Anda di halaman 1dari 3

Full Day School: Solusi Tanpa Masalah?

Wilson Bhara Watu,

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Mahasiswa Program Magister Teknologi
Pendidikan Universitas Pelita Harapan Jakarta

Setelah hampir dua minggu masuk dalam kabinet kerja Jokowi-JK, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang baru Muhadjir Effendi mencoba membuat suatu gebrakan
dalam sistem pendidikan dasar dengan mengusulkan rencana pemberlakuan belajar sehari
penuh di sekolah atau yang biasa dikenal dengan Full Day School. Mendikbud memiliki satu
alasan utama dalam usulannya tersebut yaitu agar “secara perlahan karakter anak akan
terbangun dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang
kerja”(beritasatu.com, 7/7/2016). Selain alasan utama tersebut, beliau juga mengatakan
bahwa sistem tersebut merupakan sistem yang bisa ‘menyesuaikan diri’ dengan ritme hidup
masyarakat urban yang begitu ketat. Sistem full day school membantu mengikis kekhawatiran
orang tua akan anaknya sebelum mereka kembali ke rumah. Dengan demikian orang tua bisa
pulang dan menjemput anaknya saat selesai bekerja.

Gagasan untuk memberlakukan sistem full day school bukanlah hal yang asing bagi
sistem pendidikan di Indonesia. Ada beberapa sekolah yang sudah mulai memberlakukan
sistem sekolah sehari penuh ini walapun jumlahnya masih terbatas. Sekolah-sekolah tersebut
pada umumnya sudah memiliki sarana serta pra sarana yang mendukung bagi penerapan full
day school tersebut.

Tanpa mengabaikan niat baik Mendikbud untuk membentuk karakter anak secara
integral dengan menerapkan sistem tersebut, saya ingin melihat hal lain yang juga menjadi
konsekuensi dari rencana tersebut kalau seandainya dilaksanakan. Hal mendasar ingin saya
lihat dalam rencana penerapan sistem baru sekolah tersebut adalah asumsi Mendikbud bahwa
full day school dapat membuat anak-anak “tidak menjadi liar” di luar sekolah. Asumsi ini
perlu diperdebatkan karena berkonsekuensi langsung pada beberapa hal seperti anggapan
bahwa lingkungan luar sekolah dapat membuat anak menjadi liar dan berada lingkungan
sekolah lebih lama secara otomatis dapat membentuk kepribadian anak didik menjadi lebih
berkarakter. Hal pertama yang perlu dipertanyakan adalah apakah sang menteri sudah
membuat kajian yang mendalam tentang penyebab perilaku liar anak-anak? Ini penting sebab
sebuah kebijakan besar harus dibuat dengan landasan kajian ilmiah yang mendalam bukan
atas dasar asumsi pribadi. Menyatakan bahwa anak-anak akan menjadi liar kalau terlalu lama
berada di luar lingkungan sekolah adalah satu kesimpulan yang terlalu mengada-ada.

Lingkungan sosial tempat anak bermain selesai sekolah mempunyai pengaruh yang
juga cukup besar bagi perkembangan kemampuan sosialisasi anak-anak. Harus saya akui
bahwa ada juga hal yang berasal dari lingkungan luar yang berpengaruh buruk pada anak.
Namun, menyimpulkan bahwa lingkungan luar sekolah itu secara otomatis menyebabkan
anak-anak menjadi liar adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar. Pertanyaan berikutnya
adalah apakah sudah ada perbandingan yang lebih terukur antara karakter anak-anak yang
mengenyaam pendidikan pada full day school dan karakter anak yang berada pada half day
school sehingga pilihan full day school lebih difavoritkan untuk membentuk karakter anak?

Lagi pula, mencabut anak dari lingkungan masyarakat tempat ia berada bukan menyelesaikan
masalah tetapi bisa menimbulkan masalah baru yang tak kalah kompleks. Anak-anak butuh
sosialisasi dengan masyarakat tempat di mana ia tinggal, membutuhkan teman-teman
bermain di lingkungan masyarakatnya selain teman di sekolah, membutuhkan suasana baru
sehingga lingkup pergaulannya tidak berhenti di sekolah saja. Adalah terlalu dini
menyimpulkan bahwa masuknya anak secara full time di sekolah membuat mereka menjadi
pribadi yang berkarakter. Kita juga jangan lupa bahwa tak selamanya sekolah menjadi surga
bagi anak didik. Seorang anak yang di sekolahnya mendapat perlakuan yang kurang
menyenangkan dari teman-temannya atau pendidiknya boleh jadi menemukan lingkungan
yang lebih ramah di luar sekolah yang membuatnya bisa lebih berkembang dan berkreasi.

Selain itu terdapat kontradiksi dalam pernyataan sang menteri. Beliau katakan bahwa
gagasan ini untuk membentuk karakter anak. Jika karakter yang dimaksud adalah karakter
untuk bisa bertanggung jawab terhadap hidup sosialnya maka mencaploknya dari lingkungan
masyarakat tempat anak-anak tinggal adalah sebuah langkah kontra produktif. Anak-anak
kehilangan “ladang” di mana karakter yang telah mereka tumbuhkan mereka kembangkan.

Kita juga tentu tidak mengharapkan anak-anak kita menjadi pribadi-pribadi yang kaku
berada di masyarakat dan kehilangan lingkungan bermain dengan teman yang berasal dari
sekolah yang berbeda. Pemerintah mungkin berdalih bahwa anak memiliki waktu hari sabtu
untuk bisa bersama teman-teman tetapi bagaiamana mereka harus membagi waktu bersama
keluarga mereka.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah ketika beliau mengatakan bahwa
langkah ini diambil untuk menyesuaikan diri dengan ritme hidup orang tua. Beliau
berargumen bahwa ada banyak orang tua cenderung pulang pada sore hari sebab itu
menyesuaikan waktu pulang anak dengan waktu pulang orang tua adalah suatu langkah yang
bisa membantu meringankan pengawasan orang tua terhadap anak. Pertanyaannya adalah
apakah sudah dibuat survey menyeluruh terhadap tingkat kesibukan orang tua sehingga serta
merta mengambil kesimpulan bahwa semua orang tua memiliki tingkat kesibukan yang
sama? Ada cukup banyak orang tua yang memiliki waktu selesai kerja lebih awal sehingga
mereka bisa melaksanakan peran mereka secara maksimal dalam pendampingan anak-anak
mereka saat berada di luar sekolah baik itu dengan menjemput anak mereka atau dengan
berada bersama anak-anak mereka di rumah. Jika demikian maka memberlakukan kebijakan
ini secara menyeluruh tentu merupakan suatu hal keliru sebab peran orang tua seolah-olah
diambil alih oleh sekolah.

Untuk beberapa sekolah, sistem full day school boleh jadi cocok walaupun sistem itu
membutuhkan dana yang tidak sedkit dalam menyediakan sarana dan prasarana, tenaga
pendidik yang kompeten, serta desain kegiatan yang variatif. Selain itu sekolah-sekolah itu
memang menjadi pilihan (dan bukan kewajiban) karena orang tua para anak didik memiliki
pertimbangan khusus.
Alangkah baiknya jika Mendikbud tidak mewajibkan seluruh sekolah menerapkan sistem
seperti ini sebab setiap sekolah memiliki kondisi yang berbeda-beda sekalipun sekolah
tersebut berada dalam wilayah masyarakat urban seperti Jakarta. Ini penting sebab orang tua
memiliki hak atas waktu bersama anak dan negara dalam hal ini melalui sekolah tidak boleh
begitu saja membatasi waktu anak berada di lungkungan orang tua dan masyarakatnya.
Karena itu full day school sebaiknya tetap dipertahankan sebagai pilihan dan bukan sebagai
kewajiban yang harus diberlakukan secara menyeluruh. Ini penting sebab setiap sekolah
memiliki situasi dan kondisi yang khas. Memaksakan sistem ini terlalu dini akan
menyebabkan masalah baru.

Kalau yang menjadi tujuan dari arah kebijakan ini adalah pembentukan karakter anak
maka yang pertama-tama diperhatikan adalah sistem pendidikan serta desain kurikulum,
bukan jam sekolah yang diperpanjang. Sampai sekarang kita hampir belum mengetahui
secara pasti bentuk pendidikan karakter yang dimaksud. Sebab itu adalah lebih bijak jika
kebijakan ini dikaji secara lebih menyeluruh untuk menentukan apa saja menjadi titik lemah
dari pendidikan kita sehingga hal itu bisa diperbaiki dengan solusi yang lebih kontekstual.

Anda mungkin juga menyukai