Anda di halaman 1dari 49

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang mengambil topik
“Kehamilan Ektopik Terganggu.” Kehamilan ektopik terganggu merupakan salah satu
kasus di bidang obstetri dan ginekologi, dipandang perlu untuk mendapatkan perhatian
yang serius, karena jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat akan dapat
mengakibatkan efek yang fatal bagi penderitanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya
Bagian Obstetri dan Ginekologi.

Buleleng, Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
DAFTAR BAGAN..................................................................................................... vi
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1 Definisi ............................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 4
2.3 Etiologi ............................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi ........................................................................................ 8
2.5 Patologi ............................................................................................... 10
2.6 Gambaran Klinis ................................................................................. 10
2.7 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 15
2.8 Diagnosis ............................................................................................ 23
2.9 Diagnosis Banding .............................................................................. 24
2.10 Penatalaksanaan .................................................................................. 25
2.11 Komplikasi .......................................................................................... 30
2.12 Prognosis ............................................................................................. 31
BAB. 3. LAPORAN KASUS................................................................................... 32
3.1. Identitas ...................................................................................................... 32
3.2. Anamneis .................................................................................................... 32
3.3. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................... 33
3.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 34
3.5. Diagnosis Banding...................................................................................... 35
3.6. Diagnosis Kerja .......................................................................................... 35
3.7. Penatalaksanaan ......................................................................................... 35
3.8. Follow Up .................................................................................................. 36
BAB. 4. PEMBAHASAN ......................................................................................... 38
4.1. Diagnosis .................................................................................................... 38
4.2. Diagnosis Banding ..................................................................................... 42
4.3. Penatalaksanaan ......................................................................................... 42
4.4. Komplikasi ................................................................................................. 43
4.5. Prognosis .................................................................................................... 43
BAB. 5. RINGKASAN ............................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 45
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita ........................................................ 3


Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik ...................................................................... 4
Gambar 3. Kehamilan Ektopik ................................................................................. 6
Gambar 4. Kehamilan Ektopik Tuba ........................................................................ 9
Gambar 5. Ruptur Tuba pada Kehamilan Ektopik .................................................... 10
Gambar 6. Gambar USG Kehamilan Ektopik............................................................ 19
DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar Progesteron


Serum dan β-HCG..................................................................................... 23
Bagan 2. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai


dengan gejala akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat yang bila
lambat ditangani akan berakibat fatal bagi penderita. Kehamilan ektopik terganggu
merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama.
Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET dijumpai terlebih dahulu
bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan dokter-dokter yang bekerja di unit
gawat darurat, sehingga entitas ini perlu diketahui oleh setiap dokter.
Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik
yang canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun
demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
obstetri. Perkembangan teknologi fertilitas dan kontrasepsi memang di satu sisi
menyelesaikan masalah infertilitas maupun KB, namun di sisi lain menciptakan masalah
baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi sebagai akibat usaha fertilisasi in vitro pada
seorang ibu, dan kehamilan ektopik tersebut dapat menurunkan kesempatan pasangan
infertil yang bersangkutan untuk mendapatkan anak pada usaha berikutnya. Masalah
yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak semua pusat kesehatan di negara ini
mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam menghadapi pasien yang datang dengan
keluhan maupun tanda KET, tidak semua dokter, terutama primary-care physician,
segera memikirkan KET sebagai salah satu diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan
keterlambatan diagnosis dan terapi yang adekuat.
Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi masalah tersendiri, karena
seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi bila tidak ada
fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai daerah rural di
Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat
ditingkatkan.
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di
Indonesia, laporan dari rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka kejadian
kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153 diantara 4007 persalinan atau 1 diantara
26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi kehamilan ektopik dilaporkan antara 1:28
sampai 1:329 tiap kehamilan. Saat ini lebih dari 1 dalam 1000 kehamilan di Amerika
adalah kehamilan ektopik. Resiko kematian akibat akibat kematian di luar rahim 10 kali
lebih besar daripada persalinan pervaginam dan 50 kali lebih besar daripada abortus
induksi.
Gambaran klinis KET ditandai oleh trias klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan
perdarahan pervaginam. Namun kadang-kadang gambaran klinis KET tidak khas,
sehingga menyulitkan diagnosa. Yang perlu diingat adalah bahwa setiap wanita dalam
masa reproduksi dengan keluhan telat haid yang disertai dengan nyeri perut bagian
bawah perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya KET.
Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, penderita KET telah dapat ditangani secara
adekuat, sehingga mengurangi angka kematian karena komplikasi penyakit tersebut. Hal
yang harus diingat ialah KET bisa dihadapi baik oleh dokter umum maupun dokter
spesialis, sehingga setiap dokter umum harus dapat mengenali tanda-tanda KET,
sehingga penderita dapat segera tertangani.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar lokasi normal endometrium.
Blastokis normalnya akan berimplantasi pada endometrium kavum uteri. Bila blastokis
tidak berimplantasi pada tempat tersebut, maka disebut kehamilan ektopik. Kehamilan
Ektopik tergangu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai dengan gejala akut
abdomen, dengan trias gambaran klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut dan
perdarahan pervaginam. Implantasi hasil konsepsi dapat terjadi pada tuba fallopii,
ovarium, dan kavum abdomen atau pada uterus namun dengan posisi yang abnormal
(kornu, serviks).2,3 Kehamilan ekstrauterin tidak bersinonim dengan kehamilan ektopik
karena kehamilan pada pars intersitialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk
dalam uterus, tetapi jelas kehamilan ektopik. Kira-kira 95% kasus kehamilan ektopik
terjadi pada tuba falopii dan kehamilan ini disebut sebagai kehamilan tuba. Kehamilan
tuba tidaklah sinonim untuk kehamilan ektopik melainkan lebih merupakan tipe
kehamilan ektopik yang paling sering dijumpai.3,4

Gambar 1. Anatomi Organ Reproduksi Wanita

Bentuk-bentuk kehamilan ektopik yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri,


kehamilan interstisial tuba, kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan
abdominal, kehamilan uterus rudimenter dan kehamilan ektopik rudimenter.1,5
Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi pada tuba fallopi, di pars ampularis 80%,
pars ismika 12%, fimbriae 5%, dan kornual 2%. Sangat jarang terjadi implantasi pada
ovarium (0,2%), rongga perut (1,4%), kanalis servikalis uteri (0,2%), kornu uterus yang
rudimenter dan divertikel pada uterus.3,6 Terbatasnya kemampuan tuba fallopi untuk
mengembang menyebabkan kehamilan ektopik mengalami ruptur tuba sehingga dapat
timbul perdarahan ke dalam kavum abdomen, keadaan ini biasa dikenal dengan
kehamilan ektopik terganggu.1

Gambar 2. Lokasi Kehamilan Ektopik

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Angka
kejadian kehamilan ektopik per 1000 kehamilan yang dilaporkan di Amerika Serikat
meningkat empat kali lipat dari tahun 1970 sampai tahun 1992. Pada tahun 1992 di
Amerika Serikat angka kejadian kehamilan ektopik hampir 2% dari seluruh kehamilan.
Yang penting, kehamilan ektopik menyebabkan 10% kematian yang berhubungan
dengan kehamilan. Sedangkan di Indonesia, laporan dari Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, angka kejadian kehamilan ektopik pada tahun 1987 ialah 153
diantara 4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Di Amerika Serikat, sebagian
besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 35-44 tahun dimana
wanita kulit hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih tinggi untuk mengalami kehamilan
ektopik dibandingkan wanita kulit putih. Di Indonesia berdasarkan penelitian kehamilan
ektopik di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo selama 3 tahun (1 Januari 1997- 31
Desember 1999) wanita yang mengalami kehamilan ektopik terbanyak pada usia 26-30
tahun yaitu 44,59 %. Sedangkan resiko untuk mengalami kehamilan ektopik yang
berulang dikatakan 7-13 kali lebih besar atau sekitar 10-25% dibandingkan wanita yang
tidak pernah mengalami kehamilan ektopik.
2.3 Etiologi
Kehamilan ektopik telah banyak diselidiki untuk mengetahui penyebabnya. Berdasarkan
Meta analisis dari 233 artikel dari tahun 1978 sampai 1994, Ankum dkk melaporkan
wanita yang mempunyai risiko paling besar untuk mengalami kehamilan ektopik adalah
wanita yang memiliki riwayat operasi pada tuba sebelumnya, riwayat kehamilan ektopik
sebelumnya, adanya riwayat kelainan pada tuba, dan uterus yang terpapar
diethylstilbestrol. Sedangkan wanita yang memiliki risiko yang sedang untuk mengalami
kehamilan ektopik adalah wanita dengan riwayat infeksi saluran genital, dan berganti-
ganti pasangan seksual. Dan risiko rendah pada wanita yang merokok, dan riwayat
koitus pada usia muda. Penyebab yang paling sering adalah salpingitis yang terjadi
sebelumnya akibat penyakit menular seksual seperti infeksi gonokokal, klamidia, atau
salpingitis yang mengikuti abortus septik dan sepsis puerperium.5
Aktivitas mioelektrik bertanggung jawab terhadap aktivitas dalam tuba fallopi. Aktivitas
ini membantu pergerakan sperma dan ovum agar saling bertemu dan membantu zigot
menuju ke kavum uteri. Estrogen akan meningkatkan aktivitas otot polpasiendan
progesteron menurunkan aktivitas tersebut. Proses penuaan menyebabkan hilangnya
aktivitas mioelektrik tuba fallopi secara progresif, sehingga bisa dijelaskan terjadinya
peningkatan insiden kehamilan tuba pada wanita perimenopause. Adanya kontrol
hormonal pada aktivitas otot tuba falopii mungkin menjelaskan peningkatan insiden
kehamilan ektopik yang berhubungan dengan penggunaan mini pil, IUD, dan induksi
ovulasi. 8
Sekitar 2 % hingga 8 % konsepsi IVF (Invitro Fertilization) adalah daerah tuba. Faktor
predisposisi masih tidak jelas, mungkin karena penempatan embrio pada kavum uterus
terlalu diatas, refluks cairan ke dalam tuba, dan faktor kelainan tuba lainnya yang
mencegah refluks embrio kembali ke dalam kavum uterus.8
The Society of Assisted Reproductive Tecnology (1993) melalui the National IVF
Registry, melaporkan insiden kehamilan ektopik per kehamilan klinis adalah 5,5 %
untuk IVF, 2,9 % untuk Gamete Intrafallopian Transfer, dan 4,5 % untuk Zygote
Intrafallopian Transfer pada tahun 1991. 4
Gambar.3 Kehamilan Ektopik

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kehamilan ektopik 4,6,8:


A. Faktor-faktor mekanis yang mencegah atau menghambat perjalanan ovum yang
telah dibuahi ke kavum uteri.
1. Salpingitis, khususnya endosalpingitis, yang menyebabkan aglutinasi lipatan
arboresen mukosa tuba dengan penyempitan lumen atau pembentukan
kantong-kantong buntu. Berkurangnya siliasi mukosa tuba akibat infeksi
dapat turut menyebabkan implantasi zigot dalam tuba fallopi. Pada laporan
klasik Westrom, wanita dengan riwayat salpingitis (yang dikonfirmasi
dengan laparoskopi) mempunyai risiko 4 kali lipat untuk menderita
kehamilan ektopik. Bukti infeksi Klamidia (antibodi dalam sirkulasi)
berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko kehamilan ektopik.
2. Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas,
apendisitis ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba dan
penyempitan lumennya.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikulum, ostium assesorius dan
hipoplasia. Kelainan semacam ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya, dan sesudah sekali mengalami kehamilan
ektopik, insiden kehamilan ektopik berikutnya akan menjadi 7 hingga 15
persen. Meningkatnya risiko ini kemungkinan disebabkan oleh salpingitis
yang terjadi sebelumnya.
5. Pembedahan sebelumnya pada tuba, entah dilakukan untuk memperbaiki
patensi tuba atau kadang-kadang dilakukan pada kegagalan sterilisasi.
Wanita yang pernah mengalami pembedahan tuba mempunyai risiko
kehamilan ektopik yang lebih tinggi. Wanita dengan kehamilan ektopik yang
dilakukan pembedahan konservatif mempunyai risiko 10 kali lipat untuk
mengalami kehamilan ektopik berikutnya.
6. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar risiko
terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah satu kali
menjalani abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat setelah
menjalani abortus induksi sebanyak dua kali atau lebih, kenaikan risiko ini
kemungkinan akibat peningkatan insiden salpingitis.
7. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya
benjolan pada adneksa.
8. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir ini
telah meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat bahwa
penggunaan IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan risiko
kehamilan ektopik dan malahan merupakan proteksi terhadap kehamilan.
Studi yang lebih besar yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa
pengguna IUD memiliki risiko kurang dari 50 % untuk mengalami
kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak menggunakan
kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil maka kehamilannya
kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik. Sekitar 3-4 % kehamilan
pada pemakai IUD adalah ektopik.

B. Faktor-faktor fungsional yang memperlambat perjalanan ovum yang telah


dibuahi ke dalam kavum uteri
1. Migrasi eksternal ovum mungkin bukan faktor yang penting kecuali pada
kasus-kasus perkembangan duktus mulleri yang abnormal, sehingga terjadi
hemiuterus dengan kornu uterina rudimenter dan tidak berhubungan. Risiko
terjadinya kehamilan ektopik dapat pula sedikit meningkat pada wanita
dengan satu oviduk kalau saja dia mengalami ovulasi dari ovarium sisi
kontra lateralnya. Kelambatan pengangkutan ovum yang telah dibuahi lewat
saluran tuba atau oviduk akibat migrasi eksternal akan meningkatkan sifat-
sifat invasif blastokis sementara masih berada di dalam oviduk. Peristiwa ini
mungkin bukan faktor yang penting dalam proses terjadinya kehamilan
ektopik pada manusia.
2. Refluks menstrual pernah dikemukakan sebagai penyebab terjadinya
kehamilan ektopik. Kelambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan
menstruasi pada waktu sebagaimana biasanya, secara teoritis dapat
mencegah masuknya ovum ke dalam uterus atau menyebabkan ovum
tersebut berbalik ke dalam tuba. Bukti yang mendukung fenomena ini tidak
banyak.
3. Berubahnya motilitas tuba dapat terjadi mengikuti perubahan pada kadar
estrogen dan progesteron dalam serum. Perubahan jumlah dan afinitas
reseptor adrenergik dalam otot polpasienuterus serta tuba fallopi
kemungkinan benar menjadi penyebabnya. Segi praktisnya tampak pada
peningkatan insiden kehamilan ektopik yang dilaporkan setelah penggunaan
preparat kontrasepsi oral yang hanya mengandung progestin. Juga
dilaporkan peningkatan insiden kehamilan ektopik sebesar 4 hingga 13
persen di antara para wanita yang pernah mendapatkan preparat
dietilstilbestrol (DES) intrauteri. Kejadian ini mungkin lebih disebabkan oleh
berubahnya motilitas tuba daripada oleh abnormalitas strukturnya.
C. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang telah dibuahi.
Unsur- unsur ektopik endometrium dapat meningkatkan implantasi dalam tuba.
Meskipun para pengamat pernah melaporkan adanya fokus-fokus endometriosis
dalam tuba fallopi, namun hal ini merupakan keadaan yang jarang dijumpai.

2.4 Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama dengan di
kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Pada nidasi
yang kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dipengaruhi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya
telur mati secara dini dan dengan mudah dapat diresorbsi total. Pada nidasi
interkolumner, telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi
tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai
desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak
sempurna, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam
lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan
janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor seperti tempat implantasi dan
tebalnya dinding tuba.1
Mengenai nasib kehamilan dalam tuba terdapat beberapa kemungkinan. Karena tuba
bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin bertumbuh secara
utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan terganggu pada umur kehamilan
antara 6-10 minggu.1,3

Gambar.4 Kehamilan Ektopik Tuba

Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan villi korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonem. Ruptur dapat terjadi secara spontan
namun dapat pula karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. 1 Akibat
dari ruptur ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit
namun dapat pula banyak sampai menimbulkan syok dan kematian. 3,4,5
Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba.3,4,5 Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampullaris. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Pada
pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus
berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah sehingga berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba.
Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel
retrouterina.1

Gambar.5 Ruptur Tuba pada Kehamilan Ektopik

2.5 Patologi
Dibawah pengaruh hormon estrogen daan progesteron dari korpus luteum graviditatis
dan tropoblas uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat berubah pula
menjadi desidua. Dapat ditemukan perubahan-perubahan pada endometrium yang
disebut Fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertropik,
hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-
lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan tersebut hanya
ditemukan pada sebagian kehamilan ektopik.1
Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian
dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan
yang dijumpai pada KET berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua
yang degeneratif.1

2.6 Gambaran Klinis


Kehamilan ektopik terganggu yang khas ditandai dengan trias klasik yaitu amenore,
nyeri perut mendadak serta perdarahan pervaginam.1,10 Gejala ini umumnya terdapat
hanya pada 50% pasien, dan kebanyakan pada pasien yang telah mengalami ruptur.
Nyeri pada abdomen merupakan keluhan yang paling sering. Dalam buku teks dengan
uraian mengenai kasus-kasus kehamilan tuba yang ruptur, haid yang normal digantikan
dengan perdarahan per vaginam yang agak tertunda dan biasanya disebut dengan istilah
“spotting”. Tiba-tiba wanita ini akan merasakan nyeri abdomen bawah yang hebat dan
kerapkali dijelaskan sebagai rasa nyeri yang tajam, menusuk serta seperti perasaan
terobek. Gangguan vasomotor akan terjadi yang berkisar dari gejala vertigo hingga
sinkop. Perabaan abdomen menunjukkan nyeri tekan, dan pemeriksaan pervaginam,
khususnya ketika serviksnya digerakkan, menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Forniks
posterior vagina dapat menonjol karena adanya darah dalam kavum Douglas, dan adanya
benjolan yang nyeri tekan bisa teraba pada salah satu sisi uterus. Keluhan iritasi
diafragma yang ditandai oleh rasa nyeri pada leher atau bahu khususnya saat inspirasi
mungkin terdapat pada 50% wanita dengan perdarahan intraperitoneum yang cukup
banyak. Keadaan ini disebabkan oleh darah intraperitoneal yang menimbulkan iritasi
pada saraf sensorik yang mempersarafi permukaan inferior diafragma, khususnya saat
inspirasi. Wanita tersebut dapat memperlihatkan gejala hipotensi ketika disuruh
berbaring terlentang. Pada kasus-kasus kehamilan tuba dengan gambaran klinis tersebut
diatas, diagnosis tidak sulit untuk dibuat. Meskipun demikian, gejala dan tanda
kehamilan ektopik sangat tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat pendarahan yang terjadi dan keadaan
umum penderita sebelum hamil. Hal ini menyebabkan gambaran klinis kehamilan
ektopik sangat bervariasi, dari perdarahan yang banyak dan tiba-tiba dalam rongga perut
sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosisnya.4,5,6
Adapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik terganggu yang sering dijumpai ialah
sebagai berikut 1,4,6,8,9:
1. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi
pada kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral dan bisa
terjadi baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa dirasakan sebagai
nyeri tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus menerus atau hilang timbul. Pada
ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya sangat
berat disebabkan oleh darah yang mengalir ke dalam kavum peritonei. Biasanya pada
abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula
terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri
menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat
merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk
hematokel retrouterina dapat ,menyebabkan nyeri saat defekasi.
2. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan biasanya mulai
7-14 hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak terjadi. Selama fungsi
endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan; namun
bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus
akan mengalami perdarahan. Hal ini menunjukkan sudah terjadi kematian janin dan
berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus
biasanya sedikit-sedikit, berwarna coklat tua, dan dapat terputus-putus atau terus
menerus . Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin.
Jika plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
3. Amenore
Tidak adanya riwayat terlambat haid bukan berarti kemungkinan kehamilan
tuba dapat disingkirkan. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga
dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena kematian janin
sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenore yang dikemukakan
berbagai penulis berkisar antara 23-97%. Riwayat amenore tidak ditemukan pada
seperempat kasus atau lebih. Salah satu sebabnya adalah karena pasien menganggap
perdarahan pervaginam yang lazim terjadi pada kehamilan tuba sebagai periode haid
yang normal, dan dengan demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.
Sumber kesalahan diagnostik yang penting ini dapat diatasi pada banyak kasus bila
riwayat haid ditanyakan dengan teliti. Sifat haid terakhir harus ditanyakan secara terinci
berkenaan dengan waktu mulainya, lamanya serta banyaknya haid dan dianjurkan pula
untuk menanyakan apakah pasien merasa bahwa haidnya abnormal.
4. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan hipotensi.
Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan lemah (> 110 kali/menit),
pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat (> 30 kali/menit), cemas, kesadaran
menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila perdarahan berlangsung terus dan terjadi
hipovolemia yang signifikan. Stabile dan Grudzinskas (1990) melaporkan dari 2400
wanita dengan kehamilan ektopik, hampir 1-4% dalam keadaan syok.
5. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap terjadi
pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati ukuran uterus pada
kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama janin masih dalam keadaan
hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh massa
ektopik tersebut.
6. Tumor dalam rongga panggul (massa pelvis)
Pada sekitar 20% pasien ditemukan massa lunak kenyal pada rongga
panggul. Massa ini memiliki ukuran, konsistensi, serta posisi yang bervariasi. Biasanya
massa berukuran antara 5-15 cm, teraba lunak dan elastis. Akan tetapi, dengan terjadinya
infiltrasi tuba yang luas oleh karena darah, massa dapat teraba keras. Hampir selalu
massa pelvic ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Timbulnya massa pelvis
disebabkan kumpulan darah di tuba dan sekitarnya. Keluhan nyeri dan nyeri tekan
kerapkali mendahului gejala massa yang ditemukan dengan palpasi.
7. Gangguan kencing
Kadang-kadang terdapat gejala beser kencing karena perangsangan
peritoneum oleh darah di dalam rongga perut.
8. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh bisa tetap normal atau bahkan
menurun. Suhu yang sampai 38 0C dan mungkin berhubungan dengan hemoperitonium
dapat terjadi; namun suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya
infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk membedakan antara
kehamilan tuba yang mengalami ruptur dengan salpingitis akut; pada salpingitis akut,
suhu tubuh umumnya di atas 38 0C.
9. Pada pemeriksaan dalam
Nyeri goyang porsio, menonjol dan nyeri pada perabaan dengan jari,
dijumpai pada lebih dari tiga perempat kasus kehamilan tuba yang sudah atau sedang
mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadi.
10. Hematokel pelvis
Pada banyak kasus ruptur kehamilan tuba, terdapat kerusakan dinding tuba
yang terjadi bertahap, diikuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam
lumen tuba, kavum peritoneum atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat
dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda. Namun darah yang terus merembes akan
berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya perlengketan, dan
akhirnya membentuk hematokel pelvis. Pada sebagian kasus, hematokel pelvis akhirnya
akan terserap dan pasien dapat sembuh tanpa pembedahan. Pada sebagian lainnya,
hematokel dapat ruptur ke dalam kavum peritonei atau mengalami infeksi dan
membentuk abses. Kendati demikian, peristiwa yang paling sering terjadi adalah rasa
tidak enak terus menerus akibat adanya hematokel, dan akhirnya pasien akan
memeriksakan diri ke dokter beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah
ruptur yang asli terjadi. Kasus-kasus semacam ini merupakan kasus yang tidak khas.4,5,6
Gejala KET sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak
dalam rongga perut dan ditandai adanya gejala akut abdomen sampai gejala-gejala yang
samar-samar sehingga sukar membuat diagnosa.4,5,6
a. Gambaran gangguan mendadak
Peristiwa ini jarang ditemukan. Biasanya setelah mengalami amenorea tiba-tiba
penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah perut bagian bawah dan sering
muntah-muntah. Nyeri yang hebat dapat membuat penderita pingsan, yang tak lama
kemudian akan masuk ke dalam keadaan syok akibat perdarahan. Selain itu juga
ditemukan seluruh perut agak membesar, nyeri tekan dan tanda-tanda cairan
intraperitoneal. Pada pemeriksaan vaginal ditemukan forniks posterior menonjol dan
nyeri goyang saat portio digerakkan, kadang-kadang uterus teraba sedikit membesar
disertai adanya suatu adneksa tumor di sebelahnya.
b. Gambaran gangguan tidak mendadak
Gambaran ini lebih sering ditemukan dan biasanya berhubungan dengan abortus tuba
atau yang terjadi perlahan-lahan. Setelah terlambat haid beberapa minggu, penderita
mengeluh rasa nyeri yang tidak terus menerus di perut bagian bawah. Tetapi dengan
adanya darah di dalam rongga peritoneal, rasa nyeri itu akan menetap. Tanda-tanda
anemia menjadi nyata. Mula-mula perut lembek, tetapi lama-lama dapat menggembung
karena terjadi ileus paralitik. Terdapat tumor di sebelah uterus (hematosalping) yang
kadang-kadang bersatu dengan hematokel retrouterina sehingga kavum Douglas sangat
menonjol dan nyeri raba, pergerakan serviks juga menyebabkan rasa nyeri. Penderita
juga mengeluh rasa penuh di daerah rektum dan merasa tenesmus, setelah seminggu
merasa nyeri biasanya terjadi perdarahan dari uterus dengan kadang-kadang disertai oleh
pengeluaran jaringan desidua.
c. Gambaran gangguan atipik
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis atipik atau
menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan muda tidak jelas,
demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat.
Hal ini dapat terjadi apabila perdarahan berlangsung lambat. Dalam keadaan demikian,
alat bantu diagnosis amat diperlukan untuk memastikan diagnosis.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis kehamilan
ektopik ialah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang
terganggu, karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi turunnya Hb
disebabkan karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk mempertahankan
volume darah. Hal ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi mungkin pada pemeriksaan Hb
yang pertama, kadar Hb belum seberapa turunnya, maka kesimpulan adanya perdarahan
didasarkan atas penurunan kadar Hb pada pemeriksaan kadar Hb yang berturut-turut.
Pada kasus jenis tidak mendadak, biasanya ditemukan anemia tetapi harus diingat bahwa
penurunan Hb baru terlihat setelah 24 jam 4,5,6.
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada perdarahan
sedikit demi sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda
perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan ektopik dan infeksi
pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya menunjukkan adanya
infeksi pelvic. 4,5,6
c. Tes kehamilan
Jaringan tropoblas pada kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar
yang lebih rendah daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu dibutuhkan tes
yang mempunyai tingkat sensitivitas yang lebih tinggi 2. Akan tetapi tes negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil
konsepsi dan degenerasi tropoblas menyebabkan produksi hCG menurun dan
menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul kemudian adalah bagaimana
mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang terefektif.4,8
Tes kehamilan melalui urin merupakan slide test inhibisi aglutinasi lateks yang paling
sering dikerjakan, karena memiliki kepekaan terhadap korionik gonadotropin yang
berkisar dari 500 hingga 800 mIU per mL. Kemudahan penggunaannya dan
kecepatannya diimbangi dengan persentase kemungkinan hasil positif yang besarnya
hanya sekitar 50 hingga 60 persen pada wanita dengan kehamilan ektopik. 4,8
Kadar dkk melihat bahwa pada wanita dengan kehamilan yang normal, waktu
panggandaan rata-rata untuk kadar beta-hCG serum kurang lebih 48 jam dan nilai
normal yang paling rendah adalah 66 %. Mereka menghitung angka ini dengan
mengurangkan nilai mula-mula dengan dari nilai 48 jam dan membagi hasilnya dengan
nilai mula-mula tersebut untuk kemudian dikalikan dengan seratus sehingga didapatkan
suatu presentase. Kadar dkk mengingatkan bahwa kedua pengukuran kadar beta-hCG
harus dilakukan pada waktu yang bersamaan dan bahwa hasil-hasil yang lebih dapat
diandalkan bisa di peroleh dengan interval waktu 48 jam. Mereka menyimpulkan bahwa
kegagalan untuk mempertahankan kecepatan peningkatan produksi beta-hCG ini
bersama-sama dengan uterus yang kosong merupakan bukti yang sangat subjektif kearah
kehamilan ektopik. Lebih lanjut pakar tersebut mengakui bahwa rancangan ini akan
menunda pembedahan paling tidak selama 48 jam dan bahwa hasil tes tersebut secara
keliru bisa mengidentifikasikan 15 % wanita normal sebagai kelainan ektopik dan 13 %
wanita kelainan ektopik sebagai wanita normal.6
Doubling time untuk serum beta-hCG pada kehamilan intrauterine adalah 48 jam hingga
mencapai 10.000-20.000 mIU/mL.5,11 Berdasarkan penelitian tentang doubling time,
serum level beta-hCG akan meningkat paling kurang 66 % dalam 48 jam pada 85 %
kehamilan normal. Doubling time hanya bisa digunakan pada awal kehamilan hingga
kurang dari 41 hari kehamilan. 5
2. Ultrasonografi (USG)
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG transvaginal. Diagnosis
dari kehamilan ektopik dapat dibuat 1 minggu lebih cepat dengan USG transvaginal
dibandingkan dengan USG transabdominal. Pada USG transabdominal biasanya
ditemukan kavum uteri yang tidak berisi kantong gestasi, gambaran cairan bebas serta
massa abnormal di daerah pelvis. Sedangkan pada USG transvaginal digunakan setelah
satu minggu telat haid yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar ß-hCG serum.4,8
Sebuah kantung gestasi merupakan tanda pada USG, yang berlokasi pada permukaan
endometrial dan tampak dengan USG transvaginal 30-35 hari setelah menstruasi
terakhir. Terlihat daerah sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan ekogenik
tebal, yang dibentuk oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk sac
sebagai struktur yang pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak pada 5 minggu
setelah menstruasi terakhir. Gerakan jantung janin pertama kali terlihat saat umur
kehamilan 5-6 minggu. Kegagalan untuk dapat melihat kantong gestasi sampai 24 hari
atau lebih setelah konsepsi (38 hari atau lebih) biasanya menunjukkan adanya kehamilan
ektopik.6,8
Saat beta-hCG mencapai 2000 mIU/mL, gestasional sac harus bisa dilihat didalam uterus
pada USG transvaginal, ketika sudah mencapai 6000 mIU/mL harus sudah bisa dilihat
dengan USG abdominal.11
USG transvaginal dapat membedakan kehamilan dalam uterus atau di luar antara lain
sebagai berikut :11
1. Kehamilan intrauterine (IUP) : sebuah gestational sac dengan sebuah
sonolusent center (diameter >5mm) dikelillingi oleh cincin yang tebal,
konsentris dan echogenic, terletak didalam endometrium dan
mengandung fetal pole, yolk sac, atau keduanya.
2. Kemungkinan IUP abnormal : gestational sac dengan diameter lebih besar
dari 10 mm tanpa fetal pole atau dengan fetal pole tanpa aktivitas
kardiak.
3. Kehamilan ektopik : sebuah struktur seperti cincin tebal, echogenik
terletak diluar uterus, dengan gestational sac yang mengandung fetal pole,
yolk sac atau keduanya.
USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat.
Meskipun USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa, Doppler dapat
menunjukkan bahwa massa tersebut adalah massa ektopik dengan menunjukkan adanya
aktivitas vaskular abnormal pada massa tersebut dan juga gambaran vaskular uterin yang
tenang. Perbedaan USG Doppler dan USG standar ini sangat berarti pada awal
kehamilan, dan hal ini dapat mengarah kepada pengobatan medisinalis seawal
mungkin.6,8

Gambar 6a. Gambaran USG menunjukkan Gambar 6b. Garis merah - bagian luar uterus,
kehamilan intrauterin dan kehamilan tuba hijau - uterus, kuning - kehamilan ektopik.
Cairan dalam uterus yang dilingkari warna
biru disebut dengan “pseudosac"

Gambar 6c. Gambaran detail kehamilan Gambar 6d. Kehamilan tuba dilingkari oleh
ektopik garis merah, fetal pole berukuran 4,5 mm
(diantara kursor), hijau, yolk sac-biru.

3. Kombinasi USG dengan pengukuran serum ß-hCG


Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar ß-hCG serum
1500 mIU/ml atau lebih, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dipastikan dengan
tingkat akurasi hampir 100 %.4 Kadar dkk (1981) mengemukakan empat kemungkinan
klinik berdasarkan nilai kuantitatif ß-hCG: 4
a. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan terlihat di
dalam uterus lewat pemeriksaan USG abdomen, maka diagnosis kehamilan
normal pada dasarnya bisa dipastikan.
b. Kalau nilai ß-hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak kosong,
maka kemungkinan adanya kehamilan ektopik sangat besar. Keadaan ini
jarang dijumpai dalam praktek klinik sebenarnya.
c. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan intrauteri
jelas terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi atau segera akan
terjadi. Kehamilan ektopik masih menjadi suatu kemungkinan karena derajat
ultrasonik yang ada. Diagnosis keliru mengenai kantong kehamilan dalam
uterus dapat saja dibuat kalau ada bekuan darah atau silinder desidua.
d. Kalau nilai ß-hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang
kosong, tidak ada diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan untuk
melihat kantong kehamilan di dalam uterus sering terjadi pada pemeriksaan
USG abdomen yang dikerjakan sebelum usia kehamilan 5 minggu. Sayangnya
usia kehamilan yang tepat acapkali tidak diketahui pada wanita dengan suspek
kehamilan ektopik. Pada kasus-kasus ini, wanita tersebut dapat mengalami
abortus atau bisa mempertahankan kehamilannya dan kemudian terbentuk
kantong kehamilan, atau dapat pula memperlihatkan bukti yang menunjukkan
adanya kehamilan ektopik.
4. Kuldosintesis
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada
darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis dengan tenakulum, kemudian
sebuah jarum panjang ukuran 16 atau 18 dimasukkan lewat forniks posterior vagina ke
dalam kavum Douglas dan kemudian dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya.
Jika darah yang diaspirasi kemudian membeku, darah ini mungkin berasal dari
pembuluh darah yang mengalami perforasi bukan dari kehamilan ektopik yang
mengalami perdarahan kecuali terjadi perdarahan cepat dari tempat ruptur dan darah
dapat diaspirasi dari kavum Douglas sebelum sempat membeku.
Kuldosintesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada wanita dengan
riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum Douglas kemungkinan sudah
mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk mendapatkan darah dari kavum Douglas
tidak meniadakan kemungkinan diagnosis hemoperitonium dan tentu saja bukan
merupakan bukti yang menentang adanya kehamilan ektopik dengan atau tanpa ruptur.4
5. Pada umumnya kadar serum progesterone pada pasien dengan kehamilan ektopik
lebih rendah dibandingkan kehamilan normal. Pada suatu penelitian yang melibatkan
lebih dari 5000 pasien dengan kehamilan trimester I , diketahui bahwa 70% dari
penderita dengan kehamilan normal mempunyai kadar progesterone lebih dari 25
ng/mL, dimana hanya 1,5% dari penderita kehamilan ektopik yang mempunyai kadar
progesterone serum lebih dari 25 ng/mL.
Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik pada
kehamilan ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila tidak tersedia
pemeriksaan hCG dan USG. Kadar progesterone serum yang kurang dari 5 ng/mL
mempunyai sensivitas yang tinggi adanya kehamilan yang abnormal, tetapi tidak sampai
100%. Resiko terjadinya kehamilan normal dengan kadar progesterone serum kurang
dari 5 ng/mL kira-kira 1:1500. Karena itu pengukuran progesterone serum saja tidak bisa
dipergunakan untuk menegakkan diagnosa.
6. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang
menandakan adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian besar kasus,
kuretase sangat menolong jika serum progesteron kurang dari 5 ng/mL dan titer HCG
yang tidak meningkat dan kurang dari 1000 IU/L. Kuretase dan pemeriksaan hasilnya
dapat digunakan untuk mencegah laparoskopi yang tidak perlu pada pasien yang
mengalami keguguran. Dengan melarutkan hasil kuretase pada larutan salin, biasanya
menunjukkan adanya vili, tetapi tidak selalu. Hasil kuretase dalam larutan salin dapat
mengalami kesalahan sebesar 6,6 % dari pasien yang mengalami kehamilan ektopik dan
kesalahan sebesar 11,3 % pada pasien dengan kehamilan intrauterine. Karena
ketidakakuratan ini, pemeriksaan patologi dan pemantauan titer HCG sangat diperlukan
untuk konfirmasi.4,6,8
7. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit pada organ
pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Sistem optis dan elektronik yang disempurnakan
telah mengatasi sebagian besar keberatan yang timbul dalam upaya untuk menggunakan
sonde transabdominal intraperitoneal yang dilengkapi dengan cahaya untuk melihat
organ-organ dalam panggul. Meskipun demikian, laparoskopi yang aman dan berhasil
memerlukan peralatan yang sempurna, operator yang berpengalaman, ruang operasi dan
biasanya tindakan anestesi seperti pada pembedahan. Inspeksi lengkap rongga panggul
mungkin tidak dapat dilakukan bila terdapat inflamasi pelvik atau perdarahan yang baru
atau sudah lama terjadi. Kadang-kadang, pengenalan kehamilan tuba dini tanpa
terjadinya ruptur sulit dilakukan dengan laparoskopi, meskipun tuba bisa dilihat
seluruhnya.4,8 Laparoskopi merupakan diagnosis definitif pada kebanyakan kasus. Selain
itu laparoskopi operatif juga digunakan sebagai jalan untuk memindahkan massa ektopik
dan sekaligus sebagai saluran untuk menyuntikkan kemoterapi 4.
8. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian akibat
kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh lebih tragis
daripada pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang berkaitan dengan
pembedahan yang terbatas pada insisi suprapubik yang dilakukan secara hati-hati dan
diperbaiki kembali, adalah sangat kecil. Di samping itu, diagnosis sering dipermudah
dengan inspeksi langsung dan palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi.
Hal yang mengesankan adalah bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun dilakukan
laparoskopi pada wanita dengan kelainan serius dalam panggul atau abdomen yang
memerlukan tindakan pasti dan segera.4,8 Laparotomi dikerjakan bila penderita secara
hemodinamik tidak stabil, dan membutuhkan terapi definitif secepatnya 4.

Bagan 1. Algoritma Diagnosis Kehamilan Ektopik Berdasarkan Kadar Progesteron Serum dan ß-Hcg

2.8 Diagnosis
Diagnosis KET ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang1-8
1. Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan trias KET klasik yaitu: amenorea, nyeri perut yang
biasanya bersifat unilateral serta perdarahan pervaginam. Gejala tak spesifik lainnya
seperti perasaan enek, muntah dan rasa tegang pada payudara serta kadang-kadang
gangguan defekasi.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda syok : tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat
dan lemah (> 110 kali permenit), pucat, berkeringat dingin, kulit yang lembab,
nafas cepat (> 30 kali permenit), cemas, kesadaran berkurang atau tidak sadar.
b. Gejala akut abdomen : perut tegang pada bagian bawah, nyeri tekan, nyeri
ketok dan nyeri lepas dari dinding perut.
c. Pemeriksaan ginekologi: biasanya didapatkan servik teraba lunak, nyeri tekan
dan nyeri goyang, korpus uteri normal atau sedikit membesar, kadang-kadang
sulit diketahui karena nyeri abdomen yang hebat, kavum Douglas menonjol
oleh karena terisi darah.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb, jumlah sel darah merah dan leukosit, tes kehamilan
b. USG
c. Kombinasi USG dengan pemeriksaan kuantitatif ß-hCG
d. Kuldosintesis
e. Kadar progesteron
f. Kuretase uterus
g. Laparoskopi
h. Laparotomi

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kehamilan ektopik terganggu ialah infeksi pelvis, abortus iminens,
kista folikel, korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai, serta
apendisitis. Penyakit-penyakit ini dapat memberikan gambaran klinis yang hampir sama
dengan KET. Perbedaan dari masing-masing penyakit tersebut adalah sebagai
berikut:4,5,6,7,8,10
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah
amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan tahanan yang dapat diraba pada
pemeriksaan vagina, yang pada umumnya bilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
perbedaan suhu rektal dan aksila melebihi 0,5 0C, sedangkan pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis yang lebih tinggi daripada KET serta tes kehamilan
negatif.
2. Abortus iminens atau insipiens
Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih banyak dan lebih
merah sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul berlokasi di daerah median.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik tidak dapat diraba tahanan di samping atau di
belakang uterus serta gerakan servik uteri tidak menimbulkan nyeri.

3. Ruptur korpus luteum


Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai perdarahan pervaginam,
serta tes kehamilan (-).
4. Torsi kista ovarium dan apendisitis
Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan perdarahan
pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih bulat daripada kehamilan
ektopik. Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan serviks kurang
nyata, serta lokasi nyeri perutnya di titik McBurney.

2.10 Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah 1,2,4,5,6,8:
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan
hipovolemia.
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan
tuba dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu. Pada
kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada
kehamilan abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat
sebaiknya diangkat saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak
dilahirkan dan tali pusat dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan
dinding perut ditutup.

Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi untuk


mengangkat tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan atau tanpa
ooforektomi ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap terletak dalam
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini, penanganan terhadap kehamilan
ektopik telah berubah dari salpingektomi menjadi prosedur untuk mempertahankan
fungsi tuba. Pembedahan yang dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan
kemudian diikuti dengan uraian mengenai teknik pembedahan yang lebih baru untuk
mempertahankan kelangsungan fungsi tuba fallopi.4,5,6,8,11
1. Salpingektomi
Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi berbentuk
baji yang tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars interstisialis tuba (tindakan ini
dinamakan reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kehamilan dalam
puntung tuba (jarang dijumpai) tanpa melemahkan miometrium di tempat eksisi tersebut.
Harus dihindari reseksi yang terlampau luas agar tidak mengenai kavum uteri; kalau
tidak, cacat yang ditimbulkan oleh reseksi akan menimbulkan ruptura uteri pada
kehamilan intrauteri berikutnya. Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan
interstisial selanjutnya tidak dapat dicegah.
2. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi pernah
dianjurkan sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki kesuburan penderita
maupun menurunkan kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik berikutnya. Dengan
demikian, ovulasi selalu akan terjadi dari ovarium yang paling dekat pada tuba fallopi
yang masih tertinggal. Keadaan ini mempermudah pengambilan ovum oleh tuba dan
menghindari kemungkinan terjadinya migrasi eksterna ovum serta kehamilan ektopik
yang bisa timbul akibat telur yang peripatetik tersebut.
3. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan kehamilan
ektopik, ibu harus ditanya dahulu apakah ia menginginkan kehamilan selanjutnya. Jika
wanita tersebut sudah tidak ingin mempunyai anak lagi dan kehamilan ektopik yang
terjadi merupakan akibat tindakan kontrasepsi yang gagal, keputusan yang diambil
dokter biasanya ke arah tindakan sterilisasi. Jika diputuskan demikian, dan keadaan
pasien baik, dokter dapat mempertimbangkan histerektomi. Kalau tidak, tubektomi
biasanya dapat dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan risiko. Sebaliknya, semua
organ ini perlu diselamatkan sedapat mungkin pada wanita yang masih ingin hamil lagi,
sekalipun risiko kehamilan ektopik yang akan dihadapinya pada kehamilan berikutnya
cukup besar.
4. Menyelamatkan tuba fallopi
Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan setelah
kehamilan tuba yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk mengangkat tuba
harus dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan prosedur pembedahan yang
lebih mutakhir untuk mempertahankan tuba yang rusak akan memberikan hasil akhir
yang lebih baik lagi dalam kehamilan berikutnya. Beberapa tindakan bedah rekonstruksi
tuba dibahas dibawah ini:
a. Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan
panjang yang biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam sepertiga distal tuba fallopi.
Suatu insisi linier sepanjang 2 cm atau kurang dilakukan pada batas antimesenterik di
dekat kehamilan ektopik. Implantasi ektopik ini biasanya akan menonjol keluar dari
lubang insisi sehingga dapat dikeluarkan dengan hati-hati. Tempat perdarahan
dikendalikan dengan elektrokauter atau laser, dan luka insisi dibiarkan tanpa penjahitan
sampai sembuh sendiri.
b. Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba fallopi
langsung di daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan forseps atau
diisap dengan hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi dengan larutan ringer laktat
(jangan memakai larutan salin isotonik), sehingga tempat perdarahan dapat dikenali dan
dikendalikan seperti dijelaskan di atas. Penutupan luka yang paling dianjurkan dilakukan
dengan jahitan satu lapis memakai benang vicryl 7-0 yang dipasang satu persatu.
c. Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk kehamilan ektopik yang mengalami ruptur
dalam bagian isthmus tuba, mengingat salpingotomi atau salpingostomi kemungkinan
akan menimbulkan jaringan parut dan selanjutnya penyempitan lumen tuba yang kecil
ini. Setelah segmen tuba terlihat, mesosalping di bawah tuba diinsisi, dan bagian isthmus
tuba yang berisikan implantasi ektopik tersebut direseksi. Mesosalping lalu dijahit dan
dengan demikian merapatkan kembali kedua puntung tuba. Segmen tuba tersebut
kemudian dianastomosiskan satu sama lain secara berlapis dengan benang vicryl 7-0
yang dijahit satu per satu (jahitan terputus); penjahitan ini sebaiknya dilakukan dengan
pembesaran. Tiga jahitan dibuat pada tunika muskularis dan tiga lagi pada tunika serosa
yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengenai lumen tuba. Penjahitan lapisan
serosa akan menambah kekuatan pada lapisan pertama.
d. Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal diusahakan untuk
mengosongkan hasil konsepsi dengan cara ”mengurut” atau “mengisap” implantasi
ektopik tersebut dari dalam lumen tuba. Tindakan ini tidak dianjurkan karena akan
disertai dengan angka kehamilan ektopik rekuren yang besarnya dua kali lipat bila
dibandingkan dengan salpingotomi. Pada tindakan ini juga terdapat angka pembedahan
reeksplorasi yang tinggi untuk mengatasi perdarahan rekuren akibat jaringan trofoblastik
persisten.
KEHAMILAN EKTOPIK
KEHAMILAN EKTOPIK

Tidak terganggu Terganggu


Tidak terganggu Terganggu
(Observasi KE) (Curiga KET)
(Observasi KE) (Curiga KET)

MRS, Rapid Test, USG Transvaginal Akut (KET) Kronik


MRS, Rapid Test, USG Transvaginal Akut (KET) Kronik
Obs 24 jam T/N/R/Keluhan/Hb (Hemato cele)
Obs 24 jam T/N/R/Keluhan/Hb Douglas Punctie (Hemato cele)
Douglas Punctie
(KP)
(KP)
GS (+)
GS (+)
Intra Uteri
Intra Uteri

GS (-) / GS (+)
GS (-) / GS (+)
PPT (-)
PPT (-) Extra Uteri
Extra Uteri
GS (-) /
GS (-) /
PPT (+)
PPT (+)

Laparotomi/Proof
Bukan KE Laparotomi/Proof
Bukan KE
Laparotomi
Laparotomi

Bagan 2. Diagnosis dan Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik

Methotrexate sistemik
Methotreate (MTX) adalah analog asam folat yang banyak digunakan pada pengobatan
terhadap penyakit neoplasma, psoriasis berat, dan arthritis rematoid pada orang dewasa.
MTX secara kompetitif mengikat enzim dihidrofolic acid reduktase, sebuah enzim yang
mengubah dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (bentuk aktif). Tetrahisdrofolat berfungsi
untuk transport 1 grup karbon selama sintetis nukleotid purin dan thymidilate. Tanpa
tetrahidrofolat sintetis DNA dan perbaikannya, dan replikasi seluler mengalami
gangguan. Proliferasi sel yang aktif seperti pada sel ganas, sel pada sumsum tulang, sel
fetal, demikian juga pada sel mukosa mulut, usus, dan kandung kencing adalah yang
paling sensitive terhadap efek dari MTX.5
Perdarahan aktif intraabdomen adalah kontraindikasi kemoterapi. Ukuran dari masa
ektopik juga penting, Pisarska dkk (1998) merekomendasi MTX untuk tidak digunakan
jika kehamilan lebih dari 4 cm. Kesuksesan terbaik jika kehamilan kurang dari 6
minggu, diameter massa tuba tidak lebih dari 3,5 cm, fetus telah mati, dan beta-hCG
tidak lebih dari 15.000 mIU/mL (Lipscomb and colleagues, 1999a, Stoval, 1995).
Menurut American College of Obstetrician and Gynecologists (1998), kontraindikasi
termasuk menyusui, imunodefisiensi, alcohol, penyakit hati dan ginjal, penyakit paru
aktif, dan ulkus peptikum.4
Pasien yang dapat diterapi dengan MTX harus stabil secara hemodinamik, yaitu sesuai
dengan hal-hal berikut :4
1. Terapi medis gagal pada 5-10 % kasus, dan lebih sering terjadi pada
kehamilan lebih dari 6 minggu atau massa tuba lebih dari 4 cm.
2. Kegagalan terapi medis memerlukan terapi lebih lanjut, baik secara medis atau
pembedahan.
3. Pada pasien rawat jalan, transportasi yang cepat harus tersedia.
4. Tanda dan gejala rupture tuba seperti perdarahan vagina, nyeri abdomen dan
pleura, lemah, pusing, atau sinkop harus dilaporkan dengan cermat.
5. Hingga kehamilan ektopik sembuh, tidak diperbolehkan melakukan hubungan
seksual, minum alcohol, atau mengkonsumsi asam folat, termasuk vitamin
prenatal.

Dosis MTX :4
1. Dosis tunggal : MTX 50 mg/m2 IM. Hitung kadar beta-hCG pada hari ke 4
dan 7
 Bila penurunan > 15 %, diulang tiap minggu hingga tidak terdeteksi.
 Bila penurunan < 15 %, ulangi pemberian MTX dan hitung sebagai hari
pertama.
 Jika aktivitas jantung masih ada pada hari 7, ulangi pemberian MTX dan
hitung sebagai hari pertama.
 Pembedahan bila kadar beta-hCG tidak turun atau aktivitas jantung
persisten setelah 3 dosis MTX.
2. Dosis variable :
 MTX 1 mg/kgBB IM, hari 1, 3, 5, 7
 Leukovorin 0,1 mg/KgBB IM, hari 2, 4, 6, 8
Injeksi yang kontinyu diberikan hingga kadar beta-hCG berkurang 15 % dalam 48 jam,
atau 4 dosis MTX diberikan, kemudian perminggu hingga beta-hCG tidak terdeteksi.

Kool dan Kock (1992) mempelajari 16 penelitian yang melaporkan tentang efek
samping. Semua gejala hilang dalam 3-4 hari setelah MTX dihentikan. Efek samping
yang paling sering adalah gangguan hati (12 %), stomatitis (6 %) dan gastroenteritis (1
%). Seorang wanita mengalami depresi sumsum tulang. Laporan kasus juga
menggambarkan netropenia dan demam yang mengancam jiwa, pneumonitis akibat
induce obat, dan alopesia (Buster dan Pisarska, 1999).4
Setelah linear salfingostomi, kadar beta hCG menurun hingga masa resolusi 20 hari.
Pada kasus langka, setelah dosis tunggal MTX, kadar serum beta hCG meningkat pada 4
hari pertama, kemudian menurun secara bertahap, dengan waktu resolusi 27 hari.
Lipscomb dkk (1998) mengobati 287 wanita dengan MTX dengan kesembuhan rata-rata,
yaitu level beta hCG kurang dari 15 mIU/mL, adalah 34 hari. Waktu terlama adalah 109
hari. 4

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh kehamilan ektopik terganggu antara lain berupa
1,4,5,6,8,10
syok yang irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus . Komplikasi yang lain
berupa jaringan trofoblastik persisten dan kehamilan ektopik persisten . Namun kedua
hal tersebut biasanya terjadi pada kehamilan ektopik yang belum pecah dan menjalani
terapi bedah konservatif (salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan yang ketat
pasca terapi.4,5,6,8
Risiko kehamilan ektopik persisten dengan pembedahan konservatif melalui
laparotomi sebesar 5 %. Laparoskopi salpingostomi dihubungkan dengan tingginya
angka jaringan tropoblas persisten; kira-kira 15 % pasien memerlukan pengobatan
lanjutan. Risiko jaringan trofoblastik persisten sangat bermakna dengan hematosalping
berdiameter lebih besar dari 6 cm, titer HCG lebih besar dari 20.000 IU/L dan
hemoperitonium lebih dari 2000 ml. Meskipun reoperasi merupakan pengobatan pilihan,
tetapi methotrexate lebih disukai. Pengobatan profilaksis dapat diberikan dengan
memberikan dosis multipel methotrexate (1 mg/kg) atau dosis tunggal methotrexate (15
mg/m2) dapat diberikan setelah diagnosis ditegakkan.4,6,8

2.12 Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini
dan persediaan darah yang cukup. Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan
kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami
kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain.
Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka
kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0 – 14,6%. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup,
sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis.4,5,6,8
Setelah mengalami kehamilan ektopik, kemungkinan untuk mengandung dan melahirkan
anak sebesar 85% pada kehamilan berikutnya. Setelah 2 kali mengalami kehamilan
ektopik, risiko kehamilan ektopik berikutnya meningkat menjadi 10 kali lipat, dan harus
dipertimbangkan dalam memberikan IVF.6
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS
Nama : Nyoman Ratni
Umur : 25 tahun
Alamat : Br. Dinas Benben Sambirenteng Tejakula Buleleng
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Swasta
MRS : 4 Desember 2017 pukul 13.40

3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut.
Pasien rujukan dari klinik Puri Asih dengan keluhan nyeri perut sejak 2 hari yang
lalu memberat 4 jam SMRS. Nyeri dirasakan di seluruh perut bagian bawah,
mendadak, dirasakan seperti tertusuk dan terjadi terus menerus hingga
pasienmasuk rumah sakit. Nyeri tidak menghilang meskipun pasienmengganti
posisi tubuhnya dan mengakibatkan pasientidak dapat berjalan. Keluhan nyeri
seperti ini belum pernah dirasakan sebelumnya oleh os. Pasienjuga mengeluh
keluar flek-flek darah lewat kemaluannya sejak pagi hari (4 desember 2017),
sedikit-sedikit, berwarna kecoklatan, dan keluar terus menerus. Pasienjuga
mengeluh merasa sangat lemas sejak kemarin malam hingga pasientidak dapat
beraktivitas seperti biasa. Kepala dirasakan sedikit pusing dan pandangan kadang-
kadang berkunang-kunang. Keluhan mual-mual ringan tanpa disertai muntah juga
dirasakan oleh pasiensejak awal kehamilannya, keluhan ini terutama dirasakan di
pagi hari. Tidak ada keluhan BAK dan BAB. Riwayat pingsan, panas badan
disangkal oleh os.
HPHT : 20 – 11 – 2017
TP : 27– 3 – 2018
Riwayat Menstruasi : Menarche : 14 tahun
Siklus haid : 28 hari
Lama : 5 hari
ANC : Bidan, USG (-)
PPT (+) : 30 – 11 - 2012
Riwayat kehamilan : 1. ini
Riwayat kontrasepsi : -
Riwayat pernikahan : 1 kali, selama 2 tahun
Riwayat penyakit sebelumnya :
 Hipertensi sebelumnya (-)
 Diabetes mellitus (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Asma (-)
 Riwayat keputihan (-)
Riwayat operasi :-

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present :
Kondisi Umum : Lemah
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Temperatur rektal : 37 oC
Status General :
Mata : Anemia +/+ , ikterus -/-
THT : Kesan tenang
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Po : Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : ~ Status ginekologi
Ekstremitas : Dingin, lembab (+) , odem (-)
Status Ginekologi :
Abdomen : Fut ttb, distensi (+), BU (+) N, nyeri (+)
Defance musculare (+)
Tanda cairan bebas (+)  Shifting dullness (+)
Nyeri tekan (+)
Vagina (Insp) : Flx (+), fl (-), P  (-), livide (+)
(VT) : Po : Flx (+), fl (-), P  (-), nyeri goyang (+)
CU : AF b/c > N
AP : massa -/-, nyeri +/+
CD : menonjol, nyeri +

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


4 Desember 2017 ( pkl 17.02)
Darah Lengkap :
Belum dilakukan
Faal Hemostasis:
belum dilakukan
Pungsi kavum Douglas (kuldosintesis): tidak dilakukan
Tes Kehamilan: PPT (+)

Ultrasonografi (USG):
 GS intrauterin (-)
 Tanda cairan bebas (+) di cavum abdomen
Kesan: Kehamilan ektopik terganggu

3.5. DIAGNOSIS BANDING


 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
 Abortus imminens

3.6. DIAGNOSIS KERJA


G1P000 uk 7-8 minggu + Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) + Pre Syok +
Anemia berat

3.7. PENATALAKSANAAN
Terapi. : MRS
Infus RL 28 tetes/menit
Laparatomi cito
Cefotaxim 2 g IV
Persiapan darah
Monitoring : Keluhan
Vital Sign
KIE : Pasiendan suami tentang kondisi pasien termasuk diagnosa,
tentang rencana tindakan segera beserta manfaat dan resiko
dari tindakan yang akan dilakukan.

Durante operasi (4 desember 2017) :


 Ditemukan darah dan storsel di retro abdominal ± 2500 cc
 Ditemukan ruptur tuba pars ismika dextra
 Ovariun dextra et sinistra dan tuba sinistra normal
 Dilakukan salpingektomi dextra
Follow up post salpingektomi :
Tensi : 100/60 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Ass : Pasca salfingektomi dextra oleh karena ruptur tuba pars ismika sinistra hari
ke-0
Pdx : DL post op
Tx :
 Puasa 6 jam
 IUFD ~ anastesi
 Cefotaxim 2 x 1 g
 Metronidazole supp 2x1
 Tranfusi PRC sampai Hb > 8 ~ 3 kolf
Mx : Obs. 2 jam pasca laparotomi
KIE
3.8 PERJALANAN PENYAKIT
Follow up di ruangan

Tgl S O A P
4- Nyeri St present Pasca Tx:
12- perut (+), TD : 100/60 salfingektomi Transfusi PRC 1 kolf
17 gatal (+) N : 80 x/mnt dextra ec/ Puasa 6 jam
tampak RR : 20 x/mnt ruptur tuba IVFD ~ anestesi
bentol Tax : 36,8°C pars ismika Cefotaxim 2 x 1g
besar di dextra hari-0 Inj dexamethasone : della
tangan, St general: dbn 1:1 IM
paha.
Ma/mi St ginekologi Mx: Obs Keluhan, Vital
-/-, BAB Abdomen : sign
(-) Distensi (-), BU
BAK (+) (+) N, Nyeri tekan KIE
 (+), Luka operasi
kateter) terawat
Flatus (-), Vagina: taa

DL: Pk. 17.00


WBC : 12,36
Hb : 4,5
MCHC: 31,75
MCH : 27,56
MCV : 86,79
Rbc : 1,63
Plt : 125
Hct : 14,17
5- Nyeri St present Pasca Tx:
12- luka op. TD : 90/50 salfingektomi IVFD RL + D5% 20 tpm
17 (+), gatal N : 80 x/mnt dextra ec/ dengan ketorolac
(-), RR : 20 x/mnt ruptur tuba Tranfusi PRC 1 kolf
Ma/mi +/ Tax : 36,8°C pars ismika Cefadroxil 2 x 1
+ BAB dextra hari-1 Asam mefenamat 3x1
(-) St general: dbn Metronidazole 3x1
BAK (+) Mx: Obs Keluhan, Vital
Flatus (+) St ginekologi sign
Abdomen :
Distensi (-), BU KIE mobilisasi
(+) N, Nyeri tekan
(+), Luka operasi
terawat
Vagina: taa

6- Nyeri St present Pasca Pdx: cek DL 6 jam post


12- perut (+) TD : 110/70 salfingektomi transfusi
17 Ma/mi +/ N : 80 x/mnt dextra ec/
+ RR : 20 x/mnt ruptur tuba Tx:
BAB (+) Tax : 36,5°C pars ismika IVFD RL + D5% 20 tpm
BAK (+) dextra hari-2 dengan ketorolac
St general: dbn Tranfusi PRC 1 kolf
Cefadroxil 2 x 1
St ginekologi Asam mefenamat 3x1
Abdomen : Metronidazole 3x1
Distensi (-), BU Mx: Obs Keluhan, Vital
(+) N, Nyeri tekan sign
(-), Luka operasi
terawat KIE mobilisasi
Vagina: taa

DL: Pk. 18.00


WBC : 8,9
Hb : 8,1
MCHC: 34,2
MCH : 29,7
MCV : 86,8
Plt : 146
Hct : 23,7
7- Nyeri St present Pasca Tx:
12- perut (+) TD : 100/70 salfingektomi Aff infus
18 berkurang N : 80 x/mnt dextra ec/ Cefadroxil 2 x 1
RR : 20 x/mnt ruptur tuba Asam mefenamat 3x1
Tax : 36,9°C pars ismika Metronidazole 3x1
dextra hari-3 ROB 1x1
St general: dbn Mx: Obs Keluhan, Vital
sign
St ginekologi
Abdomen : KIE
Distensi (-), BU BPL
(+) N, Nyeri tekan Kontrol poli obgyn
(+) berkurang,
Luka operasi
terawat
Vagina: taa
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. DIAGNOSIS
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berikut adalah perbandingan antara teori dan temuan-temuan klinis yang dijumpai pada
pasien yang mendukung diagnosa KET pada pasien.
No. Teori Pasien
1. Anamnesis Anamnesis
1. Trias klasik KET - Riwayat telat haid (+) dengan
- Amenorea HPHT (20-6-2012)
- Nyeri perut - Nyeri perut mendadak di seluruh
- Perdarahan pervaginam perut bawah yang berat dan terus
2. Tanda-tanda hamil muda menerus.
- Mual-muntah - Flek-flek berwarna kecoklatan
- Rasa tegang pada payudara pagi hari sebelum MRS.
- Mual-mual ringan terutama di
pagi hari sejak mulai merasa telat haid.
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-tanda syok: - Dijumpai tanda-tanda syok,
- Tekanan darah menurun keadaan umum pasien lemah dengan
(sistolik < 90 mmHg) tensi menurun (90/60), nadi cepat dan
- Nadi cepat dan lemah (> 110 lemah (112x/mnt), dengan respirasi
kali permenit) masih dalam batas normal. Tampak
- Pucat, berkeringat dingin, kulit pucat, berkeringat dingin, kulit yang
yang lembab lembab.
- Nafas cepat (> 30 kali - Status Ginekologi:
permenit) Abdomen: Fut ttb, distensi (+), BU (+) N,
- Cemas, kesadaran berkurang nyeri (+)
atau tidak sadar. Defance musculare (+)
2. Gejala akut abdomen Tanda cairan bebas (+) 
- Nyeri tekan Shifting dullness (+)
- Defance musculare Nyeri tekan (+)
3. Pemeriksaan ginekologi Vagina :
- Servik teraba lunak, (Insp) : Flx (+), fl (-), P  (-), livide
- Nyeri goyang, (+)
- Korpus uteri normal atau (VT) : Po: Flx (+), fl (-), P  (-),
sedikit membesar, nyeri goyang (+)
- Kavum Douglas menonjol oleh CU: AF
karena terisi darah. b/c > N
AP: massa
-/-, nyeri +/+
CD:
menonjol, nyeri +

3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium 1. Laboratorium
- Hb menurun - HGb: 4,9 g/dL
- Leukosit normal/meningkat - WBC: 12,3 . 103/Ul
- PPT (+) - PPT (+)
2. USG -
- GS (-) intrauterin, (+) di 2. USG
ekstrauterin - GS intrauterin (-)
- Tanda cairan bebas pada - Tanda cairan bebas (+) di cavum
kavum abdomen abdomen
- Massa abnormal di daerah Kesan: Kehamilan ektopik terganggu
pelvis
3. Kuldosintesis : meskipun blm
3. Kombinasi USG dengan
dilakukan, bisa di dapat (+)
pemeriksaan kuantitatif ß-hCG
diaspirasi darah berwarna
- GS (-) intrauterin
kehitaman
- Kadar ß-hCG serum 1500
mIU/ml atau lebih,
4. Kuldosintesis
- Darah (+) di cavum Douglass
5. Kadar progesteron
- < 5 ng/mL
6. Kuretase uterus
- Vili (-)
7. Laparoskopi
8. Laparotomi

Berdasarkan tabel diatas, pada kolom anamnesis dapat dilihat bahwa pasien memenuhi semua
kriteria anamnesis untuk KET. Dari HPHT didapatkan umur kehamilan pada saat
pemeriksaan adalah 7-8 minggu, dan hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
sebagian besar kehamilan ektopik pada tuba akan terganggu pada umur kehamilan antara 6 –
10 minggu.1,3 Hal ini terjadi karena tuba bukan tempat ideal untuk pertumbuhan hasil
konsepsi, dimana pada umur kehamilan 6 – 10 minggu vili korialis dengan mudah dapat
menembus endosalping (karena pembentukan desidua tuba yang tidak sempurna) dan masuk
ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Proses ini
selanjutnya akan diikuti dengan terjadinya abortus tuba atau ruptur dari tuba yang
menyebabkan berakhirnya kehamilan.
Dari anamnesis juga didapatkan bahwa pasien mengalami nyeri perut yang mendadak dan
berat. Pada umumnya nyeri seperti ini terjadi pada ruptur tuba akibat darah yang mengalir
deras ke dalam kavum peritonei. Jika yang terjadi adalah abortus tuba, nyeri yang timbul
tidak seberapa hebat dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi,
tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau
ke seluruh perut bawah. Dari kondisi ini, disimpulkan kemungkinan pasien mengalami ruptur
tuba.
Flek-flek yang dialami oleh pasien merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik.
Flek-flek ini merupakan akibat dari perdarahan yang berasal dari uterus. Selama fungsi
endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya tidak ditemukan. Perdarahan
uterus akan terjadi bila dukungan endokrin terhadap endometrium sudah tidak memadai lagi,
dan ini terjadi jika janin telah mati. Pada keadaan telah terjadi kematian janin pembentukan
hormon hCG akan terganggu dan akan diikuti dengan terjadinya pelepasan desidua yang
bermanifestasi dalam bentuk perdarahan uterus.
Pasien juga mengeluhkan adanya mual-mual ringan. Mual-muntah pada awal kehamilan
dipengaruhi oleh peningkatan kadar ß-hCG serum. Akan tetapi masing-masing wanita hamil
memilki respon yang berbeda-beda, tidak semua wanita hamil akan mengalami mual muntah
meskipun kadar ß-hCG serumnya meningkat. Pada umumnya, makin tinggi peningkatan
kadar ß-hCG, mual-muntah yang terjadi akan semakin berat. Jaringan trofoblas, sebagai
penghasil ß-hCG, pada kehamilan ektopik menghasilkan ß-hCG yang lebih rendah daripada
kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itulah kejadian mual muntah pada wanita dengan
kehamilan ektopik jarang atau terjadi lebih ringan dibandingkan wanita dengan kehamilan
normal. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien lemah yang ditandai dengan tensi
turun, nadi cepat, lemah dan respirasi yang masih dalam batas normal. Hal ini merupakan
tanda bahwa perdarahan ke dalam rongga perut yang masif, komplikasi yang paling sering
terjadi pada pasien dengan KET yakni terjadi syok. Untuk mencegah terjadinya perburukan
kondisi pasien dan juga untuk diagnostik, laparatomi cito merupakan terapi definitif yang
tepat.
Pemeriksaan pada abdomen pasien, ditemukan fundus uteri yang masih tidak teraba, hal ini
sesuai dengan umur kehamilan pasien 7-8 minggu. Pada kehamilan ektopik, uterus juga
membesar karena pengaruh hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama,
dimana tetap terjadi pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati
ukuran uterus pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama janin masih
dalam keadaan hidup. Pada pemeriksaan juga didapatkan adanya distensi, defance musculare,
nyeri tekan, dan tanda cairan bebas (shifting dullness +) dalam kavum abdomen. Berdasarkan
hasil ini dapat disimpulkan telah terjadi akumulasi cairan (dalam hal ini darah) di dalam
kavum abdomen dalam jumlah yang cukup banyak yang kemungkinan berasal dari
perdarahan akibat ruptur tuba yang masuk ke dalam rongga peritoneum.
Pemeriksaan dalam pada vagina juga mendukung bahwa pasien memang dalam keadaan
hamil (porsio yang livide). Nyeri goyang pada porsio, nyeri pada adneksa dan parametrium,
serta perabaan cavum Douglass yang menonjol dan terasa nyeri , dijumpai pada lebih dari
tiga perempat kasus kehamilan ektopik tuba yang sudah atau sedang mengalami ruptur. Nyeri
goyang pada porsio mendukung adanya rangsangan (iritasi) oleh darah pada peritoneum.
Tidak terdapat massa pada adneksa parametrium. Hal ini bisa terjadi bila sudah terdapat
ruptur dari tuba, didukung lagi oleh adanya nyeri sekitar adneksa. Ditemukan kavum Doglas
dalam keadaan menonjol, menunjukan adanya pendesakan oleh cairan dalam rongga pelvis,
dimana cairan tersebut dapat berupa darah akibat ruptur tuba.
Dari pemeriksaan laboratorium, meskipun hasil pemeriksaan hemoglobin (Hb) saat pasien
baru datang tidak dilakukan, Namun pada pemeriksaan Hb post op didapatkan 4,9. Dari
penurunan kadar Hb ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perdarahan dalam tubuh
pasien. Pada awal pemeriksaan kadar Hb tidak terlalu turun karena penurunan Hb yang
terjadi akibat diencerkannya darah oleh air dan jaringan untuk mempetahankan volume darah
membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 24 jam. Hasil penghitungan leukosit menunjukkan
terjadinya peningkatan kadar leukosit. Perdarahan yang banyak juga menimbulkan naiknya
leukosit, sedangkan pada perdarahan sedikit demi sedikit, leukosit biasanya normal atau
sedikit meningkat ini berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan kehamilan
ektopik dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika > 20.000 biasanya
menunjukkan adanya infeksi pelvik
Pemeriksaan PPT dengan hasil yang positif dengan ditunjang hasil USG yang menunjukkan
tidak adanya kantong gestasi di intrauterin, dan adanya cairan bebas dalam kavum abdomen
semakin menguatkan diagnosa bahwa pasien dalam keadaan hamil ektopik yang terganggu
(KET).
Khusus mengenai perbedaan hamil ektopik dengan hamil intrauterin, dapat dilihat pada tabel berikut:

Jenis
Klinis Ultrasonografi Biomarker
Kehamilan
Ektopik - Nyeri perut berat, - GS intrauterin (-) - ß-hCG > 1500
mendadak/perlahan,lahan - Tanda cairan mIU/mL
- Perdarahan pervaginam bebas (+) - Progesteron < 5
sedikit-sedikit, berwarna - Massa abnormal ng/mL
kecoklatan di daerah pelvis
- Mual-muntah <<<
Intrauterin - Nyeri perut (-)/ringan dan - GS intrauterin (+) - ß-hCG > 6000
sementara - Endometrial line mIU/mL
- Perdarahan pervaginam, (+) - Progesteron > 25
lebih banyak, warna lebih - Tanda cairan ng/mL
merah bebas (-)
- Mual-muntah >>>
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah kuldosintesis dengan hasil (+) diaspirasi
darah berwarna kehitaman.

4.2. DIAGNOSIS BANDING


Pasien didiagnosis banding dengan abortus iminens oleh karena adanya nyeri perut disertai
dengan adanya riwayat keluar darah dari vagina serta hasil PPT (+). Diagnosis abortus
akhirnya disingkirkan oleh karena pada abortus biasanya darah yang keluar lebih banyak,
berwarna merah segar, dan tidak hanya berupa flek-flek. Ditemukan adanya nyeri goyang
porsio dan penonjolan kavum douglas menunjukkan tanda-tanda adanya darah yang
terkumpul pada rongga pelvis, dimana hal ini mendukung diagnosis ke arah KET.

4.3. PENATALAKSANAAN
Pertama dilakukan tindakan perbaikan keadaan umum dengan mengatasi kondisi pre syok.
Pada pasien diberikan infus RL 28 tetes/menit sampai kondisi syok teratasi, dengan terus
dilakukannya monitoring tanda-tanda vital. Kemudian seharusnya dilakukan cek Hb serial
setiap 2 jam untuk memantau apakah terdapat penurunan Hb. Apabila Hb < 9 gr/dL maka
dilakukan tranfusi PRC. Namun karena kondisi emergency dan Setelah mendapat persetujuan
dari keluarga dilakukan tindakan laparatomi untuk menghentikan perdarahan yang terjadi
oleh karena ruptur tuba. Tindakan laparatomi yang dilakukan bersifat sebagai alat diagnostik
sekaligus terapeutik. Saat abdomen dibuka terdapat darah kurang lebih sebanyak 2500 cc, hal
ini membuktikan adanya perdarahan yang terkumpul di rongga abdomen. Setelah ditelusuri
didapatkan ruptur tuba pars ismika kanan. Setelah tuba diklem, dilakukan salfingektomi
sinistra.
Setelah mendapatkan perawatan selama 4 hari kondisi pasien membaik dan pasien diijinkan
untuk pulang.

4.4. KOMPLIKASI
Pada pasien ini ditemukan komplikasi berupa syok yang reversibel. Komplikasi berupa
perlengketan dengan usus tidak terjadi.

4.5. PROGNOSIS
Pasien memiliki riwayat KET pada kehamilan pertama. Sebagian wanita menjadi steril
setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada
tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0 - 4,6 %.
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dan
persediaan darah yang cukup. Pada pasien ini, pemulihan berlangsung dengan baik.
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan terhadap tuba kanan, dan didapatkan hasil post
salpingektomi dekstra. Berdasarkan literatur yang ada, hanya 60% wanita yang pernah
mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, apabila tuba yang lain masih
berfungsi normal. Namun pada pasien ini karena sudah pernah mengalami kehamilan ektopik
terganggu pada tuba dekstra sebelumnya, kemungkinan untuk hamil lagi tidak ada, sehingga
prognosis pasien adalah dubius ad malam.

BAB 5
RINGKASAN

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan,
berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini
dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu adalah
kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium
kavum uterus dan menimbulkan keadaan gawat. Angka kejadiannya dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Sedangkan faktor-faktor predisposisi yang bisa menyebabkan
kehamilan ektopik ini antara lain gangguan transportasi hasil konsepsi, kelainan hormonal
dan penyebab yang masih diperdebatkan.
Untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu selain berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologis kita juga perlu membedakannya
dengan keadaan patologi lainnya yang memberikan gambaran yang hampir sama seperti
infeksi pelvis, abortus iminens atau insipiens, kista folikel dan korpus luteum yang pecah,
kista ovarium dengan putaran tangkai dan apendisitis.
Kalau diagnosis sudah ditegakkan maka harus dioperasi. Operasi dilakukan sesuai
dengan lokasi dari kehamilan ektopik terganggu. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh
kehamilan ektopik terganggu adalah terjadi syok irreversibel, perlekatan dan obstruksi usus.
Untuk wanita dengan anak cukup sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateral
untuk mencegah kehamilan ektopik berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S , Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Kebidanan;


Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 323-334
2. Wiknjosastro,H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta; Yayasan
Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2000; 198-204
3. Delfi L. Kehamilan Ektopik. Sinopsis Obstetri; jakarta; Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1998; 226-37
4. Cunningham FG, gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, haulth JC, Wenstrom KD. Ectopic
Pregnancy. In: William Obstetrics, 21thed; USA; Mc graw hill; 2001; pp 883-910
5. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles for Practice.In:
Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc Graw Hill; 2001;pp 1134-1147
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic Pregnancy In Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 6thed.Philadelphia.Lippincot William & Wilkins,
1999,pp 1149-1164
7. Chapin DS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Friedman EA, Acker DB, Scachs BP. Seri
Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta; Binarupa Aksara; 2000. Hal 54-56.
8. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novak’s Gynecology. 13thed.Philadelphia Lippincot
Williams & Wilkins, 2002, pp510-534
9. Beck WW, Jr. Ectopic Pregnancy. In: Obstetrics and Gynecology 4ed. William &
Wilkins the Science of Review. New York. 1996; 315-320
10. Pearson J, Rooyen JV. Ectopic Pregnancy. In: Bandowski BJ, Hearne AE, Lambrou
BJC, For HE, Wallase EE editor. The Jhons Hopkins Manual Of Gynecology and
Obstetric; 2nd ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2002;pp 305-13.
11. Braun, RD. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Available in :
http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm. Last Update : 26 Januari 2007.
Accessed : 1 April 2010.
12. Ectopic Pregnancy. A Guide for Patients. American Society For Reproductive
Medicine.1996.

Anda mungkin juga menyukai