenuhi beberapa persyaratan,
yakni :
Pertama, pencabutan hak tidak boleh dilakukan tanpa
sebab yang dibenarkan, harus ada keadaan yang mendesak
yang memaksa negara melakukan hak tersebut, yakni adanya
tuntutan dari tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya
melalui pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik atau
untuk kepentingan umum, dengan demikian terdapat
kepentingan yang lebih tinggi dari semua lapisan masyarakat
yang harus dipenuhi dari sekedar mempertahankan
kepentingan pribadi dari warga negara.
Kedua, pencabutan hak harus diikuti dengan
pemberian ganti kerugian kepada warga yang dicabut haknya.
Hal ini tentunya sebagai pengakuan akan hak atas tanah
sebagai hak pribadi dari warga negara, karena sebelumnya
Negara jugalah yang telah menetapkan hak itu kepada warga
pemegang hak atas tanah itu, baik melalui pemberian hak
maupun pengakuan hak.
Ketiga, pencabutan hak harus dilakukan menurut cara
yang diatur dengan undang-undang. Jadi sekalipun ada
keadaan yang mendesak demi kepentingan umum, dalam
pelaksanaannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.26

6.2 Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk


kepentingan umum
Dasar hukum pengadaan tanah bagi kepentingan
umum :

26 Ibid, h.21-22

61
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
4. Peraturan Presiden No.71 tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum
Pengertian kepentingan umum :
1. Pasal 1 ayat (1) Lampiran Instruksi Presiden No.9 tahun
1973
“Kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan
mempunyai sifat kepentingan umum bila menyangkut :
a. kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau
b. kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c. kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau
d. kepentingan pembangunan
2. Pasal 1 angka 5 Perpres No.36 tahun 2005
“Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian
besar lapisan masyarakat”
3. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara,
dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah
dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
(Pasal 1 angka 6 UU No. 2 tahun 2012 dan Pasal 1
Angka 6 Perpres No. 71 tahun 2012)

62
Tanah Untuk Kepentingan Umum
1. pertahanan dan keamanan nasional;
2. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api,
stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
3. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum,
saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan
pengairan lainnya;
4. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
5. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
6. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi
tenaga listrik;
7. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
8. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
9. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10. fasilitas keselamatan umum;
11. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
12. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau
publik;
13. cagar alam dan cagar budaya;
14. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
15. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa;
16. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/
Pemerintah Daerah;
17. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
18. pasar umum dan lapangan parkir umum.

63
Kaitan Hak Atas Tanah Dengan Kepentingan Umum
Pasal 6 UUPA
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” Interpretasi
otentik terhadap hal tersebut (Maria W. Sumardjono)
1. Asas tersebut mengenai semua hak atas tanah
sebagaimana disebut dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA
2. Tidak diperkenankan menyalahgunakan hak atas tanah,
dan harus mengusahakan agar supaya tanah itu
bermanfaat baik bagi pemegang hak maupun bagi
masyarakat
3. Harus terdapat keseimbangan antara kepentingan umum
dan kepentingan perseorangan; kepentingan perseorangan
diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan

64
BAB VII
KETENTUAN POKOK PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH

7.1 Pengertian, Tujuan, dan Peraturan yang Mengatur


Pendaftaran Hak Atas Tanah
1. Pengertian Pendaftaran Hak atas Tanah
Pendaftaran tanah merupakan cikal bakal dari bukti
adanya kepemilikan hak atas tanah, sehingga menjadi
sangat penting untuk dilakukan oleh pemegang hak atas
tanah. Dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran
tanah dalam bahasa Jerman disebut kataster, di Italia
disebut catastro, di Perancis disebut cadastre, di Belanda
dan juga di Indonesia dengan istilah kadastrale atau
kadaster.27 Kadaster adalah suatu istilah teknis suatu
record (rekaman) yang menunjukkan kepada luas, nilai,
dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu
bidang tanah. Sebenarnya kadaster ini mulanya berasal
dari bahasa latin, Capitastrum, yang berarti register atau
capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah
Romawi (Capotatio Terrens)28.
Menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara teratur, terus menerus untuk mengumpulkan,
menghimpun dan menyajikan mengenai semua tanah
atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah.
PP No. 24 tahun 1997 juga menentukan mengenai
pengertian pendaftaran tanah, dimana dalam Pasal 1 ayat
(1) ditentukan bahwa pendaftaran Tanah adalah

27 Moh.Yamin Lubis, Abd.Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah,

Mandar Maju, Bandung, hal.17-18.


28 Supriadi, 2016, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, h. 152.

65
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti hak bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya (Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun
1997). Berdasarkan pengertian pendaftaran tanah yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997,
dapat diuraikan beberapa unsur pendaftaran tanah, yaitu:
a. Adanya serangkaian kegiatan
b. Dilakukan oleh pemerintah
c. Secara terus menerus, berkesinambungan
d. Secara teratur
e. Bidang tanah dan satuan rumah susun
f. Pemberian surat tanda bukti hak
g. Hak-hak tertentu yang membebaninya.
Adapun yang menjadi obyek pendaftaran tanah
berdasarkan Pasal 9 UU No. 24 Tahun 1997 antara lain:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai
b. Tanah hak pengelolaan
c. Tanah wakaf
d. Hak milik atas satuan rumah susun
e. Hak tanggungan
f. Tanah Negara.

66
2. Tujuan Pendaftaran Hak atas Tanah
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 PP No 24
Tahun 1997, tujuan pendaftaran tanah antara lain:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-
hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan. Untuk itu, kepada pemegang haknya
diberikan sertifikat sebagai surat tanda buktinya.
[Pasal 4 ayat (1)]
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan termasuk Pemerintah, agar
dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.
Menurut Yanis Maladi, tujuan pendaftaran tanah
selain untuk keperluan lalu lintas social ekonomi juga
untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang
bersifat rechtskadaster, kepastian hak seseorang, maupun
untuk memberikan perlindungan hukum kepada para
pihak yang memperoleh tanah dengan etikat baik.29

3. Peraturan yang Mengatur Pendaftaran Hak atas Tanah


Pada dasarnya tiap hak atas tanah di Indonesia
wajib untuk didaftarkan. Pendaftaran tanah sangat

29 Sahnan, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang, h.107.

67
penting dilakukan guna mewujudkan kepastian hukum
serta memberikan perlindungan hukum baik kepada
Negara maupun kepada pemegang hak atas tanah. Dalam
Pasal 19 UUPA telah diatur ketentuan terkait pendaftaran
tanah, yakni:
a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah,
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan peraturan pemerintah.
b. pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
1) pengukuran, perpetaan dan pendaftaran tanah
2) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan
hak-hak tersebut
3) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
c. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat
keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas
sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Agraria.
d. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang
bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam
ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
Dalam UUPA juga ditentukan mengenai kewajiban
bagi pemegang hak milik, pemegang hak guna usaha, dan
pemegang hak guna bangunan untuk mendaftarkan hak
atas tanahnya sebagaimana diatur dalam beberapa pasal,
antara lain:

68
a. Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, mengatur
kewajiban bagi pemilik atas tanah untuk
mendaftarkan tanahnya;
b. Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, mengatur
kewajiban bagi pemegang hak guna usaha untuk
mendaftarkan tanahnya; serta
c. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), mengatur kewajiban
bagi pemegang hak guna bangunan untuk
mendaftarkan tanahnya.
Guna melaksanakan ketentuan Pasal 19 UUPA
mengenai pendaftaran tanah, dibentuk Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftarn Tanah
LNRI Tahun 1961 No-28-TLNRI No. 2171 dan kemudian
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1997 No. 59
TLNRI No 3696. Selain peraturan pemerintah, dibentuk
juga Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pendaftaran tanah, antara lain:
a. Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah;
b. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
c. Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2013 tentang Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.9 Tahun 1999 tentang Tata

69
Cara Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan;
e. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 37
Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.

7.2 Kegiatan Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah


Kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat
(2) UUPA meliputi: pengukuran, perpetaan dan pendaftaran
tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-
hak tersebut, serta pemberian surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah yang
ditentukan dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA tersebut,
selanjutnya dalam PP No. 24 Tahun 1997 dijabarkan perihal
pelaksanaan pendaftaran hak yang meliputi dua kegiatan,
yakni kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan
kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997.
1. Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 PP No 24 Tahun 1997,
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau
PP Nomor 24 Tahun 1997. Objek dari pendaftaran tanah
untuk pertama kali adalah tanah Negara dan tanah bekas

70
hak milik adat.30 Kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dilakukan melalui pendaftaran tanah secara
sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik (Pasal
13 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997).
Pendaftaran tanah secara sistematis adalah
kegiatan pendaftaran tanah secara serentak yang meliputi
semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
(Pasal 1 angka 10 P No 24 tahun 1997). Pendaftaran
tanah secara sistematis dilaksanakan atas prakarsa
Badan Pertanahan Nasional yang didasarkan atas suatu
rencana kerja jangka panjang dan rencana tahunan yang
dilakukan di wilayah-wilayah yang telah ditunjuk oleh
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.31
Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan
sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik,
maka pendaftarannya dilaksanakan melalui pendaftaran
tanah secara sporadik sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 13 ayat (3) PP No 24 Tahun 1997. Adapun yang
dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sporadik
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/
kelurahan secara individual atau masal.32 Pendaftaran
tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan

30 Adrian Sutedi (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), 2014, Peralihan

Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, h.136.


31 Sahnan, Op. Cit., h. 113.
32 Pasal 1 angka 11 PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

71
pihak yang berkepentingan, yakni pihak yang berhak atas
bidang tanah yang bersangkutan atau luasanya.33
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
meliputi:34
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik
Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan
data fisik, dilakukan kegiatan pengukuran dan
pemetaan. kegiataannya meliputi:
1) Pembuatan peta dasar pendaftaran
Kegiatan pendaftaran secara sistematik di
suatu wilayah yang ditunjuk diawali dengan
pembuatan peta dasar pendaftaran yang
dimaksudkan agar setiap bidang tanah yang
didaftar dijamin letaknya secara pasti, karena
dapat direkonstruksi setiap waktu di lapangan.
2) Penetapan batas bidang-bidang tanah
Mengenai penetapan dan pemasangan
tanda-tanda batas bidang tanah diatur dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 PP No 24 Tahun
1997 dan pengaturan lebih lanjut dan rinci diatur
dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23 Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No 3 Tahun 1997.

33A.P.Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan

PP 24 Tahun 1997), Mandar Maju, Bandung, h.91.


34 Sahnan, Loc. cit.

72
3) Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah
dan pembuatan peta pendaftaran.
Bidang-bidang tanah yang sudah ditetapkan
batas-batasnya maka dilakukan pengukuran dan
selanjutnya dilakukan pemetaan dalam peta dasar
pendaftaran. Pemgukuran dan pemetaan diatur
dalam Pasal 20 PP No. 24 Tahun 1997 serta diatur
lebih lanjut dan rinci dalam Pasal 2 sampai dengan
Pasal 45 Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun
1997.
4) Pembuatan daftar tanah
Bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan
atau dibukukan nomor pendaftarannya pada peta
pendaftaran selanjutnya dibukukan dalam daftar
tanah. Bentuk, isi, cara pengisian, penyimpanan
dan pemeliharaan daftar tanah diatur dalam Pasal
146 sampai dengan Pasal 155 Peraturan Menteri
Negara Agraria No. 3 Tahun 1997.
5) Pembuatan surat ukur
Bidang-bidang tanah yang sudah diukur dan
dipetakan dalam peta pendaftaran, selanjutnya
dibuatkan surat ukur untuk keperluan
pendaftaran haknya. Untuk wilayah-wilayah
pendaftaran tanah secara sporadic yang belum
tersedia peta pendaftaran, surat ukur dibuat dari
hasil pengukuran. Bentuk, isi, cara pengisian,
penyimpanan, dan pemeliharaan surat ukur diatur
dalam Pasal 156 sampai dengan Pasal 161
Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997.

73
b. Pembuktian hak dan pembukuannya
Kegiatan pembuktian hak dan pembukuan
dapat meliputi:
1) Pembuktian hak baru;
Pembuktian hak baru diatur dalam Pasal 23 PP No.
24 Tahun 1997. Ada beberapa macam pembuktian
hak baru, yaitu:35
a) hak atas tanah baru dibuktikan dengan: (1)
Penetapan pemberian hak dari pejabat yang
berwenang memberikan hak yang
bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku
jika pemberian hak tersebut berasal dari tanah
Negara atau tanah hak pengelolaan; (2) Asli
akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
memuat pemberian hak oleh penerima hak
yang bersangkutan apabila mengenai hak guna
bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.
b) hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan
pemberian Hak Pengelolaan oleh pejabat yang
berwenang;
c) tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar
wakaf;
d) hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan
dengan akta pemisahan;
e) pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan
akta pemberian hak tanggungan.

35 Urip Santoso, 2016, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perspektif Regulasi,

Wewenang, dan Sifat Akta, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 12-13

74
2) Pembuktian hak lama;
Pembuktian hak lama diatur dalam Pasal 24 PP
No. 24 Tahun 1997. Pembuktian hak lama dapat
dibagi menjadi dua bagian:
a) hak lama yang ada bukti tertulis
b) hak lama yang tidak ada alat bukti tertulis
3) Pembukuan hak;
Pasal 29 PP No 24 Tahun 1997 menentukan bahwa
hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan
hak milik atas satuan rumah susun didaftar
dengan membukukannya dalam buku tanah yang
memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah
yang bersangkutan dan sepanjang ada surat
ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.
Pembukuan dalam buku tanah dan pencatatannya
dalam surat ukur merupakan bukti bahwa hak
yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan
bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur
secara hukum telah didaftar.
4) Penerbitan sertipikat;
Hak-hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf
dan hak milik atas satuan rumah susun yang
sudah didaftar dalam buku tanah dan memenuhi
syarat untuk diberikan tanda bukti haknya
diterbitkan sertipikat yang diterbitkan oleh Kantor
pertanahan Kabupatn/Kota.
5) Penyajian data fisik dan data yuridis
Perihal penyajian data fisik dan data yuridis diatur
dalam Pasal 33 dan Pasal 34 PP No 24 Tahun
1997. Setiap orang yang berkepentingan memiliki

75
hak untuk mengetahui data fisik dan data yuridis
yang tersimpan dalam peta pendaftaran, daftar
tanah, surat ukur, dan buku tanah.
6) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
Perihal penyimpanan daftar umum dan dokumen
diatur dalam Pasal 35 PP No 24 Tahun 1997.
dokumen-dokumen yang merupakan alat
pembuktian yang telah digunakan sebagai dasar
pendaftaran diberi tanda pengenal dan disimpan di
kantor pertanahan kabupaten/kota yang
bersangkutan atau di tempat lain yang ditetapkan
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari daftar umum.
2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah
(Bijhouding atau maintenance)
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan
jika data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah
yang telah terdaftar mengalami perubahan. Dalam hal ini,
pemegang hak yang bersangkutan berkewajiban untuk
melakukan pendaftaran ke kantor Pertanahan
Kabupaten/kota setempat atas perubahan data fisik atau
data yuridis yang terjadi untuk dicatat dalam buku tanah.
Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri
atas:
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, meliputi:
1) Pemindahan hak yang tidak melalui lelang
Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik atas
Tanah Satuan Rumah Susun dapat dilakukan
melalui jual beli, tukar menukar, hibah,

76
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum dan pemindahan hak lainnya, terkecuali
dilakukan dengan pemindahan hak dengan lelang,
pendaftaran hanya dapat dilakukan jika dapat
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang (Lihat Pasal 37 PP No. 24 Tahun
1997)
2) Pemindahan hak dengan lelang
Pemindahan hak dengan lelang hanya dapat
dilakukan pendaftaran jika dapat dibuktikan
dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh
pejabat lelang, baik dalam lelang eksekusi maupun
sukarela.
3) Peralihan hak karena pewarisan
Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena
hukum pada saat pemegang hak meninggal dunia.
Sejak saat itu para ahli waris menjadi pemegang
haknya yang baru. Pendaftaran peralihan hak
karena pewarisan diwajibkan dalam rangka
memberi perlindungan hukum kepada ahli waris
dan untuk dapat terciptanya tertib administrasi
pertanahan, sehingga data yang tersimpan dan
disajikan selalu menunjukkan keadaan yang
mutakhir.
4) Peralihan hak karena penggabungan atau
peleburan perseroan atau koperasi
Perihal peralihan hak karena penggabungan dan
peleburan perseroan dan koperasi diatur dalam
Pasal 43 dan Pasal 113 Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.

77
5) Pembebanan hak
Pemeliharaan data karena pembebanan hak
tanggungan diatur dalam Pasal 44 PP No. 24
Tahun 1997 dan pengaturan lebih lanjut dapat
dilihat dalam Pasal 114 sampai dengan Pasal 119
dan Pasal 121 sampai dengan Pasal 124 Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun
1997.
6) Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan
hak
Mengenai penolakan pendaftaran peralihan dan
pembebanan hak diatur dalam Pasal 45 PP No. 24
tahun 1997.
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah,
meliputi:
1) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah
2) pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang
tanah
3) pembagian hak bersama
4) hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun
5) peralihan dan hapusnya hak tanggungan
6) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan
7) perubahan nama
c. Perubahan data yuridis dapat berupa:
1) peralihan hak karena jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya
2) peralihan karena pewarisan

78
3) pembebanan hak tanggungan
4) peralihan hak tanggungan
5) hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak
milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan
6) pembagian hak bersama
7) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan
putusan pengadilan atau penetapan ketua
pengadilan
8) perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti
nama
9) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah
d. Perubahan data fisik dapat berupa:
1) pemecahan bidang tanah
2) pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari
bidang tanah
3) penggabungan dua atau lebih bidang tanah

7.3 Sistem Pendaftaran Atas Tanah


Dalam pendaftaran tanah terdapat dua sistem, yakni
sistem pendaftaran tanah dan sistem pengumpulan data atau
sering disebut dengan sistem publikasi. Dalam sistem
pendaftaran tanahyang menjadi pokok kajian antara lain apa
yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data
yuridis serta bentuk bukti haknya. Sistem pendaftaran tanah
terdiri dari:
1. Registration of deeds (sistem pendaftaran akta atau
perbuatan hukum) Dalam sistem pendaftaran akta, yang
didaftarkan adalah akta-akta yang bersangkutan. Pejabat
pendaftaran tanah bersifat pasif, dimana ia tidak

79
melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam
akta yang didaftar. Adapun kelemahan dari sistem
pendaftaran akta antara lain lamanya untuk memperoleh
data yuridis (dengan melakukan title search)
2. Registration of titles (sistem pendaftaran hak atau
hubungan hukum)
Dalam sistem ini yang didaftarkan bukanlah aktanya,
namun yang didaftarkan adalah hak-hak yang diciptakan
dan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.
Hak tersebut didaftar dalam suatu daftar isian yang
disebut register (buku tanah). Akta pemberian hak
merupakan sumber data yuridis untuk mendaftar hak
yang diberikan dalam buku tanah. Dalam proses
pendaftaran tanah, pejabat pendaftaran tanah bersikap
aktif. Sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam buku
tanah dan pencatatan perubahan-perubahan haknya
kemudian, oleh pejabat pendaftaran tanah dilakukan
pengujian kebenaran data yang dimuat dalam akta yang
bersangkutan. Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa
istilah registration of titles adalah kata lain dari Torrens
System.36
Sedangkan sistem pengumpulan data (sistem publikasi)
terdiri dari:
1. Sistem negatif (murni)
Menurut sistem negatif, Negara tidak menjamin
bahwa orang yang terdaftar sebagai pemegang hak
merupakan pihak yang benar-benar berhak, karena

36 Pendapat dari Greenville Barnes yang dikutip oleh Antje M, Ma’mun,

dalam Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertifikat sebagai


Tanda Bukti Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), Cipta Jaya,
Jakarta, h. 63.

80
menurut sistem ini bukan pendaftaran tapi sahnya
perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan
berpindahnya hak kepada pembeli.37 Terkait dengan hal
tersebut, maka dalam sistem pendaftaran negatif,
memungkinkan pemegang hak terdaftar dapat diganggu
gugat dan pemilik terdaftar tidak dilindungi sebagai
pemegang yang sah menurut hukum. Dengan demikian,
pendaftaran berarti pendaftaran hak yang tidak mutlak,
sehingga hal ini berarti mendaftarkan peristiwa
hukumnya yaitu ”peralihan haknya”, dengan cara
mendaftarkan akta/deed yang dalam bahasa Inggris
disebut dengan registration of deeds.38 Dalam sistem ini
berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus yuris.39
Kelemahan dari sistem negatif ini adalah pemegang
hak merasa enggan mendaftarkan haknya. Sedangkan
kelebihannya adalah adanya perlindungan pada
pemegang hak sebenarnya dan adanya penyelidikan
riwayat adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum
sertipikatnya diterbitkan.
2. Sistem positif
Menurut sistem positif, sertifikat tanah berlaku
sebagai tanda bukti hak yang mutlak serta merupakan
satu-satunya tanda bukti hak atas tanah. Dalam sistem
positif, negara menjamin kebenaran data yang disajikan.
Sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang
merupakan perwujudan ungkapan : title by registration

37 Boedi Harsono,1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan

UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi,
Djambatan, Jakarta, hal.81.
38 Adrian Sutedi I, Op. cit., h. 122.
39 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi

Keadilan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, h. 108.

81
(dengan pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran
menciptakan suatu ”indefeasible title” (hak yang tidak
dapat diganggu gugat) dan the register is everything (untuk
memastikan adanya suatu hak dan pemegang haknya
cukup dilihat buku tanahnya).40 Kelebihan yang ada pada
sistem positif ini adalah adanya kepastian dari pemegang
hak, oleh karena itu ada dorongan dan kemauan pada diri
setiap orang (pemegang hak atas tanah) untuk
mendaftarkan haknya kepada instansi pemerintah.
Kelemahan sistem positif adalah pendaftaran yang
dilakukan tidak lancer dan dapat saja terjadi pendaftaran
atas nama orang yang tidak berhak, sehingga
menghapuskan hak orang lain yang lebih berhak.41

7.4 Asas-asas dalam Pendaftaran Atas Tanah


Pengaturan mengenai asas-asas pendaftaran tanah
tertuang dalam UUPA dan juga PP No. 24 tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah. Menurut Sudikno Mertokusumo , dalam
UUPA terdapat dua asas pendaftaran tanah, yakni:42
a. Asas Specialiteit
Menurut asas specialiteit, pelaksanaan pendaftaran
tanah didasarkan pada peraturan perundang-undangan
tertentu, secara teknis terkait dengan masalah
pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya.
Dengan adanya pendaftaran tanah diharapkan dapat
memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah,

40 Adrian Sutedi I, Op. cit., h. 121.


41 Andy Hartanto, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang
Belum Terdaftar Hak atas Tanahnya, Laksbang Justitia, Surabaya, h.48
42 Sahnan, Op. Cit, h. 105.

82
yakni memberikan data-data fisik tentang hak atas tanah,
seperti luas dan letak tanah.
b. Asas Openbaarheid/asas publisitas/asas keterbukaan
Menurut asas openbaarheid pendaftaran tanah
memberikan data-data yuridis mengenai hak atas tanah,
seperti siapa yang menjadi hak atas tanah, apa nama dari
hak atas tanah yang diberikan.
Selain diatur dalam UUPA, asas-asas pendaftaran
tanah juga diatur dalam PP No 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah
dilaksanakan berdasarkan beberapa asas, antara lain
asas sederhana, asas aman, asas terjangkau, asas
mutakhir dan asas terbuka.
a. Asas Sederhana
Asas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-
ketentuan pokok maupun prosedur pendaftaran tanah
dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.
b. Asas Aman
Asas aman dimaksudkan untuk memberikan
petunjuk bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan
dengan teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat
memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan
tujuan pendaftaran tanah itu sendiri
c. Asas Terjangkau
Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-
pihak yang memerlukannya, terutama golongan ekonomi
lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka

83
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau
oleh para pihak yang memerlukan.
d. Asas Mutakhir
Asas mutakhir dimaksudkan sebagai kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan pemeliharaan data pendaftaran tanah,
data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang
mutakhir, sehingga perlu diikuti kewajiban mendaftar dan
pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari.
e. Asas Terbuka
Asas ini dimaksudkan agar masyarakat bisa
memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data
yuridis yang benar setiap saat.

84
BAB VIII
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK LANDREFORM

8.1 Dasar untuk Penyelenggaraan Landreform


Tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga memerlukan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh agar
pemanfaatannya bisa dilakukan tanpa menimbulkan
masalah. Landreform merupakan salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna memberikan
kesejahteraan yang lebih merata kepada masyarakat dalam
kaitannya dengan pemanfaatan tanah itu sendiri. Adapun
yang menjadi dasar atau landasan dalam penyelenggaran
landreform di Indonesia antara lain:43
1. Landasan Ideal : Pancasila
2. Landasan Konstitusional : Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan
TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
3. Landasan Operasional :
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 7, Pasal
10, dan Pasal 17. Pasal 7 UUPA mengatur bahwa
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan agar tidak merugikan
kepentingan umum. Pasal 10 UUPA pada pokoknya
mengatur bahwa setiap orang atau badan hukum yang
mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya
wajib untuk mengusahakannya sendiri sendiri secara

43 Arie S. Hutagalung, et. al., 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan di

Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, h.257.

85
aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pasal 17
UUPA pada pokoknya menentukan batas luas
maksimum dan/ atau minimum tanah yang dimiliki
dengan suatu hak oleh satu keluarga atau badan
hukum yang dilakukan dalam suatu perundang-
undangan, serta pemberian ganti kerugian kepada
pemilik atas tanah-tanah yang merupakan kelebihan
dari batas maksimum.
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian bagi hasil. Dalam Undang-undang ini,
diatur mengenai perjanjian pengusahaan tanah
dengan cara bagi hasil antara pemilik tanah dengan
penggarap yang dilakukan atas dasar yang adil,
terjamin kedudukan hukumnya yang layak bagi
penggarap, dan menegaskan mengenai hak dan
kewajiban bagi pemilik dan penggarap tanah.
c. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian. Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur
mengenai asal tanah yang dapat dibagi dalam rangka
pelaksanaan land reform dan pemberian ganti rugi
kepada kepada bekas pemilik tanah yang terkena
landreform.
d. Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1964 tentang
Perubahan dan tambahan Peraturan Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP
ini telah mengubah beberapa ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.

86
e. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
4 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Harga Ganti Rugi
Tanah Kelebihan Maksimum dan Absente/ Guntai.

8.2 Pengertian dan Tujuan Landreform


1. Pengertian Landreform
Istilah landreform berasal dari kata “land” yang
berarti tanah dan “reform” yang berarti perubahan,
perombakan, atau penataan kembali. Jadi landreform
berarti merombak kembali struktur hukum pertanahan
lama dan membangun struktur pertanahan baru.44
R. Suprapto menyatakan bahwa landreform adalah
perombakan sistem penguasaan dan pemilikan tanah
pertanian disesuaikan dengan batas kemampuan manusia
untuk mengerjakan sendiri tanahnya, dengan
memperhatikan keseimbangan antara tanah yang ada dan
manusia yang membutuhkan.45 Dalam buku Ari Sukanti
Hutagalung dkk., disebutkan bahwa landreform adalah
suatu asas yang menjadi dasar dari perubahan-
perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Asas itu adalah bahwa “tanah
pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif
oleh pemiliknya sendiri”.46
Dalam pengertiannya, landreform dapat dibagi
dalam pengertian yang sempit dan luas. Budi Harsono
menyatakan bahwa landreform dalam pengertian yang
sempit adalah serangkaian tindakan dalam rangka
agrarian reform di Indonesia. Sedangkan dalam pengertian

44Ibid., h.255.
45 Sahnan, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang,h. 132.
46 Arie S. Hutagalung, Loc., cit.

87
luas, landreform disebut dengan agrarian reform.
Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum
yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.47
Bachsan Mustafa menyatakan bahwa Landreform
berarti perubahan sistem pemilikan dan penguasaan
tanah. Sistem Pemilikan dan penguasaan tanah yang
lampau diubah dengan sistem tata pertanahan yang baru
yang disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat yang sedang giat melaksanakan
pembangunan ekonominya.48
Pengertian landreform dalam UUPA, menurut
Bachsan Mustafa, meliputi pengertian yang luas atau
disebut agrarian reform yang mencakup tiga masalah
pokok, yaitu:49
a. Melakukan perombakan dan pembangunan kembali
sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah.
Tujuannya adalah untuk melarang groot grond bezit,
pemilikan tanah melampaui batas, sebab hal yang
demikian akan merugikan kepentingan umum. Asas
ini tercantum dalam Pasal 7,10, dan 17 UUPA.
b. Melakukan perombakan dan penetapan kembali
sistem penggunaan atas tanah atau disebut landuse
planning, asas-asasnya tertuang dalam Pasal 14 dan
15 UUPA.

47 Sahnan, Loc. cit.


48 Bachsan Mustafa, 1985, Hukum Agraria dalam Perspektif, Remadja
Karya, Bandung, h.26.
49Ibid., h.27.

88
c. Melakukan penghapusan terhadap hukum agraria
kolonial dan melakukan pembangunan Hukum
Agraria Nasional.

2. Tujuan Landreform
Banyak sarjana yang memberikan pendapat
mengenai tujuan dari landreform. Dari berbagai pendapat
sarjana, semuanya bermuara kepada usaha untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945.50 Tujuan diadakannya landreform menurut R.
Soeprapto adalah:51
a. Pemerataan penguasaan/pemilikan tanah pertanian
untuk meratakan hasil produksi
b. Mengakhiri sistem kapitalisme dan feodalisme dalam
penguasaan, pemilikan dan pengusahaan di bidang
keagrariaan.
c. Meningkatkan produksi pertanian
d. Meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat pada
umumnya
e. Meningkatkan harga diri para penggarap dan
meningkatkan gairah kerja
f. Menghilangkan jurang pemisah antara golongan
(petani) kaya dan miskin.

50 Ari S. Hutagalung, Op. Cit., h. 256.


51 R.Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek, UI
Press, Jakarta, h. 109.

89
Budi Harsono mengemukakan bahwa tujuan
diadakan landreform di Indonesia adalah:52
a. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan
maksud agar ada pembagian hasil adil pula, dengan
merombak struktur pertanahan secara keseluruhan
secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.
b. Melaksanakan prinsip tanah untuk bertani agar tidak
terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek
pemerasan.
c. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah
bagi setiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki
maupun wanita, yang berfungsi sosial. Suatu
pengakuan dan perlindungan terhadap privat-bezit
yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat
perorangan dan turun-temurun, tetapi yang berfungsi
sosial.
d. Mengakhiri sistem tuan tanah dan penghapusan
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-
besaran dengan tak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimum dan batas
minimum untuk tiap keluarga.
e. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang insentif secara gotong
royong dalam bentuk koperasi dan gotong royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata
dan adil, dibarengi dengan suatu sistem perkreditan
yang khusus ditujukan kepada golongan tani.

52 Sahnan, Op. Cit., h. 134.

90
Dari berbagai pandangan mengenai tujuan
landreform diatas, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
landreform ditujukan untuk meningkatkan kondisi social
ekonomi rakyat pada umumnya, dan petani pada
khususnya melalui pemerataan/pembagian tanah yang
lebih adil dan peningkatan hasil-hasilnya.

8.3 Program Landreform


Landreform merupakan perombakan atau penataan
ulang pemilikan dan penguasaan tanah untk mewujudkan
kesejahteraan yang adil dan merata. Program-program
landreform meliputi:
1. larangan pemilikan dan menguasai tanah pertanian
melampaui batas;
2. larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee/guntai;
3. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas
maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan
absentee, tanah bekas swapraja, dan tanah Negara
lainnya;
4. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-
tanah pertanian yang digadaikan;
5. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian
6. penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian,
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah
pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Penjelasan mengenai program-program landreform akan
diuraikan sebagai berikut.

91
1. Larangan pemilikan dan menguasai tanah pertanian
melampaui batas
Pasal 7 UUPA menentukan bahwa “untuk tidak
merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan”. Mengingat ketersediaan tanah pertanian
yang kian terbatas, khususnya di wilayah-wilayah
perkotaan yang jumlah penduduknya padat, maka
pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian
perlu dilakukan untuk mencegah bertumpuknya tanah di
tangan golongan orang tertentu saja.53 Ketentuan tentang
larangan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian yang
melampaui batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7
UUPA dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 17 UUPA yang
pada pokoknya menentukan bahwa perlu diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan mengenai luas
maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan suatu hak oleh suatu keluarga atau
badan hukum serta pengaturan tentang tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh
pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.
Pelaksanaan lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 17
UUPA adalah melalui Undang-Undang Nomor 56/Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Peratanian
yang selanjutnya dikenal dengan UU Landreform
Indonesia. UU No 56/Prp Tahun 1960 ini memuat 3 hal,
yakni:

53 Ari S. Hutagalung, Op. Cit., h.258.

92
a. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan
tanah pertanian;
b. penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian
dan larangan melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah itu
menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil
c. pengaturan tentang pengembalian dan penebusan
tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UU No 56 Prp Tahun 1960,
telah ditentukan bahwa luas batas maksimum pemilikan
dan penguasaan tanah pertanian yang diperbolehkan
adalah:
Di daerah-daerah Klasifikasi Tanah Sawah
yang kepadatan kepadatan sawah kering
penduduknya/Km penduduk (hektar) (hektar)
0 s.d. 50 1. tidak padat 15 20
2. Padat
51 s.d. 250 a. kurang 10 12
251 s.d. 400 padat 7,5 9
401 ke atas b. cukup 5 6
padat
c. sangat
padat

Penetapan luas maksimum ini memakai dasar unit


keluarga (bukan tiap orang), dimana pengertian satu
keluarga disini adalah terdiri dari ayah, ibu, dan 5 (lima)
anak.54

54 R. Soeprapto, Op. Cit., h.124.

93
2. Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee/
guntai
Berdasarkan Pasal 10 UUPA telah ditentukan bahwa
tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh
pemiliknya, dengan kata lain berdasarkan Pasal 10 UUPA
maka pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan atau
secara absentee tidak diperbolehkan, dengan alasan:
a. sebagai alat pengawasan/pengendalian agar tidak
terjadi pemilikan tanah yang melanggar batas
maksimal pemilikan atau penguasaan, dengan cara
memiliki tanah-tanah pertanian di kecamatan/
kabupaten yang berbeda.
b. menghindari kesulitan-kesulitan komunikasi antara
pemerintah setempat dengan para pemilik tanah
dalam rangka peningkatan produksi dan pemeliharaan
jaringan pengairan
Terdapat pengecualian bagi Program ini, yakni
diperbolehkannya pemilik tanah untuk tetap memiliki
tanah secara absentee/guntai apabila:
a. Letak tanah:
Apabila kecamatan dimana letak tanah tersebut
berada berbatasan dengan kecamatan pemilik tanah
bertempat tinggal, asalkan jarak antara tempat tinggal
pemilik dan tanahnya masih memungkinkan
mengerjakan tanah tersebut secara efisien (Pasal 3
ayat (2) PP No 224 Tahun 1961)
b. Subjek:
1) Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) PP No 224 tahun
1961, yaitu bagi:

94
a) mereka yang menjalankan tugas negara
(Pegawai Negeri, pejabat-pejabat militer, serta
yang dipersamakan dengan mereka).
b) mereka yang menunaikan kewajiban agama
c) mereka yang memiliki alasan khusus lainnya
yang dapat diterima.
2) Berdasarkan pasal 2 ayat (1) PP No 4 Tahun 1977,
yaitu:
a) pensiunan pegawai negeri; dan
b) janda pegawai negeri dan janda pensiunan
pegawai negeri selama tidak menikah lagi
dengan seorang yang bukan pegawai negeri
atau pensiunan pegawai negeri.
Bagi subjek yang dikecualikan diatas, dibatasi
memiliki tanah secara absentee sampai batas 2/5 dari
luas maksimum yang ditetapkan Pasal 2 UU No. 56 Prp
Tahun 1960. Pengecualian ini berlaku jika pegawai negeri
itu sudah memiliki tanah pada 24 September 1961.55
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas
maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan
absentee, tanah bekas swapraja, dan tanah Negara
lainnya
Ketentuan tentang redistribusi tanah tertuang
dalam Pasal 17 ayat (3) UUPA dan Peraturan
pelaksananya, yakni PP No 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian. PP ini kemudian diubah dengan PP Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pembagian

55 Ari S. Hutagalung et.al.,Op. cit., h.261.

95
Tanah dan Pemberian ganti Kerugian. Kedua PP ini
memuat ketentuan mengenai tanah-tanah yang akan
dibagikan (diredistribusikan), pemberian ganti rugi kepada
bekas pemilik, pembagian tanah dan syarat-syaratnya.
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-
tanah pertanian yang digadaikan
Gadai menurut hukum adat mengandung unsur
eksploitasi atau pemerasan, karena hasil yang diterima
pemegang gadai setiap tahunnya jauh lebih besar
dibandingkan bunga yang layak dari uang gadai yang
diterima dari pemilik tanah itu. Untuk menghilangkan
unsur eksploitasi/pemerasan dari gadai, maka perihal
gadai tanah diatur dalam UU No 56 Prp Tahun 1960.
Gadai tanah ini berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan
tentang batas minimum. Jika tanah yang selebihnya dari
batas maksimum itu milik orang yang bersangkutan,
maka tanah tersebut dikuasai oleh Negara, jika tanah
selebihnya dari batas maksimum itu tanah gadai, maka
tanah itu harus dikembalikan kepada yang memiliki
tanah. Pelaksanaan selanjutnya perihal gadai tanah
pertanian ini diatur dalam PMPA Nomor 20 Tahun 1963
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Gadai. Dalam
Peraturan ini dinyatakan bahwa pengertian “gadai” dalam
kenyataannya tidak hanya berupa uang, namun juga
dapat berupa benda atau jasa yang dapat dinilai dengan
uang.56

56Ibid., h. 265-266.

96
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah
pertanian
Perjanjian bagi hasil adalah salah satu hak atas
tanah yang bersifat sementara yang diatur dalam Pasal 53
UUPA dikatakan sebagai hak atas tanah yang bersifat
sementara karena perjanjian bagi hasil ini dalam waktu
singkat akan dihapus karena mengandung sifat
pemerasan.
Untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam
hal bagi hasil, maka dibentuk UU No 2 Tahun 1960
tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertaniandan
Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 tentang Perjanjian
Bagi Hasil Perikanan dengan tujuan agar:
a. pembagian hasil antara pemilik tanah dan penggarap
dilakukan atas dasar yang adil;
b. terjamin kedudukan hukum yang layak bagi
penggarap dengan menegaskan hak dan kewajiban
pemilik dan penggarap.
6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian,
disertai larangan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang
terlampau kecil
Perihal batas minimum pemilikan tanah pertanian
ditentukan dalam Pasal 17 UUPA dan UU No 56 Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Pembatasan luas minimum penguasaan tanah pertanian
adalah agar petani yang bersangkutan mendapatkan
penghasilan yang layak untuk menghidupi dirinya sendiri
dan keluarganya.

97
Berdasarkan Pasal 8 UU No 56 Prp Tahun 1960,
penetapan batas minimum pemilikan dan penguasaan
tanah pertanian seluas 2 (dua) hektar untuk tanah sawah.
Namun jika melihat perkembangan saat ini, dapat
dikatakan bahwa batas minimum dua hektar tersebut
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, sehingga
batas minimum tersebut perlu untuk dikaji ulang
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan
kondisi yang ada.

98
BAB IX
KETENTUAN POKOK TATA GUNA TANAH

9.1 Dasar Hukum Tata Guna Tanah


Penatagunaan tanah sebagai suatu kegiatan yang
bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan
mengatur tata guna tanah yang akan berdampak bagi
masyarakat luas tentunya pelaksanaanya harus memiliki
dasar yuridis. Secara konstitusional landasan pembentukan
politik dan hukum agraria nasional dan termasuk di
dalamnya dasar pelaksanaan penatagunaan tanah adalah
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pasal tersebut
menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 tersebut, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) sebagai dasar hukum agraria nasional. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa: “Atas dasar
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-
hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekauaan alam yang terkandng di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara
sebagai organisasi seluruh rakyat”. Dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPA tersebut termuat azas hak menguasai negara sebagai
salah satu azas dari hukum agraria nasional yang merupakan

99
dasar dan harus menjiwai pelaksanaan UUPA dan peraturan
pelaksanaannya.57
Hak menguasai negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
UUPA bukan berarti negara sebagai pemilik melainkan negara
diberikan wewenang sebagai organisasi kekuasaan dari
Bangsa Indonesia untuk pada tingkatan yang tertinggi:58
1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Secara lebih spesifik dasar yuridis kewenangan negara
untuk melakukan penatagunaan tanah adalah berdasarkan
Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA. Bahwa negara berwenang
untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan atas bumi, air,
dan ruang angkasa.59
Demi mewujudkan cita-cita Bangsa dan Negara
Indonesia di bidang agraria sebagai penjabaran Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945, maka UUPA sendiri sudah
mengamanatkan perlunya suatu rencana (planning) mengenai
peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang

57 Urip Santoso (selanjutnya disebut sebagai Urip Santoso I), 2006,


Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, edisi I, cetakan ke-2, Prenada Media,
Jakarta, hal. 57-59.
58 Lihat Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


59 Urip Santoso (selanjutnya disebut sebagai Urip Santoso II), 2015,

Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, cetakan ke-5, Prenadamedia Group,


Jakarta, hal. 240.

100
angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan
negara.60 Dengan adanya rencana (planning) berupa rencana
umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana
khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah tersebut
maka diharapkan pemanfaatan tanah dapat dikendalikan dan
teratur agar mampu membawa manfaat yang semaksimal
mungkin bagi Negara dan rakyat Indonesia.
Rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan
persediaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut terkait
dengan wewenang negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (2) huruf a UUPA. Wewenang negara tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 14 UUPA yang mengatur mengenai
rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah mengenai
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Rencana umum tersebut digunakan untuk keperluan-
keperluan sebagai berikut:61
1. Negara;
2. Peribadatan dan keperluan suci lainnya;
3. Pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan
dan lain kesejahteraan;
4. Memperkembangkan produksi pertanian, peternakan,
perikanan;
5. Keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.

60 Lihat Penjelasan Umum II angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


61 Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

101
Berdasarkan rencana umum tersebut kemudian
Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya,
sesuai dengan keadaan daerah masing-masing berupa
rencana-rencana khusus (regional planning).62
Ketentuan Pasal 14 UUPA tersebut harus dilaksanakan
dengan memperhatikan Pasal 15 UUPA yang menyatakan
bahwa siapapun harus memelihara dan mencegah kerusakan
pada tanah.63 Hal ini terkait dengan kewenangan negara
untuk melakukan penatagunaan tanah berdasarkan Pasal 2
ayat (2) huruf a UUPA yang salah satunya adalah
kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan
pemeliharaanbumi, air dan ruang angkasa. Salah satu
perwujudan kewenangan tersebut adalah dengan adanya
ancaman pidana bagi pelanggar kewajiban pemeliharaan
tanah berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UUPA.
Berdasarkan Pasal 14 UUPA dapat disimpulkan tata
guna tanah menurut UUPA adalah pembuatan rencana
mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air
dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, keagamaan,
ekonomis, dansosial untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Pembuatan rencana tersebut merupakan kewajiban
pemerintah untuk dilaksanakan.

62 Lihat Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang


Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Penjelasan Umum II angka 8
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
63 Muchsin, H., dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan

Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Cetakan I, Sinar Grafika,


Jakarta, hal. 47.

102
Penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang
merupakan wujud pelaksanaan Pasal 33 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR).64
Bahwa Pasal 33 UUPR menegaskan perlunya ditetapkan
neraca penatagunaan tanah, yang berisi neraca perubahan
dan kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta
data ketersediaan tanah dan penetapan prioritas
penyediaannya.65 Namun sebelum berlakunya UUPR yang
berlaku adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang (UUPR Lama). Dalam Pasal 16 ayat
(2) UUPR Lama diatur bahwa ketentuan mengenai pola
pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara,
dan tata guna sumber daya alam lainnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Berdasarkan pasal tersebut pada
tanggal 10 Mei 2004 kemudian ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (PP Penatagunaan Tanah).
Pembentukan peraturan pemerintah mengenai
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara
dan penatagunaan sumber daya alam lainnya juga
diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (5) UUPR66. Namun
peraturan pemerintah mengenai penatagunaan air,
penatagunaan udara dan penatagunaan sumber daya alam
tersebut belum terbentuk, sehingga hingga kini yang

64Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam


Konteks UUPA-UUPR-UUPLH, cetakan ke-2, Raja Grafindo Pesada, Jakarta, hal.
71.
65Arie Sukanti Hutagalung, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan

Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. 283.


66Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007: “Ketentuan

lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan


udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah”.

103
dijadikan landasan adalah PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. Karena PP Nomor 16 Tahun 2004
merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari UUPR Lama
maka ia berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUPR.

9.2 Pengertian dan Tujuan Tata Guna Tanah


1. Pengertian Tata Guna Tanah
Tanah sangat berkaitan dengan hajat hidup
masyarakat, karena hampir semua kegiatannya
dilaksanakan atau memanfaatkan suatu tempat yang
disebut tanah. Pemanfaatan tanah tersebut tentunya
harus ada pengaturannya agar pemanfaatannya bisa
dilakukan secara maksimal dan berkelanjutan.
Pengaturan atas pemanfaatan tanah mengacu berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait seperti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, namun tidak ada yang memberikan
definisi yang tegas mengenai apa yang disebut dengan
tanah.
Pengertian tanah kemudian dapat disimpulkan dari
pasal-pasal dalam peraturan yang terkait dengan tanah
tersebut di atas. Pasal-pasal tersebut diantaranya:
a. Pasal 1 ayat (4) UUPA, yang menyatakan, “Dalam
pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk
pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di
bawah air”.

104
b. Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menyatakan, “Atas dasar
hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain serta badan-badan hukum”.
c. Pasal 17 ayat (1) UUPA kemudian diamanatkan
pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah
yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah
oleh satu keluarga atau badan hukum.
d. Kemudian dalam Pasal 1 angka 2 PP Nomor 24 Tahun
1997 tentang pendaftaran tanah disebutkan bahwa,
“Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang
merupakan satuan bidang yang berbatas”.
Dari pengaturan dalam pasal-pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa tanah yang dapat dibebani hak atas
tanah hanya terbatas pada permukaan bumi secara
horizontal yang dapat diukur luasnya. Menurut A.M.
Yunus Wahid, pengertian tanah lebih sempit dari
pengertian ruang yang mencakup laut, udara dan tanah di
dalam bumi, sehingga dapat diterima pandangan bahwa
tata guna tanah atau penatagunaan tanah merupakan
bagian dari tata ruang.67 Hal senada juga dikemukakan
oleh Hasni yang menyatakan bahwa penatagunaan tanah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penataan
ruang atau subsistem dari penataan ruang, dan bahwa
saat ini penatagunaan tanah merupakan unsur yang

67 Yunus Wahid, A.M., 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, hal. 200-201.

105
paling dominan dalam proses penataan ruang.68Ruang
merupakan bagian dari pengertian agraria dalam arti luas
yaitu bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
(BARAKA).69 Yang dimaksud bumi adalah permukaan
bumi, tubuh bumi di bawahnya dan yang berada di bawah
permukaan air,70 dan bagian permukaan bumi itulah yang
disebut tanah.71
Istilah tata guna tanah (land use planning) atau
penatagunaan tanah berdasarkan ruang lingkup agraria
dalam Pasal 1 ayat (2) UUPAmerupakan bagian dari tata
guna agraria. Hal ini dikarenakan tanah sebagai bagian
dari bumi merupakan salah satu obyek hukum agraria
nasional dan berdasarkan obyek hukum agraria nasional
dan ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA, maka istilah yang
tepat untuk digunakan adalah tata guna agraria (agrarian
use planning).72 Agrarian use planning tersebut meliputi
land use planning (tata guna tanah), water use planning
(tata guna air), air use planning (tata guna udara) dan
resources use planning (tata guna sumber daya alam).73
Pengertian tata guna agraria dapat ditemukan pada
Penjelasan Pasal 33 ayat (1) UU 26/2007, yaitu
“penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air,
udara, dan sumber daya alam lain yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber

68 Hasni, Op.Cit., hal. 36.


69 Lihat Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
70 Lihat Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


71 Lihat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.


72Urip Santoso II, Op.Cit., hal 245.
73Muchsin, H., dan Imam Koeswahyono, Op.Cit., hal. 47-48.

106
daya alam lain melalui pengaturan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam
lain sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil”. Jadi tata guna tanah atau
penatagunaan tanah merupakan bagian dari tata guna
agraria.
Istilah tata guna tanah atau penatagunaan tanah
menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan
Tanah (PP 16/2004) juga disamakan dengan pola
pengelolaan tata guna tanah. Menurut Pasal 1 angka 1 PP
16/2004 penatagunaan tanah adalah; “sama dengan pola
pengelolaan tata guna tanah meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud
konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah
sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil”.74 Dapat disimpukan bahwa
penatagunaan tanah merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang mengatur kembali persediaan, peruntukan,
penggunaan dan pemeliharaan tanah.75
Penatagunaan tanah menurut Pasal 1 angka 1 PP
No. 16 Tahun 2004 meliputi penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah. Pengertian penguasaan tanah
adalah hubungan hukum antar orang per-orang,
kelompok orang atau badan hukum dengan tanah

74 Bandingkan dengan Penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


75Maria S.W. Sumardjono, 2009, et.al., Perencanaan Pembangunan

Hukum Nasional Bidang Pertanahan, Badan Pembinaan Hukum Nasional


Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 73.

107
sebagaimana dimaksud dalam UUPA.76 Penggunaan tanah
adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang
merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.77
Kemudian pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk
mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik
penggunaan tanahnya.78
Penataan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah tersebut kemudian berwujud dalam
konsolidasi pemanfaatan tanah. Secara yuridis pengertian
konsolidasi tanah terdapat dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah. Konsolidasi tanah menurut Pasal 1
Peraturan KBPN No. 4 Tahun 1991 adalah kebijaksanaan
pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan
penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas
lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sehingga
konsolidasi tanah merupakan suatu kebijaksanaan
pemerintah dalam mengatur penguasaan tanah,
menyesuaikan penggunaan tanah dengan rencana tata
guna tanah dan juga bagaimana pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dengan melibatkan partisipasi pemilik
tanah dan atau penggarap.
Partisipasi aktif masyarakat dalam konsolidasi
tanah sangat penting, karena dengan adanya kesadaran

76Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah.
77Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
78Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.

108
secara sukarela maka kegiatan ini dapat berjalan dengan
baik dan meminimalisir permasalahan hukum yang
biasanya muncul dalam kegiatan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Partisipasi masyarakat berdasarkan
Pasal 1, Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan KBPN No. 4 Tahun
1991 berwujud kesepakatan pemegang hak atas tanah
dan/atau penggarap tanah negara untuk melepaskan hak
atas tanah dan penguasaan fisik atas tanah-tanah yang
bersangkutan, untuk kemudian ditata menjadi bidang-
bidang tanah yang teratur yang akan dikembalikan
kepada mereka dan sebagian lain digunakan untuk
pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain
serta pembiayaan pelaksanaan konsolidasi.
Sasaran konsolidasi tanah berdasarkan pasal 2
Peraturan KBPN No. 4 Tahun 1991 adalah terwujudnya
suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang
tertib dan teratur. Dengan tercapainya sasaran tersebut,
maka manfaat yang dapat dicapai adalah:79
a. Kebutuhan akan adanya lingkungan pemukiman atau
areal pertanian dapat terpenuhi;
b. Membantu mempercepat laju pembangunan
pemukiman atau pertanian;
c. Pemerataan hasil-hasil pembangunan yang langsung
dinikmati oleh pemilik tanah;
d. Menghindari ekses yang sering timbul dalam hal
penyediaan tanah secara konvensional;
e. Konsolidasi tanah merupakan manifestasi prinsip
gotong royong dan penerapan Pasal 6 UUPA tentang
fungsi sosial hak atas tanah;
f. Pemilik tanah menikmati secara langsung keuntungan
akibat konsolidasi, baik kenaikan harga tanah atau
karena terciptanya lingkungan yang teratur. Sehingga
partisipasi berupa sumbangan tanah tetap

79Hasni, Op.Cit., hal. 312-313.

109
menguntungkan dibanding berkurangnya luas tanah
karena konsolidasi;
g. Bagi pemerintah, dapat merealisasikan rencana umum
tata ruang kota atau tata ruang daerah, sekaligus
menertibkan administrasi pemilikan tanah, sehingga
menghemat biaya pembangunan dan kemungkinan
peningkatan pemasukan keuangan melalui PBB;
h. Menempatkan rakyat sebagai subyek dalam
pembangunan.

2. Tujuan Penatagunaan Tanah


Berdasarkan Pasal 3 PP No. 16 Tahun 2004
penatagunaan tanah mempunyai tujuan untuk:
a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah;
b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi
kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian
pemanfaatan tanah;
d. menjamin kepastian hukum untuk menguasai,
menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi
masyarakat yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Pasal 14 UUPA kewajiban untuk


menyusun rencana tata guna tanah memang merupakan
kewajiban pemerintah. Kemudian berdasarkan Pasal 2
ayat (2) huruf a UUPA negara juga berwenang untuk
mengatur dan menyelenggarakan penatagunaan tanah.
Lebih lanjut kewenangan pemerintah untuk membuat
rencana penatagunaan tanah diatur dalam Pasal 33
UUPR.

110
Untuk mencapai tujuan penatagunaan tanah
sebagaimana tersebut di atas, maka masyarakat sebagai
pemilik tanah juga wajib untuk mematuhi rencana
tersebut dan semua peraturan dan kebijaksanaan yang
diambil oleh pemerintah terkait penatagunaan tanah.
Partisipasi masyarakat diperlukan karena obyek
penatagunaan tanah berdasarkan Pasal 6 PP No. 16
Tahun 2004 tersebut adalah bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya, baik yang sudah terdaftar maupun
yang belum terdaftar, tanah negara, dan tanah ulayat
masyarakat hukum adat. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengacu pada salah satu dasar dari hukum
agraria nasional pada Pasal 6 UUPA, yaitu bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.80 Dalam hal ini
pemanfaatan tanah tidak boleh dipergunakan semata-
mata demi kepentingan pemiliknya tetapi harus juga
bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

9.3 Asas-asas Tata Guna Tanah


Asas yang mendasari pelaksanaan penatagunaan tanah
pengaturannya terdapat dalam Pasal 2 PP No. 16 Tahun
2004, yaitu:
1. Asas keterpaduan, bahwa penatagunaan tanah dilakukan
untuk mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah.
2. Asas berdayaguna dan berhasilguna, bahwa
penatagunaan tanah harus dapat mewujudkan
peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang.
3. Asas serasi, selaras dan seimbang, bahwa penatagunaan
tanah menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing

80Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Prenada

Media, Jakarta, Hal. 17.

111
pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga
meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan
atau pemanfaatan tanah.
4. Asas berkelanjutan, bahwa penatagunaan tanah
menjamin kelestarian fungsi tanah demi memperhatikan
kepentingan antar generasi.
5. Asas keterbukaan, bahwa bahwa penatagunaan tanah
dapat diketahui seluruh lapisan masyarakat.
6. Asas persamaan, keadilan dan perlindungan hukum,
bahwa dalam penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak
mengakibatkan diskriminasi antar pemilik tanah sehingga
ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan
memanfaatkan tanah.

Menurut H. Muchsin, dan Imam Koeswahyono ada tiga


asas tata guna tanah, yaitu:81
a. Prinsip penggunaan aneka (Principle of Multiple Use), agar
diupayakan perencanaan harus dapat memenuhi
beberapa kepentingan sekaligus pada kesatuan tanah
tertentu.
b. Prinsip penggunaan maksimum (Principle of Maximum
Production), bahwa perencanaan harus diarahkan untuk
memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk
memenuhi kebutuhan yang mendesak.
c. Prinsip penggunaan yang optimal (Principle of
Optimalization Use), bahwa perencanaan harus diarahkan
agar memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
pengguna tanpa merusak kelestarian kemampuan
lingkungan.

9.4 Kegiatan-kegiatan Tata Guna Tanah


Pelaksanaan tata guna tanah adalah untuk
mewujudkan:
1. Tertib hukum di bidang pertanahan, hal ini didasarkan
pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan
pelaksanaanya.

81Muchsin, H., dan Imam Koeswahyono, Op.Cit., hal. 50.

112
2. Tertib administrasi di bidang pertanahan, hal ini didasari
pada ketentuan dalam pasal 19 UUPA tentang
pendaftaran tanah.
3. Tertib penggunaan, hal ini didasari pada ketentuan dalam
pasal 14 dan Pasal 15 UUPA.
4. Tertib pemeliharaan, hal ini didasari pada ketentuan
dalam pasal 15 UUPA.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, maka
dilakukan kegiatan-kegiatan untuk melakukan penatagunaan
tanah berdasarkan PP No. 16 Tahun 2004. Kegiatan
penatagunaan tanah berdasarkan Pasal 4 ayat (2) PP No. 16
Tahun 2004 dilaksakan di kawasan lindung dan kawasan
budi daya. Penatagunaan tanah tersebut kemudian
dilaksanakan melalui kebijakan penatagunaan tanah dan
penyelenggaraan penatagunaan tanah berdasarkan Pasal 5
PP No. 16 Tahun 2004.
Kebijakan penatagunaan tanah dalam PP No. 16 Tahun
2004 meliputi kebijakan di bidang penguasaan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah yang disesuaikan dengan rencana
tata ruang wilayah bersangkutan. Kemudian penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai
dengan Rencana Tata Ruang wilayah disesuaikan melalui
penyelenggaraan penatagunaan tanah.
Penyelenggaraan penatagunaan tanah di kabupaten/
kota meliputi:82
1. Penetapan rencana kegiatan penatagunaan tanah;
2. Pelaksanaan kegiatan penatagunaan tanah.

82Urip Santoso II, Op.Cit., hal 266-267.

113
Dalam rangka menyelenggarakan penatagunaan tanah,
berdasarkan Pasal 22 ayat (1) PP No. 16 Tahun 2004
dilaksanakan kegiatan yang meliputi:
1. pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah, yang meliputi:83
a. pengumpulan dan pengolahan data penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah, kemampuan
tanah, evaluasi tanah serta data pendukung;
b. penyajian data berupa peta dan informasi penguasaan,
penggunaan tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah
serta data pendukung; Data dan informasi bidang
pertanahan ini sebagai bahan masukan dalam
penyusunan dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah.84
c. penyediaan dan pelayanan data berupa peta dan
informasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah, kemampuan tanah, evaluasi tanah, serta data
pendukung.
2. penetapan perimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah menurut fungsi kawasan, yang meliputi:85
a. penyajian neraca perubahan penggunaan dan
pemanfaatan tanah pada Rencana Tata Ruang
Wilayah;
b. penyajian neraca kesesuaian penggunaan dan
pemanfaatan tanah pada Rencana Tata Ruang
Wilayah;

83Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah.
84Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
85Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.

114
c. penyajian dan penetapan prioritas ketersediaan tanah
pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
3. penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah, yang pelaksanaan melalui:86
a. penataan kembali;
b. upaya kemitraan;
c. penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada
negara atau pihak lain dengan penggantian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 25 PP No. 16 Tahun 2004
pemerintah melaksanakan pemantauan penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui pengelolaan
sistem informasi geografi penatagunaan tanah dalam rangka:
1. pembinaan penyelenggaraan penatagunaan tanah, yang
meliputi:87
a. pemberian pedoman;
b. pemberian bimbingan;
c. pemberian pelatihan; dan
d. pemberian arahan.
2. Pengendalian penyelenggaraan penatagunaan tanah, yang
meliputi:88
a. pengawasan, yang dilakukan dengan cara:89
1) supervisi; dan
2) laporan.

86Pasal 23 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah.
87Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
88Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
89Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.

115
b. penertiban yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Instrumen yang digunakan dalam melakukan
pembinaan dan pengendalian penatagunaan tanah terhadap
pemegang hak atas tanah berdasarkan Pasal 28 PP No. 16
Tahun 2004 adalah dengan pemberian:90
1. insentif, yang adalah pengaturan yang bertujuan
memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang sesuai
dengan tujuan penata-gunaan tanah diberikan kepada
pemegang hak atas tanah yang secara sukarela
melakukan penyesuaian penggunaan tanah.
2. pengenaan disinsentif, yang adalah pengaturan yang
bertujuan membatasi atau mengurangi kegiatan yang
tidak sejalan dengan tujuan penatagunaan tanah,
misalnya antara lain dalam bentuk peninjauan kembali
hak atas tanah, dan pengenaan pajak yang tinggi.
Disinsentif dikenakan kepada pemegang hak atas tanah
yang belum melaksanakan penyesuaian penggunaan
tanahnya.
Khusus bagi masyarakat yang kurang mampu,
berdasarkan Pasal 29 PP No. 16 Tahun 2004 Pemerintah
akan melaksanakan penataan kembali terhadap pemegang
hak atas tanah dari golongan ekonomi lemah. Penataan
kembali berdasarkan Pasal 23 ayat (4) huruf a antara lain
berupa konsolidasi tanah, relokasi, tukar menukar dan
peremajaan kota.

90Lihat Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah dan Penjelasannya.

116
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A.P.Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah di Indonesia


(Berdasarkan PP 24 Tahun 1997), Mandar Maju, Bandung.

Adrian Sutedi (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), 2014,


Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.

Andy Hartanto, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah


yang Belum Terdaftar Hak atas Tanahnya, Laksbang
Justitia, Surabaya.

Arie S. Hutagalung, et. al., 2012, Hukum Pertanahan di Belanda


dan di Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar.

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan


Pemerintah Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, 2008.

Bachsan Mustafa, 1985, Hukum Agraria dalam Perspektif, Remadja


Karya, Bandung.

Boedi Harsono,1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah


Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum
Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta.

Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah


Dalam Konteks UUPA-UUPR-UUPLH, cetakan ke-2, Raja
Grafindo Pesada, Jakarta.

Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif


Hukum, Rajawali Pers Jakarta, 2009.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Harta


Kekayaan Hak Tanggungan, Edisi Pertama, Cetakan Ke-3.

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah, Prenada


Media, Jakarta.

Maria S.W. Sumardjono, 2009, et.al., Perencanaan Pembangunan


Hukum Nasional Bidang Pertanahan, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta.

117
Moh.Yamin Lubis, Abd.Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran
Tanah, Mandar Maju, Bandung.

Muchsin, H., dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan


Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Cetakan
I, Sinar Grafika, Jakarta.

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma


baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media Yogyakarta,
2007.

Muhammad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis,2011 Pencabutan


Hak, Pembebasan, dan Pengadaan Tanah Cetakan Ke-1 :
Maret 2011 Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung.

Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Pendekatan


Ekonomi-Politik, Perkumpulan Untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis 2007.

Antje M, Ma’mun, dalam Adrian Sutedi, 2006, Kekuatan Hukum


Berlakunya Sertifikat sebagai Tanda Bukti Hak Atas Tanah
(Selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), Cipta Jaya, Jakarta.

R.Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek,


UI Press, Jakarta.

Sahnan, 2016, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press, Malang.

Santoso, Urip, 2012, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif,


Kencana Prenada Media Goup, Jakarta, Cet. 1.

Supriadi, 2016, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.

Santoso, Urip, 2006, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah,


edisi I, cetakan ke-2, Prenada Media, Jakarta.

Santoso, Urip, 2015, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, cetakan


ke-5, Prenada media Group, Jakarta.

Santoso, Urip, 2016, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Perspektif


Regulasi, Wewenang, dan Sifat Akta, Prenadamedia Group,
Jakarta.

Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah


Refleksi Keadilan Hukum Progresif, Thafa Media,
Yogyakarta.

118
Yunus Wahid, A.M., 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta.

Internet

Hak Milik, http://www.jurnalhukum.com/hak-milik/

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501)
sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725).

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3696)

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4385).

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun


1991 tentang Konsolidasi Tanah.

119

Anda mungkin juga menyukai