Anda di halaman 1dari 84

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah suatu keadaan ketika

individu mengalami suatu ancaman nyata atau potensial pada status pernafasan

karena ketidakmampuannya untuk batuk secara efektif. Diagnosis ini

ditegakkan jika terdapat tanda mayor berupa ketidakmampuan untuk batuk atau

kurangnya batuk, atau ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret dari jalan

nafas. Tanda minor yang mugkin ditemukan untuk menegakkan diagnosis ini

adalah bunyi nafas abnormal, stridor, dan perubahan frekuensi, irama, dan

kedalaman nafas (Tamsuri, 2008). Pada pasien TB paru (Tuberculosis paru)

sebagian besar merasakan demam, biasanya subfebril menyerupai demam

influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan

berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Batuk merupakan gejala yang

banyak ditemukan pada pasien TB. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.

Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama mungkin saja

batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah

berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa

batuk berdarah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan

batuk darah pada TB paru terjadi pada kavitas. tetapi juga terjadi pada ulkus

1
2

dinding bronkus. Pada pasien TB juga merasakan sesak napas, pada penyakit

yang baru tumbuh belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan dirasakan

pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah

bagian paru-paru. Pada pasien TB paru merasakan nyeri dada, yang timbul bila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga paru oleh tenaga kesehatan

tahun 2013 adalah 0,4%. Lima provinsi dengan TB Paru tertinggi adalah Jawa

Barat (0,7%), Papua (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua

Barat (0,4%). Proporsi penduduk dengan TB paru batuk lebih dari 2 minggu

sebesar 3,9% dan batuk darah 2,8%. Prevalansi TB paru cenderung meningkat

dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Dari

seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan , hanya

44,4% di obati dengan obat program. Lima provinsi dengan Obat Anti

Tuberkulin adalah DKI Jakarta (68,9%), DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat

(56,2%), Sulawesi barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50,4%) ( Riskesdas, 2013).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia 2014, pravelansi penduduk Jawa Timur

yang di diagnosis TB paru yakni sebanyak 54% (Kemenkes RI, 2015).

Menurut survey di Rumah Sakit RSUD Dr. Harjono Ponorogo pasien dengan

penyakit TB paru pada tahun 2016 dari bulan Januari sampai dengan bulan

Oktober berjumlah 224 orang (Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo,

2016).
TB paru merupakan penyakit yang menyerang organ paru. Respon imun

yang tidak adekuat menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan.

Perjalanan TB paru dapat berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk

mengetahui adanya kerusakan atau tidak pada permukaan paru. Kavitas yang

terbentuk pada pasien akan berbeda tergantung pada respon imun masing-
3

masing pasien. Kuman dapat masuk ke dalam tubuh orang lain melalui udara

pernafasan ke organ paru-paru. Kuman yang telah masuk akan menyerang

organ tubuh lainya di luar paru-paru melalui sistem peredaran darah, kelenjar

limfe, saluran nafas (bronchus), atau menyebar langsung ke organ tubuh lainya.

Masa inkubasi mulainya kuman masuk sampai timbulnya gejala atau tes

tuberculosis positif kira-kira membutuhkan waktu 2-10 minggu. Resiko

menjadi TB paru setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama

dan kedua. Nyeri dada merupakan tanda yang sering terjadi karena terlibatnya

pleura dalam proses penyakit. Bila kuman menetap di jaringan paru,

berkembang biak dalam sito plasma makrofag. Kuman tersebut akan terbawa

masuk ke organ tubuh lainya. Kuman yang bersarang di jaringan organ paru

akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil yang di sebut dengan afek

primer. Afek primer terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai

ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui

saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit. Kemudian akan

terjadi limfadopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan

menjalar ke seluruh organ. Inflamasi pada jalan nafas mempengaruhi sel-sel

goblet dan kelenjar-kelenjar mucus di submukosa untuk memproduksi secret

secara berlebih. Sekret yang di hasilkan cukup banyak dan kental sehingga

dapat menyumbat lumen bronkus-bronkus dan bronkeolus ( obstruksi).

Sumbatan mucus dan penyempitan jalan nafas menyebabkan udara nafas

terperangkap. Hiperinflasi terjadi pada alveoli paru ketika pasien

menghembuskan nafas keluar (ekspirasi). Pada inspirasi, jalan nafas akan

melebar sehingga udara dapat mengalir melalui tempat obstruksi. Pada


4

ekspirasi, jalan nafas menjadi sempit dan aliran udara nafas akan terhalang.

Udara panas akan terperangkap dalam alveoli ( Amin, 2009 ).


Rencana tindakan pada pasien dengan gangguan bersihan jalan nafas

yang pertama dengan memposisikan pasien dengan nyaman seperti semi fowler

tujuanya untuk memaksimalkan ventilasi, ventilasi maksimal akan membuka

area atelaktasis dan meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar untuk

dikeluarkan. Mengkaji fungsi pernafasan tujuanya mengetahui penurunan

bunyi nafas, ronkhi menunjukkan akumulasi secret dan ketidakefektifan

pengeluaran sekresi yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot

bantu nafas dan peningkatan kerja pernafasan. Mempertahankan intake cairan

sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak di indikasikan, tujuanya hidrasi yang

adekuat akan membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersih

jalan nafas (Muttaqin, 2012).


Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis tertarik

untuk melakukan studi kasus mengenai pemberian asuhan keperawatan pada

klien TB paru dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas.


1.2. Batasan Masalah
Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan klien

TB Paru dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas di Ruang Asoka RSUD

Dr. Harjono Ponorogo.

1.3. Rumusan Masalah


Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien TB Paru dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas di Ruang Asoka RSUD dr. Harjono

Ponorogo ?
1.4. Tujuan Masalah
1) Tujuan Umum
5

Melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien TB paru dengan

ketidakefektifan bersihan Jalan Nafas di Ruang Asoka RSUD dr. Harjono

Ponorogo.
2) Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien TB paru di Ruang

Asoka RSUD dr. Harjono Ponorogo.


b. Merumuskan diagnosis keperawatan pada klien TB paru di Ruang

Asoka RSUD dr. Harjono Ponorogo.


c. Menyusun intervensi keperawatan pada klien TB paru di Ruang Asoka

RSUD dr. Harjono Ponorogo.


d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien TB paru di Ruang

Asoka RSUD dr. Harjono Ponorogo.


e. Melakukan evaluasi pada klien TB paru di Ruang Asoka RSUD dr.

Harjono Ponorogo.

1.5. Manfaat Penulisan


1. Manfaat Teoritis
Dapat membantu mengaplikasikan ilmu keperawatan dengan

melaksanakan Asuhan Keperawatan pada klien TB paru dengan masalah

keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas.


2. Manfaat Praktis
a. Bagi klien dan keluarga
Manfaat bagi pasien dan keluarga adalah mendapat asuhan

keperawatan yang efektif, efisien dan sesuai dengan standart asuhan

keperawatan yaitu dengan pemenuhan bersihan jalan nafas pada pasien

TB Paru serta memberikan pengetahuan kepada klien apabila muncul

tanda-tanda TB Paru, Klien mampu secara mandiri untuk meminimalkan

resiko.
b. Bagi Perawat
6

Digunakan sebagai masukan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada klien dengan TB paru dan meningkatkan serta

mengembangkan profesi keperawatan untuk menjadi perawat

profesional.
c. Bagi Institusi Akper
Hasil penulisan setudi kasus ini dapat digunakan atau

dimanfaatkan sebagai referensi untuk meningkatkan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teori keperawatan khususnya dengan asuhan

keperawatan pada pasien TB paru dengan masalah kdetidakefektifan

bersihan jalan nafas melalui acara diskusi maupun seminar serta

referensi untuk penulisan selanjutnya.


d. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan

ataupun gambaran tentang bagaimana hubungan antara ketidakefektifan

bersihan jalan napas dengan TB Paru dan sebagai penambah wawasan

dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien TB Paru.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Penyakit

2.1.1. Pengertian

Tuberculosis paru (TB Paru) merupakan contoh lain

penyakit infeksi saluran nafas bawah. Penyakit ini disebabkan oleh

mikroorganisme Mycobacterium tuberkulosis, yang biasanya

ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari satu

individu ke individu lainya, dan membentuk kolonisasi di

bronkiolus atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke tubuh

melalui saluran cerna, melalui ingesti susu tercemar yang tidak di

pasteurisasi, kadang-kadang melalui lesi kulit (Corwin, 2009).

Penyakit tuberculosis paru (TB paru) merupakan penyakit

infeksi yang di sebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis

yang menyerang paru-paru dan bronkus. TB paru menjadi salah

satu target dalam pencapaian Millenium Development Goals

(MDGs) yang menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia

untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan

kemiskinan. TB paru masuk pada poin 6 MDGs setelah penyakit

HIV/AIDS dan malaria (Faisalado & Triwibowo, 2013).

2.1.2. Etiologi

Penyebab infeksi adalah kompleks M. Tuberculosis.

Kompleks ini termasuk M. Tuberculosis dan M. Africanum

8
9

terutama berasal dari manusia dan M. Bovis yang berasal dari sapi.

Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit di

bedakan dengan tuberculosis. Etiologi penyakit dapat di identifikasi

dengan kultur. Analisi genetic sequence dengan menggunakan

teknik PCR sangat membantu identifikasi kultur.

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan

ukuran panjang 1-4mm dan tebal 0,3-0,6mm. Sebagian besar

kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam

dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini

adalah aerob yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan

daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi yaitu apical/apeks

paru. Daerah ini menjadi predileksi terhadap penyakit Tuberkulosis

(Firdaus, 2012).

2.1.3. Patofisiologi

Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran

pernafasan, saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit.

Kebanyakan infeksi TB paru terjadi melalui udara, yaitu melalui

inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel

yang berasal dari orang yang terinfeksi. Saluran pencernaan

merupakan tempat masuk utama bagi jenis bovin, yang

penyebaranya melalui susu yang terkontaminasi. Akan tetapi, di

Amerika serikat, dengan luasnya pasteurisasi susu dan deteksi

penyakit pada sapi perah, TB bovin ini jarang terjadi.


10

TB adalah penyakit yang di kendalikan oleh respons

imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit

(biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti

ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan di tempat

infeksi oleh limfosit dan limfokinya.Respon ini di sebut sebagai

reaksi hipersensivitas selular (lambat).

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus

biasanya diinhalasi sebagai suatu unit terdiri dari satu sampai tiga

basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di

saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan

penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya di bagian

bawah lobus atas paru atau bagian atas lobus bawah, basil tuberkel

ini membangkitkan peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak

pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak

membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit

dig anti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami

konsolidasi, dan timbul pneumonia akut.pneumonia selular ini

dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang

tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus

difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga dapat

menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening

regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel


11

epiteloid, yang di kelilingi oleh limfosit.Reaksi ini biasanya

membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang

relative padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah

yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di

sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibrolas menimbulkan

respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,

membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan

membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru disebut focus ghon dan gabungan

terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut

kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini

dapat dilihat pada orang sehat yang kebetulan menjalani

pemeriksaan radiogram rutin. Namun, kebanyakan infeksi TB paru

tidak terlihat secara klinis atau dengan radiografi.

Respons lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis

adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang

berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tubercular yang

dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan

trakeobronkial. Proses ini dapat berulang kembali di bagian lain

dari paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah

atau usus.

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat

menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis.Bila peradangan


12

mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan

parut yang terdapat dekat dengan taut bronkusdan rongga. Penyakit

dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai

aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat

menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini

dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya

sembuh merupakan suatu fenomena akut yang biasanya

menyebabkan TB millier (Sylvia & Mary, 2006).


13

2.1.4. Pathway

M. Tubekulosis M. Bovis

Tertiup melalui udara

Menempel pada bronchiole atau


alveolus

Proliferasi sel epitel disekeliling basil dan membentuk dinding


antara basil dan organ yang terinfeksi (tuberkel)

Basil menyebar melalui kelenjar getah bening menuju


kelenjar regional

Lesi primer menyebabkan


kerusakan jaringan

Inflamasi/infeksi Meluas keseluruh paru-paru


(bronchioles/pleura)
Demam
Anoreksia Erosi pembuluh darah
Malaise
BB turun Batuk
Pucat Nyeri dada
Anemia Haemaptue
PERUBAHAN NUTRISI Lemah

PERUBAHAN PERFUSI
JARINGAN

GANGGUAN RASA NYAMAN NYERI


KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS
GANGGUAN PERTUKARAN GAS
INFEKSI POLA NAFAS

(Wijaya, 2013)
14

2.1.5. Gambaran Klinis

Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita

Tuberculosis paru apabila di temukan gejala klinis utama.

Gejala utama pada tersangka TBC adalah :

a. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu

b. Batuk berdahak

c. Sesak nafas

d. Nyeri dada

Gejala lainya adalah berkeringat di malam hari, demam

tidak tinggi, meriang dan penurunan berat badan. Dengan strategi

yang baru (DOTS, Directly Observed Treatment Shortcourse),

gejala utamanya adalah batuk berdahak dan terus menerus selama 3

minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut seorang sudah

dapat di tetapkan sebagai penderita. Gejala lainya adalah gejala

tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan

mikrobiologis (Kunoli, 2012).

Tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal,

dan mungkin tidak akan pernah tampak apabila tidak terjadi infeksi

aktif. Apabila terjadi infeksi aktif, pasien biasanya memperlihatkan:

a. Demam, terutama di siang hari.

b. Malaise.
c. Keringat malam.
d. Hilangnya nafsu makan.
e. Batuk purulen produktif disertai nyeri dada pada infeksi aktif.

(Corwin, 2009).

2.1.6. Penatalaksanaan
15

Pengobatan Tuberkulosis paru menggunakan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan metode Directly Observed treatment

(DOTS)

a. Kategori I ( 2HRZE / 4H3R3 ) untuk pasien TBC

b. Kategori II ( 2HERZE / 5 H3R3E3 ) untuk pasien ulang-ulangan

(pasien yang pengobatan kategori I nya gagal atau pasien yang

kambuh).

c. Kategori III ( 2HRZ / 4H3RE ) untuk pasien baru dengan BTA

(-), Ro (+).

Sisipan ( HRZE ) digunakan sehingga tambahan bila pada

pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I

atau kategori II di temukan BTA (+).

2.1.7. Kategori Pengobatan

a. Tahap diberikan setiap hari selam 2 bulan (2 HRZE) :

1. INH (H) : 300 mg - 1 tablet

2. Rifansipin (R) : 450 mg - 1 kaplet

3. Pirazinamid (Z) : 1500 mg - 3 kaplet @500

mg

4. Etambutol (E) : 750 - 3 kaplet @ 250 mg

Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak

60 kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK II ( Kunoli, 2012 ).

Tabel 2.1 : Tindak lanjut pengobatan TB paru

KATEGORI WAKTU HASIL BTA RTL


16

Negatif Diteruskan ke
Akhir tahap intensif tahap lanjutan.
I Positif Terapkan sisipan
selama 1 bulan
jika dahak (+)
maka di haruskan
ke tahap lanjutan.
Sebulan sebelum Positif Sembuh
akhir pengobatan. Negatif Pengobatan
gagal, ganti ke
kategori II.
Akhir intensif Positif Teruskan ke tahap
lanjutan.
II Negatif Sembuh
Sebulan sebelum Positif Pengobatan
akhir pengobatan. gagal, pasien
kronis di rujuk ke
spesialis atau
mengonsumsi
INH seumur
hidup.
Negatif Teruskan ke tahap
lanjut.
Akhir intensif Positif Pengobatan dig
anti dengan
kategori II.

a. Tahap lanjutan di berikan 3 kali dalam seminggu selama 4

bulan ( 4H3R3 ) :
1. INH (H) : 600 mg – 2 tablet @300 mg
2. Rifamsipin (R) : 450 mg – 1 kaplet
Obat tersebut di minum 3 kali dalam seminggu

sebanyak 54 kali.Regimen ini disebut KOMBIPAK III.

2.1.8. Komplikasi

a. Penyakit yang parah dapat menyebabkan sepsis yang hebat,

gagal nafas, dan kematian.

b. TB yang resisten terhadap obat dapat terjadi. Kemungkinan

galur lain yang resisten terhadap obat dapat terjadi (Corwin,

2009).
17

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini

dan komplikasi lanjut.

a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis,

usus, Poncet`s arthropathy.

b. Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan nafas ->SOPT (Sindrom

Obstruksi. Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat ->

fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,

sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB

milier dan kavitas TB (Sudoyo dkk, 2009).

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.1. Pengkajian

Anamnesis

a. Biodata

Data demografi/ identitas klien( nama, umur, jenis

kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.)

Penyakit tuberkulosis dapat menyerang semua umur, mulai dari

anak-anak sampai dengan orang dewasa dengan komposisi

antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Biasanya timbul

di lingkungan rumah dengan kepadatan tinggi yang tidak

memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam rumah.

b. Keluhan utama

Tuberculosis sering dijuluki the great imitator, yaitu

suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan


18

penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah

dan demam. Pada sejumlah klien gejala timbul tidak jelas

sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB

paru meminta pertolongan dari kesehatan dapat dibagi menjadi

2 golongan, yaitu:

1) Keluhan respiratoris, meliputi:

a) Batuk

Keluhan batuk, timbul paling awal dan

merupakan gangguan yang paling sering di keluhkan.

Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk

bersifat produktif/non produktif atau bercampur darah.

b) Batuk darah

Keluhan batuk darah pada klien TB paru selalu

menjadi alasan utama klien untuk meminta pertolongan

kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut klien pada

darah yang keluar dari jalan nafas. Perawat harus

menanyakan seberapa banyak darah yang keluar atau

hanya berupa blood streak, berupa garis atau bercak-

bercak darah.

c) Sesak nafas

Keluhan ini di temukan apabila kerukan

parenkrim paru sudah meluas atau karena hal-hal yang


19

menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia

dan lain-lain.

d) Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik

ringan.Gejala ini timbul apabila persarafan di pleura

terkena TB.

2) Keluhan sistemis

a) Demam

Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya

timbul pada sore atau malam hari mirip demam

influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin

panjang seranganya, sedangkan masa bebas serangan

semakin pendek.

b) Keluhan sistem lain

Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam,

anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.

Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual muncul

dalam beberapa minggu-bulan. Akan tetapi penampilan

akut dengan batuk, panas, dan sesak napas, walaupun

jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

c) Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung

keluhan utama. Lakukan pertanyaan yang bersifat


20

ringkas sehingga jawaban yang diberikan klien hanya

kata “Ya” atau “Tidak” atau hanya dengan anggukan

dan gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalah

batuk, maka perawat harus menanyakan sudah berapa

lama keluhan batuk muncul (onset). Pada klien dengan

pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak

dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang

biasa ada di pasaran.

Klien TB paru sering menderita batuk darah.

Adanya batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri

klien karena batuk berdarah sering dianggap sebagai

suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya.Pada

batuk darah, gejala permulaan biasanya rasa gatal pada

tenggorokan atau adanya keinginan batuk dan kemudian

darah dibatukkan keluar. Darah berwarna merah terang

dan berbuih, dapat bercampur sputum.

Jika keluhan utama yang menjadi alasan klien

adalah sesak napas, maka perawat perlu mengarahkan

pertanyaan untuk membedakan antara sesak napas yang

disebabkan oleh gangguan pada sistem pernapasan dan

sistem kardiovaskuler.

Sesak napas yang disebabkan oleh TB paru

biasanya akan ditemukan gejala tingkat kerusakan

parenkrom paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang


21

menyertainya seperti efusi pleura, pneumothoraks,

anemia, dan lain-lain. Agar memudahkan perawat

mengkaji keluhan sesak napas, maka dapat dibedakan

sesuai tingkat klasifikasi sesak. Pengkajian ringkas

dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam

melengkapi pengkajian.

Provoking incident: apakah ada peristiwa yang

menjadi factor penyebab sesak napas, apakah sesak

napas berkurang apabila istirahat ?

Quality of pain: seperti apa rasa sesak yang

dirasakan atau digambarkan klien. Sifat keluhan, dalam

hal ini perlu ditanyakan kepada klien apa maksud dari

keluhan-keluhanya. Apakah rasa sesaknya seperti

tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau

kesulitan mencari posisi yang enak dalam melakukan

pernapasan?

Region: di mana rasa berat dalam melakukan

pernapasan? Harus ditunjukan dengan tepat oleh klien.

Severity(scala) of pain: seberapa jauh rasa sesak

yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala sesak

sesuai klasifikasi sesak napas dank klien menerangkan

seberapa jauh sesak napas mempengaruhi aktivitas

sehari-hari.
22

Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan,

apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang

hari. Sifat mula timbulnya, tentukan apakah gejala

timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga.

Tanyakan apakah gejala secara terus menerus atau

hilang timbul (intermiten). Tanyakan apa yang sedang

dilakukan klien pada waktu gejala timbul. Lama

timbulnya (durasi), tentukan kapan gejala tersebut

pertama kali dirasakan, mjisalnya tanyakan kepada klien

apa yang pertama kali dirasakan sebagai “tidak bisa”

atau “tidak enak”. Tanyakan apakah klien pernah

menderita penyakit yang sama sebelumnya.

d) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang mendukung adalah dengan

mengkaji apakah sebelumnya kklien pernah menderita

TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil,

tuberculosis dari organ lain, pembesaran getah bening,

dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti

diabetes militus.

Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa

diminum oleh klien pada masa lalu yang masih relevan,

obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat

adanya efek samping yang terjadi di masa lalu. Adanya

alergi obat juga harus ditanyakan serta reaksi alergi


23

yang timbul. Sering kali klien mengacaukan suatu alergi

dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam tentang

seberapa jauh penurunan berat badan(BB) dalam enam

bulan terakhir. Penurunan berat badan pada klien

dengan TB paru berhubungan erat dengan proses

penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual

yang sering disebabkan karena meminum OAT.

e) Riwayat penyakit keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi

perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah

dialami oleh anggota keluarga lainya sebagai factor

predisposisi penularan di dalam rumah.

f) Pengkajian Psiko – sosio – spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa

dimensi yang memungkinkan perawat memperoleh

persepsi yang jelas mengenai staus emosi, kognitif, dan

prilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil

pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan

intelektual saat ini. Data ini penting untuk menentukan

tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang

saksama. Pada kondisi klinis, klien dengan TB paru

sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai keluhan

yang di alaminya.
24

Perawat juga harus menanyakan kondisi

lingkungan klien.Hal ini penting, mengingat TB paru

sangat rentan dialami oleh mereka yang bertempat

tinggal di pemukiman padat dan kumuh karena populasi

bakteri TB paru lebih mudah hidup di tempat yang

kumuh dengan ventilasi dan pencahayaan sinar matahari

yang kurang.

TB paru merupakan penyakit yang pada

umumnya menyerang masyarakat miskin karena tidak

sanggup meningkatkan daya tahan tubuh nonspesifik

dan mengonsumsi makanan yang kurang bergizi.Selain

itu, juga karena ketidakmampuan membeli obat,

ditambah lagi dengan kemiskinan membuat individunya

diharuskan bekerja secara fisik sehingga mempersulit

penyembuhan penyakitnya.

Klien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah,

akibatnya mereka sering kali tidak menyadari bahwa

penyembuhan penyakit dan kesehatan merupakan hal

penting. Pendidikan yang rendah sering kali

menyebabkan sesorang tidak dapat meningkatkan

kemampuanya untuk mencapai taraf hidup yang baik.

Padahal, taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk

penjagaan kesehatan pada umumnya dan dalam

menghadapi infeksi pada khusunya.


25

g) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru

meliputi pemeriksaan fisik umum per sistem dari

observasi keadaan umu, pemeriksaan tanda-tanda vital,

B1 (Breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder),

B5 (Bowel), B6 (Bone) serta pemeriksaan fokus pada B2

dengan pemeriksaan menyeluruh sistem pernapasan.

Keadaan umum dan tanda-tanda vital :

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat

dilakukan secara selintas pandang menilai keadaan fisik

tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secar umum

tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis,

somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Seorang

perawat perlu mempunyai pengalaman dan pengetahuan

tentang konsep anotomi fisiologi umum sehingga

dengan cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran,

dan pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun

yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien

dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu

tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat

apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya

meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan


26

frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai

dengan adanya penyakit penyulit seperti hipertensi.

1) B1 (breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB

paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas

inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi :

Bentuk dada dan pergerakan

pernapasan.Sekilas pandang klien dengan TB paru

biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya

penurunan proporsi diameter benyuk dada antero-

posterior dibandingkan proporsi lateral. Apabila ada

penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura

yang massif, maka terlihat adanya ketidaksimetrisan

rongga dada, pelebaran intercostal space (ICS) pada

sisi yang sakit.

Pada klien dengan TB paru minimal dan

tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan

tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,

jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan

luas pada parenkrim paru biasanya klien akan

terlihat mengalami sesak napas, peningkatan

frekuensi napas, dan menggunakan alat bantu napas.


27

Batuk dan sputum. Saat melakukan

pengkajian batuk pada klien dengan TB paru,

biasanya di dapatkan batuk produktif yang disertai

adanya peningkatan produksi secret dan sekresi

sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi

sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya

bronkhiektasis yang membuat klien akan mengalami

peningkatan produksi sputum yang sangat banyak.

Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum

per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap

intervensi keperawatan yang telah di berikan.

Palpasi :

Palpasi trachea. Adanya pergeseran trachea

tetapi tidak spesifik penyakit dari lobus atas paru.

Pada TB paru disertai adanya efusi pleura masif dan

pneumothoraks akan mendorong posisi trachea

kearah berlawanan dari sisi sakit.

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi

pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat

dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas

biasanya normal dan seimbang antara bagian kanan

dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding

pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru

dengan kerusakan parenkrim paru yang luas.


28

Gerakan suara (fremitus vocal). Getaran

yang terasa ketika perawat melakukan tanganya di

dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang

dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah

distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat

dinding dada dalam gerakan resonan, terutama pada

bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi

pada dinding dada disebut taktil fremitus. Adanya

penurunan taktil fremitus pada klien dengan TB paru

biasanya ditemukan pada klien yang disertai

komplikasi efusi pleura masif, sehingga hantaran

suara menurun karena transmisi getaran suara harus

melewati cairan yang berkumulasi di rongga pleura.

Perkusi :

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa

komplikasi, biasanya akan didapatkan bunyi resonan

atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien

dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti

efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai

pekak pada sisi yang sakit sesuai dengan banyaknya

akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai

pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hipersonan

terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong

posisi paru ke sisi yang sehat.


29

Auskultasi :

Pada klien dengan TB paru didapatkan

bunyi tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.

Penting bagi perawat pemeriksa untuk

mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana

didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar

melalui stetoskop ketika klien berbicara disebut

sebagai rosonan vocal. Klien dengan TB paru yang

disertai komplikasi seperti efusi pleura dan

pneumothoraks akan didapatkan penurunan resonan

vocal pada sisi yang sakit.

2) B2 (Blood)

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang

dapat meliputi:

Inspeksi: inspeksi tentang adanya parut dan keluhan

kelemahan fisik.

Palpasi: denyut nadi perifer melemah.

Perkusi: batas jantung mengalami pergeseran pada

TB paru dengan efusi pleura massif mendorong ke

sisi barat.

Auskultasi: tekanan darah biasanya normal. Bunyi

jantung tambahan biasanya tidak ada.


30

3) B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis,

ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan

perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif,

klien tampak dengan wajah meringis, menangis,

merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan

pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya

konjungtiva yang aanemis pada TB paru dengan

hemoptoe massif dan kronis, sclera ikterik pada TB

paru dengan gangguan fungsi hati.

4) B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine

berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu,

perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal

tersebut merupakan tanda awal dari syok.Klien

diinformasikan dengan urine yang berwarna jingga

pekat dan berbau yang menandakn fungsi ginjal

masih normal sebagai ekskresi karena meminum

OAT terutama rifampisin.

5) B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, muntah,

penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.


31

6) B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak

pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul

antara lain kelemahan, kelelahan, pola hidup, dan

jadwal olahraga menjadi tidak teratur (Muttaqin,

2012).

h) Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan Rontgen Thoraks


Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks,

sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum

ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum

pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru.

Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu

kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB

paru awal kecuali lokasi di lobus bawah dan

biasanya berada disekitar hilus. Karekteristik

kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis

opaque yang ukuranya bervariasi dengan batas lesi

yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar

yang kurang jelas sering diduga sebagai pneumonia

atau suatu proses eksudatif, yang akan tampak lebih

jelas dengan pemberian kontras, sebagaimana

gambaran dari penyakit fibrotic kronis. Tidak jarang

kelainan ini tampak kurang jelas di bagian atas

maupun bawah, memanjang di daerah klavikula atau


32

satu bagian lengan atas, dan selanjutnya tidak

mendapat perhatian kecuali dilakukan pemeriksaan

rontgen yang lebih teliti.


Klien dengan kelainan ini sering kali dapat

tidak terdeteksi hingga mencapai stadium lanjut,

sehingga tidak jarang baru ditemukan kelainan yang

sudah lanjut dengan gambaran kavitas dan

penyebaran bronkhogenik ke paru lain maupun

lobus bawah pada paru yang sama. Pada klien

lainya, foto polos thoraks menampakkan konsolidasi

yang luas pada daerah segmental maupun lobus paru

yang menunjukkan adanya pneumonia TB.


Pemeriksaan rontgen sangat berguna untuk

mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung

pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri

tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama

baiknya dengan respon dari klien. Penyembuhan

yang lengkap sering kali terjadi di beberapa area dan

ini adalah observasi yang dapat terjadi pada

penyembuhan yang lengkap.


2) Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk

menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang

ditunjukan dengan adanya gambaran garis-garis

fibrotic irregular, pita parenkimal, klasifikasi nodul

dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas


33

bronkhovaskuler, bronkhietaksis, dan emfisema

perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan rontgen

thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak

dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada

pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan

dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan

secara serial setiap saat.


Gambaran adanya kavitas sering ditemukan

pada klien dengan TB paru dan sering tampak pada

gambaran rontgen karena kavitas tersebut

membentuk lingkaran yang nyata atau bentuk oval

radiolucent dengan dinding yang cukup tipis. Jika

penampakan kavitas kurang jelas, dapat dilakukan

pemeriksaan CT scan untuk memastikan atau

menyingkirkan adanya gambaran kavitas tersebut.

Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk

mendeteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih

dapat diandalkan daripada pemeriksaan rontgen

thoraks biasa.

3) Radiologis TB Paru Milier


TB paru milier terbagi menjadi dua tipe,

yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier

subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setela

infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi

pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta


34

mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering

disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.


Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini

disebabkan oleh penyebaran dsri TB primer dan

mengakibatkan manifestasi klinis yang berat.

Keadaan ini biasanya terjadi pada bayi-bayi dengan

gizi buruk ataupun penyakit kronis yang biasanya

sangat rentan.Pada sebagian besar anak-anak, jumlah

bakteri hanya sedikit dalam tubuhnya (hospes),

namun cukup resisten untuk mencegah penyebaran

milier sehingga tidak menimbulkan manifestasi

klinis.
Pada orang dewasa, orangtua, angka

kejadian penyakit ini cukup tinggi dan sulit sekali

diidentifikasi. Hasil pemeriksaan Rontgen thoraks

bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.

Nodul-nodul dapat terlihat pada Rontgen akibat

tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga

cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada

beberapa klien di dapatkan nodul-nodul tersebut

berupa garis tebal yang tidak begitu tajam dengan

daerah-daerah yang kabur di sekitarnya. Pada

beberapa klien TB milier, tidak ada lesi yang telihat

pada hasil Rontgen thoraks, tetapi pada beberapa


35

kasus, bentuk milier klasik berkembang seiring

dengan perjalanan penyakitnya (Muttaqin, 2012).


4) Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit tuberkulosis

diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui

isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies

Mycobacterium antara yang satu dengan yang

lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu

pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media,

perbedaan kepekaan terhadap OAT dan

kepoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap

binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit

terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium.

Bahan pemeriksaan untuk isolasi Mycobacterium

tuberculosis berupa:
(a) Sputum klien. Sebaiknya sputum diambil pada

pagi hari dan yang pertama keluar. Jika sulit

didapatkan maka sputum dikumpulkan selama

24 jam.
(b) Urine. Urine yang diambil adalah urine pertama

di pagi hari atau urine yang dikumpulkan

selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan

kateter maka urine yang tertampung di dalam

urine bag dapat diambil.Bahan-bahan lain.

Misalnya pus, cairan serebrospinal (sumsum


36

tulang belakang), cairan pleura, jaringan utbuh,

feses, dan swab tenggorok.


Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara

mikroskopis dengan membuat sediaan dan diwarnai

dengan pewarnaan tahan asam serta diperiksa

dengan lensa rendam minyak. Hasil pemeriksaan

mikroskopik dilaporkan sebagai berikut:


1) Bila setelah diteliti selama 10 menit tidak

ditemukan bekteri tahan asam, maka diberikan

(penanda): “Bakteri tahan asam negative atau

BTA (-)”.
2) Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang

pada seluruh sediaan, maka jumlah yang

ditemukan harus disebut, dan sebaiknya dibuat

sediaan ulangan.
3) Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka

harus diberi tabel: “Bakteri tahan asam positif

atau BTA (+)”.


Pemeriksaaan darah yang menunjang

diagnosis TB paru walaupun kurang sensitive adalah

pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya

peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan

immunoglobulin terutama IgG dan IgA

(Muttaqin,2012).
Untuk menegakkan diagnosis TB paru

secara mikroskopis dibutuhkan 3 contoh uji dahak.


37

Pengumpulan specimen dahak dilakukan dalam

waktu 2 hari yaitu sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).


1) Dahak sewaktu hari-1 (A) : Dahak diambil

sewaktu pada saat pasien berkunjung ke fasilitas

kesehatan. Beri pot dahak pada saat pasien

pulang untuk keperluan pengumpulan dahak

pagi hari berikutnya.


2) Dahak pagi (B) : Pasien mengeluarkan dahak

kedua pada pagi hari setelah bangun tidur dan

membawa contoh uji dahak ke laboratorium.


3) Dahak sewaktu hari-2 (C) :kumpulkan dahak

ketiga(dahak sewaktu) di laboratorium pada hari

kedua membawa dahak pagi (B).


(http://www.indonesian-

publichealth.com/protap-pengumpulan-dahak-

tb-paru/, diakses pada tanggal 12 november

2016).

2.2.2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

banyaknya mucus yang tertahan.


2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan

hiperventilasi yang ditandai dengan takipneau atau RR lebih

dari normal.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorbsi

nutrien.
38

4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organism

porulen.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan

berhubungan dengan informasi kurang/tidak akurat.


(Aplikasi NANDA,2012).

2.2.3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.2 Intervensi keperawatan pada pasien Tb Paru

N Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


O Keperawatan
1 Ketidakefektifan Tujuan : NIC :
bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan Airway Management
berhubungan dengan keperawatan × 24 jam, status 1. Posisikan pasien untuk
banyaknya mucus pernapasan pada klien membaik memaksimalkan ventilasi
yang tertahan 2. Identifikasi pasien perlunya
Indikator : pemasangan alat jalan
Definisi : - Menunjukan bersihan jalan napas buatan
ketidakmampuan napas yang efektif yang 3. Lakukan fisioterapi dada
untuk membersihkan dibuktikan oleh, pencegahan jika perlu
sekresi atau obstruksi aspirasi,status pernapasan: 4. Keluarkan sekret dengan
dari saluran napas ventilasi tidak terganggu dan batuk atau suction
untuk status pernapasan : kepatenan 5. Auskultasi suara nafas,
mempertahankan jalan napas catat adanya suara
bersihan jalan napas. - Menunjukanstatus pernapasan tambahan
: kepatenan jalan napas, yang 6. Lakukan suction pada
Batasan karakteristik : dibuktikan oleh : mayo
- Suara napas 1. Gangguan eksterm 7. Berikan bronkodilator bila
tambahan 2. Berat perlu
- Perubahan 3. Sedang 8. Berikan pelembab udara
frekuensi napas 4. Ringan kasa basah NaCL
- Perubahan irama 5. Tidak ada gangguan 9. Atur intake umtuk cairan
napas mengoptimalkan
- Sianosis keseimbangan
- Kesulitan berbicara 10.Monitor respirasi dan status
- Penurunan bunyi O2
napas
- Dispnea
- Sputum dalam
jumlah yang
berlebih
- Batuk yang tidak
efektif
39

- Ortopnea
- Gelisah
- Mata terbuka lebar
2 Ketidakefektifan pola Tujuan : NIC :
napas berhungan Setelah dilakukan tindakan Respiratory monitoring
dengan hiperventilasi keperawatan × 24 jam, status 1. Monitor rata-rata
yang ditandai dengan pernapasan klien membaik kedalaman, irama dan
takipneau atau RR usaha respirasi
lebih dari normal Indikator : 2. Catat pergerakan dada,
- Menunjukan pola pernapasan amati kesimetrisan,
Definisi : efektif yang dibuktikan oleh penggunaan otot tambahan,
Pertukaran udara status pernafasan, status retraksi otot
inspirasi dan/atau ventilasi dan pernapasan tidak supraclavicular dan
ekspirasi tidak adekuat terganggu, kepatenan jalan intercotals
napas dan tidak ada 3. Monitor suara napas
Batasan karakteristik : penyimpangan tanda vital 4. Monitor pola napas :
- Perubahan - Menunjukan tidak terganggunya bradipneau, takipneau,
kedalaman status pernapasan yang kusmaul, hiperventilasi,
pernapasa dibuktikan oleh : cheyne stokes, biot
- Perubahan ekskursi 1. Gangguan eksterm 5. Catat lokasi trachea
dada 2. Berat 6. Monitor kelelahan otot
- Bradipnea 3. Sedang diafragma
- Penurunan tekanan 4. Ringan 7. Auskultasi suara napas,
ekspirasi dan 5. Tidak ada gangguan catat area penurunan napas
inspirasi dan suara tambahan
- Penurunan 8. Auskultasi suara paru
ventilasi semenit setelah tindakan untuk
- Penurunan mengetahui hasilnya
kapasitas vital
- Dispnea
- Pernapasan cuping
hidung
- Ortopnea
- Pernapasan bibir
- Takipnea
- Penggunaan otot
aksesorius
3 Gangguan Tujuan : NIC :
keseimbangan nutrisi,Setelah dilakaukan tindakan Nutrition management
kurang dari kebutuhankeperawatan × 24 jam, status 1. Kaji adanya alergi
berhungan dengan
nutrisi klien membaik makanan
kelelahan, batuk yang 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
sering adanya produksi
Indikator : untuk menentukan jumlah
sputum, dispneau,
- Memperlihatkan status gizi : kalori dan nutrisi yang
anoreksia asupan makanan dan cairan, dibutuhkan klien
yang dibuktikan oleh : 3. Anjurkan klien untuk
meningkatkan intake Fe
Definisi : 1. Tidak adekuat 4. Anjurkan klien untuk
Asupan nutrisi tidak 2. Sedikit adekuat meningkatkan protein dan
cukup untuk 3. Cukup adekuat vitamin c
memenuhi kebutuhan 4. Adekuat 5. Berikan subtansi gula
metabolic 5. Sangat adekuat 6. Yakinkan diet yang tinggi
40

serat untuk mencegah


konstipasi
7. Monitor jumlah nutrisi dan
Batasan karekteristik : kandungan kalori
- Kram abdomen 8. Berikan informasi tentang
- Nyeri abdomen kebutuhan nutrisi
- BB 20% atau lebih 9. Kaji kemapuan pasien
dibawah ideal untuk mendapatkan nutrisi
- Diare yang dibutuhkan
- Bising usus
hiperaktif Nutrition monitoring:
- Membran mukosa 1. BB klien dalam batas
pucat normal
- Tonus otot 2. Monitor adanya penurunan
menurun berat badan
- Sariawan rongga 3. Monitor tipe dan jumlah
mulut aktivitas yang biasa
- Steatorea dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau
orang tua selama makan
5. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
6. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan mudah
patah
9. Monitor mual dan muntah
(Nanda NIC NOC, 2012).

2.2.4. Implementasi Keperawatan

Menurut Nursalam (2008) mengatakan bahwa

implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk

mencapai tujuan yang spesifik.Tahap implementasi dimulai setelah

rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk

membantu klien mencapai tujuan yang diharapakan.Oleh karena itu

rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi

factor-faktor yang mempengaruhi masalah keeshatan klien.

2.2.5. Evaluasi
41

Evaluasi adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan

keperawatan yang ditetapkan.Penetapan keberhasilan suatu asuhan

keperawatan didasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan,

yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2008).

2.3. Konsep Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas

2.3.1. Definisi

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah suatu kondisi

dimana individu mengalami ancaman pada kondisi pernapasanya

berkenaan dengan ketidakmampuan batuk secara efektif

(Carpenito, 2006).Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah

ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi

saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas

(NANDA, 2012).

2.3.2. Batasan Karakteristik

Menurut (Carpenito, 2006) :

a. Tidak ada batuk


b. Batuk tidak efektif
c. Tidak mampu mengeluarkan sekret di jalan napas
d. Dypsnea
e. Perubahan frekuensi napas
f. Perubahan irama napas
g. Kedalaman pernapasan tidak normal
h. Gelisah
i. Edema trakheal

2.3.3. Prosedure Keperawatan pada Klien dengan Ketidakefektifan

Bersihan Jalan Napas


42

a. Mengkaji fungsi pernapasan yang berguna untuk menunjukkan

atelaktasis. Ronkhi/mengi menunjukan akumulasi sekret yang

dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori pernapasan dan

peningkatan kerja pernapasan.

b. Melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret. Sputum

berdarah cerah diakibatkan kerusakan kavitas paru atau luka

bronchial.

c. Memberikan pasien Semi fowleryang dapat membantu

memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya

pernapasan. ventilasi maksimal membuka area atelaktasis dan

peningkatan gerakan sekret ke dalam jalan nafas.

d. Membersihkan sekret dari mult dan trakhea yang berguna untuk

mencegah aspirasi.

e. Mempertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari

kecuali kontraindukasi.

f. Berkolaborasi pemberian obat sesuai dengan prosedur OAT.

g. Menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru untuk

memudahkan pembersihan dengan agen mukolitik (Muttaqin,

2012).
43

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup

pengkajian satu unit penelitian secara intensif. Sangat penting untuk

mengetahui variabel yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Rancangan dari suatu studi kasus bergantung pada keadaan kasus namun

tetap mempertimbangkan faktor penelitian waktu. Riwayat dan pola

perilaku sebelumnya biasanya dikaji secara rinci. Keuntungan yang paling

besar dari rancangan ini adalah pengkajian secara rinci meskipun jumlah

respondennya sedikit, sehingga akan didapatkan gambaran satu unit subjek

secara jelas (Nursalam, 2008).


Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan

keperawatan pada klien yang mengalami TB paru dengan ketidakefektifan

bersihan jalan nafas di ruang Asoka RSUD dr. Harjono Ponorogo.


3.2. Batasan istilah
Batasan istilah dalam studi kasus ini adalah asuhan keperawatan

pada klien yang mengalami TB paru dengan ketidakefektifan bersihan

jalan nafas di Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo, maka penyusun

studi kasus harus menjabarkan tentang konsep TB paru dengan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

3.3. Partisipan
Partisipan pada studi kasus ini adalah klien dengan diagnose medis

TB paru dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan :


a. Batuk produktif
b. Tingkat kesadaran compos mentis
c. kooperatif
3.4. Lokasi dan waktu
3.4.1. Lokasi Penelitian
Lokasi studi kasus ini rencananya akan dilaksanakan di

ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo yang beralamat di Jl.

Ponorogo-Pacitan, Kab. Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.


3.4.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai sejak bulan November 2016 dan

jadwal kegiatan studi kasus dilakukan pada tanggal Januari 2017 di

Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo Tahun 2017. Studi

kasus ini dilakukan pada klien dengan kurun waktu minimal 3 x 24

jam, jika dalam 3 x 24 jam pasien dipulangkan maka akan

dilanjutkan implementasi dan evaluasi di rumah.


3.5. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada

rancangan penelitian dan teknik instrument yang digunakan. Selama

proses pengumpulan data, peneliti memfokuskan pada penyediaan subjek,

44
45

melatih tenaga pengumpulan data ( jikadiperlukan ), memerhatikan

prinsip-prinsip validitas dan reliabilitas, serta menyelesaikan masalah-

masalah yang terjadi agar data dapat terkumpul sesuai dengan rencana

yang telah ditetapkan ( Nursalam, 2008).


3.5.1. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk

mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau

informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian

(responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang

tersebut( face to face ). Jadi data tersebut diperoleh langsung dari

responden melalui suatu pertemuan atau percakapan.Wawancara

sebagai pembantu utama dari metode observasi.Gejala-gejala social

yang tidak dapat terlihat atau diperoleh melalui observasi dapat

digali dari wawancara.


Wawancara bukanlah sekadar memperoleh angka lisan saja,

sebab dengan wawancara peneliti akan dapat :


a. Memperoleh kesan langsung dari responden.
b. Menilai kebenaran yang dikatakan oleh responden.
c. Membaca air muka(mimik ) dari responden.
d. Memberikan penjelasan bila pertanyaan tidak dimengerti

responden.
e. Memancing jawaban bila jawaban macet.
Pada penelitian ini data yang dapat diperoleh dari klien

melalui wawancara meliputi:


a. Identitas klien
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Pengkajian psikososial
f. Pola aktivitas sehari-hari
g. Riwayat pengobatan
h. Faktor sosial ekonomi
i. Genogram
46

Selain itu data yang dapat diperoleh melalui wawancara pada

keluarga adalah riwayat penyakit dahulu.


Dalam pelaksanaan penelitian, wawancara kadang-kadang

bukan merupakan hal yang terpisah khusus, melainkan merupakan

pelengkap atau suplemen bagi metode-metode yang lain.

Diharapkan dengan wawancara ini diperoleh suatu data yang lebih

valid seperti keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat

penyakit keluarga, riwayat penyakit dahulu dll.


3.5.1. Pengamatan (observasi)
Dalam penelitian, pengamatan adalah suatu prosedur yang

berencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan

mencatat sejumlah dan taraf aktifitas tertentu atau situasi tertentu

yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Jadi dalam

melakukan observasi bukan hannya mengunjungi, “melihat”, atau

“menonton” saja, tetapi disertai keaktifan jiwa atau perhatian

khusus dan melakukan pencatatan-pencatatan. Ahli lain

mengatakan bahwa observasi adalah study yang disengaja dan

sistematik tentang fenomenal sosial dan gejala-gejala psychis

dengan jalan “mengamati’ dan ‘mencatat” (Notoatmodjo, 2010).


Pada penelitian ini data yang didapat dari klien melalui

pengamatan meliputi :
a). Tingkat kesadaran
b). Keadaan umum
c). Koping stress
d). Personal hygiene dll.
3.5.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam pengkajian keperawatan

dipergunakan untuk memperoleh data obyektif dari klien.


47

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan melalui empat teknik yaitu

inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi (Nursalam, 2008).


Pada penelitian ini diperoleh data dari klien melalui

pemeriksaan fisik meliputi :


a). Cardio respons
b). Pulmonary respons
c). Pemeriksaan abdomen
3.5.3. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan kegiatan untuk memperoleh

dukungan teoritis terhadap masalah peneliti yang dipilih, maka

peneliti perlu banyak membaca buku-buku literatur (Notoatmodjo,

2002).
Peneliti mengumpulkan data dengan cara mengambil data

yang berasal dari dokumen asli. Dokumen asli tersebut dapat

berupa gambar, table atau daftar periksa, hasil laboratorium, status

pasien dan lembar observasi yang dibuat.


Pada penelitian ini ini diperoleh data dari klien melalui studi

dokumentasi meliputi :
a). Hasil laboratorium
b). Photo rontgen
c). Hasil CT Scan
d). Radiologis TB paru
3.6. Uji keabsahan data
Menurut Swardi Endaswara (2006) menyatakan bahwadalam

penelitian kualitatif ada empat cara mencapai keabsahan data, yaitu:

kreadibility (kepercayaan); dependibility (ketergantungan); konfermability

(kepastian).Dalam penelitian kualitatif ini memakai 3 macam antara lain:


3.6.1. Kepercayaan (kreadibility)
Kreadibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan data yang

berhasil dikumpulkan sesuai dengan sebenarnya. Ada beberapa

kegiatan yang dilakukan untuk mencapai kreadibilitas ialah:


a) Memperpanjang cara observasi agar cukup waktu untuk

menganal respondens, lingkungan, kegiatan serta peristiwa-


48

peristiwa yang terjadi. Hal ini sekaligus untuk mengecek

informasi, guna untuk dapat diterima sebagai orang dalam. Pada

kegiatan penelitian memperpanjang observasi dengan cara

melakukan perawatan homecare untuk melengkapi data-data

dan informasi yang diperlukan oleh peneliti, jika waktu yang

dibutuhkan belum mencukupi. Agar penelitian diperoleh hasil

observasi maka peneliti melakukan observasi pada lingkungan,

kegiatan responden sehingga dilakukan homecare.


b) Pengamatan terus menerus, agar penelitian dapat melihat

sesuatu secara cermat, terinci dan mendalam sehingga dapat

membedakan mana yang bermakna dan tidak bermakna.


c) Triagulasi berupa pengumpulan data yang lebih dari satu

sumber, yang menunjukkan informasi yang sama. Triagulasi

didapatkan melalui keluarga, perawat, dokter, petugas

laboratorium.
3.6.2. Kebergantungan (depandibility)
Kriteria ini digunakan untuk menjaga kehati-hatian akan

terjadinya kemungkinan kesalahan dalam mengumpulkan dan

menginterprestasikan data sehingga data dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kesalahan sering dilakukan

oleh manusia itu sendiri terutama peneliti karena keterbatasan

pengalaman, waktu, pengetahuan. Cara untuk menetapkan bahwa

proses penelitian dapat dipertanggungjawabkan melalui audit

dipendability oleh ouditor independent oleh pembimbing lahan.

3.6.3. Kepastian (konfermability)


49

Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang

dilakukan dengan cara mengecek data dan informasi serta

interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada

pada pelacakan audit. Untuk mendapatkan hasil kepastian secara

benar maka peneliti didukung oleh hasil dari laboratorium serta

foto thoraks.

3.7. Analisis data


Pengolahan dan analisa data penelitian (data mentah) harus diolah

berdasarkan prinsip-prinsip pengolahan data secara profesional.

Ketidakakuratan dalam pengolahan dan analisis data akan berakibat

kesimpulan hasil penelitian yang “bias” yang dapat membahayakan

kesehatan masyarakat. Hasil dari pengolahan dan analisis data tersebut

terwujud dalam “data penelitian” yang terekam dalam berbagai bentuk.

Dari segi etika penelitian ketentuan – ketentuan yang terkait dengan data,

baik data mentah maupun data yang sudah diolah dan dianalisis perlu

diperhatikan hal – hal sebagai berikut :


1. Perolehan dan penggunaan data harus memperhatikan prinsip
2. Data harus dicatat dalam bentuk tahan lama dengan rujukan yang

sesuai serta disimpan sedikit – dikitnya lima tahun setelah publikasi.


3. Peneliti dapat merahasiakan sebagian data yang dianggap perlu.
4. Ketentuan kerahasiaan yang berkaitan dengan publikasi dapat berlaku

bila peneliti telah melakukan atau memberikan kerahasiaan kepada

pihak ketiga atau bila kerahasiaan tersebut dituntut untuk melindungi

hak kekayaan intelektual.


5. Data penelitian yang mengatasnamakan institusi tertentu merupakan

miliki institusi yang bersangkutan bukan milik peneliti yang

menghasilkan penelitian tersebut.


50

Analisa data penelitian studi kasus keperawatan yang digunakan

adalah analisis deret waktu. Analisis deret waktu adalah serangkaian nilai

pengamatan (observasi) yang diambil selama kurung waktu tetentu dan

membandingkan dua klien sesuai fakta dan studi literature dan dituangkan

dalam bentuk deskriptif atau narasi (Notoatmodjo, 2010).


Dalam penelitian ini digunakan status respiratory, untuk menilai

dan sebagai ukuran tingkat kenormalan serta tingkat ketidaknormalan pada

klien dengan menggunakan 7 poin meliputi :


1. Respiratory rate
2. Respiratory rhytim
3. Depth of inspiration
4. Ability to clear secretions
5. Adventitious breath sound
6. Accesory muscle
7. coughing
3.8. Etika penelitian
Menurut Nursalam (2008) menyatakan bahwa secara umum prinsip

etika dalam penelitian atau pengumpulan data dapat dibedakan menjadi

tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan

prinsip keadilan. Selanjutnya diuraikan sebagai berikut:

a) Prinsip manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

2) Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindari dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa

partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,


51

tidak akan dipengaruhi dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek

dalam bentuk apa pun.

3) Risiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

b) Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

1) Hak untuk ikut atau tidak menjadi responden (right to self

determinated)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai

hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun

tidak, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhannya, jika mereka seorang klien.

2) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perilaku yang diberikan (right

to full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada subjek.

3) Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed

consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya

akan dipergunakan untuk mengembangkan ilmu.

c) Prinsip keadilan (right to justice)


52

1) Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair

treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya

diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan

dari penelitian.

2) Hak dijaga kerahasiannya (right to privacy)

Subjek mepunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity)

dan rahasia (confidentiality).


BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Gambaran Lokasi Pengambilan Data

1. Letak

Ruang Asoka adalah salah satu Ruang Rawat Inap dari

14 Ruang Rawat Inap yang ada di RSUD Dr.Harjono Ponorogo.

Ruang Asoka bertempat di sebelah barat mushola dan sebelah

utara ruang teratai RSUD Dr. Harjono Ponorogo yang

beralamatkan di Jalan Raya Ponorogo-Pacitan Pakunden

Ponorogo Jawa Timur 63419 Indonesia.

2. Sarana dan Prasarana

Ruang Asoka dilengkapi sarana dan prasarana yang

menunjang pelayanan. Ruang Asoka di bagi menjadi beberapa

ruangan yaitu :

a. Ruang Perawatan

Ruang Asoka merupakan ruang rawat inap khusus

penyakit paru. Ruang Asoka terbagi atas 3 ruang kelas

utama, 1 ruang HCU, 2 ruang isolasi, dan ruang kelas 3

yang terdiri dari : masing – masing 1 ruang untuk putri

dan putra non TB, 1 ruang putri dan putra dengan TB.

Jumlah total tempat tidur adalah 27 tempat tidur.

53
54

b. Ruang Tim Medis dan Para Medis

Ruang yang digunakan tim medis maupun para

medis melakukan pemantauan sekaligus melakukan

pendokumentasian tindakan maupun perkembangan pasien

pada masing – masing shift (waktu jaga). Di ruang ini pula

biasanya dilakukan timbang terima pasien antara perawat

yang sedang dinas dengan perawat yang akan dinas pada

shift selanjutnya.

c. Ruang Peralatan Medis

Di ruang ini terdapat beberapa rak penyimpanan alat

– alat medis dan troli instrument yang digunakan untuk

tindakan medis. Di ruang ini pula tersimpan dua unit

nebulizer (alat untuk memasukkan obat pengencer dahak)

dan juga 2 unit section yang siap untuk digunakan apabila

diperlukan, satu unit autoclaf yang digunakan untuk

mensterilkan alat – alat steril setelah digunakan untuk

tindakan. Di samping autoclaf, terdapat lemari es (kulkas)

yang digunakan untuk menyimpan obat – obatan.

Selain yang telah dijelaskan di atas, Ruang Asoka

RSUD Dr. Harjono Ponorogo juga dilengkapi sarana dan

prasarana lain seperti toilet, ruang ganti pakaian untuk tim

medis dan para medis apabila waktu dinas, wastafel untuk

cuci tangan setelah dan sesudah melakukan tindakan,

gudang untuk penyimpanan, ruang dokter, ruang tindakan


55

serta beberapa sarana dan prasarana lain yang menunjang

pelayanan pada pasien di Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono

Ponorogo.

1. Jumlah Pasien yang sedang di Rawat (saat penelitian)

Jumlah pasien yang di rawat di ruang Asoka pada

tanggal 6 Maret 2017 sejumlah 21 pasien dan 3

diantaranya adalah pasien TB Paru.

2. Jumlah sumber daya manusia dan kualifikasi

pendidikan

Tabel 3.1 SDM dan Kualifikasi Pendidikan di Ruang Asoka RSUD Dr.Harjono
Ponorogo tahun 2017
No Profesi Klasifikasi Pendidikan Jumlah
1 Dokter spesialis Paru S2 Spesialis penyakit paru 1
2 Dokter umum S1 Kedokteran 1
2 Perawat S1 Keperawatan 3
3 Perawat DIII Keperawatan 9
4 Cleaning service SMA 3
Jumlah 17
Sumber: (Ruang Asoka RSUD Dr.Harjono, 2017)

Adapun Struktur MAKP Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo

adalah sebagai berikut :


Kepala Ruang
Lilik Warianti, Amd.Kep

Atim Wiyanto, S.Kep, Ns Bieta R, S.kep, Ns Darmawan, S.kep, Ns

Munjiati, Amd.Kep Rizal W, S.Kep, Ns Hertina, Amd.Kep

Aris S, Amd.Kep Harum I, Amd.Kep Subagya, Amd.Kep

Yulida Tri, Amd.Kep Sulistyaningsih, Amd.Kep


56

Diagram 4.1 Struktur MAKP Ruang Asoka RSUD Dr.Harjono Ponorogo

4.1.2. Pengkajian
A. Identitas Klien

IDENTITAS KLIEN
Nama Ny. M
Umur 58 tahun

Agama Islam

Pendidikan Tidak sekolah

Pekerjaan Pedagang

Suku/bangsa Jawa

Alamat Ds. B, Kec. J, Kab. P


57

Tanggal/Jam MRS 3 Maret 2017/09.45 WIB

No. RM 0334228

Diagnosa Medis TB

B. Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. Kesehatan Umum
a. Keluhan Utama - Saat MRS : Klien mengeluh
sesak
- Saat Pengkajian : Klien
mengatakan masih sesak
b. Riwayat Penyakit Klien mengatakan saat dirumah
Sekarang klien mengeluh sesak nafas
selama 10 hari, kemudian pada
hari ketiga klien mengalami sesak
yang sangat berat. Setelah itu oleh
keluarga klien langsung dibawa ke
RSUD Dr. Harjono Ponorogo dan
di rawat di ruang Asoka
c. Riwayat Penyakit Klien mengatakan dahulu kurang
Dahulu lebih setahun yang lalu, klien
mempunyai riwayat penyakit
sesak napas.
d. Riwayat Penyakit Klien mengatakan dalam
Keluarga keluarganya tidak ada yang
memiliki penyakit
menurun( seperti; Diabetes
Militus, Hipertensi dll) dan
penyakit menular ( seperti; TBC,
Hepatitis dll)

e. Riwayat Pengobatan Klien mengatakan tidak pernah


mengkonsumsi obat - obatan/jamu
f. Faktor Sosial ekonomi Klien mengatakan bahwa klien
bekerja sebagai seorang pedagang
dan klien menggunakan BPJS
Kesehatan untuk membiayai
perawatannya di Rumah Sakit
2. Vital Sign
a. Tekanan Darah 130/70 mmHg
b. Nadi 88x/menit
c. Respirasi 28x/menit
d. Suhu 36,7°C
e. Kesadaran Compos Mentis
f. GCS E:4 M:5 V:6

C. Pengkajian B6 (Breath-Bone)
58

1. Breath

a. Penyakit sistem napas Tb Paru


b. Kemampuan bernapas Sesak
c. Pemeriksaan paru-paru
1. Inspeksi
Bentuk dada Normochest
Tipe pernapasan Hidung
Pernapasan cuping Hidung Ya
Nyeri saat bernapas Tidak
Ekspansi dada Simetris
Retraksi dada Ya (intercosta)
Sesak napas Ya
Batuk Produktif
Sputum Ada
Warna/bau Putih/khas
Penggunaan alat bantu napas Nasa canul 3 lpm
2. Palpasi Vocal fremitus kanan dan kiri
getaran sama.
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang paru
4. Auskultasi Ada suara tambahan ronchi pada
dada dextra dan sinistra.
Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Napas

2. B2 (Blood)

a. Capillary refill < 2 detik


b. Clubbing finger Tidak
c. Akral Hangat
d. Irama jantung Reguler
e. Nyeri dada Tidak
f. Bunyi jantung Normal
g. Palpitasi Tidak
h. Peningkatan JVP Tidak
i. Terpasang CVP Tidak
j. Pemeriksaan jantung
1. Inspeksi Ictus cordis tidak tampak pada
ics 5 midclavicula sinistra
2. Palpasi Ictus cordis teraba di ics 5
midclavicula sinistra
3. Perkusi Redup
4. Auskultasi Bj 1 dan Bj 2 tunggal. Bj 1 di ics
5 midclavicula sinistra (katup
bicuspid-mitral) dan Bj 2 di ics 3
(katup aortic-pulmo).
Masalah Keperawatan -

3. B3 (Brain)
59

a. GCS E:4 V:5 M:6


b. Reflek fisiologis Patella (+/+), Triseps (+/+),
Biseps (+/+)
c. Reflek Patologis Babinski (+/+), Chadok (+/+),
Gonda (+/+), Gordon (+/+),
Openheim (+/+), Bing (+/+),
Skaifer (+/+)
d. Istirahat tidur SMRS : siang 11.00 – 13.00
WIB, malam 20.00 – 05.00 WIB
MRS : Sering terbangun
e. Pupil Isokor
f. Reflek cahaya +/+
g. Ukuran pupil Normal
h. Gangguan neurologis Tidak ada
Masalah Keperawatan Gangguan Pola Tidur

4. B4 (Bladder)

a. Pola pembuangan urine


1. Frekuensi 3-4 kali/hari
2. Jumlah ± 1344 cc/hari
3. Terpasang cateter Klien tidak terpasang cateter
4. Keluhan Klien mengatakan tidak ada
keluhan
5. personal hygiene Klien mengatakan selalu
membersihkanya setelah BAK
b. Riwayat kelainan kandung kemih Klien tidak memiliki kelainan
kandung kemih semisal batu
saluran kemih, infeksi saluran
kemih
c. Pola urine
1. Jumlah 1344 cc/hari
2. Kekentalan Cair
3. Warna Kuning khas urine
4. Bau Khas
d. Kandung kemih
1. Membesar Tidak
2. Nyeri tekan Tidak
e. Gangguan Tidak ada gangguan
f. Pola asupan cairan Cairan masuk melalui makanan
berkuah, air minum, teh dan
infus.
g. Cairan masuk Makan : 150 cc/24 jam
Minum : 600 cc/24 jam
Infus = 864 cc/24 jam ( 12 tpm)
Aminophilyn : 30 cc
Cepraz : 10 cc
Ranitidine : 4 cc
Dexamhetashone : 30 cc
Furosemide : 8 cc
60

h. Cairan keluar Urine = 1344 cc/24 jam, iwl = 35


cc/24 jam
i. Balance cairan Cairan masuk – Cairan keluar
= 1696 – 1379
= 317 cc ( excess)
Masalah Keperawatan -

1. B5 (Bowel)

a. Nafsu makan Klien mengalami penurunan nafsu


makan selama di rumah sakit
b. Jenis Nasi, sayur dan lauk
c. Jenis diet TKTP
d. Frekuensi 3 kali/24 jam
e. minum 600 cc/ 24 jam
f. tanda-tanda klinis
1. rambut Penyebaran rambut merata, rambut
pasien tidak mengalami
perontokan.
2. turgor kulit Kembali kurang dari 2 detik
3. mukosa Lembab
4. konjungtiva Tidak anemis
5. tenggorokan -
g. antropometri
1. BB sebelum 58 kg
2. BB sekarang 56 kg –
2 kg
3. TB 149 cm
4. Lingkar perut 68 cm
5. Lingkar kepala 55 cm
6. Lingkar dada 74 cm
7. Lingkar lengan atas 28 cm
8. IMT 18,8
h. Abdomen
1. Inspeksi Bentuk simetris, tidak ada lesi,
tidak ada acites
2. Auskultasi Bissing usus 8 kali/menit
3. Palpasi Tidak ada benjolan abnormal serta
tidak ada nyeri tekan
4. perkusi Tympani
i. Pola eliminasi
1. BAB 1 kali/ hari
2. Bau Khas
3. Warna Kuning
Masalah Keperawatan -

6 . B6 (Bone)
61

a. Kemampuan pergerakan sendi Bebas


b. Kekuatan otot 4 4
4 4
c. ROM Klien dapat bergerak secara normal
d. Pemeriksaan ekstermitas Pergerakan tangan dan kaki bebas,
tapi sedikit lemah dan terpasang
infus di ekstermitas atas sinistra
e. Resiko untuk cidera Tidak ada resiko cidera karena klien
selalu di jaga oleh keluarganya
f. Warna kulit Pucat, serta berkeringat pada
malam hari selam 10 hari terakhir
g. Turgor Baik
h. Edema Tidak ada
i. Lesi Ada
Masalah Keperawatan Intoleransi aktivitas

9. Endokrin

a. Tiroid membesar Tidak


b. Hiperglikemia Tidak
c. Hipoglikemia Tidak
d. Luka gangren Tidak
Masalah keperawatan -

e. Personal Hygiene

a. ADL
1. Mandi Klien mandi di RS 2 kali/hari
2. Keramas Klien membersihkan rambut 2 hari
sekali
3. Berpakaian Klien menganti pakaian setiap hari
4. Sikat gigi Klien sikat gigi 2 kali/hari
5. Memotong kuku Kuku klien tampak kotor
Masalah Keperawatan -

a. Psikososial, spiritual dan Resiko Penularan

a. Psikologis Pasien mengatakan sudah mengetahui tentang


penyakit yang dideritanya.
b. Sosial Hubungan klien dengan masyarakat sekitar
kurang baik, sebab klien dijauhi masyarakat
dikarenakan penyakitnya.
c. Spiritual Klien beragama islam. Klien selalu melakukan
ibadah sesuai dengan kewajibanya.

1. Data Laboratorium
62

Tanggal pemeriksaan : 4 Maret 2017

Jenis Hasil Harga Normal Satuan Interpr


Pemeriksaan Pemeriksaan estasi
WBC 13,4 4.0 -10.0 10^3/uL H
Lymph# 0,6 0.8 - 4.0 10^3/uL L
Mid# 0,7 0.1 – 1.5 10^3/uL
Gran# 12,1 2.0 – 7.0 10^3/uL H
Lymph% 4,5 20.0 – 40.0 % L
Mid% 5,0 3.0 – 15.0 %
Gran% 90,5 50.0 – 70.0 % H
RBC 4,88 3.50 – 5.50 10^6/ul
HGB 13,8 11.0 – 16.0 g/dL
HCT 41,3 37.0 -54.0 %
MCV 84,7 80.0 – 100.0 fL
MCH 28,3 27.0 – 34.0 Pg
MCHC 33,4 32.0 – 36.0 g/dL
RDW-CV 14,5 11.0 – 16.0 %
RDW-SD 44,7 35.0 – 56.0 fL
PLT 299 150 – 400 10^3/uL
MPV 6,9 6.5 – 12.0 fL
PDW 15,3 9.0 – 17.0
PCT 2,06 1.08 – 2.08 mL/L
P-LCC 40 30 – 90 10^3/uL
P-LCR 13,4 11.0 – 43.0 %

Jenis Hasil Harga Satuan Flag


Pemeriksaan Normal
DBIL 0.2 0 – 0.36 mg/dl
TBIL 0.79 0.2 – 1.2 mg/dl
SGOT 52.1 0 – 31 U/l *
SGPT 30.8 0 – 31 U/l
GamaGT 51.3 8 – 34 U/l *
TP 9.2 6.6 – 8.3 g/dl *
ALB 5 3.5 – 5.5 g/dl
Glob 4.2 2 – 3.9 g/dl *
UREA 29.82 10 – 50 mg/dl
CREAT 0.73 0.7 – 1.2 mg/dl
UA 2.8 2.4 – 5.7 mg/dl *
CHOL 282 140 – 200 mg/dl *
TG 160 36 – 155 mg/dl
HDL 67 45 – 150 mg/dl E
LDL 183 0 – 190 mg/dl E

2. Pemeriksaan USG/Radiologi
63

Kesimpulan : Didapatkan dari hasil pemeriksaan Rontgen Thoraks klien


mengalami TB Paru. Pemeriksaan dilakukan pada
tanggal 3 Maret 2017

3. Pemeriksaan ECG

Kesimpulan : Didapatkan dari pemeriksaan elektrokardiografi klien


tidak ada gangguan pada sistem kardiovaskuler.
Pemeriksaan dilakukan pada tamggal 3 Maret 2017.

4. Penatalaksanaan Terapi

Tanggal Nama obat Cara Dosis Manfaat


Pemberian
4 Maret Infus RL IV 12 tpm Pengganti
2017 Cairan tubuh
4 Maret Cepraz IV 2 x 1 gr Anti biotic
2017
4 Maret Ranitidine IV 2 x 50 mg Menurunkan
2017 kadar asam
lambung
4 Maret Dexamethason IV 3 x 5 mg Mengobati
2017 inflamasi dan
64

peradangan
4 Maret Furosemide IV 2x 10 mg Membuang
2017 cairan
berlebih
didalam tubuh

4.1.3. Analisa Data

No Data Fokus Etiologi Masalah


1. DS : Sekresi yang Ketidakefektifan
1. Klien mengatakan sangat tertahan Bersihan Jalan
sesak Nafas
2. Klien mengatakan lemas
DO :
1. Pernafasan cuping hidung
2. Klien terlihat sesak dan
lemas
3. Irama/pola nafas tidak teratur
4. Retraksi dada intercosta
5. Terpasang Oksigen 3 lpm
nasa canul
6. Tipe pernafasan hidung
7. CRT < 2 detik
8. Akral hangat
9. Hb : 13, 8 g/dL
10.WBC : 13, 400
11.RR 28x/menit
12.Ronchi pada dada dextra
sinistra
13.Batuk +/+
14.Dahak +/+, Warna putih
kekuningan
15.TTV :
TD : 130/70 mmHg
65

N : 88x/menit
S : 36,5 0C
RR : 28x/menit
2. DS: Ketidakseimbangan Intoleransi
1. Klien mengatakan lemah suplai dan aktivitas
2. Klien mengatakan sesak kebutuhan oksigen
bertambah saat di
gunakan aktivitas
DO :
1. Klien terlihat lemah
2. Klien tampak pucat
3. TTV :
TD : 130/80 mmHg
N : 88x/menit
S : 36,5 0C
RR : 28x/menit
3. DS : Hospitalisasi Gangguan pola
1. Klien mengatakan tidur
kesulitan tidur karena
lingkungan kurang
nyaman
2. Klien mengatakan saat
tidur malam sering
terbangun
DO :
1. Jam tidur klien 4 jam
dalam sehari
2. Tidur siang 11.00 – 12.00
WIB
3. Tidur malam sering
terbangun
4. Klien tampak lesu
5. Klien terlihat cowong

4.1.4. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Tanggal Tanggal


muncul teratasi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas 6 Maret 2017 9 Maret 2017
b/d sekresi yang tertahan
2. Intoleransi aktivitas b/d 6 Maret 2017 7 Maret 2017
ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen
3. Gangguan pola tidur b/d hospitalisasi 6 Maret 2017 6 Maret 2017

4.1.5. Perencanaan

Diagnosa Kriteria Hasil/NOC Perencanaan/NIC


Keperawatan
66

Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan NIC : Airway Management


bersihan jalan selama 4 x 24 jam diharapkan 1. Posisikan pasien
nafas b/d status pernafasan hilang semi fowler untuk
Sekresi yang dengan Indikator : memaksimalkan
tertahan a. RR dalam batas normal ventilasi
yaitu 18 – 24 kali/menit 2. Identifikasi pasien
b. Irama nafas teratur perlunya
c. Mampu membersihkan pemasangan alat
sekresi secara mandiri bantu nafas
d. Tidak ada suara nafas 3. Lakukan fisioterapi
tambahan dada
e. Tidak ada penggunaan 4. Keluarkan sekret
otot bantu pernafasan dengan batuk
f. Ada batuk efektif 5. Ajarkan batuk
efektif
6. Berikan
bronkoladiator jika
perlu
7. Auskultasi suara
nafas, catat adanya
suara nafas
tambahan
8. Atur intake untuk
cairan
9. Monitor respirasi
dan status oksigen

4.1.6. Implementasi dan Evaluasi

Hari/Ta Jam Implementasi Jam Evaluasi


nggal
Senin, 6 08.10 1. Mencuci tangan sebelum dan 21.45 S:
Maret sesudah melakukan tindakan 1. Klien mengatakan
2017 keperawatan masih mengeluh
08.15 2. BHSP sesak
09.00 3. Memposisikan pasien 2. Klien mengatakan
semifowler untuk masih mengeluh
memaksimalkan ventilasi batuk dan pusing
11.00 4. Memeriksa TTV 3. Klien mengatakan
TD : 120/80 mmHg mengeluh tidak bisa
N : 88 x/menit tidur
S : 370C O:
RR : 28 kali/menit 1. RR 26x/menit
14.30 5. Menganjurkan dan membantu 2. pola nafas tidak
klien untuk batuk efektif teratur
15.00 6. Mengauskultasi suara nafas 3. ada suara ronchi
tambahan, terdapat suara 4. terpasang O2 3 lpm
ronchi nasal canul
15.30 7. Memonitor RR : 28x/Menit 5. Batuk +
dan status oksigen baik 6. retraksi intercosta
67

20.30 8. Balance cairan : 7. ada otot bantu


CM: 1696cc/24jam pernafasan
CK: 1379cc/24jam - A:
317cc/24jam exces Masalah belum
teratasi pada
gangguan pernafasan
berat (Skor 7)
P:
Lanjutkan intervensi
2,3,4,5,6,7

Selasa, 08.10 1. Mencuci tangan sebelum dan 21.30 S:


7 Maret setelah melakukan tindakan 1. Klien mengatakan
2017 keperawatan masih mengeluh
08.20 2. Memposisikan pasien semi sesak
fowler untuk memaksimalkan 2. Klien mengatakan
ventilasi sudah bisa tidur dan
08.30 3. Memeriksa TTV tidak pusing lagi
TD : 110/70 mmHg O:
N : 90x/menit 1. RR: 24x/menit
S : 36,50C 2. pola nafas tidak
RR : 26x/menit teratur
11.15 4. Menganjurkan dan membantu 3. ada suara ronchi
klien untuk batuk efektif 4. klien terlihat masih
13.30 5. Mengauskultasi suara nafas batuk
tambahan, terdapat suara 5. retraksi intercosta
ronchi A:
20.00 6. Memonitor RR : 26x/menit Masalah belum
dan status oksigen teratasi pada
20.30 7. Balance cairan gangguan pernafasan
CM: 1696cc/24jam berat (Skor 6)
CK: 1379cc/24jam - P:
317cc/24jam exces Lanjutkan intervensi
1,2,3,4,5
68

Rabu, 8 08.15 1. Mencuci tangan sebelum dan 21.00 S:


Maret setelah melakukan tindakan 1.Klien mengatakan
2017 keperawatan masih mengeluh sesak
08.15 2. Memposisikan pasien O:
semifowler untuk 1. RR: 26x/menit
memaksimalkan ventilasi 2. pola nafas tidak
08.30 3. Memeriksa TTV : teratur
TD : 110/70 mmHg 3. ada suara ronchi
N : 88x/menit 4. klien terlihat batuk
S : 36,80C 5. retraksi intercosta
RR : 24x/menit A:
14.30 4. Menganjurkan dan membantu Masalah teratasi
klien untuk batuk efektif sebagian pada
14.45 5. Mengauskultasi suara nafas gangguan pernafasan
tambahan, terdapat suara ringan (Skor 4)
20.00 ronchi P:
6. Memonitor respirasi dan status Lanjutkan intervensi
oksigen 1,2,3,4,5

Kamis. 08.00 1. Mencuci tangan sebelum dan 20.30 S:


9 Maret setelah melakukan tindakan 1. Klien mengatakan
2017 keperawatan masih sedikit
08.15 2. Memposisikan pasien mengeluh sesak
semifowler untuk O:
memaksimalkan ventilasi 1. RR: 24x/menit
08.30 3. Memriksa TTV : 2. pola nafas tidak
TD : 120/80 mmHg teratur
N : 92x/menit 3. retraksi intercosta
S : 36,60C A:
RR : 24x/menit Masalah teratasi
14.30 4. Menganjurkan dan membantu sebagian pada
klien untuk batuk efektif gangguan pernafasan
14.45 5. Mengauskultasi suara nafas ringan (Skor 2)
tambahan, terdapat suara P:
ronchi Lanjutkan intervensi
20.00 6. Memonitor Respirasi : 1,2,3,4,5
24x/menit dan status oksigen
baik
69

1.2. Pembahasan
1.2.1. Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan bahwa Ny. M ,

seorang pedagang berusia 58 tahun dengan berat badan sebelum

menderita sesak nafas yaitu 58 kg, kemudian berat badan Ny. M

berangsur menurun sampai dengan 56 kg dan tinggi 149 cm ini

menderita Tuberculosis paru. Sebelumnya Ny. M mengatakan

kurang lebih 1 tahun yang lalu dirinya menderita sesak napas,

kemudian keluarga membawa ke Puskesmas dan diberi obat untuk

dilakukan rawat jalan. Kemudian sesak napas muncul kembali 10

hari ini Ny. M mengalami sesak kembali terkadang disertai dengan

batuk, sesak semakin berat selam 3 hari di sertai dengan keringat di

malam hari selama klien mengalami sesak nafas. Ny. M kemudian

dibawa ke RSUD dr. Harjono Ponorogo dan diagnosis Tb Paru

setelah dilakukan pemeriksaan Radiologi. Dari hasil pemeriksaan

fisik yang dilakukan penulis didapatkan tekanan darah 130/70


70

mmHg, suhu tubuh 36,7°C, respirasi 28x/menit, dan saat auskultasi

terdengar suara ronchi pada dada kanan dan kiri. Kemudian di

dapatkan hasil dari pemeriksaan darah lengkap yaitu kadar leukosit

13.400 mg/dl.

Menurut Corwin (2009) menyatakan bahwa keluhan yang

dialami pasien dapat bermacam-macam, tetapi dapat pula tanpa

keluhan sama sekali, beberapa gejala yang muncul adalah: batuk

berdahak lebih dari 3 minggu, sesak nafas, nyeri dada, demam,

nafsu makan menurun dan keringat pada malam hari. Dari gejala

yang disebutkan di atas, ada gejala yang dialami oleh Ny. M dan

adapula gejala yang tidak dialami oleh Ny. M. Gejala yang muncul

yang telah penulis dapat dari hasil pengkajian dan pemeriksaan

fisik, didapatkan bahwa Ny. M mengalami sesak napas serta

terkadang di sertai dengan batuk. Menurut Achmadi (2005) jenis

pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja dilingkungan yang berdebu paparan

partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya

gangguan pada saluran pernafasan, paparan kronis udara yang

tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya

gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya Tb Paru.

Menurut Muzdalifah (2016) hampir setiap penyakit infeksi, ada

suatu interaksi yang kompleks antara respon tubuh dan virulensi

dari organisme penyebab penyakit, yang menyebabkan perubahan

menyeluruh pada respon metobolik tubuh, pada pasien


71

tuberkulosis, interaksi ini menyebabkan penurunan nafsu makan,

gangguan penyerapan nutrisi dan perubahan metabolisme tubuh

yang akhirnya menyebabkan penurunan berat badan. Menurut

Corwin (2009) gejala ini jarang ditemukan, namun dapat timbul

ketika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura dan menjadi

pleuritis, jadi penulis beranggapan bahwa tidak munculnya nyeri

dada ini diakibatkan karena infiltrasi bakteri belum sampai ke

pleura dan tidak terjadi peradangan pada pleura.

Gejala yang tidak muncul adalah demam, dalam Corwin

(2009) demam yang muncul dapat mencapai panas hingga 41°C,

namun gejala ini tidak muncul pada Ny. M. Corwin (2009)

menyebutkan bahwa keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya

tahan tubuh penderita dan keparahan infeksi bakteri tuberculosis.

Jadi, demam disini tidak muncul pada Ny.M karena sistem daya

tahan tubuh pada Ny. M yang kuat dan infeksi yang belum terlalu

parah. Gejala yang tidak muncul pada Ny. M adalah demam.

Didapatkan pada Ny. M keadaan infeksi pada paru-paru klien

adalah 13.400/uL, sehingga memungkinkan demam tidak muncul

pada klien karena daya tahan tubuh klien masih mampu dan

keadaan infeksi yang belum parah. Gejala berikutnya yang tidak

muncul pada klien adalah nyeri dada, peneliti beranggapan

bahwatidaka munculnya nyeri dada di akibatkan karena infiltrasi

bakteri belum sampai ke pleura dan tidak terjadi peradangan pada


72

pleura. Peneliti menemukan bahwa klien merupakan seorang

pedagang, dimana keadaan tempat klien bekerja mendukung klien

terpapar partikel berdebu yang mendukung untuk terjadinya

penyakit sistem pernafasan. Kemudian dari resiko penularan klien

sangat rentan untuk tertular ataupun menyebarkan penyakitnya.

Keadaan ini akan sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan klien

sendiri, keluarga serta masyarakat yang kontak dengan klien.

1.2.2. Diagnosa Keperawatan


Diagnosis keperawatan yang sering muncul pada klien TB

Paru adalah (NANDA, 2014) :


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

banyaknya mucus/sekresi yang tertahan


2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru,

hipertensi pulmonal, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis

laktat dan penurunan curah jantung


3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorbsi nutrient


4. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organism porulen

Batuk dan sesak, keluhan inilah yang sering muncul pada

pasien TB Paru. Hal ini disebabkan oleh adanya inflamasi pada

bronkus yang mengakibatkan hipersekresi mucus sehingga jalan

nafas terhalang oleh secret (obstruksi parsial), saat inspirasi udara

masih dapat menembus alveolus tetapi saat ekspirasi tidak semua

udara hasil inspirasi dapat atau berhasil dikeluarkan lagi, sehingga

dengan kata lain sisa udara bekas inspirasi tertumpuk/terperangkap

didalam rongga alveolus (air trapping). Hal inilah yang


73

menyebabkan ekspirasi akan semakin dangkal dan jika secret tidak

segera dikeluarkan akan terjadi infeksi sekunder dan mucus

semakin banyak menyumbat jalan nafas sehingga suplai oksigen ke

dalam paru berkurang (hipoksemia) (Danusantoso, 2014). Karena

ketidakmampuan dari klien untuk batuk secara efektif sehingga

perlunya dilakukan asuhan keperawatan secara komprehensif

terhadap kedua klien yang sudah muncul tanda dan gejala dari

ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Berdasarkan hasil pengkajian dari pasien telah didapatkan

masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan

dengan obstruksi jalan nafas karena terdapat secret atau sputum

yang menumpuk akibat dari ketidakmampuan pasien untuk batuk

secara efektif. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan ditemukan

masalah pada Ny. M yaitu:


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

sekresi yang tertahan.


2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan

antara suplai dan kebutuhan oksigen.


3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hospitalisasi.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah

ketidakmampuan dalam membersihkan sekresi atau obstruksi dari

saluran pernafasan untuk menjaga bersihan jalan nafas. Batasan

karakteristik dari ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah batuk

yang tidak efektif, penurunan bunyi nafas, suara nafas tambahan,

sputum dalam jumlah berlebih, perubahan frekuensi nafas dan

perubahan irama nafas (Nanda,2008). Adanya gangguan pada


74

sistem pernafasan dapat menganggu oksigenasi dan menyebabkan

hipoksema dan selanjutnya berkembang dengan cepat menjadi

hipoksia yang berat serta penurunan pernafasan (Djuantoro, 2014).

Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa masalah yang

muncul atau diagnose yang muncul tidak semuanya sama antara

kasus dengan teori yang ada pada klien TB Paru. Hal tersebut

dikarenakan berbagai factor yang ada seperti factor pendidikan,

factor lingkungan, factor keluarga dan tidak ada data keluhan untuk

memunculkan diagnose yang sama dengan dengan yang ada di

dalam teori.

1.2.3. Perencanaan
Berdasarkan teori yang ada prosedure keperawatan pada klien

dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas meliputi:


a. Batuk efektif
Mengajarkan teknik batuk yang dapat merangsang

pengeluaran secret dari paru-paru


b. Pernafasan diafragma dan mulut
Mengajarkan nafas dalam dengan bantuan otot-otot

diafragma dan memfasilitasi mulut untuk memperoleh

pernafasan efektif dan mencegah akumulasi secret.


c. Posisi drainase postural
Prosedur memposisikan klien untuk memfasilitasi

pengeluaran secret pada berbagai segmen bronkus dengan

bantuan gaya gravitasi

d. Vibrasi dada
75

Prosedur menggetarkan dada (paru) dengan

menggunakan tangan untuk meningkatkan proses pengeluaran

sekresi paru.
e. Clapping dada
Prosedur pengeluaran secret dari dalam rongga paru

dengan menggunakan gerakan penepukan pada daerah dada


f. Posisi semifowler
Prosedur memposisikan paisen untuk memaksimalkan ventilasi
g. Terapi fisik dada
Prosedur tindakan kombinasi yang terdiri dari clapping

dada, selanjutnya vibrasi, dan terakhir drainase postural

(Tamsuri, 2008).

Rencana keperawatan dilakukan untuk diagnosa

ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada Ny. M berhubungan

dengan sekresi yang tertahan , intervensi yang harus dilakukan

pada pasien dengan tuberculusis adalah mengeluarkan sputum

yang menghambat bersihan jalan nafas dengan cara : posisi

postural drainage dan pembatukan, inhalasi, dan memberikan obat

untuk mengencerkan lendir. Berdasarkan teori diatas maka penulis

mengajarkan batuk efektif pada Ny.M , menurut (Apriyadi,2013)

batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana

klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah

mengeluarkan dahak secar maksimal. Batuk efektif adalah batuk

yang disengaja, namun dibandingkan batuk biasa yang bersifat

reflek tubuh terhadap benda asing yang masuk dalam saluran

pernafasan, batuk efektif dilakuka dengan terencana atau dilatihkan

sebelumnya. Gerakan batuk ini terjadi atau dilakukan tubuh


76

sebagai mekanisme alamiah terutama untuk melindungi paru-paru.

Berdasarkan landasan teori tersebut maka penulis membuat

rencana intervensi untuk mengajarkan teknik batuk efektif pada

Ny. M.

Selain mengajarkan teknik batuk efektif, penulis juga

melakukan teknik postural drainase pada pasien Ny. M. Menurut

(Dhaenkpedro,2010) dalam pelaksanaanya postural drainase ini

selalu dengan tapotament atau tepukan dengan tujuan untuk

melepaskan mucus dari dinding saluran nafas dan untuk

merangsang timbulnya reflek batuk, sehingga dengan reflek batuk

mucus akan lebih mudah dikeluarkan. Jika saluran nafas bersih

maka pernafasan akan menjadi normal dan ventilasi menjadi lebih

baik. Jika saluran nafas baik maka frekuensi batuk akan menurun.

Berdasarkan teori diatas maka penulis memutuskan untuk

melakukan teknik postural drainase kepada pasien Ny. M.

Data diatas dapat dikatakan bahwa tidak semua

rencana/prosedur yang ada pada teori dapat semuanya dilakukan

pada klien, hal itu dikarenakan kondisi fisik, factor keluarga,

tingkat pendidikan, umur, kesehatan, masalah yang muncul, serta

kemauan dari klien itu sendiri.

1.2.4. Implementasi
Berdasarkan data yang didapat dari klien memiliki masalah

ketidakmampuan batuk secara efektif, maka peneliti melakukan

beberapa implementasi.
77

Implementasi pertama yang dilakukan adalah mengajarkan

pada Ny. M tentang cara batuk efektif. Menurut (Anas, 2008)

prosedur tindakan batuk efektif adalah sebagai berikut: beritahu

pasien, minta persetujuan klien dan anjurkan untuk mencuci tangan

terlebih dahulu selanjutnya adalah mengatur posisi pasien agar

duduk tegak atau setengah duduk membungkuk, selanjutnya adalah

meletakkan pengalas pada klien dan sputum pot pada pangkuan klien

dan menganjurkan klien untuk memegang tisu, selanjutnya adalah

menganjurkan klien untuk menarik nafas secara perlahan melalui

hidung, tahan selama 1-3 detik kemudian menghembuskan nafas

secara perlahan melalui mulut, lakukan prosedur ini beberapa kali,

kemudian minta klien melakukan prosedur sebelumnya dan pada

saat tarikan nafas ketiga minta klien untuk membatukkan dengan

kuat saat menghembuskan nafas, ulangi prosedur tersebut beberapa

kali jika masih diperlukan, bersihkan mulut klien dan anjurkan klien

mebuang sputum pada sputum pot yang telah disediakan, bereskan

alat dan cuci tangan.


Implementasi kedua yang dilakukan adalah postural drainase.

Hal ini peneliti lakukan karena, berdasarkan pengkajian dan

penegakkan diagnosa diketahui bahwa pasien mengalami

ketidakefektifan bersihan jalan nafas dan terdengar suara ronchi pada

saat auskultasi. Jika dalam saluran pernafasan terdapat penumpukan

sputum akibat adanya infeksi oleh bakteri yang menyebabkan

adanya peradangan parenkrim dan penumpukan sputum maka akan


78

membuat aliran oksigen terhambat sehingga asupan oksigen ke sel

akan terhambat (Stephen J. McPhee, 2011).


Berdasarkan teori tersebut maka peneliti melakukan teknik

postural drainase pada Ny.M. Menurut (Muttaqin, 2008) teknik

postural drainase dilakukan dengan perkusi dan fibrasi. Berdasarkan

teori diatas maka peneliti menghubungkan beberapa teori yakni

dengan melakukan fibrating dan clapping. Pada saat melakukan

melakukan teknik postural drainase, peneliti melakukanya dengan

urut yakni memposisikan klien, melakukan auskultasi, perkusi dan

clapping fibrating, akan tetapi pada saat mengajarkanya kepada

klien, peneliti hanya mengajarkanya teknik clapping dan fibrating

secara sederhana, hal tersebut dilakukan karena pertimbangan

pengetahuan yang terbatas. Peneliti beranggapan bahwa dalam

melakukan implementasi kepada pasien semata pada saat di Rumah

sakit tetapi juga mampu melakukanya dirumah.


Selain dari tindakan keperawatan diatas, untuk membantu

proses penyembuhan pada Ny. M dengan diagnosis Tuberculosis

Paru adalah dengan beberapa terapi obar farmakologik. Menurut

(Kunoli, 2012) obat yang biasa di konsumsi oleh penderita Tb Paru

adalah Isoniazide (INH) : dapat berdifusi kesemua jaringan kesemua

jaringan tubuh. Cara pemberian ialah per oral dan injeksi intra

muskular dengan dosis 10-15 mg/kg/hari. Efeksampingnya yaitu :

hepatotoksik (mual, muntah, nyeri perut, ikterus), alergi. Kemudian

obat selanjutnya adalah Rifampisin (RIF) : dapat berdifusi ke

jaringan cerebrospinal. Obat ini mudah untuk di absorpsi pada


79

keadaan perut kosong dan di metabolisir oleh hati. RIF dapat

diberikan per oral dan intravena, dosisnya adalah 10-20 mg/kg/hari.

Efeksamping obat adalah menimbulkan warna jingga pada urine,

keringat, air mata, gangguan sistem pencernaan, dan hepatotoksik.

Obat selanjutnya adalah Pyrazinamide (PZA) : diberikan per oral

dengam dosis 20-40 mg/kg/hari dengan efek samping berupa

hepatotoksik, dan hypersensitivitas.


Berdasarkan data diatas maka tidak ada kesenjangan antara

teori dengan kasus bahwa tingkat keberhasilan tindakan posisi

semifowler dan batuk efektif serta postural drainase klien

dipengaruhi oleh kondisi fisik, factor keluarga, umur, kesehatan,

masalah yang muncul, serta kemauan dari klien itu sendiri.

1.2.5. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir proses dari perawatan yang

menyangkut pengumpulan data objektif dan subjektif yang akan

menunjukkan apakah criteria hasil atau indicator sudah tercapai

atau belum, masalah apa yang sudah terpecahkan dan apa yang

perlu dikaji, direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai kembali


80

Grafik 4.1. Hasil observasi perkembangan ketidakefektifan bersihan


jalan nafas di Ruang Asoka RSUD Dr. Harjono Ponorogo
Tahun 2017
Sumber : Lembar observasi Respiratory Status : Airway Patency
Skoring :

a) Tidak ada gangguan : adanya 0 indikator yang abnormal


b) Ada gangguan ringan : adanya 1-5 indikator yang abnormal
c) Ada gangguan berat : adanya 5-7 indikator yang abnormal
Grafik 4.1 diatas menunjukkan hasil pada klien Ny. M.

setelah diberikan tindakan keperawatan posisi semifowler, batuk

efektif dan drainase postural, sesak dan batuk baru mulai berkurang

pada hari ke 4. Hal tersebut dikarenakan Ny. M mempunyai

semangat dan kemauan untuk sembuh yang besar. Selain itu

dukungan keluarga dari Ny. M juga cukup baik karena sering

membantu dalam melakukan tindakan posisi semifowler dan batuk

efektif. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan maka

pada Ny. M di golongkan pada gangguan berat.

Evaluasi pada hari pertama klien masih mengatakan sesak

dan di sertai dengan batuk dan mengeluh tidak bisa tidur. Peneliti

mendapatkan hasil objektif yang didapat dari klien yaitu respirasi

26x/menit, pola nafas klien masih belum teratur, klien masih

terpasang oksigen 3 lpm, masih terdapat batuk, terdapat retraksi

intercosta serta masih menggunakan otot bantu pernafasan dengan

skor yang didapatkan yaitu 7.

Evaluasi pada hari kedua klien mengatakan masih mengeluh

sesak. Peneliti mendapatkan hasil dari pemeriksaan yaitu respirasi

24x/menit, pola nafas belum teratur, masih terdapat suara ronchi,

pasien masih mengatakan batuk dengan skor yang didapat yaitu 6.


81

Evaluasi pada hari ketiga klien masih sedikit merasakan

sesak. Peneliti mendapatkan hasil dari perencanaan yang telah

dilakukan yaitu respirasi 26x/menit, pola nafas tidak teratur, masih

terdengar suara ronchi pada dada kanan dan klien masih terlihat

batuk dengan skor yang didapat yaitu 4.

Evaluasi pada hari terakhir klien mengatakan sesak sudah

sangat berkurang. Peneliti mendapatkan hasil yaitu respirasi

24x/menit, pols nafas tidak teratur dan retraksi intercostal dengan

skor yang didapat yaitu 2.

Untuk itu peneliti menggunakan lembar observasi untuk

menilai tingkat keberhasilan dari klien. Selain itu tingkat

keberhasilan dari sebuah tindakan keperawatan biasanya sebagian

besar akan dipengaruhi oleh faktor internal (kemauan dan motivasi

dari klien sendiri) dan faktor eksternal (faktor lingkungan dan

keluarga) (Soemantri, 2012).

Dan melalui hasil tinjauan antara kasus dengan teori tidak ada

kesenjangan dikarenakan tingkat keberhasilan dipengaruhi oleh

kondisi fisik, factor keluarga, umur, kesehatan, masalah yang

muncul, serta kemauan dari klien itu sendiri.


82
83

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Keseluruhan data yang diperoleh peneliti baik wawancara, observasi studi

dokumentasi, dan studi pustaka tindakan keperawatan yang telah diberikan pada

Ny. M dengan kasus Tb Paru dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

diperoleh kesimpulan meliputi dari pengkajian, diagnose keperawatan,

perencanaan, implementasi dan evaluasi sebagai berikut:


5.1. KESIMPULAN
a. Pengkajian keperawatan pada klien Tb Paru di Ruang Asoka RSUD

Dr.Harjono Ponorogo menggunakan metode B6 didapatkan data klien

yaitu adanya suara nafas tambahan ronchi, Pola nafas tidak teratur,

adanya otot bantu pernafasan, adanya batuk, dan klien tidak mampu

batuk secara efektif.


b. Masalah yang muncul berdasarkan data yang diperoleh maka pada Ny.M

muncul masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas, intoleransi

aktivitas dan gangguan pola tidur.


c. Perencanaan keperawatan pada klien TB Paru di Ruang Asoka RSUD

Dr.Harjono Ponorogo dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan

nafas dilakukan intervensi posisi semifowler yang bertujuan untuk

memaksimalkan ventilasi dan batuk efektif.


d. Pemberian tindakan asuhan keperawatan pada klien yang sudah di

rencanakan di lakukan semuanya. Dari tindakan yang sudah dilakukan

selama 4 hari yaitu dimulai tanggal 6 Maret 2017 sampai 9 Maret 2017.
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada dua klien Tb Paru di Ruang

Asoka RSUD Dr.Harjono Ponorogo dengan masalah ketidakefektifan

bersihan jalan nafas. Dari tindakan yang sudah diberikan terdapat


84

peningkatan dalam skoring lembar observasi dsri hari pertama yang

didapatkan nilai 7 kemudian pada hari terkhir didapat nilai 2.


5.2. SARAN
a. Bagi klien dan keluarga
Pasien mampu untuk memotivasi dirinya untuk sembuh, menghindari

factor pencetus, lebih kooperatif serta memiliki kemauan untuk

bekerjasama dalam melakukan posisi semifowler dan batuk efektif untuk

mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

b. Bagi perawat
Diharapkan untuk perawat memberikan Asuhan keperawatan yang

maksimal guna meminimalisir angka perkembangan penyakit Tb Paru

serta mengurangi angka kambuh pada klien Tb Paru.


c. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapakan institusi pendidikan memberikan kemudahan dan

memberikan fasilitas bagi mahasiswa dalam penyusunan tugas akhir

dengan cara memberikan literature yang lengkap di perpustakaan agar

mahasiswa terbantu dengan adanya literature yang lengkap dan terbaru.


d. Peneliti Selanjutnya
Supaya untuk lebih bisa memanfaatkan atau menggunakan waktu yang

lebih efektif, menggunakan sumber-sumber bacaan yang terbaru dan

lebih lengkap lagi sehingga dapat memberikan dan menyusun asuhan

keperawatan pada klien secara optimal, khususnya untuk klien Tb Paru

dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan menggunakan

posisi semifowler dan batuk efektif.

Anda mungkin juga menyukai