Anda di halaman 1dari 4

Anti Komunisme atau Anti Intelektualisme?

Oleh: Wilson Bhara Watu, Alumni STFK Ledalero-Maumere, Tinggal di Jakarta

“Marxisme adalah isi dada saya” (Soekarno)

Kita sedang menghadapi satu situasi kontradiktif. Di satu sisi pemerintahan Indonesia di bawah
kepemimpinan Jokowi berusaha membuka fakta sejarah dan berdamai dengannya melalui
simposium 65. Kegiatan ini diapresiasi karena melibatkan hampir semua elemen yang punya
pengalaman dan pemahaman yang mendalam terkait peristiwa 65. Namun sayangnya, di sisi
lain pada saat yang sama muncul upaya pembredelan paham komunisme secara berlebihan.
Usaha memagari negara kita dari bahaya laten komunisme ini cukup agresif. Di beberapa
tempat, aksi “penyegelan” pengaruh komunisme ini tidak hanya terbatas pemusnahan atribut
yang berbau komunisme tetapi sudah sampai pada level penyitaan buku serta pelarangan
berbagai aktivitas ilmiah yang dianggap “menyesatkan”.

Sampai sekarang belum ada satu fakta pun yang menunjukkan bahwa pengaruh tersembunyi
komunisme sudah bangkit kembali selain munculnya atribut-atribut palu arit yang berciri
simbolis belaka. Sebaliknya, perlawanan terhadap komunisme sudah bersifat masif, terstruktur,
dan anarkis. Masif karena banyak elemen sipil yang juga terlibat seperti ormas-ormas anti-PKI,
terstruktur karena berdasarkan instruksi negara untuk menggunakan pendekatan legalistik-
hukum, serta anarkis sebab menggunakan cara yang kurang demokratis seperti berbagai
pelarangan aktivitas-aktivitas ilmiah (termasuk penyitaan buku-buku kiri).

Pendekatan Legal, Ketakutan Massal

Setelah mendengarkan arahan Presiden, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan akan
menggunakan pendekatan hukum dalam menghadapi kebangkitan komunisme (CNN Indonesia
, 10/5/2016). Itu artinya negara akan menindak tegas setiap indikasi bahaya laten komunisme
dengan menggunakan pasal-pasal hukum. Dengan pendekatan legal ketat seperti ini negara
optimis bahwa bahaya laten komunisme bisa diredam. Namun, solusi tak semudah itu.
Pendekatan legal yang berciri militeristik ini memiliki efek lanjutan. Siklus kekerasan (baik itu
fisik maupun simbolik) akan terbalik. Jika yang awalnya ditakuti adalah reinkarnasi komunisme
maka yang muncul kemudian adalah kebalikannya, ketakutan akan kelahiran kembali
militerisme dan kekerasan sipil. Situasi ini bisa lebih berbahaya dari orde baru. Jika pada orde
baru militer berkuasa secara monopoli dalam menumpas PKI, pada saat ini situasi akan lebih
mengenaskan. Ormas-ormas fanatik yang mengklaim mewakili masyarakat sipil seolah-olah
mendapat alasan legal dalam upaya menumpas komunis. Tak jarang mereka menggunakan cara
anarkis.

Ada beberapa contoh yang menunjukkan sikap berlebihan (baik negara maupun sipil) dalam
menghadapi munculnya pengaruh komunisme. Di Pemekasan, Madura, Jawa Timur, Kodim
0862 bahkan menggandeng berbagai organisasi sipil untuk menumpas pengaruh komunisme
(CNN Indonesia ,12/5/2016). Di Bandung terjadi peristiwa yang lebih agresif. Ormas Front
Pembela Islam (FPI) berusaha membubarkan aktivitas ilmiah Sekolah Marx karena dianggap
berbahaya dan subversif padahal yang dilakukan oleh sekolah tersebut merupakan suatu
pendidikan rasional (Viva.co.id, 11/5/2016). Di Yogyakarta hal serupa juga terjadi bahkan
dengan melibatkan aparatur negara. Acara peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia yang
diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang akan diisi dengan pemutaran film
dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” dibubarkan oleh ormas sipil dan aparat keamanan
lantaran dianggap memiliki benih-benih komunis (Tempo.com, 3/5/2016). Belum lagi
munculnya razia buku-buku kiri seperti yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Sukoharjo, Jawa
Tengah. Polisi menyita buku-buku yang terindikasi menyebarkan komunisme (Lipitan6.com,
13/5/2016). Yang cukup mengejutkan, toko buku sekelas Gramedia mesti akhirnya
menghentikan penjualan buku-buku kiri sampai akhir bulan sebagai konsekuensi inspeksi pihak
kepolisian beberapa waktu lalu (CNN Indonesia, 14/5/2016).

Beberapa fakta ini menunjukkan adanya sirkulasi ketakutan massal. Awalnya negara dan
kelompok masyarakat tertentu takut akan bahaya laten komunis. Ketakutan ini coba diatasi
dengan melakukan pendekatan hukum yang ketat. Sayangnya pendekatan hukum yang berciri
militeristik ini malah menjadi momok tersendiri yang jauh lebih menakutkan. Produksi ancaman
bukan lagi muncul dari ‘hantu komunisme’ tetapi diracik oleh negara. Saya berani katakan
bahwa negara jauh lebih garang dari ancaman laten komunis yang belum terbukti sampai
sekarang.

Melawan Rasa Takut

Setidaknya ada dua presiden negara kita yang pernah membaca karya Marx secara serius dan
mendalam. Mereka adalah Soekarno dan Gus Dur. Soekarno bahkan membaca buku Das
Kapital beberapa kali dan secara tegas tanpa tedeng aling-aling menegaskan, “Ya, Aku Marxis!”.
Gus Dur punya cara khas dalam membaca Marx. Dia katakan “Marx harus diikuti analisisnya
terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja dituruti dalam kesimpulan. Dengan kata lain,
Marxisme haruslah dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki
kebenaran transendental” (Abdurrahman Wahid, 1999:191). Bagi Gus Dur, belajar dari Marx tak
selamanya harus jadi komunis. Kita cuma meminjam pisau bedah analisisnya dan
menerapkannya dalam konteks Indonesia.

Dengan cara baca yang brilian terhadap Marxisme apakah kemudian kedua orang ini (Soekarno
dan Gus Dur) dianggap punya pemikiran yang subversif, berbahaya, dan menakutkan? Sama
sekali tidak. Mereka memahami komunisme dari akarnya dan belajar begitu banyak dari aliran
pemikiran itu. Mereka tetap menjadi seratus persen nasionalis setelah membaca Marx secara
mendalam.

Inspirasi tentang asas kesejahteraan sosial yang Soekarno tekankan secara tegas dalam pidato
lahirnya Pancasila tak luput dari inspirasi analisis-analisis Marx atas ketimpangan struktur kelas
sosial pada masyarakat Eropa. Soekarno dan Gus Dur membaca Marx secara produktif dan
dialektis. Produktif karena mereka bisa mengambil “pisau analisis” yang digunakan oleh Marx
dan menemukan “lahan” yang tepat untuk membedah dan menemukan suatu kazanah
pemikiran dan solusi yang segar. Dialektis karena mereka berhasil memadukan dua horison
yaitu tradisi Marxisme dan semangat gotong royong secara kontekstual dan tepat sasar.

Belajar dari kedua tokoh besar bangsa ini, yang seharusnya kita bangun sekarang ini adalah
suatu pendekatan yang menumbuhkan rasa optimis dan rasional ketimbang terus abertahan
pada model pendekatan hukum yang berujung pada sosialisasi ketakutan secara masif. Kita
sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan massal. Sejak Orde Baru komunisme sudah
diidentikan dengan setan yang harus ditumpas. Setan itu mesti dimusnahkan karena
menakutkan. Gerenasi sekarang pun mendapat ‘kado sejarah’ ini. Kita sedang mewariskan
tradisi takut komunis bagi lapisan generasi sekarang.

Ini tentu suatu warisan yang keliru. Kita mesti membuang warisan rasa takut yang sudah usang
ini. Komunisme hanya bisa diatasi dengan, mengutip Franz Magnis-Suseno, mengetahuinya
secara mendalam seluk-beluknya, dengan suatu sikap intelektual yang tepat. Itu saja. Generasi
ini perlu dibekali dengan pemahaman yang rasional dan argumentatif terhadap berbagai aliran
pemikiran dunia sehingga mereka tidak cepat menghakimi suatu pemikiran tanpa alasan
rasional melainkan dapat menyikapinya secara argumentatif.

Berdasarkan alur pemikiran ini, negara seharusnya perlu membangun suatu tradisi intelektual
yang lebih kokoh dalam menghadapi komunisme ketimbang pendekatan militeristik yang hanya
menumpas komunisme dengan penuh ketakutan tanpa mencerahkan. Ini adalah suatu
imperatif demokrasi sebab ketakutan dan kekerasan yang irasional akan berujung pada
pembakaran sejarah sedangkan pendidikan yang argumentatif dan optimisme akan berbuah
pada pembelajaran sejarah. Ini sangat penting sebab, menutip filosof Spanyol George
Santayana, “mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah akan ditakdirkan untuk
mengulanginya”.

Anda mungkin juga menyukai