Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejadian kegawatan ortopedi (emergency orthopedics) banyak
dijumpai. Penanganan emergency orthopedics telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Teknologi dalam bidang kesehatan juga
memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang penanganan
emergency orthopedics. Tenaga medis dituntut untuk mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses
perawatan emergency orthopedics pertama kali di IGD yang komprehensif,
yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi
yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama
perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis. Kasus-kasus yang
termasuk dalam emergency orthopedics, yaitu open fracture, compartment
syndrome, dislokasi dan fractur dislokasi, lesi vascular besar, septic
arthritis, acute osteomyelitis, unstable pelvis, fat emboli, unstable cervical
spine, dan traumatic amputasi.
Berdasarkan sifatnya emergency orthopedics dibedakan menjadi dua,
yaitu sifatnya yang mengancam jiwa (life threatening ) dan yang
mengancam kelangsungan ekstremitas ( limb threatening). Kejadian fraktur
banyak ditemukan saat ini, begitu juga kasus open fraktur di IGD. Kalau
tidak ditangani akan menjadikannya infeksi kronis yang
berkepanjangan.“Once osteomyelitis, forever” : Appley. Jangan sampai
melewati Golden periode (0 s/d 6 jam) pada awalnya infestasi kuman masih
melekat secara fisik, sesudah itu akan melekat secara kimawi dan sulit
dibersihkan dengan pencucian saja.
Penanganan definitif fraktur ada yang perlu tindakan operatif ada
yang tidak. Fraktur yang harus di operasi : Fraktur yang gagal dengan
tindakan konservatif, fraktur intra artikuler, fraktur joint depressed lebih
dari 5 mm, fraktur avulsi akibat tarikan ligament, dan fraktur dengan

1
atrioventriculer node disturbances. Kasus emengency ortopedics lain adalah
compartment syndrome .
Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan intra
compartement (Osteofascial compartement) pada cruris atau pada
Antebrachii akibat peningkatan permeabilitas sesudah terjadinya trauma,
menyebabkan odema dan menghalangi aliran arteri yang menyebabkan
ischemia jaringan yang diikuti gejala klinis 5 P (Pulseless, Pale, Pain,
Paraestesi, Paralyse). Bila tak segera dilakukan fasciotomi akan
menyebabkan nekrosis otot dan timbul cacat menetap volkmann ischemic
contracture.
Selain kasus open fraktur dan kompartemen sindrom, kejadian
dislokasi dan fractur dislokasi juga bisa ditemui di IGD. Pada keadaan
normal cartilage mendapat nutrisi dari cairan synovial yang berasal dari
darah yang sudah tersaring eritrositnya, terjadi diffusi masuk ke joint space
bila terjadi mekanisme gerak sendi. Saat dislokasi nutrisi terhenti. Cartilage
yang mati sulit regenerasi. Penanganan dislokasi adalah segera reposisi dan
stabilisasi 2-3 minggu.
Selain kasus kasus di atas, lesi vasculer besar juga termasuk dalam
emergency orthopedics. Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri
poplitea dan arteri radialis, juga plexus vein sacral pada sacro iliac
disruption atau unstable pelvis atau fractur malgaigne. Kasus emergency
ortopedic lain adalah septic arthritis. Pasien akan mengalami panas badan ,
nyeri sendi sangat hebat bila digerakkan. Area yang sering terkena septic
artritis adalah sendi panggul (coxitis) dan lutut (gonitis). Pus yang ada
dalam sendi akan merusak sendi, bila tidak segera ditangani, maka
arthrotomi pilihan terapi septic artritis pada sendi yang rusak.
Dan, acute osteomyelitis merupakan kasus emergency ortopedics.
Osteomelitis akut menunjukkan gejala panas, nyeri bila extremitas yang
mengalami infeksi dipegang, tanda radang ( rubor, color , dolor , palor,
functio laesa). Komplikasi osteomelitis akut adalah sepsis. Lalu, fat emboli,

2
unstable cervical spine, dan traumatic amputasi juga merupakan kasus
emergency ortopedics.
Fraktur pelvis dapat bersifat unstable apabila cincin pelvis
mengalami kerusakan pada 2 tempat atau lebih, biasanya terjadi karena high
energy injury. Pada daerah pelvis terdapat plexus plexus vena, jika ada
trauma seringkali menyebabkan pecahnya pembuluh darah ini, dan
pendarahan baru berhenti jika cavum pelvis terisi penuh dengan darah. Pada
fraktur unstable, pendarahan tidak berhenti karena pelvis tidak terfiksasi
dengan sempurna.
Fat emboly sering terjadi 3-5 hari sesudah fraktur tulang panjang
(femur & tibia). Fat globule dari sumsum tulang masuk sirkulasi dan bila
masuk ke otak akan mengganggu kesadaran, serta bila masuk paru
mengakibatkan sesak. Pertolongan fat emboli adalah oxygenasi dengan
PEEP (positive expirasi end pressure) respirator dan heparin atau
antikoagulan. Diharapkan dengan mengetahui penanganan awal kasus
emergency ortopedic dapat menyelamatkan nyawa (life threatening ) dan
yang menyelamatkan extremitas (save the limb).

3
1.2.Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tentang
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan
penatalaksanaan pada Emergency Orthopedics.

1.3.Batasan Masalah
Dalam referat ini hanya akan dibahas tentang anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan penatalaksanaan
pada Emergency Orthopedics.

1.4.Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur .

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Open Fracture


a. Definisi
Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen
fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang
menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan
yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam.
Fraktur terbuka sering timbul komplikasi berupa infeksi. Infeksi bisa berasal
dari flora normal di kulit ataupun bakteri pathogen khususnya bakteri gram
(-). Golongan flora normal kulit, seperti Staphylococus, Propionibacterium
acne , Micrococus dan dapat juga Corynebacterium. Selain dari flora normal
kulit, hasil juga menunjukan gambaran bakteri yang bersifat pathogen,
tergantung dari paparan (kontaminasi) lingkungan pada saat terjadinya
fraktur. 4
Karena energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan jenis patah
tulang, pasien sering memiliki luka tambahan, beberapa berpotensi
mengancam nyawa, yang memerlukan pengobatan. Terdapat 40-70% dari
trauma berada di tempat lain dalam tubuh bila ada fraktur terbuka.Fraktur
terbuka mewakili spektrum cedera: Pertama, masalah mendasar dasar patah
tulang; kedua, pemaparan dari patah tulang terhadap lingkungan; dan
kontaminasi dari situs fraktur.

5
Gambar 1. Open Fracture

b. Klasifikasi Fraktur Terbuka


Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka
menurut Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007):
Tipe Fraktur Deskripsi
I kulit terbuka < 1 cm, bersih, biasanya dari luar ke dalam; kontusio
otot minimal; fraktur simple transverse atar short oblique.
II laserasi > 1 cm, dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,
kerusakan komponen minimal hingga sedang; fraktur simple
transverse atau short oblique dengan kominutif yang minimal

6
III kerusakan jaringan lunak yang luas, termasuk otot, kulit, struktur
neurovaskularl seringkali merupakan cidera oleh energy yang
besar dengan kerusakan komponen yang berat.
III A laserasi jaringan lunak yang luas, tulang tertutup secara adekuat;
fraktur segmental, luka tembak, periosteal stripping yang minimal
III B cidera jaringan lunak yang luas dengan periosteal stirpping dan
tulang terekspos, membutuhkan penutupan flap jaringan lunak;
sering berhubungan dengan kontaminasi yang massif
III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

Gambar 2. Open fracture grade 1

Gambar 3. Open fracture grade 1

7
Gambar 4. Open Fracture Grade II

Gambar 5. Open Fracture Grade III A

Gambar 6.Open FracturGrade III B

8
Gambar 7. Open Fracture Grade III C

c. Etiologi
Fraktur terbuka disebabkan oleh energi tinggi trauma, paling sering
dari pukulan langsung, seperti dari jatuh atau tabrakan kendaraan bermotor.
Dapat juga disebabkan oleh luka tembak, maupun kecelakaan kerja.Tingkat
keparahan cidera fraktur terbuka berhubungan langsung dengan lokasi dan
besarnya gaya yang mengenai tubuh. Ukuran luka bisa hanya beberapa
milimeter hingga terhitung diameter.Tulang mungkin terlihat atau tidak
terlihat pada luka. Fraktur terbuka lainnya dapat mengekspos banyak tulang
dan otot, dan dapat merusak saraf dan pembuluh darah sekitarnya. Fraktur
terbuka ini juga bisa terjadi secara tidak langsung, seperti cidera tipe energi
tinggi yang memutar.

d. Diagnosis
1. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik,
fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti
dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak.
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena fraktur tidak
selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi
pada daerah lain.
2. Pemeriksaan fisik

9
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan
adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum
tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks,
panggul dan abdomen.
c. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
3. Pemeriksaan lokal
a. Inspeksi (Look)
 Bandingkan dengan bagian yang sehat.
 Perhatikan posisi anggota gerak.
 Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
 Ekspresi wajah karena nyeri.
 Lidah kering atau basah.
 Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
 Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak
untuk membedakan fraktur tertutup atau fraktur
terbuka.
 Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam
sampai beberapa hari.
 Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi
dan kependekan.
 Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma
pada organ-organlain.
 Perhatikan kondisi mental penderita.
 Keadaan vaskularisasi.
b. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita
biasanya mengeluh sangatnyeri.
 Temperatur setempat yang meningkat.

10
 Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial
biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak
yang dalam akibat fraktur pada tulang.
 Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus
dilakukan secara hati-hati.
 Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa
palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena.
 Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada
bagian distal daerah trauma , temperatur kulit.
 Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah
untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah
yang mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap
gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji
pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu
juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak
seperti pembuluh darah dan saraf.

4. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara
sensoris dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu
neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf
yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat
menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita
serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri

11
serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita
mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.

e. Tatalaksana
Prinsip penanganan fraktur terbuka :
a. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
b. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat
mengancam jiwa.
c. Pemberian antibiotik.
d. Lakukan debridement dan irigasi luka.
e. Lakukan stabilisasi fraktur.
f. Pencegahan tetanus.
g. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang mengalami fraktur.

Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati


sehingga luka menjadi bersih. Untuk melakukan debridement yang adekuat,
luka lama dapat diperluas, jika diperlukan dapat membentuk irisan yang
berbentuk elips untuk mengangkat kulit, fasia serta tendon ataupun jaringan
yang sudah mati. Debridement yang adekuat merupakan tahapan yang
penting untuk pengelolaan. Debridement harus dilakukan sistematis,
komplit serta berulang. Diperlukan cairan yang cukup untuk fraktur
terbuka.Grade I diperlukan cairan yang bejumlah 1-2 liter, sedangkan grade
II dan grade III diperlukan cairan sebanyak 5-10 liter, menggunakan cairan
normal saline.
Pemberian antibiotika adalah efektif mencegah terjadinya infeksi
pada pada fraktur terbuka.Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan
dosis yang besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah
golonganCephalosporin dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
Perawatan lanjutan dan rehabilitasi fraktur terbuka :
1. Hilangkan nyeri.

12
2. Mendapatkan dan mempertahankan posisi yang memadai dan
flagmen patah tulang.
3. Mengusahakan terjadinya union.
4. Mengembalikan fungsi secara optimal dengan mempertahankan
fungsi otot dan sendi dan pencegahan komplikasi.
5. Mengembalikan fungsi secara maksimal dengan fisioterapi.

Tindakan Pembedahan
Hal ini penting untuk menstabilkan patah tulang sesegera mungkin
untuk mencegah kerusakan jaringan yang lebih lunak. Tulang patah dalam
fraktur terbuka biasanya digunakan metode fiksasi eksternal atau internal.
Metode ini memerlukan operasi.
a. Fiksasi Internal
Selama operasi, fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi)
ke posisi normal kemudian diikat dengan sekrup khusus atau dengan
melampirkan pelat logam ke permukaan luar tulang. Fragmen juga
dapat diselenggarakan bersama-sama dengan memasukkan batang
bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang. Karena fraktur
terbuka mungkin termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan
cedera tambahan, mungkin diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi
internal dapat dilakukan dengan aman.
b. Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang terjadi. Fiksasi ini
digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam
fiksasi eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang
patah di atas dan di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang
direposisi. Pin atau sekrup dihubungkan ke sebuah lempengan logam
di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu kerangka stabilisasi
yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat.

13
Luka Kompleks (Complex Wounds)
Berdasarkan jumlah jaringan lunak yang hilang, luka-luka kompleks
dapat ditutupi dengan menggunakan metode yang berbeda, yakni :
a. Lokal Flap
Jaringan otot dari ekstremitas yang terlibat diputar untuk menutupi
fraktur. Kemudian diambil sebagian kulit dari daerah lain dari tubuh
(graft) dan ditempatkan di atas luka.
b. Free Flap
Beberapa luka mungkin memerlukan transfer lengkap jaringan.
Jaringan ini sering diambil dari bagian punggung atau perut.
Prosedur free flapmembutuhkan bantuan dari seorang ahli bedah
mikrovaskuler untuk memastikan pembuluh darah terhubung dan
sirkulasi tetap berjalan.

f. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi setelah fraktur menurut waktu yang
disesuaikan dengan lokalisasi dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi segera,
komplikasi awak dan komplikasi lanjut.
1. Komplikasi umum
 Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri,
koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut, dapat terjadi
dalam 24 jam pertama pasca trauma dan beberapa hari
atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme,
berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum
lain dapat berupa adanya emboli lemak, trombosis
vena dalam, tetanus atau gasgangren.

2. Komplikasi lokal
a. Komplikasi Dini
Adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca

14
trauma sedangkan apabila kejadiannya lebih dari satu
minggu pasca trauma disebut komplikasi komplikasi lanjut.
 Pada tulang
- Infeksi terutama pada frakturterbuka
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur
terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan
delayed union atau bahkan nonunion.
- Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa
arthritis supuratif yang sering terjadi pada
fraktur terbuka atau pasca operasi yang
melibatkan sendi sehingga kerusakan kartilago
sendi dan berakhir dengan degenerasi.
 Pada jaringan lunak
- Lepuh, kulit yang melepuh adalah akibat dari
elevasi kulit superficial karena edema.
Terapinya adaah dengan menutup kasa steril
kering dan melakukan pemasanganelastic.
- Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan
lunak tulang oleh gips, oleh karena itu perlu
diberikan bantalan yang tebal pada daerah-
daerah yangmenonjol.
 Pada otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan
aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena
serabut otot yang robek melekat pada serabut yang
utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu yang cukup lama akan
menimbulkan hal yang berbahaya pada vascularisasi.
 Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan

15
terus menerus sedangkan pada robekan yang
komplitujung pembuluh darah mengalami retraksi dan
perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi
bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu
melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan
mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah
tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada pembuluh
vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah
kongesti bagian distal lesi.

 Sindroma kompartemen
Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada
tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi
penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini
disebut ischemi volkmann. Ini dapat terjadi pula pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
mengganggu aliran darah dan terjadi edema
didalamotot.
Apabila ischemi dalam 6 jam pertama tidak
mendapatkan tindakan dapat mengakibatkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti
dengan jaringan fibros yang secara perlahan-lahan
menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur
volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain,
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut
nadi hilang) dan Paralisis.
 Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf
putus), aksonometsis (kerusakan akson). Pada setiap

16
trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi
nervus.

b. Komplikasi Lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union ataun
non union. Pada pemeriksaan terlihat adanya deformitas,
berupa angulasi, rotasi, perpendekan ataupemanjangan.

 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang
dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan
radiografi tidak terlihat bayangan sklerosis pada
ujung- ujung fraktur
 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi
penyambungan
• Tipe I (Hypertrophic non union) tidak akan
terjadi proses penyembuhan fraktur dan
diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan
fibros yang masih mempunyai potensi
untuk union dengan melakukan koreksi
fiksasi dan bonegrafting.
• Tipe II (atropic non union) disebut juga
sendipalsu
Disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta ronga cairan yang berisi cairan, proses
union tidak akan tercapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union


seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya

17
vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, distraksi
interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(frakturpatologis).
 Malunion
Pada keadaan ini terjadi penyambungan fraktur
yang tidak normal sehingga
menimbulkandeformitas.
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur
terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup sehingga menimbulkan delayed union
sampai non union. Imobilisasi anggota gerak
yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan
atropi otot.
 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara ataupun menetap
dapat diakibatkan karena imobilisasi lama sehingga
terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu
imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif
padasendi.

2.2 Compartment Syndrome


a. Definisi
Menurut Salter, Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan
dari suatu edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku
pada lengan bawah maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan
kaki) yang secara anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf

18
intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakkan jaringan
intrakompartemen.
Menurut Michael S. Bednar et al, compartment syndrome adalah
kondisi yang terjadi karena peningkatan tekanan di dalam ruang anatomi
yang sempit, yang secara akut menggangu sirkulasi dan yang kemudian
dapat menggangu fungsi jaringan di dalam ruang tersebut.
Menurut Stephen Wallace dan 1, compartment syndrome adalah
sindrom yang ditandai dengan gejala 7P yaitu pain (nyeri), paresthesi, pallor
(pucat), puffiness (kulit yang tegang), pulselessness (hilangnya pulsasi),
paralisis, dan poikilotermis (dingin).
Menurut Andrew L. chen, diagnosis compartment syndrome dapat
ditegakkan jika pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen
yang meningkat di atas 45 mmHg atau selisihnya dengan tekanan diastolik
kurang dari 30 mmHg.
Dapat disimpulkan bahwa compartment syndrome adalah sindrom
yang disebabkan oleh peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di
dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah maupun
tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara anatomis
menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan di dalam kompartemen tersebut dan
pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen yang meningkat di
atas 45 mmHg atau selisihnya dari tekanan diastolik kurang dari 30 mmHg
serta ditandai dengan tanda dan gejala berupa 7P yaitu pain (nyeri),
paresthesi, pallor (pucat), puffiness (kulit yang tegang), pulselessness
(hilangnya pulsasi), paralisis, dan poikilotermis (dingin).

19
Gambar 8. Gambar Kompartemen Tungkai Bawah

b. Etiologi
1. Penyebab tersering dari compartment syndromes adalah adalah fraktur
(tersering pada fraktur supra kondiler humeri dengan kerusakan arteri
brakhialis pada anak-anak dan fraktur pada sepertiga proksimal tibia).
2. Bebat eksternal/pemasangan gips yang terlalu kompresif.
3. Traksi longitudinal yang berlebihan pada penatalaksanaan fraktur femur
pada anak.
4. Soft tissue crush injuries.
5. Cedera arterial dengan perdarahan lokal atau bengkak postiskemik.
6. Koma karena obat yang menyebabkan tekanan pada arteri besar karena
berbaring di atas permukaan keras dengan posisi yang tidak nyaman
dalam waktu yang lama.
7. Luka bakar.
8. Olah raga

20
c. Patofisiologi
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua
kemungkinan mekanisme, yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen
dan/atau bertambahnya isi dari kompartemen tersebut. Kedua mekanisme
tersebut sering terjadi bersamaan, ini adalah suatu keadaan yang
menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang
sebenanya.Edema jaringan yang parah atau hematom yang berkembang
dapat menyebabkan bertambahnya isi kompartemen yang dapat
menyebabkan atau memberi kontribusi pada compartment syndrome.
Tidak seperti balon, fasia tidak dapat mengembang, sehingga
pembengkakan pada sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan
dalam kompartemen tersebut.
Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di
kapiler, pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke
otot dan sel saraf. Tanpa suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot
akan mengalami iskemia dan mulai mati dalam waktu beberapa jam.
Iskemia jaringan akan menyebabkan edema jaringan. Edema jaringan di
dalam kompertemen semakin meningkatkan tekanan intrakompartemen
yang menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang
cedera.Jika tekanan terus meningkat dalam suatu lingkaran setan yang
semakin menguat maka perfusi arteriol dapat terganggu sehingga
menyebabkan iskemia jaringan yang lebih parah.

21
TRAUMA/EXCERCISE

Edema/
Peningkatan
hematom lokal
tekanan
(semakin intrakompartemen
bertambah)

Ganguan aliran
Iskemia jaringan pembuluh darah
(dapat terjadi
kematian sel) (pembuluh darah
kolaps)

Gambar 9. Lingkaran Setan (Vicious Cycle) Patofisiologi Compartment


Syndrome

Tekanan jaringan rata-rata normal adalah mendekati 0 mmHg pada


keadaan tanpa kontraksi otot. Jika tekanan menjadi lebih dari 30 mmHg atau
lebih, pembuluh darah kecil akan tertekan yang menyebabkan menurunnya
aliran nutrisi sehingga. Untuk kepentingan tertentu dapat pula dihitung
perbedaan tekanan kompartemen dengan tekanan darah diastolik; jika selisih
tekanan diastolik dan tekanan kompartemen kurang dari 30 mmHg hal ini
dianggap gawat darurat.
Compartment syndromes dapat berupa akut maupun kronis.Acute
compartment syndrome adalah suatu kegawatdaruratan medis.Tanpa
penatalaksanaan, hal ini dapat berakhir dengan kelumpuhan, hilangnya
tungkai, bahkan kematian.Chronic compartment syndrome bukanlah
kegawatdaruratan medis.
Acute compartment syndrome memerlukan waktu beberapa jam
untuk berkembang. Saraf perifer dapat bertahan dalam kompartemen hanya
2 sampai 4 jam setelah iskemia terjadi, tetapi mereka mempunyai

22
kemampuan untuk regenerasi. Otot dapat bertahan sampai 6 jam setelah
iskemia terjadi tetapi tidak dapat regenerasi. Nantinya, otot-otot yang
nekrosis akan digantikan oleh jaringan scar fibrosa padat yang secara
bertahap memendak dan menhasilkan kontraktur kompartemental atau
Volkmann’s ischaemic contracture.Jika tekanan tidak segera dihilangkan
dengan cepat, ini dapat menyebabkan kecacatan permanent atau kematian.
Chronic compartment syndrome ditandai dengan nyeri dan
bengkak yang disebabkan oleh olah raga.Hal dapat merupakan masalah
besar bagi seorang atlet. Ini akan membaik jika orang tersebut beristirahat.
Hal ini biasanya terjadi di daerah tungkai bawah. Biasanya diikuti oleh mati
rasa atau kesulitan dalam menggerakkkan kaki. Gejala akan hilang dengan
cepat jika aktivitas dihentikan. Tekanan kompartemen akan tetap tinggi
sampai beberapa saat.

Gambar 10. Patofisiologi Chronic Compartment Syndrome

Seperti yang tampak pada gambar di atas, lingkaran setan juga


terjadi pada tipe kronik seperti pada tipe akut.

d. Signs and Symptoms


Pada compartment syndrome didapatkan 6 P yaitu: pain, paresthesia,
pallor (pucat), paralysis, pulselessness, puffiness; terkadang 7 P untuk
poikilotermia (dingin) ditambahkan. Diantara ini semua hanya dua yang
pertamalah yang reliable untuk tahap akhir dari compartment syndrome.
a. Pain (nyeri) sering dilaporkan dan hampir selalu ada. Biasanya
digambarkan sebagai nyeri yang berat, dalam, terus-menerus, dan
tidak terlokalisir, serta kadang digambarakan lebih parah dari cedera
yang ada. Nyeri ini diperparah dengan meregangkan otot di dalam
kompartemen dan dapat tidak hilang dengan analgesik bahkan morfin.

23
Penggunaan analgesia kuat yang tidak beralasan dapat menyebabkan
masking pada iskemia kompartemental.
b. Paresthesia pada saraf kulit dari kompartemen yang terpengaruh
adalah tanda tipikal yang lain.
c. Paralysis tungkai biasanya merupakan penemuan yang lambat.
d. Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada
pasien, hal ini disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome
jarang melebihi tekanan arteri.
e. Puffines: Kulit yang tegang, bengkak dan mengkilat.

Gambar 11. Pasien dengan Compartment syndrome pada Lengan Bawah


kiri

e. Pemeriksaan Penunjang
Tes dilakukan dengan tujuan mengukur tekanan di dalam
kompartemen.Metode Whiteside dan system kateter Stic adalah metode
terbaik untuk mengukur tekanan intrakompartemen.Kateter Stic adalah alat
portable yang memungkinkan untuk mengukur tekanan kompartemen

24
secara terus menerus.Semua kompartemen pada ekstremitas yang terlibat
harus diukur tekanannya.
Pada kateter Stic, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan
kateter melalui celah kecil pada kulit ke dalam kompartemen
otot.Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan dan
akhirnya tekanan intra kompartemen dapat diukur.
Pada metode Whiteside, tindakan yang dilakukan adalah
memasukkan jarum yang telah dihubungkan dengan alat pengukur tekanan
ke dalam kompartemen otot.Alat pengukur tekanan yang digunakan adalah
modifikasi dari manometer merkuri yang dihubungkan dengan pipa (selang)
dan stopcock tiga arah.
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg
dari diastole, maka diagnosis telah didapatkan.Pada kecurigaan chronic
compartment syndrome tes ini dilakukan setelah aktivitas yang
menyebabkan sakit.

Gambar 12. Metode Stic

f. Diagnosis
Gejala terpenting pada pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri
yang proporsinya tidak sesuai dengan beratnya trauma.Nyeri pada regangan
pasif juga merupakan gejala yang mengarah pada compartment

25
syndrome.Paresthesi berkenaan dengan saraf yang melintang pada
kompartemen yang bermasalah merupakan tanda lanjutan dari compartment
syndrome.Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang tegang dan
keras.Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai
cedera vaskuler.Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat
lanjut yang mengarah pada compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau
jika data objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur.Cara
ini paling berguna jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis,
pada pasien politrauma, dan pasien dengan cedera kepala.
Untuk mendiagnosis chronic compartment syndrome, dokter harus
menyingkirkan kondisi lain juga dapat menyebabkan nyeri di tungkai
bawah, yaitu stress fraktur pada tibia dan tendonitis. Selain itu dokter juga
harus mengukur tekanan intramuscular sebelum olah raga, 1 menit setelah
olah raga, dan 5 menit setelah olah raga. Jika tekanan tetap tinggi maka
diagnosis chronic compartment syndrome dapat ditegakkan.

g. Tatalaksana
Jika dugaan acute compartment syndrome didapatkan, maka
tindakan yang harus dilakukan adalah:
1. Singkirkan semua pembalut atau bebat yang ada pada ekstremitas yang
terganggu.
2. Elevasikan tungkai setinggi jantung.
3. Fasiotomi dilakukan jika diagnosis compartment syndrome telah
ditegakkan. Meskipun batasan pasti tekanan untuk dilakukannya
fasiotomi berbeda-beda diantara banyak penulis, fasiotomi harus
segera dilakukan ketika tekanan kompartemen lebih besar dari 30
mmHg atau selisihnya kurang dari 30 mmHg dari diastolik.
Pada tindakan fasiotomi dilakukan dekompresi dengan operasi
fasiotomi komplit sepanjang kompartemen. Fasia harus dibiarkan
terbuka; kulit juga harus dibiarkan terbuka, untuk minimal 7 hari,

26
setelah itu penutupan dapat dilakukan. Operasi untuk menstabilisasi
fraktur yang berhubungan merupakan bagian penting dari manajemen
compartment syndrome.
4. Gunakan aspirin atau ibuprofen untuk mengurangi inflamasi.

Gambar 13. single incision fasciotomy

Gambar 14. Two-incision posteromedial fasciotomy

27
Gambar 15. Two-incision anterolateral fasciotomy

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi


defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah
lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai
terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi
neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi.

1. Terapi Medikal/non bedah

Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam


bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan


ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemi.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di
buka dan pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen

28
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk
darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis
melalui kemampuan dari radikal bebas.

2. Terapi Bedah

Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30


mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot.

Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi


dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau
keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase
berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera
lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan
perfusi adalah 6 jam.

Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan
insisi ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering
digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi
tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan
arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah fasciotomi dapat
berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu dengan
mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau
terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan
sehat luka dapat dijahit ( tanpa regangan ) atau dilakukan
pencangkokan kulit.

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :

29
a. Adanya tanda - tanda sindrom kompartemen seperti nyeri
hebat.
b. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (
pasien koma, pasien dengan
c. masalah psikiatrik dan dibawah pengaruh narkoba ), dengan
tekanan jaringan > 30 mmHg pada pasien yang diharapkan
memiliki tekanan jaringan yang normal.

Bila ada indikasi operasi dekompresi harus segera dilakukan karena


penundaan akan meningkatkan kemungkinan kerusakan jaringan
intrakompartemen sebagaimana terjadinya komplikasi. Waktu adalah
inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan
nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen,
pengukuran dan konsultasi yang diperlukan harus segera dilakukan
secepatnya.

Beberapa teknik telah diterapkan untuk operasi dekompresi untuk


semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan tanpa
torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang
berkepanjangan dan operator juga dapat memperkirakan derajat dari
sirkulasi lokal yang akan didekompresi. Setiap yang berpotensi
mambatasi ruang termasuk kulit dibuka di sepanjang daerah
kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi
setelah prosedur selesai. Debridemen otot harus seminimal
mungkin selama operasi dekompresi kecuali terdapat otot yang telah
nekrosis.

a. Fasciotomi untuk sindrom kompartemen akut :

Teknik Tarlow

30
Incisi lateral dibuat mulai dari distal garis intertrocanterik sampai
ke epikondilus lateral. Dieksisi subkutaneus digunakan untuk
mengekspos daerah iliotibial dan dibuat insisi lurus sejajar dengan
insisi kulit sepanjang fascia iliotibial. Perlahan - lahan dibuka
sampai vastus lateralis dan septum intermuskular terlihat,
perdarahan ditangani bila ada. Insisi 1 - 5 cm dibuat pada septum
intermuskular lateral perpanjangan ke proksimal dan distal.
Setelah kompartemen anterior dan posterior terbuka, tekanan
kompartemen medial diukur. Jika meningkat dibuat insisi
setengah medial untuk membebaskan kompartemen adductor.

 Facsiotomi kompartemen tungkai bawah :

1. Fibulektomi

Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada,


termasuk indikasi pada sindrom kompartemen akut. Insisi
tunggal dapat digunakan untuk jaringan lunak pada
ekstremitas. Teknik insisi ganda lebih aman dan efektif.

2. Fasciotomi insisi tunggal ( darvey, Rorabeck dan Fowler


)
Di buat insisi lateral, longitudinal pada garis fibula,
sepanjang mulai dari distal caput fibula sampai 3 - 4 cm
proksimal malleolus lateralis. Kulit dibuka pada bagian
anterior dan jangan sampai melukai nervus peroneal
superficial. Dibuat fasciotomi longitudinal pada
kompartemen anterior dan lateral. Berikutnya kulit
dibuka ke bagian posterior dan dilakukan fasciotomi
kompartemen posterior superficial. Batas antara
kompartemen superficial dan lateral dan interval ini
diperluas ke atas dengan memotong soleus dari fibula.

31
Otot dan pembuluh darah peroneal ditarik ke belakang,
kemudian diidentifikasi fascia otot tibialis posterior ke
fibula dan dilakukan insisi secara longitudinal. Insisi
sepanjang 20 - 25 cm dibuat pada kompartemen anterior,
setengah antara fibula dan caput tibia. Diseksi
subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia
kompartemen. Insisi transversal dibuat pada septum
intermuskular lateral dan identifikasi nervus peroneal
superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada
garis tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi
pada kompartemen lateral ke arah proksimal dan distal
pada garis tubulus fibula. Insisi kedua dibuat secara
longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior tibia.
Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk
mengidentifikasi fascia. Dibuat insisi transversal untuk
mengidentifikasi septum antara kompartemen posterior
profunda dan superficial. Kemudian dibuka fascia
gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain
pada otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan
seluruh kompartemen otot tibialis posterior. Jika terjadi
peningkatan tekanan pada kompartemen ini segera
dibuka.

Perawatan pasca operasi :(12)


1. Rawat luka secara basah (dengan PZ)
2. Ekstensi anggota gerak
3. Ganjal bantal/elevasi anggota gerak setinggi level jantung
4. Observasi ketat: nyeri, parestesia, paresis
5. Delayed closure atau skin graft setelah oedema berkurang (rata-rata pada
hari ke 5-7).

32
Chronic compartment syndrome dapat dirawat secara konservatif
maupun operatif.Tindakan konservatif dapat berupa istirahat,
mengelevasikan tungkai, mengompres dengan es, menambah bantalan
sepatu, melepas semua bebat karena dapat memperburuk keadaan, beberapa
laporan mengatakan akupungtur dapat mengurangi gejalanya, dan gunakan
aspirin atau ibuprofen untuk mengurangi inflamasinya.
Pada kasus dimana gejala bersifat menetap maka harus dilakukan
tindakan operatif, subkutaneus fasiotomi atau open fasiektomi.Tanpa
penanganan, chronic compartment syndrome dapat berkembang menjadi
acute compartment syndrome.
Terapi oksigen hiperbarik telah terbukti sangat membantu pada
terapi crush injury, compartment syndrome, dan trauma akut iskemik
dengan meningkatkan kecepatan penyembuhan luka dan mengurangi
operasi yang berulang.

h. Komplikasi
Kegagalan untuk mengurangi tekanan dapat berakibat nekrosis pada
jaringan di dalam kompartemen, karena perfusi kapiler akan menurun dan
menyebabkan hipoksia jaringan. Jika tidak tertangani, acute compartment
syndrome dapat mengarah pada keadaan yang lebih parah termasuk
rhabdomyolisis dan kegagalan ginjal.
Selain itu, kematian sel-sel otot dapat menyebabkan terjadinya
Volkmann’s ischemic contracture.Volkmann’s ischemic contracture adalah
kontraktur yang disebabkan karena sel-sel otot yang mati digantikan oleh
sel-sel fibrous yang padat sehingga memendek.

2.3 Disrupsi Cincin Pelvis Dengan Perdarahan


Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan
oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain sehubungan

33
dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam
kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor.
Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien
dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga
mendapat cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera
cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%. Kematian ini umumnya
disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola cedera.
Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi.
Ketika berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang
membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika
kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90% (Guthrie et
al., 2010).
Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas
mengklasifikasikan disrupsi cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor :
stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil didefenisikan sebagai sesuatu yang
dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa dislokasi. Stabilitas ini
bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Guthrie et al.,
2010).

Gambar 16. Ring pelvic disruption

Dislokasi ini dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera


stabil termasuk fraktur non-dislokasi cincin pelvis dan dislokasi anterior <

34
2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan melebarnya simfisis pubis
atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas vertikal adalah
pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium dan
disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur cincin
sebenarnya, dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi
posterior yang bersesuaian. Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan
sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligament (Guthrie et al., 2010).
Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari
pleksus vena pelvis posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan
tulang. Sekitar < 10% kasus perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri
yang cukup dikenal. Pengobatan awal harus berfokus pada kontrol
perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi cincin pelvis
membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan mengurangi
volume pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang mengalami
perdarahan dengan cara kompresi viscera dan hematom pelvis. Stabilisasi
mempertahankan reduksi dan mencegah pergerakan hemipelvis, mengurangi
nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir. Reduksi dan stabilisasi
saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak
merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri (Guthrie
et al., 2010).
Penatalaksanaan disrupsi cincin pelvis dengan perdarahan:
a. Resusitasi cairan
b. Hentikan perdarahan, dengan
1) Direct pressure
2) Pemasangan stagen, pelvic sling, PASG
3) Terapi definitif:
c. Terapi definitif, pemasangan C-CLAMP.
d. Rujuk

35
2.4 Dislokasi
a. Definisi
Dislokasi adalah perpindahan suatu bagian. Dislokasi sendi atau
disebut juga luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk
persendian terhadap tulang lainnya. Dislokasi dapat berupa lepas komplet
atau parsial , atau subluksasio.(Chairuddin, 2007)
b. Etiologi
Dislokasi dapat disebabkan oleh :
1. Trauma : jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi.
 Cedera pada olahraga
Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak
bola dan hoki, serta olahraga yang berisiko jatuh, misalnya
terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan
pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada
tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola
dari pemain lain.
 Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga misalkan
akibat benturan karena terjatuh (dari ketinggian tertentu)
ataupun akibat kecelakaan ketika berkendara
2. Non traumatik akibat kelainan kongenital yaitu keadaan ligamen
pada seseorang yang jauh lebih kendur sehingga terjadi penurunan
stabilitas dari daerah persendian ataupun adanya penyakit tertentu
yang mengakibatkan perubahan struktur dari daerah persendian.
3. Patologis
Akibat destruksi tulang, misalnya tuberculosis tulang belakang.
Dimana patologis: terjadinya tear ligament dan kapsul articular
yang merupakan komponen vital penghubung tulang .(Chairuddin,
2007).

36
c. Patofisiologi
Cedera akibat olahraga dapat disebabkan karena beberapa hal seperti
tidak melakukan pemanasan yang benar sebelum melakukan olahraga
sehingga dapat memicu terjadinya dislokasi, yaitu cedera olahraga yang
dapat menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan
sendi sehingga struktur sendi dan ligamen menjadi rusak. Keadaan
selanjutnya terjadinya kompresi jaringan tulang yang terdorong ke depan
sehingga merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid menjadi teravulsi
akibatnya tulang berpindah dari posisi yang normal. Keadaan tersebut
disebut sebagai dislokasi.
Begitu pula dengan trauma kecelakaan karena kurang hati-hati dalam
melakukan suatu tindakan atau saat sedang berkendara dimana tidak
menggunakan helm atau sabuk pengaman dapat memungkinkan terjadinya
dislokasi. Trauma kecelakaan mengkompresi jaringan tulang dari kesatuan
sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen. Keadaan
selanjutnya yaitu terjadinya penekanan pada jaringan tulang yang terdorong
ke depan sehingga merobek kapsul sehingga tulang dapat berpindah dari
posisi normal dan menyebabkan dislokasi. (Chairuddin 2007)
d. Klasifikasi
 Klasifikasi dislokasi menurut penyebabnya adalah:
1. Dislokasi kongenital
Hal ini terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan seseorang,
paling sering terlihat pada daerah panggul (hip).
2. Dislokasi spontan atau patologik
Hal ini dapat terjadi akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar
sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini
disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik
Dislokasi traumatik adalah suatu kedaruratan ortopedi, yang
memerlukan pertolongan segera.Hal ini membuat sistem
vaskularisasi terganggu, susunan saraf rusak dan serta kematian

37
dari jaringan. Trauma yang kuat membuat tulang keluar dari posisi
anatomisnya dan mengganggu jaringan lain seperti merusak
struktur sendi, ligamen, saraf, dan sistem vaskular. Seringkali
terjadi pada orang dewasa. Bila tidak ditangani dengan segera
dapat terjadi nekrosis avaskuler (kematian jaringan akibat anoksia
dan hilangnya pasokan darah) dan paralisis saraf. (Chairuddin,
2007)
 Dislokasi berdasarkan tipe kliniknya dapat dibagi menjadi :
1. Dislokasi Akut
Umumnya dapat terjadi pada bagian bahu, siku dan panggul.
Dislokasi ini dapat juga disertai nyeri akut serta pembengkakan di
sekitar sendi.
2. Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma pada daerah dislokasi sendi diikuti oleh frekuensi
berulang, maka dislokasi akan berlanjut dengan trauma yang
minimal, hal disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada
sendi bahu (shoulder joint) dan sendi pergelangan kaki atas (patello
femoral joint). Dislokasi berulang biasanya sering dikaitkan
dengan fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang
yang patah akibat dari kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot
dan tarikan (Chairuddin, 2007)

 Dislokasi berdasarkan daerah anatomis:


1. Dislokasi sendi bahu (shoulder joint)
Dislokasi yang sering terjadi pada atlet adalah dislokasi sendi bahu
dan sendi panggul. Sendi dapat menjadi macet karena tergeser dari
posisi anatomisnya, selain itu juga akan terasa nyeri. Ligamen-ligamen
pada sendi yang pernah mengalami dislokasi biasanya menjadi kendor,
sehingga sendi tersebut memiliki kemungkinan untuk mengalami
dislokasi kembali.

38
Gambar 17. Anatomi Sendi Bahu

Dislokasi biasanya disebabkan karena terjatuh yang bertumpu pada


tangan dan bahu, humerus. Pada dislokasi berulang, labrum dan kapsul
sering terlepas dari lingkar anterior glenoid.
Klasifikasi Dislokasi Bahu

Gambar 18. Klasifikasi Sendi Bahu

39
 Dislokasi Anterior
Dislokasi preglenoid, subcoracoid, subclaviculer. Paling sering
ditemukan jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu atau
cedera akut karena lengan dipaksa beraduksi, dan ekstensi. Trauma
pada scapula memiliki gambaran klinis nyeri hebat dengan
gangguan pergerakan bahu, kontur sendi bahu rata, kaput humerus
bergeser ke depan yang ditemukan pada pemeriksaan radiologis.
Manifestasi:
Penderita biasanya menyangga lengan yang cedera pada bagian
siku dengan menggunakan tangan sebelahnya. Lengan dalam posisi
abduksi ringan selain itu kontur terlihat ‘squared off’ dan penderita
mengeluh sangat nyeri.
Pada dislokasi sendi bahu anterior dapat dilakukan beberapa traksi
untuk mereposisi sendi yang telah mengalami dislokasi, antara lain:
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan penderita pada posisi
supine dengan siku fleksi 90.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan
pada posisi abduksi penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana
seorang asisten mengaplikasikan tekanan yang lembut pada sisi
medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X-ray post reduksi.

Gambar 19. Teknik Cooper-Milch

40
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan
pada ED yang sangat sibuk.
a. Berikan analgesic IV dimana penderita berbaring pada posisi
pronasi dengan lengan tergantug di sebelah trolley dengan beban
seberat 2,5-5 g tertarik pada lengan tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan rotasi relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa X-ray post reduksi.

GambaR 20. Teknik Stimson’s


 Dislokasi Posterior
Biasanya trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi
interna, serta terjulur atau karena hantaman pada bagian depan
bahu, selain itu dapat juga terkait dengan adanya kontraksi otot saat
kejang atau cedera akibat tersetrum listrik.
Manifestasi
Lengan dalam posisi rotasi internal dan adduksi. Penderita
merasakan nyeri dan dapat terjadi penurunan pergerakan dari sendi
bahu.
 Dislokasi Inferior
Pada luksasio erecta, posisi lengan atas dalam posisi abduksi,
kepala humerus terletak di bawah glenoid, terjepit pada kapsul

41
yang robek. Karena kerobekan kapsul sendi lebih kecil disbanding
kepala humerus, maka sangat susah kepala humerus ditarik keluar,
hal ini disebut ‘efek lubang kancing (Button hole effect)’.
Pengobatan dapat dilakukan dengan melakukan reposisi tertutup
seperti dislokasi anterior, jika gagal dilakukan reposisi terbuka
dengan operasi.
Manifestasi Klinis
Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’. Selain itu,
hilangnya kontur bulat dari bahu.

2. Dislokasi sendi siku (elbow joint)


Cedera biasanya digolongkan berdasarkan arah pergeserannya,
tetapi pada 90% dislokasi siku, kompleks radioulna bergeser ke
posterior atau ke posterolateral, sering bersama-sama dengan fraktur
pada prosessus tulang. (American Academy of Orthopaedic Surgeons,
2009)
Penyebab dislokasi posterior biasanya terjatuh pada posisi tangan
yang terentang dengan posisi siku dalam ekstensi. Begitu teerjadi
dislokasi posterior, pergeseran lateral juga dapat terjadi. Banyak terjadi
kerusakan jaringan lunak: kapsul anterior dan otot brakhialis robek,
ligamen kolateral terentang atau mengalami ruptur, dan saraf serta
pembuluh sekelilingnya mungkin dapat mengalami kerusakan.
Pasien menyangga lengan bawahnya dengan siku yang sedikit
berfleksi. Kalau pembengkakan tidak hebat, deformitas jelas terlihat.
Terdapat nyeri spontan, nyeri sumbu dan gerak abnormal sangat
terbatas pada posisi kurang lebih 30. Pada pemeriksaan dorsal siku,
didapat perubahan pada segitiga sama kaki yang dibentuk oleh
olecranon, epikondilus lateral, dan epikondilus medial. Segitiga yang
noral sama kaki berubah menjadi segitiga yang tidak sama kaki.
Olecranon dapat teraba di bagian belakang. (American Academy of
Orthopaedic Surgeons, 2009)

42
Gambar 21. Jenis dislokasi pada elbow joint

Gambar 22. Dislokasi elbow joint posterior

Gambar 23. Parvin’s (A) and Meyn & Quigley


(B) Reduction Techniques

43
3. Dislokasi sendi panggul (hip joint)
Dislokasi panggul dapat terjadi ketika caput femur keluar dari daerah
acetabulum (socket) pada pelvis. Dislokasi ini dapat terjadi apabila daerah
tersebut mengalami benturan keras seperti pada kecelakaan mobil ataupun
jatuh dari ketinggian tertentu. Pada kecelakaan mobil, dimana akibat
terbenturnya lutut membentur dashboard sehingga terjadi deselerasi yang
cepat dan tekanan dihantarkan dari femur ke panggul. Kadang dislokasi
pada sendi panggul ini juga dapat disertai adanya fraktur. Dislokasi pada
sendi panggul merupakan jenis dislokasi yang amat serius dan
membutuhkan penanganan yang cepat. Diagnosis dan terapi yang tepat
untuk menghindari akibat jangka panjang dari hal ini yaitu nekrosis
avaskuler dan osteoarthritis. (Gammon, 2014) .

Gambar 24. Anatomi panggul

44
Gambar 25. Dislokasi Sendi Panggul

Dislokasi sendi panggul terbagi menjadi dua yaitu dislokasi


anterior dan dislokasi posterior tergantung berat atau tidaknya trauma
tersebut.

1. Dislokasi Posterior 90% dislokasi ini terjadi pada daerah panggul,


dimana tulang femur terdorong keluar dari socket atau acetabulum
arah ke belakang (backward direction). Dislokasi posterior ditandai
dengan pergelangan kaki atas (tulang femur) yang berotasi interna
dan adduksi, panggul dalam posisi fleksi namun pada bagian lutut
serta pergelangan kaki bawah justru pada posisi yang berkebalikan.
Biasanya disertai juga dengan penekanan dari nervus ischiadicus.
2. Dislokasi Anterior (Obturator Type) Dislokasi ini sering
disebabkan tekanan hiperekstensi melawan tungkai yang abduksi
sehingga caput femur terangkat dan keluar dari acetabulum, caput
femur terlihat di depan acetabulum socketnya dengan arah maju ke
depan (forward direction) sehingga daerah panggul mengalami
abduksi dan rotasi eksterna menjauhi dari bagian tengah tubuh.
3. Dislokasi Sentral terjadi apabila kaput femur terdorong ke dinding
medial acetabulum pada rongga panggul, namun kapsul tetap utuh.

45
Terdapat pembengkakan di daerah tungkai proksimal tetapi posisi
tetap normal, nyeri tekan pada daerah trochanter, dan gerakan sendi
panggul menjadi terbatas. (Gammon 2014)

Gambar 26. Foto Rontgen Dislokasi Sendi Panggul

Pemeriksaan penunjang nya adalah X-Ray : dilakukan pemeriksaan


berupa foto rontgen pada daerah persendian yang mengalami cedera, hal ini
juga dilakukan guna memastikan apakah terdapat fraktur pada tulang di
daerah persendian. Bisa juga dilakukan pemeriksaan radiologi melalui CT-
Scan ataupun MRI. Kemudian Arteriogram : hal ini dilakukan untuk melihat
apakah terdapat cedera pada pembuluh darah di daerah persendian yang
mengalami dislokasi.
 Penatalaksanaan dislokasi panggul :
- Reduction / Reposisi : Reposisi ini prinsipnya adalah menyatukan
kembali caput femoris pada acetabulum. Dapat dilakukan secara
terbuka maupun secara tertutup. Pada anak usia 6 bulan – 2 tahun
dapat dilakukan dengan reposisi secara tertutup dengan menggunakan
anastesi dan muscle relaxan. Jika reposisi secara tertutup ini gagal,
dilakukan reposisi secara terbuka dengan operasi.
- Retain / Imobilisasi / Fiksasi : Dilakukan setelah reposisi. Penderita
disaran memakai cast atau braces dengan tujuan untuk
mempertahankan posisi sendi selama proses penyembuhan dari tulang.
- Rehabilitation : Dapat dilakukan selama 2-3 bulan tergantung dari
keadaan pasien. Tujuan dilakukan rehabilitasi ini adalah mengurangi

46
pembengkakan, memelihara gerakan sendi, melatih kekuatan otot dan
mempercepat kembalinya fungsi normal dari sendi dan tulang. 5-7
hari setelah terjadinya trauma, pasien mulai diajarkan untuk
melakukan gerakan pasif untuk meningkatkan flexibilitas pergerakan
sendi. Penggunaan alat bantu berjalan perlu diberikan, antara lain kruk
(tongkat).

e. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada seseorang dengan dislokasi
diantaranya
1. Cedera pada saraf yang dapat menyebabkan kelemahan pada
daerah otot yang dipersarafi.
2. Cedera pada pembuluh darah di tulang, bahkan dapat menyebabkan
avaskuler nekrosis (osteonekrosis).
3. Fraktur dislokasi, yang akan semakin memperburuk keadaan dari
pasien

f. Penatalaksanaan
1. Relokasi : Penanganan yang dilakukan pada saat terjadi dislokasi
adalah melakukan reduksi ringan dengan cara menarik persendian
yang bersangkutan pada sumbu memanjang. Tindakan reposisi ini
dapat dilakukan di tempat kejadian tanpa anastesi. Namun tindakan
reposisi tidak bisa dilakukan dengan reduksi ringan, maka
diperlukan reposisi dengan anastesi lokal dan obat – obat penahan
rasa sakit. Reposisi tidak dapat dilakukan jika penderita mengalami
rasa nyeri yang hebat, disamping tindakan tersebut tidak nyaman
terhadap penderita bahkan dapat menyebabkan syok neurogenik,
ataupun menimbulkan fraktur. Dislokasi sendi dasar misalnya
dislokasi sendi panggul memerlukan anestesi umum terlebih
dahulu sebelum direposisi.

47
2. Imobilisasi : sendi diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau
traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil, beberapa hari
beberapa minggu setelah reduksi gerakan aktif lembut tiga sampai
empat kali sehari dapat mengembalikan kisaran sendi, sendi tetap
disangga saat latihan.
3. Dirujuk : Dislokasi yang kadang disertai oleh cederanya ligamen
bahkan fraktur pada tulang yang dapat semakin memperparah hal
tersebut, maka untuk mencegah hal tersebut setelah dilakukan
pemeriksaan dan penanangan awal maka perlu dilakukan rujukan
segera kepada spesialis ortopedi sehingga dapat diperiksa dan
ditangani lebih lanjut (dapat dilakukannya operasi atau tindakan
pembedahan).

Indikasi untuk dilakukan operasi atau pembedahan diantaranya :


1. Pada seseorang dengan dislokasi yang disertai fraktur di daerah
sekitar persendian
2. Pada dislokasi yang tidak dapat direposisi secara tertutup
3. Pada dislokasi yang memilki resiko ketidakstabilan dari sendi
berulang, osteonekrosis, serta arthritis pasca trauma

2.5 Traumatic Amputation


a. Definisi
Amputasi berasal dari kata amputare yang kurang lebih diartikan
pancung. Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian
tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas, atau dengan kata lain suatu
tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh.
(Schwartz SI, 2010)
Amputasi taraumatik adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari,
jari kaki, lengan, atau kaki yang terjadi akibat dari kecelakaan atau trauma.
Suatu amputasi traumatik dapat melibatkan berbagai bagian tubuh, termasuk
lengan, tangan, jari tangan, kaki, jari kaki, telinga, hidung, kelopak mata

48
dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-jari (phalanx),
tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan (radius/ulna),
lengan atas (humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan tulang kerah
(klavikula). Amputasi ekstremitas lebih dari 65% dari traumatik amputasi,
sementara kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah
laki-laki utama (Paula, 2007).

Gambar 27. Open Traumatic Amputation

Gambar 28. Closed Traumatic Amputation

b. Etiologi
Traumatic amputasi 30% paling sering terjadi pada usia antara 17-55
tahun (71% pria). Lebih banyak mengenai alat gerak bawah, dengan ratio 10
: 1 dibandingkan dengan alat gerak atas. Trauma dari ekstremitas
melibatkan kerusakan pada vaskuler atau nervus, luka bakar, dingin, dan
fraktur yang tidak menyembuh. Ini dapat membuat ekstremitas secara
permanen kurang fungsional. Dalam kasus tersebut. amputasi awal, dalam

49
upaya menyelamatkan anggota badan, seringkali merupakan pilihan terbaik.
(Schwartz SI, 2010)

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering muncul setelah tindakan amputasi
yaitu timbulnya sensasi nyeri yang dikenal dengan nyeri phantom sebagai
akibat terjadinya peradangan pada saraf yang mengalami amputasi.
Gangguan percaya diri mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan
amputasi memiliki peluang untuk timbul pada awal pascaoperasi. (Schwartz
SI, 2010)

d. Penatalaksanaan
Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan,
shock, dan infeksi. Hasil jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat
karena pemahaman yang lebih baik dari manajemen amputasi traumatik,
darurat awal dan manajemen perawatan kritis, teknik bedah baru,
rehabilitasi awal, dan prostetik baru. Teknik ekstremitas replantation baru
telah cukup berhasil, tapi regenerasi saraf tetap menjadi faktor pembatas
utama.
1. Penatalaksanaan di Lapangan
Tindakan yang dilakukan bila terjadi korban yang terindikasi amputasi
yaitu jaga primary survey, terdiri dari jaga jalan nafas tetap paten, jika
terjadi sumbatan hilangkan sumbatan tersebut. Bila tidak bernafas
berikan nafas buatan. Cek sirkulasi apakah adekuat atau tidak. Bila
tidak adekuat hentikan perdarahan yang terjadi, segera pasang infus
dan berikan cairan pengganti. Bila terjadi perdarahan yang masif
segera persiapkan untuk transfusi darah. Setelah kondisi korban telah
stabil segera kirim ke rumah sakit untuk tatalaksana berikutnya.

2. Penatalaksanaan di Rumah Sakit

 Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :

50
1. Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis
dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara
terus-menerus. Amputasi dilakukansebagai salah satu tindakan
alternatif terakhir
2. Amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan
tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki
kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3. Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang
cepat segera setelah korban tiba di rumah sakit, cek primary
survey korban. Pasang infus untuk menjaga sirkulasi yang
adekuat. Tindakan amputasi sangat bergantung dengan organ
yang akan diamputasi. (Schwartz SI, 2010)

 Amputasi dilakukan dengan 2 metode yaitu :


1. Metode terbuka (guillotine amputasi)
Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang
memburuk. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang
drainasi agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak
terinfeksi. Dapat dilakukan pada kondisi infeksi yang berat
dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang
sama.
2. Metode tertutup
Pada metode ini kulit tepi ditarik padaatas ujung tulang dan
dijahit pada daerah yang diamputasi. Dilakukan dalam kondisi
yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk
menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5
sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan

51
tindakan pemotongan maka kegiatan selanjutnya meliputi
perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga
kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan jaringan,
dan persiapan untuk penggunaan protese (bila memungkinkan).

Gambar 29. Lokasi amputasi secara umum. A & B. Pada anggota gerak atas. C
& D. Pada anggota gerak bawah. E.Gambar skematis amputasi melalui lutut

Gambar 30. Batas amputasi klasik ekstremitas bawah. (1)


Eksartikulaso jari kaki, (2) transmetatarsal, (3) artikulasi pergelangan

52
kaki (amputasisyme), (4) tungkai bawah (batas amputasi ideal, (5)
tungkai bawah batas amputasi minimal, (6) eksartikulasi lutut,
(7) tungkai atas (jarakminimal dari sela lutut), (8) tungkai atas batas
amputasi yang lazimdipakai, (9) tungkai atas batas amputasi minimal,
(10) eksartikulasitungkai, (11) hemipelvektomi.

 Prostesis

Prostesis sementara kadang diberikan pada hari pertama pasca


bedahsehingga latihan segera dapat dimulai. Kadang prostesis
darurat barudiberikan satu minggu setelah luka menyembuh tanpa
penyulit. Pada kasus amputasi terkait penyakit vaskular, prostesis
baru dipasang setelah 4 minggu. (Schwartz SI, 2010)
Keuntungan menggunakan prostesis sementara adalah membiasakan
pasienmenggunakan prostesis dan mobilisasi sejak dini. Defek faal
sistem muskuloskeletasl ekstremitas bawah biasanya
dapattertanggulangi dengan pemakaian prostesis ekstremitas bawah.
Untuk faaltangan, keberhasilan penggunaan prostesis sangat
bergantung pada keadaansensibilitas kulit puntung. Dengan prostesis
tangan, bahkan dengan tanganmioelektrik dari otot bisep dan trisep,
tidak diperoleh hasil yang memuaskankarena pasien umumnya akan
menggunakan tangan sehat kontralateral dandibantu oleh puntung
tangan yang diamputasi.Ada tiga macam pemasangan prostesis
dengan puntung ekstremitas bawah yaitu kontak total,
prostesis terbuka, atau dengan ruang tekanan rendah (Schwartz SI,
2010)

53
Gambar 31. Prosteses

e. Komplikasi
Sering kali setelah tindakan amputasi dilakukan akan timbul
beberapa komplikasi, diantaranya, yaitu, hematoma, infeksi, luka yang
nekrosis, nyeri, serta masalah dermatologi pada area sekitar bekas tindakan
amputasi. (Schwartz SI, 2010)

1. Hematoma ukuran kecil dapat terjadi sebelum penutupan luka terjadi.


Menggunakan teknik irigasi ketika operasi berlangsung ataupun
menggunakan perban yang agak kaku dapat meminimalkan
pembentukan hematom. Hematoma yang terbentuk dapat menggangu
penyembuhan luka dan menjadi wadah yang ideal untuk
perkembangbiakan agen infeksi. Hematoma yang terbentuk dan
menimbulkan tertundanya proses penyembuhan luka baik
ditemukannya fokus infeksi atau tidak maka segera lakukan perawatan
pasien layaknya pasien trauma dan segera bawa ke ruang operasi untuk
mendapat tindakan bedah segera
2. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan
penekanan pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam
darah sehingga menurunkan kecepatan metabolisme basal.

54
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme
lebih besar dari anabolisme maka akan mengubah tekanan osmotik
koloid plasma, hal ini menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke
luar keruang interstitial padabagian tubuh yang rendah sehingga
menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi
klien sehingga menyebabkan kecemasan yangakan memberikan
rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran
ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
4. Sistem respirasi.
Penurunan kapasitas paru, pada klien immobilisasi dalam posisi baring
terlentang, maka kontraksi ototintercosta relatif kecil, diafragma otot
perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
5. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi
perbedaan rasioventilasi dengan perfusi setempat jika secara mendadak
maka akan terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau
infeksi) terjadi hipoksia. (Schwartz SI, 2010)

2.6 Trauma Vaskuler Besar


a. Definisi

Trauma pada pembuluh darah yang bisa disebabkan oleh trauma


tembus atau trauma tumpul terhadap ekstremitas yang jika tidak diketahui
dan tidak dilakukan tindakan sedini mungkin akan mengakibatkan hilangnya
atau matinya ekstremitas tersebut atau bahkan bisa menyebabkan kematian
bagi pasien.

b. Etiologi

 Trauma tajam-luka tembak menyebabkan kerusakan pembuluh darah


karena daya penetrasi dgn kecepatan tinggi

55
 Trauma tumpul

 Iatrogenik-intervensi

Gambar 32. Tipe arterial injury

c. Patofisiologi

1. Ruptur vaskuler complete : Pembuluh darah putus total , manifestasi


klinis timbul karena terhentinya aliran darah ke distal

2. Ruptur vaskuler inkomplete : Manifestasi: hematom dan perdarahan


sukar berhenti , manifestasi lanjut: false aneurysme

3. Trauma vaskuler tertutup : Pembuluh darah terjepit diantara fragmen


tulang, Manifestasi: pulsasi arteri bagian distal berkurang – hilang,
iskemia tanpa perdarahan.

56
d. Manifestasi Klinis

1. Hilangnya atau berkurangnya pulsasi arteri bagian distal dari daerah


trauma.

2. Kulit pucat, suhu pada perabaan lebih dingin dibandingkan dengan sisi
sehat.

3. Sensibilitas bagian distal berkurang.

4. Adanya riwayat perdarahan banyak pada daerah luka.

5. Adanya perdarahan rekuren dari luka.

6. Adanya hematoma yang berpulsasi.

7. Adanya bising sistolis diatas hematoma.

8. Shock yang terjadi setelah mengalami trauma pada daerah pembuluh


besar harus dicurigai adanya trauma vascular.

Tabel 1. Tipe Trauma dan gejala klinisnya

e. Diagnosis

Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri
radialis, arteri inguinalis, arteri brachialis dan arteri femoralis. Diagnosis
umumnya ditegakkan dengan arteriografi atau Dopler, dan pengukuran
saturasi O2 jari distal. Penanganan cedera vena diligasi dan berikan

57
resusitasi cairan. Kontrol pendarahan dengan penekanan untuk pembuluh
darah proksimal dari cedera (misalnya, tekanan femoralis di luka
ekstremitas bawah) (Scott, 2011).

Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi


pada daerah yang secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini
terjadi terutama pada kejadian luka tusuk, luka tembak berkecepatan rendah,
dan trauma tumpul yang berhubungan dengan fraktur dan dislokasi.
Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya trauma,
mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia. Gambaran klinis
dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia, hematoma pulsatil,
atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis paling
sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda
iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan
poikilotermia. Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi,
dan auskultasi biasanya cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda
akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui
denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala
tersebut berupa hard sign dan soft sign.

Tabel 2. hard dan soft sign pada trauma vaskular

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan


menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal.

58
Salah satu cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika
ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya
psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma
penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit
atau thrill.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse
oxymetry, doppler ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi
vaskular, tapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada
arteriografi intra-operatif yang berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi
secara langsung, apakah masih ada lesi vaskular yang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama
penanganan sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih
lama lagi. Arteriografi dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada
reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga dianjurkan pada trauma
luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi kolateral
yang ada. Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi
distal, dan perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-
98%. Alat ini terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal
yang dapat luput dari pengamatan karena minimalnya gejala klinis yang
ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi di antaranya trauma
tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan
dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi
multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis.
Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka tembus
maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai
ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan pemeriksaan
angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang
suara yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran
darah. Selain diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah
anastomosis arteri. Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan

59
sebagai pengganti ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi.
Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan tidak menimbulkan
nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur
pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan
tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan
dan alat ini relatif lebih murah.

Gambar 33. Algoritma diagnosis trauma vascular

60
Gambar 34. CT Angiografi

Gambar 35. CT Angiografi

f. Penatalaksanaan
1. Non operatif

Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih


kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri
yang terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan

61
tindakan non operatif bila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti
low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (< 5mm) pada
kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan
sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri
yang memiliki kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan
non operatif yang digunakan, disarankan untuk melakukan pencitraan
vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi.

2. Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan
untuk terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran
rendah. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan
endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat
dimungkinkan.
3. Operasi

Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer


memerlukan persiapan seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai
tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral yang sehat harus
ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena.
Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada
pembuluh darah yang cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau
distal sesuai dengan kebutuhan. Kontrol arteri proksimal dan distal
dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri proksimal dikontrol
dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila
perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada
arteri distal Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang
terputus (thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama
operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi
vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.

Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma


memang berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang

62
diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat mencegah
terbentuknya trombus. Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan
mekanisme trauma. Reparasi cedera pembuluh darah dapat dilakukan
dengan lateral suture patch angioplasty, end-toend anastomosis,
interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft
berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan
pada anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari
1.5 cm.. Pada umumnya graft vena autogen lebih disenangi untuk
mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena pertama kali dilakukan
untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.
Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan
rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman
membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada
bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency yang lebih tinggi
ketika digunakan pada posisi di atas lutut

Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena,


dapat dilakukan rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan
kerusakan sistem arteri. Sebaiknya dilakukan penyambungan vena lebih
dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi terutama pada vena
utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat
menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka
amputasi pada penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan
lunak dan tulang yang hebat serta membantu memperbaiki aliran arteri.
Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah ekstremitas, maka
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan
fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan
otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan
trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat
menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima), bila

63
sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan
iskemia otot menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.

Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang,


dianjurkan batasan waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam
dilakukan perbaikan arteri terlebih dahulu. Untuk menangani fraktur ini
terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama pada fraktur
ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai
kerusakan jaringan lunak.

64
Gambar 36. Surgical repair pada trauma vascular

Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk


menurunkan angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita
lakukan adalah :
a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik
mungkin
c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graf

g. Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan
perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa
tindakan yang adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena, dan aneurisma palsu.
Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi
segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu
merupakan komplikasi lama.
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-
sungguh dan teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena

65
ceroboh atau penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan
berakibat fatal bagi kelangsungan hidup ekstremitas berupa amputasi, atau
terjadi emboli paru. Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular
adalah komplikasi yang paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi
segera dapat memberikan hasil yang memuaskan. Bila debridemen arteri
kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang akurat pada waktu
rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis segera
setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan
pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari
koreksi dengan jahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama
pada trauma yang luas.
 Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya
trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-
sisa dinding arteri,
dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan
trombosis.
2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat
besar artinya dalam
kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-
kadang arus balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada
tidaknya lesi vaskular sebelah distal, karena aliran darah balik
dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir ini sering
dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma
luas.
3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis
pada anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan
heparin dengan perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas
daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang
masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah distal
agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan

66
tidak ada thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan
memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan
secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan ada,
maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan
thrombus yang masih tersisa
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh
tarikan yang berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan
terjadi pada jahitan bila dinding pembuluh arteri tidak cukup untuk
suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi bila pembuluh arteri
yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke ujung
tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup
untuk melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya
juga jangan sampai terlampau panjang memakai vena sebagai graft
karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat mengganggu
aliran darah laminar.
5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis.
Graft sintesis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang
yang dapat dipakai sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada
graft vena autogen yang panjang garis ini dapat dibuat dengan
benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu dilapiskan
adventisia.
Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu
berhasil atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal.

67
Gambar 37. Volkmann Ischameic Contracture

Gambar 38. False Aneurisma

Gambar 39. Traumatic arteriovena Fistula

68
2.7 Septic Arthritis
a. Definisi
Septic artritis adalah suatu proses inflamasi yang steril biasanya hasil
dari proses ekstra-artikular. Septic arthritis biasanya menyebabkan
ketidaknyamanan dan kesulitan menggerakkan sendi yang terkena (Yuliasih,
2009).

b. Etiologi
Stapylococcus aureus merupakan bakteri yang sering menyebabkan
arthritis bacterialis dan osteomelitis pada manusia. Kemampuan
sthapylococcus aureus untuk menginfeksi sendi berhubungan dengan
interaksi antara bakteri tersebut dengan komponen matriks ekstrasululer.

Microorganism Number of cases


Staphylococcus aureus 27
Haemophilus influenza 10
Haemophilus para-influenza 3
Streptococcus pyogenes 8
Califorms 2
Streptococcus pneumonia 2
Streptococcus viridians 1
Staphylococcus albus 1
Anaerobic Gram-positive cocci 1
Meningococcus 1
Tabel 3. Hasil kultur 56 kasus penyebab septic arthritis menurut The
Journal of Bone and Joint surgery , 2004

c. Patofisiologi
Biopsi pada transient synovitis menunjukkan inflamasi nonspesifik
dan hipertrofidari sinovial membran. Pemeriksaan ultrasonografi
menunjukkan adanya efusi yangmenyebabkan pembengkakan dari kapsul

69
sendi anterior. Cairan sinovial memiliki proteoglikan yang meningkat.Pada
septic arthritis organisme dapat masuk ke dalam sendi melalui direct
inoculation melalui penyebaran dari jaringan periartikular atau melalui
aliran darah yang merupakan rute infeksi tersering Sendi
normal mempunyai komponen protektif untuk mencegah terjadinya proses
infeksi, yaitu: sel sinovial memiliki kemampuan untuk memfagositik dan
cairan sinovial memiliki kemampuan bakterisidal. (Ross JJ,2004)

Gambar 40. Patofisiologi septic Artritis

Bakteri dapat masuk kedalam ruang sendi melalui beberapa cara


yaitu, masuk melalui proses operasi daerah sendi, melalui tindakan

70
aspirasi sendi, penyuntikan kortikosteroid ataumelalui trauma lainnya.
Bakteri yang berhasil masuk kedalam rongga sendi dalam
beberapa jam menimbulkan reaksi inflamasi pada membran sinovial berupa
hiperplasi dan proliferas idan terjadi pelepasan faktor-faktor inflamasi
seperti cytokines dan proteases yang menyebabkan degradasi dari kartilago
sendi.

d. Tanda dan gejalanya


Tanda dan gejalanya antara lain:
1. Demam
2. Nyeri parah pada sendi yang terkena, terutama ketika menggerakkan
sendi
3. Pembengkakan sendi yang terkena
4. Hangat di daerah sendi yang terkena

Gambar 41. Septic Joint- Location

71
Gambar 42. Infeksi Gonokokal pada pasien usia muda dengan
gambaran septic arthritis pada ankle kiri, tampak gambaran petecie,
odema
 Apley membagi 3 stadium septic arthritis , yaitu :
1. Stadium akut.
Ditemukannya peradangan local berupa kemerahan,
pembengkakan sendi, atropi otot. Dengan pemeriksaan radiologi,
terlihat adanya refraksi tulang. Pada stadium dini terjadi
peradangan sinovium (sinovitis), pembengkakan sinovium, dan
belum terdapat kerusakan tulang rawan.

2. Stadium Penyembuhan
Pada stadium ini terjadi penyembuhan secara berangsur-angsur.
Gejala klinis seperti panas dan nyeri menghilang serta terjadi
klasifikasi pada tulang.

3. Stadium Residual
Bila penyembuhan penyakit terjadi sebelum ada kerusakan pada
sendi, akan terjadi penyembuhan sempurna, tetapi bila telah
terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, akan terdapat gejala
sisa/sekuela yang bersifat permanen berupa fibrosis dan
deformitas sendi.

72
e. Diagnosis
Pada anamnesa akan ditemukan gejala seperti manisfestasi klinis
diatas. Pada periksaan fisik sendi biasanya menyebabkan efusi pada sendi
yang mengkibatkan keterbatasan gerakan aktifmaupun pasif. Gejala-gejala
dari infeksi bisa tidak muncul pada orang-orang yang mengalami gangguan
imunitas khususnya pada pasien rheumatoid arthritis dan pengguna obat.
(Ross JJ,2004)
 Laboratorium
Untuk menegakkan diagnosa secara definitif diperlukan bukti adanya
bakteri padacairan sinovial baik dengan pengecatan gram atau kultur,
begitu ada kecurigaan suatu septicarthritis harus dilakukan aspirasi
cairan sinovial, bila perlu dengan guiding imaging
terutama pada sendi-sendi yangsulit dilakukan aspirasi, contohnya hip,
shoulder dan sacroiliac. Bila perlu dilakukan surgical anthrotomy
untuk mendapatkan cairan dan jaringan synovial.
Pemeriksaan Laboratorium kultur cairan sinovial dan jaringan sinovial
merupakan diagnostik definitif. Namun terapi harus segera diberikan
tanpa menunggu hasil kultur.

Gambar (kiri) 43. Foto pelvis AP Tampak proses destruksi pada


permukaan sendi Hip kiri.(kanan) : MRI potongan sagital pasien septic

73
arthritis pada sendi lutut kiri, tampak efusi sendi, synovial thickening dan
subcutaneous edema.

f. Tatalaksana
Penanganan awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan
arthrititis septik yakni:
1. Drainase
Manajemen medis arthritis infektif berfokus pada drainase yang
memadai dan tepat waktu dari cairan sinovial yang terinfeksi,
pemberian terapi antimikroba yang tepat, dan imobilisasi sendi
untuk mengontrol rasa sakit (Brusch, 2011).
2. Antibiotik
Dokter harus mengidentifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
terlebih dahulu, baru kemudian memilih antibiotik yang paling
efektif untuk menargetkan bakteri. Antibiotik biasanya diberikan
melalui pembuluh darah vena di lengan pada awalnya. Pasien
kemudian bisa beralih ke antibiotik oral. Lama pengobatan
antibiotik tergantung pada kesehatan, jenis bakteri yang
menginfeksi dan sejauh mana infeksinya. Biasanya, pengobatan
berlangsung sekitar dua sampai enam minggu (Brusch, 2011).
3. Mobilisasi sendi secara lembut
Setelah infeksi dapat dikontrol, dokter biasanya merekomendasikan
pasien melakukan gerakan lembut untuk menjaga fungsi sendi.
Pergerakan sendi dapat menjaga tubuh dari kekakuan sendi dan
otot-otot. Gerakan juga mendorong aliran darah dan sirkulasi yang
membantu proses penyembuhan tubuh (Yuliasih, 2009).

74
Gambar 44. Septic Joint- Treatment

2.8 Osteomielitis Akut


a. Definisi
Osteomyelitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup
sumsum dan atau kortek tulang dapat berupa eksogen (infeksi masuk dari
luar tubuh) atau hemotogen (infeksi yang berasal dari dalam tubuh).
(Reeves, 2001:257).
Sedangkan menurut Bruce, osteomyelitis adalah infeksi pada
tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme. Osteomyelitis biasanya
merupakan infeksi bakteri, tetapi mikrobakterium dan jamur juga dapat
menyebabkan osteomyelitis jika mereka menginvasi tulang (Ros,
1997:90).
Osteomyelitis adalah infeksi jaringan tulang. Osteomyelitis akut
adalah infeksi tulang panjang yang disebabkan oleh infeksi lokal akut atau
trauma tulang, biasanya disebabkan oleh escherichia coli, staphylococcus
aureus, atau streptococcus pyogenes (Tucker, 1998:429).

75
Jadi pengertian osteomyelitis yang paling mendasar adalah infeksi
jaringan tulang yang mencakup sumsum atau kortek tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogenik. Osteomyelitis dapat timbul akut atau
kronik. Bentuk akut dicirikan dengan adanya awitan demam sistemik
maupun manifestasi lokal yang berjalan dengan cepat. Osteomyelitis
kronik adalah akibat dari osteomyelitis akut yang tidak ditangani dengan
baik (Price, 1995:1200).

b. Etiologi
Penyebab paling sering adalah staphylococcus aerus (70% - 80%).
Organisme penyebab yang lain adalah salmonela streptococcus dan
pneumococcus (Overdoff, 2002:571).
Ada dua macam infeksi tulang menurut Robbins dan Kumar
(1995:463-464) yaitu :
1. Osteomyelitis piogenik hematogen Biasanya terjadi pada anak-anak,
osteomyelitis piogenik hematogen terutama disebabkan oleh
staphylococcus aureus kemudian diikuti oleh bacillus colli. Kecuali
samonela, osteomyelitis hematogen biasanya bermanisfestasi sebagai
suatu penyakit demam sistemik akut yang disertai dengan gejala nyeri
setempat, perasaan tak enak, kemerahan dan pembengkakan.
2. Osteomyelitis tuberkulosis Timbulnya secara tersembunyi dan
cenderung mengenai rongga sendi. Daerah yang sering kena adalah
tulang-tulang panjang dari ekstremitas dan tulang belakang.
Osteomyelitis tuberkulosis dapat menyebabkan deformitas yang serius
(kifosis, skoliosis) berkaitan dengan destruksi dan perubahan sumbu
tulang belakang dari posisi normalnya.

c. Tanda dan gejala


Gejala umum akut seperti demam, toksemia, dehidrasi, pada tempat
tulang yang terkena panas dan nyeri, berdenyut karena nanah yang tertekan
kemudian terdapat tanda-tanda abses dengan pembengkakan (Overdoff,

76
2002:572). Pada Osteomyelitis akut Keluhan utama yang muncul biasanya
nyeri lokal, bengkak, dan rasa hangat pada daerah yang terinfeksi. Hal-ini
sering muncul sehubungan dengan demam dan malaise. Lokasi yang
tersering ialah tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, radius, humerus,
ulna, dan fibula.
Dan pada osteomyelitis kronik Osteomyelitis kronik dapat muncul
pada persentasi awal sekalipun: tidak harus seorang pasien melalui tahap
akut, sub akut. Terapi osteomyelitis akut yang tidak adekuat, trauma,
osteomyelitis hematogen dapat mendahului terjadinya osteomyelitis kronik.

d. Penatalaksanaan
Sasaran awal adalah untuk mengontrol dan memusnahkan proses
infeksi (Boughman, 2000:389).
1. Imobilisasi area yang sakit : lakukan rendam salin noral hangat selama
20 menit beberapa kali sehari.
2. 2. Kultur darah : pada cairan abses untuk mengindentifikasi organisme
dan memilih antibiotik.
3. Pemberian antibiotik
Antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positi
diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan
secara parenteral selama 3-6 minggu.

Gambar 45. Osteomielitis akut

77
Gambar 46. Steomyelitis tulang panjang

Gambar 47 .Osteomyelitis pelvis


2.9 Fat Embolysm Syndrome
a. Definisi
Sindrom emboli lemak adalah sindrom yang terdiri dari suatu
respiratory distress syndrome dan hipoksia arterial yang berat yang
disebabkan oleh adanya suatu emboli lemak yang sistemik. (Salter, 1999).
Sindrom emboli lemak adalah manifestasi orthopedic khusus dari acute
respiratory distress syndrome (ARDS) yang disebabkan oleh lepasnya lemak

78
sumsum tulang ke dalam sirkulasi yang dapat muncul setelah terjadinya
fraktur. (Skinner H B, 1999).
Sindrom emboli lemak adalah sindrom yang ditandai dengan insufisiensi
respiratorik, abnormalitas saraf pusat, dan petekhie yang biasanya muncul
24-72 jam setelah kejadian pencetus yang biasanya adalah trauma tulang
panjang atau pelvis. (Mark F S, 1999).
Dapat disimpulkan bahwa FES adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh
lepasnya lemak sumsum tulang ke dalam sirkulasi sehingga menyebabkan
suatu embolisasi lemak yang sistemik dan ditandai dengan insufisiensi
respiratorik (ARDS), hipoksia arterial berat, abnormalitas saraf pusat, dan
petekhie yang muncul 24-72 jam setelah kejadian pencetus yang biasanya
adalah trauma tulang panjang atau pelvis. (Dheni H, 2009)

b. Etiologi
Sindrom emboli lemak paling sering terjadi pada fraktur tertutup
dari tulang panjang. Tetapi ada banyak penyebab lain, yaitu : (Wangi D,
2013)
1. Fraktur tertutup menyebabkan lebih banyak emboli dibandinngkan
dengan fraktur terbuka. Tulang panjang, pelvis dan tulang rusuk lebih
menyebabkan emboli dibandingkan sternum dan klavikula. Fraktur
multiple menyebabkan lebih banyak terjadinya emboli.
2. Prosedur ortopedi.
3. Cedera jaringan lunak yang besar.
4. Luka bakar yang parah.
5. Biopsi sumsum tulang.
6. Osteomyelitis.

c. Gejala klinis
FES biasanya terjadi antara 12-72 jam setelah cedera awal. Jarang
terjadi pada 12 jam atau setelah 2 minggu. Pasien datang dengan tiga

79
serangkaian klasik : manifestasi pernafasan (95%) , efek otak (60%) dan
petekie (33%). (S. Jain, et al, 2008)
1. Manifestasi Paru : Perubahan pernafasan sering merupakan gejala
klinis yang tampak pertama. Sesak , takipnea dan hipoksemia adalah
gejala yang paling sering tingkat keparahan gejala ini bervariasi tetapi
sejumlah kasus dapat berkembang menjadi gagal nafas dan dapat
berkembang menjadi syndrome gangguan pernafasan akut (ARDS).
Kira kira setengah dari pasien dengan FES yang disebabkan oleh
fraktur tulang panjang bisa memburuk karena hipoksemia berat dan
insufisiensi pernafasan dan memerlukan ventilasi mekanis. (S. Jain, et
al, 2008)
2. Ruam petekie : ruam petekie bisa terjadi gejala terakhir setelah gejala
yang lain. Ini terjadi pada 60% kasus dan karena embolisasi kapiler
kulit kecil yang mengarah ke ekstravasasi eritrosit. Ini menghasilkan
ruam petekie di konjungtiva, selaput lender mulut dan lipatan-lipatan
kulit tubuh bagian atas terutama leher dan ketiak. Kelainan ini tidak
ada hubungannya dengan kelainan fungsi trombosit. Hal ini diyakini
menjadi satu-satunya fitur patogonomik sindrom emboli lemak dan
biasanya muncul dalam 36 jam pertama dan self limiting , menghilang
sepenuhnya dalam 7 hari. (S. Jain, et al, 2008)

Gambar 48. Ruam ptekie pada tubuh bagian atas anterior, karakteristik
sindrom emboli lemak.
3. CVS : takikardia persisten awal , meskipun tidak spesifik , hampir selalu
hadir pada semua pasien dengan emboli lemak. Jarang, emboli lemak

80
sistemik mempengaruhi jantung dan menyebabkan bintik-bintin nekrosis
pada miokard dan sindrom “full blown” pada jantung kanan. (S. Jain, et al,
2008)
4. Demam sistemik : Tanda awal yang sangat umum dari sindrom emboli
lemak adalah demam hal ini sering ringan tetapi dapat meningkat hingga
39oC. (S. Jain, et al, 2008)

d. Diagnosis
Diagnosis dari FES secara esensial adalah diagnosis klinis. Untuk
membantu diagnosis dapat dipakai kriteria dari Gurd (Gurd’s Criteria).
Menurut kriteria Gurd, diagnosis FES membutuhkan setidaknya 1 tanda dari
kriteriamayor dan setidaknya 4 tanda dari kriteria minor. Kriteria ini telah
sedikit dimodifikasi dari kriteria Gurd yang sebenarnya. (Schwartz et al,
2000)
Kriteria mayor :
1. Petekhie axiler atau subkonjungtival.
2. Terjadi sebentar saja (4 – 6 jam).
3. Hipoksemia, PaO2 di bawah 60 mmHg.
4. Depresi saraf pusat yang tidak sesuai dengan hipokseminya, dan
edema pulmonal
Kriteria minor :
1. Takikardi lebih dari 110 bpm
2. Demam lebih dari 38,5ºC.
3. Emboli tampak pada retina pada pemeriksaan fundoskopi.
4. Lemak terdeteksi pada urine.
5. Penurunan hematokrit atau jumlah platelet yang mendadak dan
tidak diketahui penyebabnya.
6. Peningkatan LED atau viskositas plasma.
7. Gumpalan lemak tampak pada sputum.

81
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan FES umumnya berupa oksigenasi dan ventilasi
adekuat, stabilisasi hemodinamik, rehidrasi, produk darah sesuai indikasi,
serta profilaksis trombosis vena dan profilaksis perdarahan intestinal, juga
menjaga kebutuhan nutrisi (Jain,2008). Sebenarnya tidak ada terapi khusus
untuk FES; pencegahan dan diagnosis dini, serta penanganan simptomatik
merupakan hal yang paling penting. FES merupakan self-limiting disease
penatalaksanaan utamanya adalah terapi suportif berupa:

1. Spontaneous ventilation
Penatalaksanaan awal hipoksia yang berkaitan dengan emboli lemak
adalah oksigenasi spontan. Oksigen diinhalasi menggunakan facemask
dan sistem aliran tingggi oksigen dapat digunakan untuk mendapatkan
FIO2 (konsentrasi O2 yang diinpirasi) mencapai 50-80%.
2. Resusitasi cairan
Mengembalikan volume intravaskuler juga penting, karena shock dapat
dapat menyebabkan lesi pada paru-paru akibat FES. Albumin
direkomendasikan untuk resusitasi cairan karena selain mengembalikan
volume darah albumin juga dapat berikatan dengan asam lemak,
sehingga menurunkan kemungkinan lesi paru-paru (Jawed dan Naseem,
2005).

2.10 Unstable Cervical Spine


Tujuan utama dari management trauma vertebra adalah :
1. (Stabilitas vertebra bebas nyeri) Painless stable spine.
2. Mencegah komplikasi pada medula spinalis.
Gangguan stabilitas ada 2 macam, yaitu:
1. Gangguan stabilitas permanent : Bila lesi atau kerusakan lewat diskus
atau jaringan lunak. Dalam hal ini perlu mutlak untuk dilakukan
stabilisasi anterior, posterior atau kombinasi anterior & posterior
terganutng dari kerusakannya.

82
2. Gangguan stabilitas temporer : Kerusakan lewat komponen tulang,
tindakan konservatif kecuali ada pendesakan fragmmen ke spinal
canal yang menimbulkan spinal canal enroachment dengan
“neorologic deficit”
Penanganan pasien fraktur cervical di IGD:
1. Ambulasi, seperti 4 orang mengangkat balok.
o 1 orang memegang kepala dengan ekstensi dan traksi leher
o 1 orang mengangkat punggung
o 1 orang mengangkat pinggang dan paha
o 1 orang mengangkat tungkai bawah.
2. Di atas bed dengan alas datar dan keras
Pasien diposisikan telentang.
o Pasang collar brace
o Letakkan kantong pasir bila perlu, untuk memfiksasi posisi
pasien di bed.
o Ekstensi leher
3. Infus RL, beri analgetik, dan puasakan pasien
4. Lakukan prosedur diagnostik, misal rontgen.
5. Crutchfild, Glisson Traction 3-5 kg
6. Pindahkan ke bangsal.

83
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Emergensi ortopedi merupakan suatu keadaan yang dapat
mengancam jiwa dan hilangnya fungsi dari organ tertentu di bidang
ortopedi, seperti ekstremitas dan persendian. Emergensi ortopedi
disampaikan sekitar 20% pasien yang datang ke rumah sakit membutuhkan
suatu penanganan atau tindakan awal yang cepat serta dibutuhkan
keterampilan seseorang dokter.
Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi,
teknik reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera serta
pemahaman tentang pembacaan radiologi, membuat dan
menginterpretasikan suatu hasil radiologi yang dibutuhkan dalam
penanganan terhadap kasus emergensi ortopedi.
Beberapa emergensi ortopedi dalam lingkup dunia kedokteran yang
menjadi prioritas dan penanganan khusus, yaitu : open fracture, dislokasi,
fraktur pelvic yang tidak stabil, osteomyelitis akut, compartement syndrome,
fraktur dengan cidera vaskuler, traumatik amputasi, dan fat embolism
syndrome

84
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Orthopaedic Surgeons. Elbow Dislocation.
Available at: http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00029. Accessed
on: October 5th 2018.
2. Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS
Sukarela PMI UNPAD.
xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10
Desember 2012)
3. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, ed 3. Jakarta: PT. Yarsif
Watampone, 2007.
4. Gammon Matthew. Hip Dislocation. Medscape. 2014. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/86930-overview. Accessed on:
October 5th 2018.
5. Georgopoulos D, Bouros D. 2010. Fat embolism syndrome clinical
examination is still the preferable diagnostic method. Chest.
2010;123:982–3.
6. Guthrie HC, Owens R, Bircher MD, 2010. Focus On Pelvic Fractures.
The journal of bone and joint
surgery.http://www.jbjs.org.uk/media/29777/focuson_pelvic.pdf (3
oktober 2018)
7. Jawed M, Naseem M. 2008. An update on fat embolism syndrome. Pak J
Med Sci. 2005;21:2–6.
8. John L Brusch. 2011. Septic Arthritis.
http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment#showall
Diakses tanggal 3 Oktober 2018.
9. Moira Davenport. Spine serviks Fraktur di Pengobatan Darurat.2008.
http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview#showall Diakses
tanggal 3 Oktober 2018
10. Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity.
http://www.emedicine.com tanggal 3 Oktober 2018

85
11. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif
Watampone. Makassar: 2007. pp. 352-489
12. Ross JJ, ShamsuddinH. Sternoclavicular septic arthritis: review of 180cas
es. Medicine (Baltimore, May 2004;83(3):139-48
13. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.
Principles of Surgery. United States of America : McGraw-Hill
companies; 2010.
14. Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan &
Manajemen. http://emedicine.medscape.com/article/462752-
workup#showall Diakses tanggal 3 Oktober 2018.
15. Shaikh, Nissar. 2009. Emergency management of fat embolism syndrome.
J Emerg Trauma Shock. 2009 Jan-Apr; 2(1): 29–33. doi: 10.4103/0974-
2700.44680
16. Thomas M Schaller. 2012. Open fracture.
http://emedicine.medscape.com/article/1269242-overview#showall
Diakses tanggal 3 Oktober 2018.
17. Yuliasih.2009.ArtritisSeptik.http://penelitian.unair.ac.id/artikel/879a2933
90a8508635485ed7e5b2e45f_Unair.pdf (10 tanggal 3 Oktober 2018

86

Anda mungkin juga menyukai