Anda di halaman 1dari 14

KOMUNITARIANISME MICHAEL SANDEL: PEMIKIRAN DASAR, RELEVANSI

POLITIS, DAN KRITIK ATASNYA

Wilson Bhara Watu

PENDAHULUAN

Michael Sandel mengawali pembahasannya tentang tanggapannya atas liberalisme dengan


satu pengandaian dasar, bahwa terdapat suatu relasi yang dekat antara praksis politik dan pengandaian
teoretis yang berada di belakangnya. “Perbuatan-perbuatan dan instiusi-institusi [modern] kita,
demikian Sandel, merupakan pengejawantahan dari teori [politik tertentu]”.[1] Setidaknya itulah yang
dilihatnya dalam realitas kehidupan politik kontemporer. Karena itu, apa yang menjadi intensi dari
Sandel adalah bahwa ia hendak membuka horison pemikiran dengan sikap teoretis alternatif a la
komunitarian, yang selanjutnya akan berimplikasi pada ranah praksis politik. Ia hendak menggalakan
potensi-potensi yang “mati” akibat tendensi liberalisme yang ‘memasung’ jaminan atas hak hidup
konsep serta cakrawala nilai komunitas .

Persoalan konsep antropologis tentang manusia, hak dan kebaikan, pendasaran-pendasaran


teoretis liberal, tema keadilan, serta tema netralitas negara akan menjadi tema khas pembahasan
Sandel. Tema-tema tersebut sebenarnya juga menjadi bidang kajian para liberalis sejak awal
kemunculannya. Namun, Sandel mengulas tema-tema tersebut dari perspektif alternatif komunitarian.
Karena itu tulisan ini berintensi untuk menguraikan pandangan Sandel yang khas komunitarian serta
menunjukkan implikasi politisnya. Berdasarkan pengandaian Sandel sendiri bahwa setiap praksis
politik memiliki pengandaian teoretis tertentu, maka struktur tulisan ini akan menunjukkan alur
pemikiran Sandel mulai dari pengandaian antropologis teoretisnya tentang manusia dan implikasi
politis dari pengandaian teoretis tersebut.

Pembahasan saya tentang tema ini akan dimulai dengan (1) pembahasan atas fondasi-fondasi
liberalisme Kant serta pengaruhnya dalam Rawls seturut uraian Sandel. Pembahasan tentang bagian
ini akan menunjukkan bagaimana tesis dasar liberalisme Kant dan Rawls bekerja, serta implikasinya
pada pemisahan antara hak dan kebaikan. Setelah itu uraian selanjutnya akan berkutat seputar (2)
kritik Sandel atas liberalisme Kant dan Rawls, serta tawaran alternatif Sandel menyikapi ‘kekeringan’
liberalisme. Sandel menguraikan adanya kecenderungan atomisme dalam liberalisme. Baginya
liberalisme sebenarnya ‘naif’ dalam arti bahwa liberalisme tidak memperhitungkan keberadaan
komunitas sebagai pemberi identitas bagi setiap individu. Liberalisme menganggap individu mampu
terlepas dan bersikap independen terhadap keberadaan komunitas. Kritik Sandel atas liberalisme serta
versi alternatifnya tentang manusia selanjutnya akan berujung pada (3) konsep praksis politis. Dalam
bagian ini akan secara khusus dibahas konsep netralitas negara dan batas-batasnya. Liberalisme
memang menjunjung tinggi asas netralitas negara dalam pengertian bahwa negara tidak boleh
mendasarkan dirinya atas paham kebaikan yang bersifat partikular, serta negara perlu bersikap netral
dan tidak mengintervensi konsep hidup baik komunitas-komunitas yang hidup di dalamnya. Sandel
menujukkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu negara tidak boleh netral dan juga mesti
memperhitungkan keberadaan konsep kebaikan yang ditawarkan oleh komunitas ketika berhadapan
dengan kasus-kasus krusial. (4) Selanjutnya pada akhir tulisan ini saya akan membuat beberapa
catatan kritis terhadap konsep filosofis dan tawaran praksis politisnya.
SUBJEK DALAM PERSPEKTIF LIBERALISME KANT DAN RAWLS

Distingsi antara Hak dan Kebaikan

Salah satu visi filosofis politis dari liberalisme adalah pemisahan yang jelas antara hak dan
kebaikan. Dalam visi politisnya tersebut liberalisme memberikan porsi yang istimewa bagi
keadilan, fairness, dan hak-hak individual.[2] Dalam konteks ini hak berkaitan dengan jaminan atas
kebebasan individu untuk menentukan secara otonom tujuan hidupnya, serta perlindungan terhadap
individu dari kecenderungan mengorbankan individu demi kebaikan umum. Kebaikan yang dimaksud
adalah seluruh kazanah tradisi yang berisikan nilai-nilai, serta pandangan hidup yang menjadi
identitas dari komunitas tertentu. Pembedaan hak dari kebaikan ini selanjutnya terarah pada prioritas
hak atas konsep kebaikan. Prioritas hak atas konsep kebaikan inilah yang menjadi salah satu inti dari
liberalisme. Sandel menulis:

“tesis utama [liberalisme] adalah sebagai berikut: sebuah masyarakat yang adil
tidak berupaya untuk mempromosikan tujuan-tujuan partikular tertentu, tetapi
memampukan para warganya untuk mencari tujuan-tujuan mereka sendiri, selaras
dengan kebebasan yang sama untuk semua; dan oleh karena itu masyarakat
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak diandaikan dari konsepsi kebaikan
tertentu. Apa yang membenarkan prinsip regulatif ini di atas semuanya adalah
bahwa prinsip-prinsip ini tidak hendak memaksimalkan kesejahteraan bersama, atau
mengolah kebajikan, atau mempromosikan kebaikan, tetapi bahwa prinsip-prinsip
tersebut menyesuaikan diri dengan konsep hak, sebuah kategori moral yang
diberikan mendahului kebaikan dan bersifat independen dari [konsep kebaikan]
itu”.[3]

Menurut Sandel, dalam terang visi liberalisme, apa yang membuat sebuah masyarakat adil adalah
bukan telos atau tujuan yang hendak dicapainya, tetapi sebuah kerangka kerja prosedural yang di
dalamnya para warganya dapat secara bebas mencari serta mencapai nilai-nilai serta tujuan-tujuan
mereka masing-masing.[4] Maksudnya liberalisme hendak menawarkan suatu iklim egaliter yang
memungkinkan setiap orang mampu menemukan sendiri apa yang dianggapnya baik dan cocok bagi
tujuan hidupnya. Kerena itu, masyarakat liberal tidak hendak mempersoalkan apakah sebuah kebaikan
tertentu benar in se karena tema tersebutk berada di luar domain publik, tetapi memperhatikan
jaminan bagi setiap individu untuk secara bebas menemukan konsep kebaikannya sendiri. Individu
diberi jaminan baik untuk mempertahankan konsep kebaikan komunitasnya ataupun mempertanyakan
serta bahkan meninggalkan konsep kebaikan yang diberikan oleh komunitasnya.

Sebagai contoh, masyarakat liberal yang adil tidak akan mempertanyakan kebenaran doktrin
kebudayaan tertentu, tetapi menjamin hak para warganya untuk mengambil sikap atas konsep doktrin
kebaikan yang diberikan komunitas kebudayaan tertentu. Selain memiliki visi menjamin hak tiap
individu, liberalisme juga menandaskan bahwa konsep tentang keadilan bukanlah suatu turunan dari
visi partikular tertentu[5]. Sebalikya keadilan melampaui partikularitas konsep kebaikan yang dimiliki
komunitas-komunitas. Jika hak memiliki prioritas atas kebaikan, maka pertanyaanya adalah jaminan
apakah yang menjadi pendasaran bahwa hak mesti didahulukan dari kebaikan? Bukankah individu
selalu terlahir dalam komunitas tertentu serta sudah selalu ‘memikul’ label visi tertentu yang
‘dibebankan’ dari komunitas tersebut? Atau dengan pertanyaan konkret sebagai contoh, apakah saya
misalnya yang terlahir sebagai orang Katolik mampu menciptakan sendiri tujuan serta konsep
kebaikan diri saya, terlepas dari konsep kekatolikan yang telah mengendap dalam diri saya?
Kant dan Rawls tentang Kemampuan Subjek

Salah satu tesis dasar liberalisme adalah individualisme moral. Tesis ini berhubungan dengan
jaminan atas setiap individu untuk tidak dikorbankan demi kebaikan bersama. Apa yang melandasi
tesis ini? Bagi Kant, individu memiliki kualitas dan kemampuan moral yang harus dihargai. Kualitas
tersebut berkaitan dengan martabat (dignity) yang melekat dalam setiap pribadi. Karena keberadaan
martabat yang inheren dalam setiap pribadi manusia tersebut maka adalah tidak adil jika individu
hanya diperlakukan sebagai sarana entah bagi kepentingan kolektif maupun kepentingan individu
lainnya.[6] Logisnya, setiap individu memiliki kualitas kodrati yang khas yang perlu dihargai secara
konsekuen dan karenanya setiap individu pantas mendapat penghargaan yang setara atas dasar
keberadaan martabat tersebut.

Penghargaan terhadap martabat yang secara inheren berada dalam tiap individu tak dapat
dilepaskan dari penghargaan terhadap kualifikasi otonomi diri yang juga ada dalam diri setiap
manusia. Bagi Kant, setiap individu memiliki kualitas kebebasan untuk dapat menentukan pilihan
moralnya. Kualitas tersebut ditunjukkan melalui kehendak bebas yang ada di dalam diri setiap
manusia. Manusia tidak hanya menerima atau melaksanakan pilihan moralnya secara heteronom.
Artinya, manusia tidak hanya menerima pilihan-pilihan moral yang ditentukan dari tradisi yang telah
ada dan dihidupi oleh setiap orang, dan dengan demikian enggan mempertimbangkan pilihan-pilihan
moralnya sesuai dengan kehendak bebas yang dimilikinya. Sebaliknya bagi Kant, manusia mesti
secara otonom bertindak atas dasar prinsip-prinsip rasional yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Atas dasar itulah Kant menetapkan imperatif kategorisnya sebagai penuntun kaidah moral
bagi setiap individu.

Kant tidak berbicara soal moral secara substansial, atau kebaikan in se, tetapi ia bergerak pada
tataran prosedural yakni menetapkan prinsip-prinsip yang menuntun orang untuk mengekspresikan
kehendak moralnya. Imperatif kategorisnya berbunyi demikian, “Bertindaklah seolah-olah maxim
tindakan Anda melalui keinginan Anda sendiri dapat menjadi sebuah hukum alam yang universal”[7].
Maksim yang dimaksud adalah prinsip-prinsip atau kaidah normatif yang mana ditentukan sendiri
oleh manusia untuk bertindak seturut maksud atau intensi moralnya.[8] Ciri liberal dari prinsip
kategoris Kant adalah bahwa individu sendirilah yang menetapkan secara otonom tindakan moral
yang pantas, dengan syarat pengandaian bahwa tindakan tersebut dapat secara universal diterima.
Sebagai contoh, ketika hendak menyalurkan bantuan kepada para pengungsi alam akibat letusan
gunung berapi di Palue, saya secara otonom bertanya apakah tindakan tersebut (memberikan bantuan
bagi para pengungsi bencana alam) dapat juga diterima secara universal dalam situasi yang serupa.
Bagi Kant, prinsip ini disokong oleh kemampuan dasariah manusia sebagai makhluk yang rasional
yang mampu menurunkan maksim-maksim tindakan[9]. Nah dengan demikian bagi Kant, kehendak
baik bukanlah monopoli pemberian atau formasi komunitas atas subjek tetapi sebaliknya inheren
dalam diri subjek sebagai makhluk rasional.

Lalu apa konsekuensinya? Bagi Kant, konsekuensi lanjutannya adalah bahwa priorotas mesti
diberikan pada hak tiap individu untuk secara bebas menentukan tindakan moralnya sesuai dengan
prinsip kategoris tersebut. Bagi kant, hak [yaitu kualitas kebebasan untuk bertindak moral yang
dimiliki oleh tiap manusia] tersebut “diturunkan sepenuhnya dari konsep kebebasan dalam relasi
eksternal manusia-manusia, dan tidak memiliki hubungan dengan tujuan yang mana semua manusia
miliki secara kodrati [tujuan mencapai kebahagiaan] atau dengan sarana-sarana yang dikenal untuk
mencapai tujuan ini”[10]. Dengan kata lain, bagi Kant, prinsip hak mesti didahulukan dari prinsip
kebaikan yang ditawarkan oleh komunitas. Selanjutnya Sandel menulis bahwa konsekuensi lanjutan
dari prinsip seperti ini adalah

“prinsip tersebut mesti menjadi dasar yang mesti didahulukan dari semua tujuan
empiris [yang ditetapkan oleh komunitas atau lingkup hidup tertentu misalnya][11].
Hanya ketika saya diperintahkan oleh prinsip-prinsip [imperatif kategoris] yang
tidak didasarkan dari tujuan-tujuan partikular tertentu, maka saya bebas untuk
mencari tujuan-tujuanku sendiri dalam ruang kesempatan yang serupa seperti yang
dimiliki oleh orang lain”[12]

Secara politis Sandel menunjukkan konsekuensi bahwa akibat dari mendahulukan subjek serta
haknya, ketimbang tujuan-tujuan dan kebaikan-kebaikan adalah bahwa

“masyarakat mendapat sistem yang terbaik ketika dituntun oleh prinsip-prinsip yang
tidak mengandaikan konsep kebaikan partikular tertentu, karena setiap penetapan
[politis yang berdasarkan konsep hidup baik tertentu] akan gagal untuk menghargai
pribadi-pribadi sebagai yang mampu menetapkan pilihan-pilihan mereka, [dan]
penetapan seperti itu akan [cenderung] memperlakukan manusia-manusia sebagai
objek-objek ketimbang subjek-subjek, sebagai sarana-sarana ketimbang tujuan-tujuan
dalam diri mereka sendiri”.

Pandangan Kant ini selanjutnya menjadi titik tolak Rawls dan ditransformasikan seturut konteks
tradisi Anglo-Amerika. Pandangan Kant yang mendahulukan hak dari kebaikan ini kemudian diambil
alih oleh Rawls dengan menetapkan prioritas keadilan dari kebaikan.

Rawls kemudian maju selangkah dengan pandangannya tentang posisi asali (original
position). Intensi Rawls adalah hendak menyediakan apa yang tidak diberikan oleh argumen
transendental Kant untuk menjadi suatu pendasaran untuk mendahulukan hak dari kebaikan, bagi
setiap individu yang sudah “tersituasi”, atau individu yang sudah berada dalam komunitas tertentu
dengan keyakinan dan beban yang sudah dipikulnya. Walaupun individu sudah bergerak dalam
cakrawala kepentingan, nilai, dan konsep hidup baik tertentu, bagi Rawls individu tetap akan
menyetujui dua prinsip filosofis yang merupakan ideal normatif tata kehidupan politis modern.
Namun, yang menjadi syarat bahwa individu dapat memandang dua prinsip tersebut adalah bahwa
individu mesti berada pada sebuah posisi asali (original position). Rawls mengatakan bahwa kondisi
yang dimaksudkannya dngan posisi asali tersebut bukanlah bersifat historis, tetapi bersifat hipotetis,
diandaikan.[13]. Dalam posisi asali, mereka berada dalam kondisi ketidaktahuan (Veil of Ignorance)
dan dalam kondisi ini individu belum mengetahui

· tempat mereka dalam masyarakat (sebagai contoh kelas dan status sosial);
· ras atau jenis kelamin mereka;
· nasib dalam distribusi kekayaan-kekayaan alam dan potensi hidup mereka (sebagai
contoh kemampuan intelek dan kekuatan yang mereka miliki);
· konsep kebaikan;
· lingkup hidup masyarakat (misalnya situasi politik dan ekonomi);
· generasi yang akan mereka tempati.[14]
Namun apakah individu pernah berada dalam kondisi di mana ia belum terkontaminasi oleh
berbagai kepentingan, potensi hidup, cakrawala nilai serta lingkup hidup tertentu? Benar bahwa kita
sudah selalu terkontaminasi atas berbagai label hidup tertentu, namun posisi asali dan keadaan
ketidaktahuan merupakan dua kondisi yang dapat secara hipotetis dibayangkan ketika manusia
mencoba ‘menanggalkan atau membekukan’ untuk sementara berbagai macam predikat yang
dimilikinya. Kapasitas pertimbangan rasional seperti ini seperti ini, hemat Rawls, ada dalam tiap
individu dan tidak dikondisikan oleh konsep hidup baik atau cakrawala nilai lingkup hidup tertentu.
Dalam kondisi ini, bagi Rawls, individu akan menyetujui dua prinsip ini

“pertama, setiap pribadi harus memiliki hak yang sama akan kebebasan dasar yang
paling luas yang cocok dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang.
Kedua, ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian
sehingga (a) layak diharapkan menjadi keuntungan bagi setiap orang[15] dan (b)
melekat pada posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang terbuka untuk semua orang.”[16]

Prinsip pertama di atas merupakan prinsip dasariah yang kemudian melandasi prinsip-prinsip
keadilan lainnya. Kesamaan (equality) menjadi begitu penting sebab itulah yang menjamin keadilan
sebuah prosedur. Prinsip kesamaan yang dimaksud adalah sebuah situasi di mana hak-hak seseorang
untuk melakukan sesuatu secara serupa, dimiliki pula oleh orang lain dalam komunitas di mana
mereka hidup. Sebagai misal, hak untuk membangun rumah ibadat tidak boleh hanya menjadi
monopoli kaum yang memiliki keyakinan agama mayoritas, tetapi hak yang sama juga berhak
dimiliki oleh mereka yang menjadi minoritas dalam komunitas di mana mereka hidup. Perbedaan
kualitas hak antar pribadi tentu merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip equality. Jika
seorang wanita pria (waria) tidak diizinkan menjadi pegawai negeri sedangkan orang-orang lain yang
tidak memiliki kondisi serupa diizinkan menjadi pegawai negeri, maka situasi seperti itu merupakan
pelecehan terhadap prinsip kesamaan.

Prinsip kedua dapat disebut sebagai prinsip perbedaan. Sekilas tampak bahwa prinsip ini
bertentangan dengan prinsip yang pertama, tetapi sebenarnya prinsip pertamalah yang menjadi
landasan penerimaan bagi prinsip perbedaan ini. Prinsip perbedaan ini tidak menafikan adanya
perbedaan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, seperti perbedaan peran dan fungsi dalam organisasi
kepemerintahan serta distribusi-distribusi ekonomis berdasarkan peran tersebut. Hal ini terjadi karena
`perbedaan-perbedaan tersebut serentak mendatangkan keuntungan bagi setiap orang. Sebagai misal,
dalam sebuah masyarakat diterima bahwa yang menjadi bupati dan menerima gaji sepuluh juta
perbulan hanyalah orang tertentu saja (perbedaan sosial dan ekonomi), tetapi perbedaan tersebut harus
serentak diimbangi dengan tugas regulasi distribusi anggaran belanja yang dapat memberikan
keuntungan bagi setiap warga di kabupatennya. Selain itu, posisi, perbedaan peran, dan fungsi sosial
dalam masyarakat tersebut harus membuka peluang untuk diraih oleh setiap orang di mana peran
tersebut dijangkau. Itu berarti perbedaan kedudukan sosial antara bupati dan nelayan bisa diterima,
tetapi dengan syarat bahwa kedudukan untuk menjadi bupati terbuka bagi setiap orang yang bisa
memenuhi standar-standar kriteria yang telah disetujui bersama.

KRITIK SANDEL ATAS LIBERALISME

Kritik Sandel atas liberalisme yang diwakili oleh Kant dan Rawls berkutat seputar tema
unencumbered self. Keyakinan antropologis Kant adalah bahwa manusia sebagai “ada rasional”
(rational being) mampu menentukan maksim-maksim tindakannya sendiri, tanpa perlu bersandar pada
tradisi warisan yang dilimpahkan padanya. Ini kemudian dilanjutkan Rawls dengan konsepnya
tentang original position yang hendak membuktikan kapasitas dasariah yang masih tertinggal, ketika
individu menanggalkan embel-embel komunitas pada subjek tersebut. Tepat di jantung pemikiran
liberalisme inilah Sandel memulai kritiknya. Sandel memang tidak menyangkal kapasitas rasional
yang dimiliki oleh setiap individu. Tetapi bagi Sandel, warisan kontitutif secara epistemologis tidak
dapat dilepaskan, malah mesti harus menjadi dasar pijakan liberalisme jika hendak membangun dasar
pemikiran mereka. Namun sebelumnya saya akan menjelaskan terlebih dahulu kritik Sandel yang
tertuju pada konsep unencembered self a la liberalisme.

Bagi Sandel, konsep tentang diri yang dicanangkan oleh liberalisme sebenarnya sulit untuk
dibayangkan. Individu selalu lahir dengan predikat tertentu, misalnya sebagai orang Sumba, Flores,
atau Timor misalnya. Membayangkan individu yang terlepas dari konteks sosial dan historisitasnya
adalah hal yang sulit dipikirkan, dan karenanya individu seperti itu adalah individu yang melayang,
unencumbered, terlepas dari lingkup sosial budaya dan tak “berwajah”. Lebih dari itu, konsep
liberalisme tentang individu yang bebas dari konteks sosial dan tujuan-tujuan formatifnya
menunjukkan seakan-akan manusia memiliki dua dimensi yang terpisah dalam satu diri sama. Sandel
menulis,

“[konsep tentang] diri yang melayang-layang (unencumbered self) menggambarkan


pertama-tama cara kita berada terhadap apa yang kita miliki, atau inginkan, atau cari.
Itu berarti selalu ada sebuah pembedaan antara nilai-nilai yang saya miliki dan
pribadiku. [ketika kita] Mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik tertentu
sebagai tujuan-tujuan, hasrat-hasrat, kerinduan-kerinduanku dan sebagainya, adalah
selalu berakibat pada penempatan “aku” berada di belakang dari [predikat-predikat]
tersebut, pada jarak tertentu, dan [karenanya] bentuk “aku” ini harus diberi prioritas
dari tujuan-tujuan serta atribut-atribut yang melekat pada diriku. Akibat dari
penjarakkan [antara subjek dan atribut] ini adalah diri tersebut berada malampaui
pengalamannya, dan menutup rapat-rapat identitasnya dari berbagai masukan tertentu.
Atau dengan kata lain, hal itu menyingkirkan kemungkinan dari apa yang kita sebut
sebagai tujuan-tujuan konstitutif.”[17]

Maksud Sandel adalah, manusia tidak dapat menyangkal dirinya sebagai yang dibentuk oleh
yang lain yaitu oleh lingkup hidup di mana dia berada, dan karenanya orientasi individu selalu berada
dalam cakrawala nilai dan ruang interaksinya. Sejak lahir misalnya individu sudah dijejali dengan
pengalaman dan nilai-nilai dalam ruang lingkup hidupnya. Pemaknaan akan pengalamannya pun
sering berada dalam horison lingkup historis yang berada di sekitarnya. Bahwa suatu saat individu
bisa bergerak pada kondisi horison yang berbeda tentu merupakan suatu kemungkinan yang bisa
terjadi. Namun, fakta adanya bekal warisan tertentu dari pengalaman, lingkup hidup, serta cakrawala
nilai-nilai tetap merupakan fakta konstitutif yang pernah hidup. Bahkan apa yang memungkinkan
perkembangan menuju cakrawala horison yang baru adalah cakrawala tradisi lama yang sudah
mengendap dan hidup.

Kapasitas untuk memilih sebenarnya berada sesudah individu memiliki bekal tertentu, atau
dalam ungkapan Gadamer, “to stand within tradition does not limit the freedom of knowledge but
makes it possible”, “hidup dalam sebuah tradisi tidak berarti membatasi kebebasan pengetahuan tetapi
memungkinkannya”. Artinya, jika liberalisme mengusung tema kebebasan dalam menentukan tujuan
hidup yang terlepas dari tujuan-tujuan konstitutif komunitas, hal itu [mesti] mengandaikan adanya
warisan tradisi tertentu yang sudah lebih dahulu ada, dan kemudian memantik individu untuk
bergerak melampauinya misalnya warisan Kristen tentang ide kebebasan, kesetaraan, keadilan dan
harapan. Memang kita tidak dapat menyangkal adanya patologi historis tertentu yang bertentangan
dengan ide tawaran komunitas tersebut, namun toh sumbangsih ethos-nya tetaplah kita hargai. Jika
demikian, kepongahan liberalisme yang [seolah-solah] dapat menjamin eksistensinya secara sufisien
dan tidak membutuhkan pengandaian konsep kebaikan tertentu yang justru memungkinkannya, mesti
digugat.

Selain mengeritik sikap liberalis yang ahistoris, Sandel juga menunjukkan kecenderungan
dalam liberalisme yang cenderung membuat individu mengalami ‘kesepian’ identitas. Sandel
mengatakan,

“apa yang kurang dalam konsep diri yang melayang (unencumbered self) adalah
kemungkinan keanggotaan pada komunitas tertentu yang disokong oleh ikatan-
ikatan moral, yang mendahului [kebebasan untuk menentukan] pilihan-pilihan;
seseorang tidak dapat menjadi anggota komunitas di mana dirinya dipertaruhkan.
Komunitas demikian -yang disebut sebagai sebagai yang konstitutif ketimbang
sekadar bersifat kooperatif- dapat memberikan identitas dan juga kepentingan-
kepentingan dari partisipan [komunitas tersebut] dan juga melibatkan para
anggotanya dalam sebuah kewarganegaraan [sehingga] menjadi lebih lengkap
ketimbang pada diri yang melayang-layang”.[18]

Bagi Sandel, keanggotaan dalam sebuah komunitas serta keterikatannya pada apa yang
menjadi horison komunitas bersifat pra-refleksif dan tertanam dalam diri individu. Keengganan untuk
mengenakan ‘busana’ komunitas serta kecenderungan untuk menolaknya, membuat individu
cenderung berada di luar komunitas dan karenanya sulit bagi individu untuk mengidentifikasikan
dirinya. Mengatakan bahwa saya adalah orang Flores mengandaikan bahwa dalam diri saya hidup
horison pemikiran sebagai orang Flores, atau mengatakan bahwa saya adalah seorang anggota Serikat
Sabda Allah, mengandaikan kemauan saya untnk bergerak dibawa tujuan-tujuan konsitutif yang
ditetapkan bersama. Saya tidak bebas dalam arti secara absolut menentukan seluruh arah hidup saya
tanpa mengecap bahkan ikut serta dalam tujuan bersama yang ada. Justru ketika bergerak dalam
horison bersamalah saya mampu mengalami identitas saya secara kolektif. Tanpa itu individu hanya
menjadi atom pucat yang melayang tanpa dasar pijakan.

Selanjutnya kritik komunitarian Sandel tertuju pada tema liberalisme yang condong
berorientasi pada hak (rights-oriented). Sandel tidak hendak menolak klaim kaum liberal tentang
makna penting keberadaan konsep hak dalam tiap individu, tetapi ia hendak mempertanyakan klaim
liberalisme yang mengatakan bahwa hak-hak dapat dikenal dan dimengerti dalam sebuah cara tanpa
perlu mengandaiakn konsepsi hidup baik tertentu.[19] Rawls misalnya, dituduh Sandel sebagai antek
liberalisme yang mengkalim keberadaan hak-hak yang mendahului konsep hidup baik tertentu.
Tuntutan bahwa hak lebih dahulu dari pada konsep hidup baik adalah ciri khas teori-teori deontologis
dan dapat dimengerti dalam dua cara, yaitu dalam pengertian moral dan dalam pengertian
fondasional. Colin Farrely meringkas pembahasan Sandel tentang dua posisi penganut teori
dentologis ini sebagai berikut:

“D1 (posisi deontologis pertama): keadilan bersifat primer dalam pengertian bahwa
tuntutan-tuntutan keadilan mesti lebih diutamakan ketimbang kepentingan-kepentingan
moral dan politik.

D2 (posisi deontologis yang kedua): keunggulan keadilan tidak hanya menggambarkan


sebuah prioritas moral tetapi bentuk istimewa pembenarannya, hak berada lebih dahulu
dari konsep hidup baik tidak hanya dalam pengertian bahwa konsep hak tersebut harus
diutamakan, tetapi dalam pengertian bahwa prinsip-prinsip hak tersebut diturunkan secara
independen.”[20]

Kaum liberal seperti Mill dan Locke digolongkan pada posisi yang pertama, yaitu posisi yang
menekankan tuntutan-tuntutan hak individu yang mesti didahulukan. Dalam arti tertentu Sandel
menggolongkan Rawls pada posisi yang pertama, juga atas pertimbangan penolakan Rawls atas klaim
utilitaris yang condong mengabaikan hak-hak individu. Tetapi dalam arti lainnya, Sandel
menempatkan Rawls pada posisi deontologis yang kedua, posisi yang mana dianggap lebih radikal.
Prioritas Rawls pada hak ketimbang kewajiban tidak hanya bergerak pada tataran moral saja, tetapi
menjalar pada klaim epistemologis, yaitu klaim bahwa kita dapat mengetahui atau mengenal hak-hak
kita terlepas dari konsep kebaikan. Jika klaim Rawls tersebut berlanjut pada ranah epistemologis,
maka pertanyaan yang dapat diajukan pada Rawls adalah apakah akal budi manusia memiliki fondasi
bawaan yang darinya dapat diturunkan prinsip-prinsip keadilan? Apakah terdapat konsep- meminjam
istilah Paul Budi Kleden- rasio telanjang yang siap pakai terlepas dari konteks sosio-hostoris di mana
seorang manusia hidup? Jika Rawls mengklaim bahwa prinsip-prinsip keadilan hanya dimengerti
secara rasional semata tanpa mengandaikan atribut-atribut moral yang sudah melekat, tampaknya
Rawls tetap jatuh pada posisi fondasionalisme. Fondasionalisme hendak mencari pendasaran terakhir
dalam diri manusia yang darinya dapat diturunkan segala prinsip hidup. Fondasi tersebut berkarakter
transendental dalam pengertian Kantian, karena tidak perlu mengandaikan gugus pengalaman hidup
manusia, tetapi secara inheren dan ahistoris melekat dalam diri manusia.

Bagi Sandel, konsep teoretis Rawls tentang individu yang berada pada posisi asali sebenarnya
sulitt untuk dimengerti. Rawls mengatakan bahwa sikap rasional tersebut untuk menerima prinsip
kebebasan mengandaikan individu mampu menanggalkan atribut-atribut yang telah melekat padanya.
Sandel mengatakan bahwa, ada hal tertentu yang konsitutif dalam diri manusia yang memungkinkan
manusia mengalami perpadauan horison yang lebih luas. Perpaduan horison mengandaikan adanya
bekal horison yang dimiliki oleh seorang manusia. Karena itu tidak ada perluasan horison tanpa benih
cakrawala nilai yang secara konstitutif tertanam dalam individu. Sekali lagi, Sandel tidak hendak
menangkal kemungkinan kesadaran individu untuk memperluas cakrawala pemikirannya. Intensi
Sandel adalah membuktikan bahwa manusia dapat berkembang dengan mengandaikan adanya isi
tertentu yang diberikan oleh lingkup hidupnya padanya. Manusia, demikian Sandel, sudah selalu
memiliki kualitas tertentu yang hidup di dalam dirinya. Kualitas tersebut menurut Sandel adalah

“disposisi untuk melihat dan mengandung lingkup hidup seseorang sebagai


makhluk yang tersituasi secara reflektif- yang ditegaskan oleh sejarah yang
melibatkan saya dalam [konteks] hidup tertentu, tetapi kasadaran diri saya akan
partikularitas, membuat saya mengidupi cara-cara lain, horison-horiosn yang lebih
luas. Tetapi, kualitas ini kurang nampak dalam diri mereka yang berpikir tentang diri
mereka sebagai yang lepas dari lingkungan sosial mereka, yang hanya terikat pada
kweajuban-kewajiban yang mereka pilih”.[21]

Dari kritiknya terhadap pengandaian Rawls dalam prinsip pertama teori keadilannya, Sandel
kemudian bergerak menuju pada prinsip kedua teori keadilannya. Prinsip kedua teori keadilan yaitu
prinsip perbedaan mempunyai pengandaian dasar bahwa, aset-aset yang saya miliki sebenarnya
merupakan barang-barang yang secara aksidental (kebetulan) menjadi miliki saya. Maksudnya, apa
yang menjadi miliki saya sebenarnya pada mulanya merupakan aset tanpa kepemilikan. Ketika saya
memiliki kesempatan untuk mendapatkan aset tersebut oleh karena kesempatan atau potensi tertentu,
maka saya meniadakan kesempatan orang lain untuk memiliki aset tersebut. Karena hak milik atas
barang atau aset tertentu diperoleh secara aksidental, maka masyarakat sebenarnya mempunyai klaim
yang mendahului kepemilikan pribadi[22]. Sebab itu, ketika prinsip kedua teori keadilannya
dirumuskan, prinsip perbedaan yang diterima sejauh menguntungkan mereka yang paling minimal
tidak beruntung, prinsip tersebut mempunyai landasan yang valid pada klaim teoretis tentang prinsip
aksidental tersebut. Sebidang tanah yang menjadi milik saya pada mulanya adalah sebidang tanah
tanpa kejelasan kepemilikan dan karenanya setiap orang memiliki hak untuk memperoleh tanah
tersebut. Namun ketika saya memperoleh hak atas tanah tersebut, atau ketika saya mengklaim tanah
tersebut, maka saya meniadakan kemungkinan bagi orang lain untuk memiliki tanah tersebut.
Karenanya pantas bagi saya untuk memberikan kontribusi jaminan pada mereka yang tidak beruntung
tersebut.

Namun bagi Sandel, prinsip perbedaan dengan landasan teoretis tersebut tidaklah memadai.
“Bahwa saya, demikian Sandel, tidak memiliki klaim istimewa pada aset-aset yang secara aksidental
ada sekarang “di sini”, itu tidak serta-merta mengatakan bahwa setiap orang di dunia secara kolektif
memiliki klaim atas aset-aset tersebut”.[23] Perbedaan menurut Sandel tetaplah menuntut ikatan
moral tertentu yang menyokongnya. Sandel katakan,

“prinsip perbedaan, seperti halnya utilitarianisme, adalah prinsip pembagian. Dengan


demikian, prinsip perbedaan tersebut mesti mengandaikan ikatan moral terlebih dahulu di
antara mereka yang memiliki aste-aset yang akan dibagikan dan mereka yang akan diberi
dalam sebuah usaha bersama”[24]

Tanpa itu, prinsip perbedaan sulit untuk dimengerti. Ikatan moral yang dimaksud adalah
solidaritas sosial, sebuah terminus komuniter yang merujuk pada usaha dari seseorang untuk berbela
rasa dengan orang lain yang berkekurangan, sekaligus berusaha untuk menjembatani kesenjangan
yang ada. Solidaritas sosial sebenarnya merupakan istilah moral, yang kemudian diterjemahkan
sebagai tuntutan politis untuk menyeimbangi jurang pemisah yang kian menganga antara yang
berpunya dan yang tak berpunya. Kesadaran bahwa aset yang kita miliki bersifat aksidental, harus
diimbangi dengan kewajiban untuk bersolider dengan orang lain yang tak berpunya, dan tanpa
komitmen tersebut, kesadaran akan prinsip perbedaan menjadi sia-sia belaka. Dengan sangat bagus
Ignas Kleden menguraikan solidaritas sebagai

“komitmen yang lahir dari kesadaran bahwa perbaikan nasib suatu kelompok hanya
dimungkinkan oleh dikuranginya kenikmatan kelompok lain. Kue yang akan dimakan
bersama mungkin dapat diperbesar tetapi besarnya tetaplah terbatas. Merelakan orang lain
mendapat potongan yang lebih besar hanya mungkin dengan memperkecil porsi besar yang
selama ini kita terima. Dikatakan secara sederhana: solidaritas sosial adalah kata lain dari
keadilan sosial.”[25]

Jika solidaritas menjadi tuntutan keadilan sosial, maka mendepak komitmen moral dari keadilan dan
mengatakan bahwa masyarakat yang tertata secara baik mampu berjalan tanpa disokong oleh prinsip
etis tertentu, adalah suatu kenaifan tersendiri. Mengandaikan terwujudnya keadilan tanpa mendobrak
kesadaran etis untuk turut mendukung tatanan yang adil adalah usaha yang sia-sia.
IMPLIKASI POLITIS: MENGGUGAT NETRALITAS NEGARA

Dalam konsep antropologisnya tentang manusia, kita telah melihat bahwa kaum liberalis
berpijak individu yang mampu secara otonom menentukan prinsip dan tujuan hidupnya, tanpa
bergantung pada tradisi warisan yang telah melekat pada dirinya. Antropologi liberalis ini kemudian
menyokong tesis netralitas negara, yaitu bahwa negara harus bebas dari intervensi konsep hidup baik
komunitas tertentu, atau tidak diperkenankan ikut campur dalam menentukan konsep hidup baik
komunitas-komunitas masyarakat yang ada. Dengan kata lain, negara tidak boleh memihak pada
pertanyaan tentang konsep hidup baik, karena hanya sikap keadaan netrallah yang mampu menghargai
pribadi-pribadi sebagai diri yang bebas dan merdeka, yang mampu memiliki bagi diri mereka sendiri
nilai-nilai dan tujuan-tujuan mereka. Prinsip penghargaan ini akan dilukai ketika misalnya jika
pemerintah mewajibkan (atau bahkan hanya mendorong) para warganya untuk menganut sebuah iman
religius tertentu.[26]

Sandel mengeritik aspirasi sikap netral negara seperti yang diperjuangkan kaum liberal.
Alasan Sandel adalah bahwa dalam kasus-kasus tertentu tertentu negara tidak bisa bersikap netral.
Sandel mengambil contoh pada kasus aborsi. Bagi Sandel, apapun keputusan yang diambil
pemerintah berkaitan dengan kasus aborsi, keputusan tersebut pastilah tidak netral dengan
pertimbangan moral dan religuis yang ada. Jika misalnya pemerintah menjamin hak kaum wanita
untuk melakukan aborsi, maka sebenarnya pemerintah telah membuat suatu keputusan tentang klaim
yang dibuat oleh orang-orang religius bahwa tindakan aborsi tersebut merupakan bagian dari
pembunuhan. Tindakan pemerintah mengambil keputusan melegalkan aborsi tersebut sebenarnya
berlandaskan konsep tertentu tentang kehidupan, yaitu bahwa kehidupan tidaklah dimulai saat
kehamilan tetapi barulah terjadi saat kelahiran. Inilah yang terjadi saat pengadilan Tinggi Amerika
menggagalkan undang-undang Texas melawan aborsi. Bagi Sandel, sikap seperti ini keliru, dan
pemerintah sama sekali tidak menunjukkan sikap netralnya, malah sebaliknya menekankan konsep
orang-orang tertentu terhadap kehidupan yang baru dimulai saat seorang anak lahir. Dalam kondisi
seperti ini, netralitas negara sulit untuk dibayangkan. Lebih jauh dikatakannya, netralitas negara
sebenarnya merupakan nama lain dari keberpihakan negara pada kerangka nilai yang hendak
mendepak peran komunitas dari ruang publik jadi tidak netral. Baginya, “komitmen Negara pada
kerangka kerja yang netral di antara tujuan-tujuan dapat dilihat sebagai satu bentuk nilai tersendiri.”
Lebih lanjut ia katakan bahwa “bentuk nilai tersebut berisikan penolakan untuk menegaskan sebuah
cara hidup yang didasarkan pada konsep hidup baik tertentu.”[27] Sebab itu hemat Sandel, pemerintah
tak akan dapat secara sederhana menyelesaikan masalah tersebut [dengan dalih netralitas] tanpa
memperhitungkan argumen-argumen dalam kontroversi moral dan religius yang ada.

Selain itu, Sandel juga mengatakan bahwa netralitas negara memiliki konsekuensi yang cukup
besar. Sandel menunjuk juga pada fakta gangguan kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain
yang dianggap sepi oleh negara [28]. Negara berdasarkan ketentuan konstitusional tidak mencampuri
urusan penistaan antar kelompok atas asas netralitas negara. Contoh lain yang diangkat oleh Sandel
adalah isu seputar kebangkitan kelompok Neo-Nazi di Amerika Serikat. Terdapat kontroversi seputar
kebebasan dari kelompok ini untuk melakukan aksi jalan kaki melintasi daerah Skokie, Ilinois, sebuah
wilayah yang secara dominan dihuni oleh komunitas Yahudi. Aksi jalan kaki kaum Neo-Nazi yang
melintasi wilayah komunitas tersebut dengan berbagai spanduk dan yel-yel a la Nazi tentu akan
membangkitkan kenangan mencekam kaum Yahudi ketika dibantai habis-habisan di Jerman. Sebab
itu, jika negara menjunjung tinggi asas netralitas yang mendukung kebebasan ekspresif bagi tiap
individu, hal itu tentu akan menjadi bumerang bagi kehidupan bersama. Saat itu pemerintahan kota
mengeluarkan larangan atas aksi jalan kaum Neo-Nazi tersebut untuk melintasi Illinois atas
pertimbangan tramua historis kaum Yahudi dan pencegahan pelecehan rasial [29]. Namun, larangan
tersebut dicabut oleh lembaga yang lebih tinggi atas pertimbangan bahwa peraturan seperti itu
inkonstitusional karena bertentangan dengan kebebasan setiap individu atau kelompok untuk
mengeskpresikan diri mereka tanpa dihalang-halangi oleh kelompok lain. Namun pertanyaannya,
apakah wajar jika netralitas negara yang bertumpuh pada pemihakan terhadap kebebasan individu
mendukung aksi ekprsif yang melukai identitas yang lain? Bukankah kebebasan tidak hanya menjadi
miliki dari orang yang berekspresi, tetapi juga menjadi hak dari setiap orang untuk tidak diganggu
identitasnya? Dalam kasus seperti ini negara sebenarnya tidak netral bahkan berpihak pada kelompok
tertentu dan mengabaikan kelompok lainnya.

Apa konsekuensi yang bisa ditarik dari pemikiran Sandel ini? Komunitas tetap memiliki
peran bagi kehidupan bersama. Setiap komunitas memiliki cakrawala nilai dan kazanah konsep hidup
baiknya masing-masing. Jika demikian, memperhitungkan keberadaan komunitas adalah sikap politis
yang toleran. Negara membutuhkan produksi nilai-nilai yang tidak dapat dihasilkannya sendiri, karena
toh “Negara sekular-liberal, menyitir Wolfgang Bȍckenfȍrde, hidup dari prasyarat-prasyarat yang tak
dapat dijaminnya sendiri”.[30] Maksudnya, di satu sisi negara tidak dapat menjamin keberadaannya
sebagai komunitas politis tanpa mengandaikan kontribusi nilai dari komunitas masyarakat yang ada,
di sisi lain negara tidak dapat menjamin serta mengafirmasi keberadaan komunitas masyarakat
tersebut.

Ekskursus. Di Indonesia terjadi semacam anomali netralitas negara. Negara netral pada kasus-kasus
yang melecehkan individu dan kelompok tertentu. Negara tidak mengambil tindakan apa-apa, bahkan
saat korban nyawa berjatuhan. Sikap apatis negara saat penyerangan Jemaah Ahmadyah terjadi,
misalnya, membuktikan netralitas negara yang naif. Di sini netralitas dan apatisme negara sulit
diibedakan. Tambah lagi aksi Sweeping kaum FPI yang secara sewenang-wenang merusak milik
pribadi orang lain, tak digubris negara. Saya agak heran dan bertanya entahkah yang terjadi adalah
surplus netralitas sehingga negara bersikap apatis pada semua hal, ataukah yang terjadi adalah
pencaplokkan negara oleh komunitas masyarakat tertentu? Dalam kasus lainnya, negara malah
membuat intervensi pada bidang-bidang yang berada di luar wewenang kajian negara. Tindakan
negara menetapkan satu agama sebagai bidaah dan membenarkan keberadaan agama lain, adalah fakta
yang menunjukkan keranjingan negara untuk masuk pada ranah teologis. Situsi ini memang cukup
aneh dan telah membawa konsekuensi yang cukup besar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
negara kita toleran pada hal yang intoleran dan berikap intoleran pada hal yang seharusnya ditolerir.
Kalau mau konsisten dengan jaminan akan kebebasan setiap warganya untuk mendapatkan rasa aman,
maka negara perlu bertindak mencegah pelecehan kebebasan yang lain. Negara boleh toleran pada
semua hal yang dilakukan oleh komunitas masyarakat, tetapi ada hal yang tak dapat ditolerir oleh
negara yaitu intoleransi.

CATATAN KRITIS DAN PENUTUP

Kririk Sandel atas liberalisme menunjukkan bahwa liberalisme bukalah satu jalinan pemikiran
yang bisa menjawab segala hal. Liberalisme terlampau pongah ketika mengklaim bahwa akal budi
manusia sanggup memproduksikan nilai-nilai moralnya, tentu merupakan kritik yang tajam yang
dilancarkan Sandel. Bahkan secara radikal Sandel katakan bahwa manusia tidak menciptakan tujuan-
tujuannya tetapi menemukan tujuan-tujuan tersebut. Namun demikian, ada beberapa hal yang patut
dipertanyakan pada Sandel.
Pertama, benar bahwa kemampuan akal budi manusia tidak berciri substansial. Tetapi tak
dapat disangkal bahwa individu dapat mengambil jarak pada apa yang telah melekat padanya dan
mempertimbangkan dengan akal budinya substansi warisan yang melekat padanya.
Mempertimbangkan apa yang telah menjadi warisan mengandaikan adanya suatu konsep ‘prosedur
netral’ yang mampu mengambil jarak terhadap substansi internal yang telah tertanam dalam diri
individu. Jika rasio manusia hanya berciri substansial, maka komunikasi antarbudaya ataupun
perpaduan antarhorison mustahil dilakukan karena tidak adanya prosedur internal yang berciri
transendental yang mengatasi kandungan warisan tradisi. Inilah yang disebut sebagai semacam idea
regulativa dalam pengertian Kantian[31]. Dalam konteks ini, rasio prosedur tersebut bersifat
‘telanjang’ dalam arti mengatasi ‘baju-baju’ warisan substansial.

Sebagai contoh, saya terlahir sebagai orang Katolik dan dibesarkan dalam tradisi dan nilai-
nilai Katolik. Seluruh horison hidup saya berada dalam bingkai kekatolikan yang melingkupi saya.
Ketika saya berjumpa dengan orang lain dengan warisan budaya dan religius yang berbeda, saya
merasa terkejut dan serentak mulai melihat perbedaan antara saya dan orang yang saya jumpai
tersebut. Perjumpaan saya dengan orang yang berasal dari tradisi yang berbeda tersebut dapat
memperluas cakrawala lingkup hidup saya. Namun, perluasan cakrawala lingkup hidup saya tersebut
mengandaikan adanya kapasitas dalam diri saya yang dapat ‘menerobos batas-batas’ horison diri saya
yang telah saya hidupi sebelumnya. Jika kapasitas tersebut dapat melampaui horison nilai-nilai hidup
saya, maka mestinya kapasitas tersebut tidak terikat oleh tradiri atau warisan nilai yang telah saya
terima, dan kapasitas tersebut ada dalam tiap manusia sehingga komunikasi antar manusia menjadi
mungkin.

Kedua, tentang netralitas negara. Sandel dengan sangat gamblang menunjukkan inkonsistensi
netralitas negara. Dalam kasus-kasus tertentu Sandel mengumbar kegagalan netralitas negara. Negara
yang netral kerap bersifat acuh-tak acuh terhadap persoalan-persoalan rasial yang mengorbankan
komunitas konkret masyarakat tertentu. Dalam hal ini, saya pikir kita setuju kalau netralitas negara
yang berciri apatis sulit dipertahankan karena toh pada akhirnya bersifat tidak netral juga. Negara
perlu melampaui netralitas jika terjadi fakta intoleransi. Namun, intervensi negara tidak berkaitan
dengan pembenahan konsep hidup baik komunitas tersebut, tetapi berkaitan dengan pencegahan akan
bahaya-bahaya yang mengancam kebebasan individu dan komunitas lainnya. Jika Sandel hendak
menuntut negara untuk turut memperhitungkan kontoversi moral-religius tentang tema publik tertentu,
maka prasyarat apa yang Sandel tawarkan untuk mewadahi perdebatan-perdebatan moral religius
tersebut? Sandel diam soal ini. Perdebatan serta kontroversi yang tidak berciri dialogal tentu akan sulit
menemukan titik temu, dan negara naif jika mendasarkan kebijakan publiknya pada perdebatan yang
tidak memiliki titik temu.

Kontroversi tersebut mesti memenuhi syarat dialog yang baik. Saya merasa tertarik dengan
tiga kriteria dialog yang ditawarkan oleh P. Josef Pieniazek, yaitu adanya suatu bahasa umum, adanya
harapan bahwa kebenaran yang sedang dicari dapat ditemukan, serta adanya kriterium kebenaran.[32]
Tanpa memenuhi kriteria tersebut, kontroversi soal moral tertentu tetap tinggal dalam kekacauan
babilonik yang sulit dicarikan titik temunya. Walaupun negara mesti mempertimbangkan diskursus
moral dan religius, sikap netral negara pada konsep hidup baik yang ada kiranya tetap mesti dijaga.
Batas netralitas negara adalah pelanggaran terhadap kebebasan individu. Tanpa sikap netral pada
berbagai konsep hidup baik, negara hanya akan menjadi alat politik kelompok tertentu.

Ketiga, Sandel lupa bahwa surplus peran komunitas yang tidak dikontrol justru akan
menyebabkan distingsi antara ruang publik dan ruang privat kabur dan bisa berakibat fatal. Kekerasan
atas nama agama, divinasi politik, serta penyeragaman konsep hidup baik merupakan akibat dari
ketiadaan batas ruang privat dan ruang publik.

Catatan-catatan kritis yang diberikan atas Sandel ini tidak hendak menghilangkan harumnya
aroma pemikrannya serta dalamnya relevansi politis pemikirannya. Ia telah dengan serius
menyingkapkan sisi lain dari liberalisme. Tawaran alternatif yang diberikan oleh Sandel hendak
menunjukkan sisi sosial dari hidup seorang manusia, yaitu bahwa manusia tidak pernah memahat
hidupnya dari kekosongan diri, tetapi sebaliknya dari bekal yang telah diperolehnya. Begitupun nilai-
nilai yang ada sebenarnya merupakan endapan horison bersama yang melahirkan gugus ideal
bersama, yang menarik anggotanya untuk bertindak di bawah acuan kerangka nilai ideal tersebut.
Namun, fakta adanya nilai bersama yang mendahului individu tidak menafikan potensi individu untuk
mempertimbangkan gugus nilai yangg melekat pada dirinya. Manusia bukan semata individu yang
menerima sesuatu, tetapi ia juga adalah makhluk yang mampu mempertanyakan apa yang sudah
dimilikinya. Mempertanyakan tidak hanya berarti menanggalkannya [dan dalam kasus tertentu
jawaban yang diberikan atas pertanyaan tersebut membuat orang melepaskan identitasnya], melainkan
juga membuatnya semakin tajam menjawab persoalan-persoalan yuang tengah saya hadapi. Sebab,
nilai-nilai ideal bersama tersebut ada dan bertahan sejauh menunjang keberadaan dan perkembangan
saya sebagai manusia. Tanpa orientasi tersebut, cakrawala nilai bersama kehilangan artinya.

Catatan Akhir:

[1] Michael J. Sandel, “Procedural Republic and Unencumbered Self” Political Theory, Vol. 12. No.1
February, 1984, hal. 81.

[2] Ibid., hal. 82

[3] Ibid.

[4]Ibid.

[5]Ibid.

[6]Robert B. Talisse, Democracy After Liberalism (New York: Routledge, 2005), hal. 18.

[7] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 148

[8] Allen W. Wood, “The Supreme Principle Of Morality” Cambridge Companion to Kant, Ed. Paul
Guyer, (Cambridge University Press: Cambridge, 2007), hal. 349-350

[9] Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, translated by H. J. Paton (New York:
Harper and Row, 1956), hal. 105, sebagaimana dikutip Michael Sandel, “Procedural Republic and
Unencumbered Self”, Op. Cit., hal. 84

[10]Ibid.

[11]Frasa dalam tanda kurung merupakan tambahan penulis sendiri.


[12] Ibid.

[13] John Rawls, A Theory of Justice (Massacussets: Harvard University Press, 1971), hal. 120.

[14] Ibid., hal. 127, bdk. juga Colin Farelly, Introduction to Contemporary Political Theory, A Reader
(London: Sage Publications, 2004), hal. 8.

[15] Konsep perbedaan harus juga mengakomodasi keberadaan mereka yang paling minimal
beruntung (the worst off). Sebagai contoh, dana Bansos yang diberikan kepada mereka yang miskin
dan terlantar dan bukan semua warga masyarakat adalah fair karena perbedaan akomodasi seperti
tetap tidak melecehkan hak yang lainnya.

[16] John Rawls, Op. Cit., hal. 60.

[17] Michael J. Sandel, Op. Cit., hal. 86.

[18] Michael J. Sandel, Loc.cit.

[19] Colin Farrely, Op.Cit., hal. 99.

[20] Ibid.

[21] Michael J. Sandel, Democracy's Discontent: America in Search of a Public Philosophy (Belknap:
Harvard University Press,1998), hal. 106.

[22] Michael J. Sandel, “Procedural Republic and Unencumbered Self”, Op.Cit., hal. 89.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25]Ignas Kleden, Menulis Politik, Indonesia sebagai Utopia (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 67.

[26] Colin Farrely, Op. Cit., 102-103

[27] Michael J. Sandel (Ed), Liberalism and Its Critics (New York: New York University Press,
1984), hal. 4.

[28] Colin Farrely, Op.Cit., hal 103.

[29] Ibid.

[30] Otto Gusti Madung, Etika Sosial (ms) (Ledalero: STFK, 2012), hal. 64.

[31] Tentang penjelasan tentang rasio prosedural ini, saya berhutang budi pada dosen saya Pater Paul
Budi Kleden yang telah memberikan penjelasan intensif terkait tema tersebut.

[32] Josef Pieniazek, “Soal Pemberian dalam Terang Refleksi Metafisis” Mengabdi kebenaran, eds.
Frans Ceufin dan Felix Baghi (Ledalero: Maumere, 2005), hal. 357-358.

Anda mungkin juga menyukai