Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pernikahan muth’ah atau yang lebih dikenal dengan kawin kontrak. Perkawinan yang
disebut kawin kontrak ini hanya berlangsung untuk waktu tertentu, misalnya sebulan,
dua bulan, setahun, dan seterusnya. Dan untuk dapat melakukan kawin kontrak itu, ada
sejumlah uang yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Pembayaran ini utamanya adalah berupa mahar (maskawin), misalnya Rp 50 juta.
Termasuk juga biaya-biaya hidup lainnya, seperti biaya makan sehari-hari, tempat
tinggal, dan sebagainya. Jadi, yang namanya kawin kontrak adalah perkawinan yang
hanya berlangsung sementara dalam jangka waktu tertentu, dengan imbalan sejumlah
uang yang diterima oleh pihak perempuan.
Di Indonesia akhir-akhir ini kawin kontrak seperti itu cukup marak terjadi di
beberapa daerah seperti daerah Cianjur (Jawa Barat), Singkawang (Kalimantan Barat),
dan Jepara (Jawa Tengah). Namun fenomena kawin kontrak juga terjadi di luar negeri,
seperti yang terjadi kalangan tenaga kerja wanita (TKW) dari Indonesia di Malaysia.
(megapolitan.kompas.com)
Fenomena ini terjadi karena faktor ekonomi dan syahwat. Tanpa pikir panjang
banyak orang tua yang merelakan anak perempuanya melakukan kawin kontrak demi
mendapatkan sejumlah uang tertentu. Padahal dengan kawin kontrak lebih banyak
kerugiannya kadipada keuntungannya. Dalam berlangsungnya kawin kontrak banyak
terjadi kasus dan permasalahan. Misalnya, ada kasus suami memukul isteri, atau isteri
menuntut karena bayaran yang dijanjikan suami kurang, dan sebagainya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan nukah muth’ah?
2. Apa hukum nikah muth’ah menurut agama?
3. Apa hukum nikah muth’ah menurut hukum di negara Indonesia?

1
4. Apa dampak negative nikah muth’ah

1.3 TUJUAN
1. Memahami apa yang dimaksud nikah muth’ah.
2. Memahami apa hukum nikah muht’ah menurut agama.
3. Memahami apa hukum nikah muth’ah menurut negara Indonesia.
4. Memahami dampak negative nikah muth’ah.

1.4 MANFAAT
1. Secara teoritis
Untuk mengembangkan kemampuan dalam pembuatan karya tulis ilmiah diberbagai
bidang
2. Secara Praktis
A. Bagi Mahasiswa : Untuk memenuhi persyaratan tugas mata kuliah
akhlak dan mu’amalah semester genap di Unniversitas muhammidiyah
Ponorogo.
B. Bagi Dosen : Untuk melatih dan mengetahui sampai mana
kemampuan dan pemahaman mahasiswa mengenainikah muth’ah.
C. Bagi Masyarakat : Untuk memberitahukan wawasan yang luas kepada
masyarakat mengenai nikah muth’ah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nikah Muth’ah

Arti Mut’ah adalah menikmati yang berasal dari kata dasar tamattu’.
Adapun secara istilah mut’ahberarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan
ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak
serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya
saling mewarisi antara keduanya sebelum meninggal dan berakhirnya masa
nikah mut’ah itu.
Bentuk pernikahan ini seseorang datang pada seorang perempuan tanpa ada
wali dan aksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas
waktu tertentu. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari dengan
ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati tidak ada nafkah, tidak
saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra’ (yaitu satu kali haid bagi
wanita menopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepeluh
hari bagi yang suaminya meninggal). dan tidak ada nasab kecuali bila
disyaratkan.

2.2 Hukum Nikah Muth’ah Menurut Agama

Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah
haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat
tanpa berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT
sebagai ibadah. Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya
tidak sah alias batal, dan tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah. Mengapa
kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur`an maupun Al Hadits tentang
pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Pernikahan
dalam Al Qur`an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu
maksudnya untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka
dari itu, melakukan kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu
hukumnya tidak sah, karena bertentangan ayat Al Qur`an dan Al Hadits yang sama
sekali tidak menyinggung batasan waktu.

3
A. Dalil-dalil tentang Kawin Kontrak.
1. Al-Qur’an
a. “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka, atau hamba-hamba sahaya yang mereka miliki;
maka mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu
(zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.” QS. Al-Mu’minun: 5-7.
b. “Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk
mengawini wanita merdeka yang beriman, maka (dihalalkan
mengawini wanita) hamba sahaya yang beriman yang kamu miliki…
(hingga firman Allah:) Yang demikian itu (kebolehan mengawini
budak) adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam
menjaga diri (dari perbuatan zina). Dan jika kamu bersabar, itu lebih
baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS.
An-NIsa’: 25.
2. Al-Hadits:
a. “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah
mengabarkan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin
Sabrah Al Juhani dari Ayahya dari Kakeknya dia berkata:
Rasulullah SAW pernah memerintahkan nikah mut’ah pada saat
penaklukan kota Makkah dan Kami tidak keluar (dari Makkah)
melainkan beliau telah melarangnya.” (HR. Imam Muslim).
b. “Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Sabrah Al Juhani
dari ayahnya bahwa Rasulullah saw melarang melakukan nikah
mut’ah seraya bersabda: “Ketahuilah, bahwa (nikah mut’ah) adalah
haram mulai hari ini sampai hari Kiamat, siapa yang telah memberi
sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut’ah,
janganlah mengambilnya kembali.” (HR. Imam Muslim).
c. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas: “Pada saat perang
Khaibar, Rasulullah Saw melarang nikah kontrak (mut’ah) dan

4
(juga melarang) memakan daging himar yang jinak.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

B. Pendapat Para Ulama.


1. Ulama Syi’ah.
Di kalangan pengikut Syiah, nikah mut’ah hukumnya adalah boleh
dan sah. Mengenai persyaratan, Syiah berpendapat:
a. Perempuan yang akan dinikahi tidak harus seorang muslimah,
boleh dari golongan kitabiyah (Nasrani atau Yahudi).
b. Harus ada perjanjian hitam di atas putih tentang mahar
(maskawin) dan batas waktu kontrak.
c. Sementara untuk soal wali dan saksi kelompok ini tidak
mewajibkannya.
2. UlamaSuni.
Sementara para ulama Sunni berpendapat bahwa kebolehan nikah
mut’ah pada permulaan Islam telah dinasakh. Oleh sebab itu, nikah
mut’ah dilarang dan hukumnya haram untuk seterusnya baik itu dalam
keadaan terjepit/dharurat terlebih dalam keadaan normal. Jika
seseorang melakukannya, maka berarti ia telah melakukan zina.

2.3 Hukum Nikah Muth’ah Menurut Hukum Di Negara Indonesia

Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin diantara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan
atau meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan
mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin.
Dalam perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mut’ah
atau dalam bahasa indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin
kontrak tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1974, karena nikah mut’ah
merupakan sebuah fenomena baru dalam masyarakat. Nikah mut’ah
menggambarkan sebuah perkawinan yang didasarkan pada kontrak atau

5
kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur mengenai jangka waktu
perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing
pihak, dan lain-lain.
Tujuan dari nikah mut’ah adalah untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa
disertai adanya keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, serta
terkadang juga tidak mengharapkan adanya keturunan. Nikah mut’ah
merupakan perkawinan yang bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai
ekonomi, menyebabkan perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga nikah mut’ah dianggap menyimpang dari tujuan
perkawinan yang mulia. Kawin kontrak(Nikah mut’ah) merupakan perkawinan
berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih
menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan
yang dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak
sangat bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Beberapa asas tersebut diantaranya adalah:
a. Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus mempunyai
tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak
mempunyai tujuan ini, bukan perkawinan dalam arti yang dimaksud
dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin kontrak sangat
bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan
biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal, serta sangat mengharapkan keuntungan secara
ekonomi dari dilaksanakannya perkawinan, selain itu memiliki keturunan
bukan merupakan tujuan utama dalam kawin kontrak.
b. Perkawinan kekal
Menurut UU No.1 tahun 1974, sekali perkawinan dilaksanakan, maka
berlangsunglah perkawinan tersebut seumur hidup, tidak boleh
diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal batas waktu.
Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas
tersebut. Jika dilakukan juga maka perkawinan tersebut batal. Kawin
kontrak sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak merupakan

6
perkawinan yang bersifat sementara, karena jangka waktunya dibatasi.
Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya telah habis
maka perkawinan dapat diputuskan.
c. Perjanjian Perkawinan
Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang akan
melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal
ini diatur dalam pasal 29 UU No.1 tahun 1974 yang bunyinya:
Pasal 1, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan. Setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Pasal 2, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.”
Pasal 3, “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”
Pasal 4, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” Menurut isi
ketentuan pasal 29 tersebut, perjanjian
Perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1). Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
2). Dalam bentuk tertulis disahkan oleh pegawai pencatat,
3). Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan,
4). Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
5). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah,
6). Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan.
Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Taklik
talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah
akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Isi
perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak
melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Akibat hukum
adanya perjanjian perkawinan antara suami
dan istri adalah sebagai berikut:

7
1). Perjanjian mengikat pihak suami dan istri,
2). Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan,
3). Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak
suami dan istri, serta disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.
Dalam kawin kontrak juga terdapat perjanjian perkawinan. Namun
perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan
dengan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Menurut
UU No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama
tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian
perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur
tentang jangka waktu/lamanya perkawinan, imbalan yang akan
diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak,
dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan
kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena
waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga
sangat bertentangan dengan hukum, agama, dan norma-norma
kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Perkawinan yang sesuai
dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat
adalah perkawinan yang bersifat kekal, selama-lamanya, tidak hanya
untuk kebahagiaan dunia tetapi juga untuk akhirat. Isi perjanjian
perkawinan yang bertentangan dengan batas-batas agama, hukum dan
kesusilaan tidak diperbolehkan, jadi dianggap tidak pernah ada
perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian perkawinan tetap ada maka
perkawinan tersebut batal karena melanggar ketentuan UU No.1 tahun
1974.
Menurut Efa Laela Fakhriah, secara hukum bila pernikahan
berdasarkan kontrak dengan maksud mengadakan perjanjian untuk
waktu tertentu dan juga ada imbalan, jelas menyalahi UU No.1 tahun
1974 tentang perkawinan. Jadi tidak ada perkawinan secara hukum.
Apabila kawin kontrak didasarkan pada hukum perjanjian, juga tidak
bisa. Syarat sahnya perjanjian ada 4, yaitu sepakat kedua belah pihak,

8
cakap dalam perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu,
dan perjanjian dilakukan atas kausa yang halal.
Perkawinan sendiri bukanlah perjanjian biasa, apalagi melihat
tujuannya untuk membangun sebuah keluarga. Artinya, kehidupan baru
yang dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun
berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak
sendiri bukan bentuk yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974.

9
2.4 Dampak Negatif Nikah Muth’ah

Nikah muth’ah atau yang lebih dikenal dengan kawin kontrak sekarang
memang sudah dilarang dialksanakan hal ini dilakukan pelarang bukan hanya
karena dilarang saja tanpa ada dampak negatif dari adanya kawin kontrak
tersebut. Kawin kontrak dilarang tentu karena danya hal yang dapat
memberikan dampak yang tidak baik serta merugikan orang yang
melakukannya. Apalagi bagi kaum perempuan maka sangat memberikan
dampak negatif.

Beberapa dampak negatif dari adanya kawin kontrak yaitu sebagi berikut:

1. Menyia-nyiakan anak yang terlahir dari kawin kontrak

Anak yang lahir dari hasil kawin kontrak tidak akan mendapatkan kasih
sayang seorang ayah karena setelah masa kawin kontrak selesai maka putus
hubungan pernikahan. Sementara tidak ada hubungan waris-mawaris dalam kawin
kontrak sehingga masa depan anak tidak terjamin oleh harta warisan ayah. Anak
yang terlahir dari hasil kawin kontrak juga mungkin akan mempunyai mental
terbelakang karena merasa kurang percaya diri dari adanya dia karena hasil
hubungan kawin kontrak. Apalagi jika anaknya seorang perempuan yang
membutuhkan wali ketika menikah nantinya, sehingga dia harus mencari
keberadaan ayahanya ketika akan menikah nantinya.

2. Kemungkinan terjadi pernikahan haram

Kawin kontrak jika telah habis masa berlakunya maka akan terjadi perceraian
dengan sendirinya sehingga setelah itu tidak akan ada komunikasi. Anak hasil dari
kawin kontrak ini akan berbahaya jika menikah dengan sesama anak seayah yang
berlainan ibu atau bahakan perkawinan anak dengan ayahnya. Hal ini karena
memang setalah perceraian sudah tidak ada hubungan serta lepas komunikasi. Serta
mereka tidak saling mengenal hal ini sangat membahayakan terjadinya pernikahan
haram antara sesama anak seayah atau bahkan anak dengan ayahnya

3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan

10
Kawin kontrak memang tidak ada aturan mendapatkan harta warisan
sehingga setelah masa berlaku pernikahan habis ya sudah putus semuanya. Jika
memang ayah dalam perkawinan kontrak menghendaki memberikan warisan,
pembagiannya pun susah karena tidak saling kenal dan berjauhan serta belum bisa
menentukan berapa ahli waris yang akan mewariskan. Hal ini memang sangat rumit
sehingga susah untuk diberlakukan pembagian warisan.

4. Menyulitkan nasab

Kawin kontrak sering terjadi dengan bergonta-ganti pasangan, hal ini akan
sangat sulit untuk menentukan siapa bapak dari anak hasil kawin kontrak karena
memang tidak ada masa idah dalam kawin kontrak, sehingga setelah selesai kawin
kontrak dengan satu orang maka langsung bisa melakukan kawin kontrak dengan
orang laiannya.

5. Ketidakjelasan status sebagai istri kontrak

Jika menikah dengan hukum yang jelas sebagai istri serta mendapatkan hak-
hak sebagai istri serta kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri, sementara
kawin kontrak istri hanya melakukan tanpa mendapatkan hak-hak yang layak
kecuali hak mendapatkan bayaran diawal perkawinan yaitu sebagai mahar. Hal ini
sangat miris untuk seorang perempuan yang seharusnya mendapatkan hak yang
layak sebagai seorang istri.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Nikah muth’ah merupakan seorang laki-laki menikahi seorang wanita
dalam batas batas waktu tertentu dengan persyaratan memberikan sejumlah
harta tertentu.
Ditinjau dari segi agama nikah muth’ah hukumnya adalah haram. Begitu
pula menurut perundang-undangan di Indonesia nikah muth’ah menyimpang
dari asas-asas perkawinan dalam Undang-Undang. Dilihat dari segi manapun
nikah muth’ah menimbulkan banyak dampak negatif terutama untuk pihak
perempuan, pihak laki-laki akan bertindak sewenang-wenang dan cenderung
bersikap kasar.
Setelah mengetahui hukum dan dampak dari nikah muth’ah, seharusnya
kita lebih tau akan dampak yang akan timbul dan seharusnya menjadi suatu
pantangan untuk kita agar meghindari hal tersebut. Begitu pula himbauan bagi
orang yang belum mengerti agar lebih menjaga diri dan juga berhati-hati untuk
memilih pasangan.
3.2 Saran

Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
menambah pengetahuan baru menganai pernikahan muth’ah. Penyusun pun sadar
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih banyak kesalahan dalam
pembuatannya. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi
kedepannya.

12

Anda mungkin juga menyukai