Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus IPE Klinik

Interprofessional Case Presentation

Nama Mahasiswa/NIM/Prodi
1. Maretta Rosabella Purnamasari/1302006010/PSPD
2. Ni Wayan Ari Anindita Sari/1302006011/PSPD
3. Ni Putu Ardhenariswari/1302006012/PSPD
4. Ni Nengah Yuni Ardani/1302006013/PSPD
5. I Kadek Adi Paramartha/1302006014/PSPD
6. Shalini S Jaya Raman/ 1302006287/PSPD
7. Shaantiieni Govindasamy/ 1302006288/PSPD
8. Kogeela Vani Veerasingam/ 1302006289/PSPD
9. Fitria Aprilina/ 1502116001/PSIK
10. Ni Made Praba Dharma Santhi/ 1502116002/PSIK
11. Ni Nyoman Tri Nur Permata Sari Suatra/ 1608612005/FARMASI

Nama Pembimbing / NUPN / Prodi


Ns. Kadek Cahya Utami, M.Kep/9900009677/PSIK

Interprofessional Education Unit


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar Bali Indonesia
2017
I. Identitas Kasus
1. Nama : I Kadek Juliarta
2. Tempat/tgl lahir : Gianyar, 30 Juli 2003
3. Usia : 14 tahun
4. Alamat tinggal : Br. Pamesan Ketewel
Gianyar
5. Pendidikan : SMP
6. Pekerjaan : Pelajar
7. Status perkawinan : Belum Menikah
8. Jenis kasus sesuai SKDI (kompetensi) : 3B
9. Lokasi kasus diambil (RS, poliklinik, Puskesmas, dll) : RSUP Sanglah
10. Berat Badan : 52 kg

II. Keluhan utama:


Nyeri pada lengan kiri dan paha kanan

III. Anamnesis (auto)


a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri pada lengan kiri dan paha kanan setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas 4 jam yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Pasien merupakan pengendara sepeda motor, menggunakan helm,
mengalami kecelakaan pada tanggal 13/10/2017 di by pass Ida Bagus
Mantra. Pasien mengaku diserempet mobil dari arah kanan depan dengan
kondisi laju kecepatan mobil yang tinggi. Pasien jatuh ke sisi kanan
dengan kaki menghantam aspal terlebih dahulu. Tidak ada keluhan nyeri
kepala setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, mual dan muntah
disangkal, riwayat penurunan atau kehilangan kesadaran disangkal. Pasien
pada awalnya dibawa ke Rumah Sakit Kasih Ibu daerah Saba, namun
karena rumah sakit tidak bekerja sama dengan BPJS, pasien dan keluarga
pasien memutuskan untuk menolak perawatan di rumah sakit dan
memutuskan untuk dirujuk ke RSUP Sanglah. Di Rumah Sakit Kasih Ibu
daerah Saba pasien sempat mendapat perawatan berupa pemberian
analgetik dan juga pembidaian untuk imobilisasi sebelum dirujuk. Selain
itu juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto polos daerah femur
dan pergelangan tangan untuk membantu penegakkan diagnosis. Di RSUP
Sanglah pasien pertama kali dibawa ke triage bedah untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Penanganan yang didapat saat itu berupa obat
analgetik, pemasangan skin traksi dengan beban 5 kg pada kaki kanan
yang mengalami closed fracture femur dan pemasangan short arm cast
pada lengan kiri yang mengalami closed fracture. Saat pengkajian (tanggal
berapa) dilakukan, pasien sudah dirawat selama lima hari di Ruang
Angsoka RSUP Sangah Denpasar.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah memiliki riwayat trauma di daerah yang
sama, tidak memiliki riwayat kelainan tulang patologis maupun penyakit
sistemik lainnya seperti diabetes mellitus, asma, hipertensi.
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami trauma serupa.
Riwayat sosial pasien sebagai seorang pelajar sekolah menengah pertama.
Kebiasaan mengkonsumi alkohol, rokok ataupun obat-obatan terlarang
disangkal.

IV. Hasil pemeriksaan Fisik


IGD (13/10/2017)
1. Primary Survey
Airway : bebas, trakea ditengah
Breathing : spontan, dada simetris (+), sesak nafas (-), RR 20 x/menit,
vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, SaO2 99% udara
ruangan
Circulation : TD 110/70mmHg, Nadi 84x/menit regular kuat angkat
(+), Tax 36,5 C
Disability : alert, GCS E4V5M6

2. Secondary Survey
Kepala : Cephal hematome (-)
Mata : Brill Hematoma -/-, pupil bulat isokor +/+,
konjungtiva pucat -/-
Maxillofacial : Jejas (-), Oedem (-), maloklusi (-)
Leher : Nyeri tekan (-), jejas (-)
Thorax : simetris, jejas (-)
Cor : S1S2 regular murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki-/-, Wheezing -/-
Abdomen : Bising usus (+) Normal, Nyeri tekan (-)
Pelvis : Jejas (-), Pelvis stabil
Ekstremitas : Hangat

3. Status Lokalis (Saat Pasien di Triage Bedah)


Regio radius sinistra
L : Swelling (+) sekitar lengan kiri bawah sepertiga distal , deformitas
(+) angulasi, external rotation (+), bruise (-)
F : Nyeri tekan (+) sekitar lengan kiri bawah sepertiga distal, CRT<2,
Sa O2 99%, sensasi (+) normal, perabaan hangat
M: ROM aktif siku kiri terbatas karena nyeri
ROM aktif wrist 30/45
ROM aktif MTP-IP 0/90

Regio femur dextra


L : Swelling (+) sekitar daerah femur sepertiga atas, deformitas (+)
pemendekan, external rotation (+), bruise (-)
F : Nyeri tekan (+) sekitar daerah femur sepertiga atas dan sekitar area
panggul kanan, arteri dorsalis pedis (+) teraba, CRT<2, Sa O2 99%,
sensasi (+) normal, perabaan hangat
M: ROM aktif lutut kanan terbatas karena nyeri
ROM aktif Ankle 30/45
ROM aktif MTP-IP 0/90

Status Lokalis (Saat Pasien di Rawat Inap) (18/10/2017)


Regio radius sinistra
L : Terpasang fiksasi berupa Short Arm Cast
F : CRT<2, Sa O2 99%, sensasi (+) normal, perabaan hangat
M: ROM aktif siku kiri terbatas karena nyeri
ROM aktif wrist tidak dapat dievaluasi karena terpasang SAC
ROM aktif MTP-IP 0/90

Regio femur dextra


L : Swelling (+) sekitar daerah femur sepertiga atas, pemendekan (+),
terpasang fiksasi sementara berupa skin traksi dengan beban 5 kg
F : Nyeri tekan (+) sekitar daerah femur sepertiga atas dan sekitar area
panggul kanan (Provokes : nyeri berkurang jika kaki diistirahatkan dan
semakin memberat ketika pasien beraktivitas ; Quality : nyeri tekan tajam ;
Radiates : terlokalisir ; Severity : VAS 4/10 ; Time : nyeri hilang timbul),
arteri dorsalis pedis (+) teraba, CRT<2, Sa O2 99%, sensasi (+) normal,
perabaan hangat
M: ROM aktif lutut tidak dapat dievaluasi karena terpasang skin traksi
ROM aktif Ankle tidak dapat dievaluasi karena terpasang skin
traksi
ROM aktif MTP-IP 0/90

V. Hasil Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (16 Oktober 2017)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 8.53 103/l 4.1-11.0
NE% 59.27 % 47-80
LY% 27.63 % 13-40
MO% 6.06 % 2.0-11.00
EO% 5.82 % 0.0-5.0 Tinggi
BA% 1.22 % 0.0-2.0
NE# 5.05 103/l 2.50-7.50
LY# 2.36 103/l 1.00-4.00
MO# 0.52 103/l 0.10-1.20
EO# 0.50 103/l 0.00-0.50
BA# 0.10 103/l 0.0-0.1
RBC 3.83 106/l 4.5-5.9 Rendah
HGB 9.65 g/dL 13.5-17.5 Rendah
HCT 31.46 % 41.0-53.0 Rendah
MCV 82.09 fL 80.0-100.0
MCH 25.18 pg 26.0-34.0 Rendah
MCHC 30.67 g/dL 31-36 Rendah
RDW 12.79 % 11.6-14.8
PLT 259.70 103/l 150-440

Faal Hemostasis (16 Oktober 2017)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
APTT 28.8 detik 24-36
INR 1.26 0.9-1.1 Tinggi
PPT 15.1 detik 10.8-14.4 Tinggi

Kimia Klinik (16 Oktober 2017)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Glukosa 119 mg/dL 70-140
Darah
Sewaktu
BUN 11.5 mg/dL 8.00-23.00
Kreatinin 0.73 detik 0.70-1.20
AST/SGOT 24.8 U/L 11.0-33.00
ALT/SGPT 11.00 U/L 11.00-50.00

Foto Manus Sinsitra AP/Schapoid View (14 Oktober 2017 05:20:35)


Kesan : Fraktur pada distal radius sinistra, contracted +, dengan soft tissue
swelling di sekitarnya. Susp hair line fracture inferior pole schapoid
sinistra.

Foto Wrist Sinistra AP/Lateral View (14 Oktober 2017 05:24:35)

Kesan : Fraktur growth plate hingga metafisis radius distal sinistra,


mengesankan fraktur salter harris type 2, disertai soft tissue swelling di
sekitarnya. Susp hair line fracture inferior pole schapoid sinistra disertai
scapholunate disosiasi sinistra.

Foto Femur Dextra AP/Lateral View (14 Oktober 2017 05:31:07)


Kesan : Fraktur komplit displaced, contracted pada os femur 1/3
proksimal dengan displacement +, disertai soft tissue swelling di
sekitarnya.
Foto Wrist Sinsitra AP/ Lateral View (14 Oktober 2017 07:01:11)

Kesan : Fraktur pada metafisis os radius distal sinistra, dan penyempitan


physis distal radius sinistra, mengesankan fraktur salter harris type II,
dengan terpasang cast fiksasi, kedudukan dan aposisi baik, sudah tak
tampak displacement. Sudah tak tampak jelas disosiasi schapolunate
sinistra maupun garis hair line fraktur pada schapoid sinistra.

Foto Manus Sinsitra AP/Oblique View (14 Oktober 2017 07:10:44)


Kesan : Fraktur pada metafisis os radius distal sinistra, dan penyempitan
physis distal radius sinistra, mengesankan fraktur salter harris type II,
dengan terpasang cast fiksasi, kedudukan dan aposisi baik, sudah tak
tampak displacement. Hair line fracture pada os schapoid sinistra. Sudah
tak tampak jelas disosiasi schapolunate sinistra.

Foto Wrist Sinistra AP/Lateral View (13 Oktober 2017-RS Kasih Ibu)
Foto Femur Dextra AP View (13 Oktober 2017-RS Kasih Ibu)

VI. Diagnosis
Closed Fracture Epifisiolisis Radius Distal Sinistra + Closed Fracture
Styloid Radius Sinistra + Close Fracture Schapoid Manus Sinistra
Closed Fracture Femur Dextra 1/3 Proximal
VAS 4/10 cm

VII. Permasalahan kesehatan yang dijumpai pada kasus


a. Daftar Masalah Kedokteran :
1. Closed fracture epifisiolisis radius distal sinistra, styloid radius sinistra,
schapoid manus sinistra, dan pada femur dextra 1/3 proximal.
2. Keadaan pre operasi pasien berupa anemia derajat ringan.
3. Nyeri saat sebelum operasi dan nyeri setelah operasi.
b. Daftar Masalah Keperawatan :
1. PK. Anemia : tolong dicari diagnosis sesuai dengan NANDA
2. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan sekunder pada fraktur, edema
ditandai dengan pasien melaporkan nyeri secara verbal, mengekspresikan
perilaku melindungi daerah yang nyeri.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan berupa fraktur pada ekstremitas superior : tangan (sinistra) dan
ekstremitas inferior: kaki/ femur(dextra).
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak, nyeri dan
kelemahan ditandai dengan skala ambulasi : 3 (dibantu orang lain dan alat)
aktivitas pasien dibantu oleh orang tua dan keadaan umum lemah.

c. Daftar Masalah Farmasi :


1. Nyeri.

VIII. Pemecahan Masalah Masing-masing Prodi


a. Pemecahan Masalah Kedokteran :
1. Pasien ini mengalami fraktur tertutup epifisiolisis radius distal sinistra,
styloid radius sinistra, schapoid manus sinistra, femur dextra 1/3 proximal.
Tujuan utama penatalaksanaan fraktur adalah untuk menyatukan fragmen
tulang yang terpisah. Secara umum, prinsip tatalaksana fraktur menurut
Chaeruddin Rosjad, 1998 adalah rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi (4R).1
-
Rekognisi, adalah berupa diagnosa dan penilaian fraktur.1
-
Reduksi, bertujuan untuk mengembalikan panjang dan kesegarisan tulang.
Reduksi dapat dicapai dengan manipulasi tertutup atau reduksi terbuka
progresi. Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksi untuk menarik
fraktur kemudian memanipulasi untuk mengembalikan kesegarisan
normal/dengan traksi mekanis. Reduksi terbuka pada fraktur tertutup
diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan, terdapat
fragmen artikular yang besar, atau untuk traksi pada fraktur dengan
fragmen yang terpisah. Reduction internal fixation (ORIF) adalah
pembedahan terbuka yang berfungsi mengimobilisasi fraktur dengan cara
memasukkan skrup/pen ke dalam fraktur sehingga bagian-bagian tulang
yang fraktur terfiksasi secara bersamaan.1
-
Retensi, setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi atau retensi dapat dilakukan dengan menggunakan
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, atau implant logam.2
-
Rehabilitasi, bertujuan untuk mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal
mungkin. Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi.1,2
Pada pasien ini, fraktur tertutup epifisiolisis radius distal
sinistra, styloid radius sinistra, dan schapoid manus sinistra ditatalaksana
dengan reduksi tertutup + imobilisasi menggunakan short arm cast.
Sedangkan untuk fraktur tertutup pada femur dextra 1/3 proximal
ditatalaksana dengan menggunakan traksi 5 kg load dan dilakukan
imobilisasi dengan teknik pembedahan ORIF.
2. Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 16 Oktober 2017 menunjukkan
nilai hemoglobin sebesar 9,65 g/dL. Nilai hemoglobin tersebut
menunjukkan bahwa pasien menderita anemia derajat ringan. Nilai cut off
point untuk menyatakan anemia yang umum dipakai ialah kriteria WHO
tahun 1968, yaitu hemoglobin <13 g/dl untuk laki-laki dewasa,
hemoglobin < 12 g/dl untuk perempuan dewasa tidak hamil, hemoglobin
<11 g/dl untuk perempuan hamil, hemoglobin <12 g/dl untuk anak umur
6-14 tahun, dan hemoglobin <11 g/dl untuk anak umur 6 bulan-6 tahun.
Derajat anemia sendiri bisa digolongkan menjadi 4 golongan yaitu anemia
ringan sekali (Hb 10 g/dL - cut off point), anemia ringan (Hb 8 g/dL Hb
9,9 g/dL), anemia sedang (Hb 6 g/dL Hb 7,9 g/dL), dan anemia berat
(Hb <6 g/dL).3
Pada pasein ini direncanakan untuk dilakukan operasi ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) pada femur kanannya. Berdasarkan
konsensus NIH (The National Institutes of Health) Conference Report,
terdapat beberapa kriteria untuk memberikan transfusi pada kondisi
perioperatif, seperti berikut.4
- Nilai hemoglobin yang belum mencapai 10 g/dl
- Durasi anemia (kronik, akut)
- Volume intravaskular pasien
- Luasnya operasi yang akan dilakukan
- Kemungkinan massive blood loss
- Penyakit penyerta seperti gangguan fungsi paru, curah jantung yang
tidak mencukupi, iskemia miokard, penyakit serebrovaskular, dan
penyakit sirkulasi perifer.
Pada pasien nilai hemoglobin belum mencapai 10 g/dl sehingga untuk
operasi diperlukan transfusi hingga hemoglobin 10 g/dl. Sehingga pada
pasien ini perlu dilakukan transfusi menggunakan whole blood sebanyak 1
unit untuk menaikkan hemoglobin sebanyak 1g/dl.
3. Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan
aktual. Nyeri bersifat subjektif. Terdapat beberapa skala untuk pengukur
nyeri yaitu visual analogue scale (VAS), Verbal Rating Scale (VRS),
Numerical Rating Scale (NRS). VAS terdiri atas mistar garis sepanjang
kurang lebih 10 cm dengan tidak nyeri pada ujung kiri dan nyeri paling
berat diujung kanan. Pasien diminta untuk menandai garis tersebut dititik
yang menggambarkan intensitas nyeri yang dialaminya. VRS memberikan
pilihan lima skala deskripsi verbal atau visual untuk menggambarkan nyeri
yang dialami pasien. NRS adalah alat pengukur level interval yang
digunakan secara verbal untuk menanyakan intensitas nyeri pasien dalam
skala 0-5 atau 0-10. Pada kasus ini menggunakan skala pengukur nyeri
NRS yaitu dengan skala nyeri 4 dari 10.1
Tujuan penanganan nyeri yaitu membuat pasien dalam kondisi
senyaman mungkin, menurunkan intensitas nyeri sampai level yang
ditolerir oleh pasien. Penanganan nyeri harus dilakukan secara multimodal
yang dapat dimulai dengan pendekatan psikologi yang kemudian
dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan.2 Pada pasien ini yaitu pasien
trauma biasanya sangat cemas dan gelisah sehingga sangat penting untuk
untuk dilakukan pendekatan psikologi dengan cara membuat pasien tetap
tenang agar rasa nyeri yang dirasakan dapat berkurang. Obat-obatan
terdiri dari NSAIDs (COX-1 : acetosal, ketorolac; non selective cox
inhibitor : ibuprofen, ketoprofen; COX-2 : diclofenac, meloxicam,
nimesulide), paracetamol, opioid.1 Pada pasien dalam kasus ini
menggunakan terapi injeksi ketorolac yang merupakan analgesic dan
paracetamol tablet 3x500 mg. Setelah dilakukan intervensi terhadap nyeri
kemudian akan dievaluasi setiap 30 menit. Diharapkan level nyeri pada
pasien berkurang.
Outcome dari intervensi yang diberikan kepada pasien yaitu nyeri dapat
diminimalisir.
4. Family Center Care :
Family-Centered Care didefinisikan oleh Association for the Care
of Children's Health (ACCH) sebagai filosofi dimana pemberi perawatan
mementingkan dan melibatkan peran penting dari keluarga, dukungan
keluarga akan membangun kekuatan, membantu untuk membuat suatu
pilihan yang terbaik, dan meningkatkan pola normal yang ada dalam
kesehariannya selama anak sakit dan menjalani penyembuhan. 5 Bidang
kedokteran bisa juga melibatkan family centered care dalam merawat
pasien. Pada kasus ini, keluarga bisa bekerja sama dengan dokter dalam
mengawasi proses penyembuhan fraktur dan tanda-tanda komplikasi
ketika pasien sudah berada di rumah.
Proses penyembuhan fraktur hingga membentuk gambaran tulang
yang menyerupai sebelum fraktur atau remodelling tulang terjadi sekitar
8-12 minggu pasca fraktur. Keluarga bisa membantu dokter untuk
memastikan proses penyembuhan fraktur berjalan dengan baik dengan
cara mengajak anak untuk melakukan kontrol pasca pulang dari rumah
sakit. Dengan adanya kontrol yang baik diharapkan komplikasi-
komplikasi pada penyembuhan fraktur seperti delayed union (fraktur
tidak sembuh pada waktu yang seharusnya), malunion (penyembuhan
yang tidak adekuat secara mekanik atau kosmetik), dan non union (tidak
terjadi penyembuhan fraktur, umumnya ditandai oleh sclerosis di ujung-
ujung garis fraktur) tidak terjadi.6
Keluarga juga bisa bekerja sama dengan dokter untuk memantau
tanda-tanda komplikasi fraktur lainnya. Komplikasi tersebut dari berupa
penurunan kekuatan otot di daerah trauma dan infeksi akibat
pembedahan. Keluarga bisa membantu dokter untuk memantau tanda-
tanda infeksi lokal seperti kalor, rubor, dolor, tumor, dan fungsio laesa;
serta tanda-tanda infeksi sistemik seperti demam. Keluarga juga bisa
membantu pasien untuk melakukan terapi fisik untuk meminimalkan
kelemahan otot melalui sebuah exercise. Latihan fisik atau exercise
selama masa penyembuhan sangat penting karena akan mengembalikan
kekuatan otot, gerak sendi, dan fleksibilitas.7

b. Pemecahan masalah keperawatan :


1. Monitor adanya tanda-tanda anemia dengan mengbservasi keadaan umum
pasien. Monitor adanya dispneu. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
meningkatkan asupan nutrisi pasien (nutrisi seperti apa??). Kolaborasi
untuk pemberian terapi initravena dan tranfusi darah (sesuai indikasi).
Monitor hasil pemeriksaan darah lengkap terutama : HGB, HCT, RBC,
serta menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup. Setelah diberikan
asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan anemia pasien teratasi
dengan kriteria hasil : HGB dalam rentang normal (13.5 17.5) g/dL,
RBC dalam rentang normal (4.5 5.9) 10 6/L, HCT dalam rentang
normal (41.0 53.0)%, kulit tidak pucat, CRT < 2 detik, konjungtiva
merah muda, Pasien tidak tampak lemah, dan tidak ada dispneu yang
merupakan gejala dari anemia berat.
2. Kaji lokasi nyeri dan intensitas nyeri, kemudian pertahankan imobilisasi
pada bagian yang sakitnya. Ajarkan teknik nonfarmakologi relaksasi dan
jelaskan prosedur sebelum melakukan tindakan. Beri posisi yang tepat
secara berhati-hati pada area fraktur dan beri kesempatan untuk istirahat
selama nyeri berlangsung. Kolaborasi dalam pemberian terapi medik
berupa analgetik. Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit
diharapkan nyeri berkurang atau hilang dengan kriteria hasil : intensitas
nyeri 0-1 (0-10) tidak nyeri, wajah tidak meringis, TTV dalam rentang
normal, melaporkan secara verbal nyeri berkurang atau menghilang, pasien
dapat beristirahat.
3. Kaji kulit pada luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna, kelabu, memutih. Observasi tanda-tanda vital dan
observasi adanya perdarahan aktif. Pertahankan tempat tidur kering dan
bebas kerutan. Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas
tonjolan tulang. Membersihkan, memantau, dan meningkatkan proses
penyembuhan pada luka yang ditutup dengan jahitan, klips, atau straples,
serta memonitor adanya tanda dan gejala infeksi, dan lakukan perawatan
luka steril pada daerah insisi atau daerah luka fraktur (frekuensi, pakai
apa???). Setelah diberikan asuhan keperawatan 3x24 jam diharapkan
kriteria hasil : perfusi jaringan baik, mampu melindungi kulit dan
mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami, integritas
jaringan kembali utuh. (Buat dalam SMART!!)
4. Berikanpenilaianterhadapkemandirianpasiendanskorambulasipasien.
Monitorkemampuanpasienuntukperawatandiriyangmandiri.Monitor
kebutuhanpasienuntukalatalatbantuuntukkebersihandiri,berpakaian,
berhias, toileting dan makan. Sediakan bantuan sampai pasien mampu
secara utuh untuk melakukan self care secara mandiri. Dorong pasien
untuk melakukan aktivitas seharihari yang normal sesuai kemampuan
yang dimiliki. Ajarkan pasien/ keluarga untuk mendorong kemandirian,
untuk memberikan bantuan hanya jika pasien tidak mampu untuk
melakukannya. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
diharapkan didapatkan hasil: pasien terbebas dari bau badan, pasien
menyatakan kenyamanan dan lebih bersih dan rapi, kebutuhan akan
perawatandiripasienterpenuhi.

c. Pemecahan Masalah Farmasi :


Pasien mendapatkan terapi injeksi ketorolac dan parasetamol tablet
untuk penanganan nyeri. Rasa nyeri pada pasien yang mengalami fraktur
bersifat subjektif. Keputusan pemakaian analgesik yang dipilih harus
berdasarkan kegunaan dan keamanannya. Pertimbangan dosis dan berapa
lama analgesic yang diberikan pada pasien akan mempengaruhi hasil dari
penatalaksanaan nyeri. Hal ini penting, agar tercapainya target sesuai tujuan
awal penggunaan analgesik tersebut. Jenis analgesik yang dipakai, dosis,
metode pemberiannya, serta lama penggunaan obat analgesik perlu dikaji
lebih lanjut sehingga dapat menurunkan nyeri pada pasien. Penggunaan
ketorolac untuk mengatasi nyeri sedang hingga nyeri berat untuk sementara.
Biasanya obat ini digunakan sebelum atau sesudah operasi. Ketorolac
adalah golongan obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang
bekerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi dan nyeri. NSAID merupakan agen obat yang digunakan dalam
penanganan nyeri tulang. Berdasarkan catatan pengobatan, pasien
mendapatkan injeksi ketorolac pada saat pasien dibawa pertama kali ke UGD
RS Kasih Ibu Saba.
Pasien mendapatkan terapi paracetamol dimulai dari tanggal 15
Oktober 2017 setelah dirawat di RSUP Sanglah Denpasar. Dosis paracetamol
yang diterima pasien adalah 3 kali sehari x 500mg setelah makan dimana
dosis dan waktu pemberian paracetamol sudah sesuai. Pemberian analgesik
harus dimulai dengan agen analgesik yang paling efektif dan memiliki efek
samping paling sedikit. Paracetamol lebih dipilih daripada golongan opiat
dalam pengobatan nyeri ringan sampai sedang. Mekanisme kerja
paracetamol yang utama adalah menghambat enzim cyclooksigenase-1 dan
cyclooksigenase-2. Namun efeknya lebih selektif terhadap COX-2 sehingga
tidak menghambat pembentukan tromboksan yang bertanggung jawab
terhadap pembekuan darah. Berikut merupakan dosis obat analgesik
nonopiod:8
Outcome dari intervensi????

Tabel 1. Analgesik Nonopiod


IX. Diskusi
Pada kasus ini, pasien datang ke RSUP sanglah dengan keluhan nyeri pada
lengan kiri dan kaki kanan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 4 jam yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan pengendara sepeda motor,
menggunakan helm, mengalami kecelakaan pada tanggal 13/10/2017 di by pass
Ida Bagus Mantra. Pasien mengaku diserempet mobil dari arah kanan depan
dengan kondisi laju kecepatan mobil yang tinggi. Pasien jatuh ke sisi kanan
dengan kaki menghantam aspal terlebih dahulu. Tidak ada keluhan nyeri kepala
setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, mual dan muntah disangkal,
riwayat penurunan atau kehilangan kesadaran disangkal. Pasien pada awalnya
dibawa ke rumah sakit kasih ibu daerah saba, namun karena rumah sakit tidak
bekerja sama dengan BPJS, pasien dan keluarga pasien memutuskan untuk
menolak perawatan di rumah sakit dan memutuskan untuk dirujuk ke RSUP
Sanglah. Di rumah sakit kasih ibu daerah saba pasien sempat mendapat perawatan
berupa pemberian analgetik dan juga pembidaian untuk imobilisasi sebelum
dirujuk. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto polos
daerah cruris dan lengan bawah untuk membantu penegakkan diagnosis. Di RSUP
Sanglah pasien pertama kali dibawa ke triage bedah untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut. Penanganan yang didapat saat itu berupa obat analgetik, pemasangan
skin traksi dengan beban 5 kg pada kaki kanan yang mengalami close fraktur
femur dan pemasangan short arm cast pada lengan kiri yang mengalami close
fraktur. Saat pengkajian dilakukan, pasien sudah dirawat selama satu hari di
Ruang Angsoka RSUP Sangah Denpasar.
Permasalahan pada pasien ini mengalami fraktur tertutup epifisiolisis
radius distal sinistra, styloid radius sinistra, schapoid manus sinistra, femur dextra
1/3 proximal. Tujuan utama penatalaksanaan fraktur adalah untuk menyatukan
fragmen tulang yang terpisah. Secara umum, prinsip tatalaksana fraktur menurut
Chaeruddin Rosjad, 1998 adalah rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi (4R).
Pada pasien ini, fraktur tertutup epifisiolisis radius distal sinistra, styloid radius
sinistra, dan schapoid manus sinistra ditatalaksanan dengan reduksi tertutup +
imobilisasi menggunakan short arm cast. Sedangkan untuk fraktur tertutup pada
femur dextra 1/3 proximal ditatalaksana dengan menggunakan traksi 5 kg load
dan dilakukan imobilisasi dengan teknik pembedahan ORIF
Setelah dilakukan reduksi dan imobilisasi dengan ORIF atau pemasangan
short arm cast, sejawat keperawatan bisa membantu dari segi rehabilitasi seperti
membantu pasien untuk bisa melakukan aktivitas fungsional sehari-hari yang
mendekati normal kembali. Selain itu juga perlu dipantau perawatan dari segi
kebersihan dan proses penyembuhan luka, memonitor adanya tanda dan gejala
infeksi, dan lakukan perawatan luka steril pada daerah insisi atau daerah luka
fraktur. Hasil akhir yang diharapkan dapat berupa meningkatnya kenyamanan
pasien dan terpenuhinya kebutuhan perawatan diri.
Pada pasien ini juga mengalami anemia yang didapat dari pemeriksaan
darah lengkap pada tanggal 16 Oktober 2017 menunjukkan nilai hemoglobin
sebesar 9,65 g/dL. Nilai hemoglobin tersebut menunjukkan bahwa pasien
menderita anemia derajat ringan. Namun dengan hemoglobin sekian, pasien
belum memenuhi syarat untuk dilakukan tindakan operasi. Dimana untuk
melakukan suatu tindakan operasi, hemoglobin perioperative pasien harus 10
g/dL, sehingga pada pasien ini perlu dilakukan transfusi menggunakan whole
blood sebanyak 1 unit untuk menaikkan hemoglobin sebanyak 1g/dl. Sejawat
keperawatan kemudian bisa membantu memonitor keadaan pasien serta reaksi
sebelum, selama dan setelah dilakukan transfusi darah, dengan cara membantu
mengobservasi keadaan umum, tanda-tanda vital dan kesadaran pasien dan
sebelum, selama dan setelah transfusi diharapkan anemia dapat teratasi dengan
kriteria hasil hemogolobin dalam rentang normal (13.5 17.5) g/dL, RBC dalam
rentang normal (4.5 5.9) 106/L, HCT dalam rentang normal (41.0 53.0)%,
kulit tidak pucat, CRT < 2 detik, konjungtiva merah muda, dan pasien tidak
tampak lemah. Setelah anemia tertangani baru dapat dilanjutkan dengan reduksi
dan retensi fraktur.
Penatalaksaan nyeri bertujuan penanganan nyeri yaitu membuat pasien
dalam kondisi senyaman mungkin, menurunkan intensitas nyeri sampai level yang
ditolerir oleh pasien. Penanganan nyeri harus dilakukan secara multimodal yang
dapat dimulai dengan pendekatan psikologi yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian obat-obatan. Pada pasien ini yaitu pasien trauma biasanya sangat
cemas dan gelisah sehingga sangat penting untuk dilakukan pendekatan psikologi
dengan cara membuat pasien tetap tenang agar rasa nyeri yang dirasakan dapat
berkurang.
Pada pasien ini mendapatkan terapi injeksi ketorolac dan parasetamol
(dosis???) tablet untuk penanganan nyeri. Keputusan pemakaian analgesik yang
dipilih harus berdasarkan kegunaan dan keamanannya, jenis analgesik yang
dipakai, dosis, metode pemberiannya, serta lama penggunaan obat analgesik perlu
dikaji lebih lanjut sehingga dapat menurunkan nyeri pada pasien. Penggunaan
ketorolac untuk mengatasi nyeri sedang hingga nyeri berat untuk sementara.
Biasanya obat ini digunakan sebelum atau sesudah operasi. Ketorolac
adalah golongan obat nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja
dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan inflamasi
dan nyeri. NSAID merupakan agen obat yang digunakan dalam penanganan nyeri
tulang. Berdasarkan catatan pengobatan, pasien mendapatkan injeksi ketorolac
pada saat pasien dibawa pertama kali ke UGD RS Kasih Ibu Saba. Pasien juga
mendapatkan terapi paracetamol dimulai dari tanggal 15 Oktober 2017 setelah
dirawat di RSUP Sanglah Denpasar. Dosis paracetamol yang diterima pasien
adalah 3 kali sehari x 500 mg setelah makan dimana dosis dan waktu pemberian
paracetamol sudah sesuai. Pemberian analgesik harus dimulai dengan agen
analgesik yang paling efektif dan memiliki efek samping paling sedikit.
Paracetamol lebih dipilih daripada golongan opiat dalam pengobatan nyeri ringan
sampai sedang. Ajarkan pula teknik nonfarmakologi relaksasi dan jelaskan
prosedur sebelum melakukan tindakan. Beri posisi yang tepat secara berhati-hati
pada area fraktur dan beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri berlangsung.

X. Pemecahan Masalah Secara Interprofessional (Kesimpulan)


Pada pasien ini diakukan tindakan reduksi dan retensi dengan ORIF
dan short arm cast lalu dilakukan rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal mungkin. Latihan otot
dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi. (Latihan ROM seperti apa???)
Pemberian obat anti nyeri dengan tujuan membuat pasien dalam
kondisi senyaman mungkin, menurunkan intensitas nyeri sampai level
yang ditolerir oleh pasien. Penanganan nyeri harus dilakukan secara
multimodal yang dapat dimulai dengan pendekatan psikologi yang
kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan. Pada pasien ini
yaitu pasien trauma biasanya sangat cemas dan gelisah sehingga
sangat penting untuk dilakukan pendekatan psikologi dengan cara
membuat pasien tetap tenang agar rasa nyeri yang dirasakan dapat
berkurang. (pemantauan terkait efek samping, interaksi obat??)

XI. Tindak Lanjut / Saran


1. Saran dari Kedokteran
Pemberian komunikasi, edukasi, dan informasi kepada pasien dan
keluarga mengenai keadaan pasien dan tatalaksana yang akan dilakukan
merupakan hal yang penting. Rajin kontrol pasca operasi yaitu perwatan
luka pasca operasi dan reevaluasi radiologis dengan roentgen untuk
melihat ada abnormalitas proses penyembuhan tulang (Malunion).
2. Saran dari Keperawatan
Perlu melibatkan keluarga (orang tua) sebagai support system
dalam perawatan pasien yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
dasar. Mengajarkan teknik non-farmakologi (distraksi/pengalihan nyeri)
pada keluarga guna mempersiapkan pasien ketika mengalami nyeri, dan
menyarankan keluarga agar memotivasi pasien untuk meningkatkan
asupan nutrisi yaitu diet tinggi kalori dan tinggi protein untuk
mempercepat proses penyembuhan luka.
3. Saran dari Farmasi
Pemberian komunikasi edukasi dan informasi mengenai
penggunaan parasetamol yang rasional. Diharapkan pasien
mengkomsumsi obat pasca operasi agar nyeri bisa terkontrol. Selain itu
dilakukan evaluasi nyeri pasca pemberian obat analgetik untuk
mempertimbangkan kemungkinan untuk mengganti obat ke jenis
analgetik yang lebih kuat atau menurunkan dosis maupun menghentikan
penggunaan obat.

XII. Dokumentasi laporan kasus

Gambar 2. Pasien dan Pemeriksa Tim IPE


DAFTAR PUSTAKA (tolong pakai format yang seragam, apakah pakai APA,
Harvard, atau yang lain)

1. Indra B. Asuhan Keperawatan Klien Ny. S dengan Post Operasi Fraktur


Clavicula Sinistra Di Ruang Anggrek RSUD Tugurejo Semarang.
Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang. 2006. Tersedia dalam :
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/128/jtptunimus-gdl-bayuindraj-6380-
2-babiik-r.pdf (diakses 25 Oktober 2017).
2. Utami NKDK. Pengaruh Ankle Pumping Exercises terhadap Penurunan
Disuse Atrofi Otot Plantar Flexor pada Pasien Fraktur Femur di RSUP
Sanglah. Denpasar : Universitas Udayana. 2015. Tersedia dalam :
http://erepo.unud.ac.id/9929/ (diakses 25 Oktober 2017).
3. Bakta M. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran ECG.
2006.
4. Myhre BA. The Transfusion Trigger The Search For A Quantitative Holy
Grail. Torrance, California : Association of Clinical Scientists, Inc. 2001.
Tersedia dalam : http://www.annclinlabsci.org/content/31/4/359.full
(diakses 25 Oktober 2017).
5. Kusumaningrum A. Aplikasi dan Strategi Konsep Family Centered Care
pada Hospitalisasi Anak Pra Sekolah. Sumatera Selatan : Universitas
Sriwijaya. 2010. Tersedia dalam :
eprints.unsri.ac.id/2384/1/artikel_FCC_pra_sekolah.pdf (diakses 10
November 2017).
6. Martadiani ED dan Anandasari PPY. Buku Panduan Belajar Koas
Radiologi. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2017.
7. Barwick JF, Nowotarski PJ, Crist B, Fischer SJ, Kottmeier S. Femur
Shaft Fractures (Broken Thighbone). USA : American Academy of
Orthopaedic Surgeons. 2011. Tersedia dalam :
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00521 (diakses 12 November
2017).
8. Dipiro, JT. 2008. Pharmacoterapy Handbook 7th edition. New York: Mc
Graw Hill.

Anda mungkin juga menyukai