Anda di halaman 1dari 18

TEORI DAN APLIKASI MIDLE RANGE TEORI

DALAM KOSEP DIRI KEPERAWATAN

Oleh:

Tutik Nur Baiti

010217A033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TRANSFER

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan penyakit kusta atau lepra sangat ditakuti dimana penyakit ini

disebabkan bakteri Microbakterium leprae. Morbus hansen atau yang sering disebut

penyakit kusta/lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuma

Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan

tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Sedangkan menurut Djuanda Adhi,

kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai

afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat.


Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),

ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae

bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5

mikron. Dimana, terdapat tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang

meliputi; lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer (sensorik, motorik,

autonom) dan ditemukan Mycobacterium leprae.


Berdasarkan laporan Kemenkes RI, jumlah penderita kusta terbanyak terdapat di

Provinsi Jawa Timur baik pada tahu 2011-2013 dengan penurunan 1.152 kasus,

sedangkan provinsi yang mengalami kenaikan dalam kurun waktu 2011-2013

terdapat di Provinsi Banten sebanyak 202 kasus. Berdasarkan jenis kelami pria

memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Provinsi dengan

proporsi kusta terbanyak berjenis kelami laki-laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa

Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).


B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kusta?
2. Apakah penyebab dari kusta?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari kusta?
4. Apa sajakah tanda gejala dari kusta?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari kusta?
6. Bagaimanakah asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kusta?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi kusta
2. Untuk mengetahui dan memahami penyebab dari kusta
3. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari kusta
4. Untuk mengetahui dan memahami tanda gejala dari kusta
5. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dari kusta
6. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang diberikan pada

pasien dengan kusta


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kusta
Berikut beberapa pengertian dari para ahli;
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit,

dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.


2. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai

afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi, 2010)
3. Kusta atau Lepra (sering disebut penyakit Hansen) adalah infeksi kronis

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, terutama ditandai oleh adanya

kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), bila tidak

ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar

(testis) dan mata. (Akhsin Zulkoni, 2010)


Menurut WHO, kusta dibagi menjadi sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB), lepra tipe ini ditemukan pada seseorang dengan sistem

imun seluler yang baik, mengandung sedikit basil yang termasuk TT, BT, I,

dengan BTA (-).


2. Tipe Multibasiler (MB), lepra pada tipe ini ditemukan pada seseorang dengan

sistem imun seluler yang rendah, mengandung banyak basil yang termasuk BB,

BL, LL, dengan BTA (+).

B. Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),

ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae

bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5

mikron. Hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat ditumbuhkan
dalam media muatan. Mycobacterium merupakan parasit obligat intraselular,

terutama pada makrofag disekitar pembuluh darah superfisial yang terletak pada

dermis atau sel schwan di jaringan saraf.


Faktor resiko tinggi seseorang terkena kusta adalah sebagai berikut;
a. Mereka yang tinggal di daerah endemik edengan kondisi yang buruk seperti

tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi buruk, dan

adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
b. Jenis kelamin, pria memiliki tingkar terkena kusta dua kali lebih tinggi dari

wanita.
c. Umur, Kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3

minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur

muda dan produktif. Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh

Tarusaraya dkk (1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil

bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).
d. Penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas

dan lembap, kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan

iklim tersebut.
e. Faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.

C. Patofisiologi Kusta
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan
(Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta
yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman
masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas pasien. Mycobacterium leprae berpredileksi
di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi
yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda.
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada orang
lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa
inkubasinya yaitu 3-5 tahun

D. Tanda Gejala Kusta


Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi;
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer (sensorik, motorik, autonom)
3. Ditemukan Mycobacterium leprae
Diganosis klinis dari penyakit kusta menurut WHO sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat 1-5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris,

hilangnya sensasi yang jelas.


b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang

dipersarafi oleh saraf yang terkena), hanya satu cabang saraf.


2. Tipe Multibasiler (MB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensari yang

kurang jelas.
b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang

dipersarafi oleh saraf yang terkena), banyak cabang saraf tepi yang terkena

kelainan.

E. Penatalaksanaan Medis Kusta


Tujuan utama program pemberantasan kusra adalah menyembuhkan pasien kusta

(lepra) dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari

pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan

insiden penyakit.
Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO

(1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat

medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofzimin (Lamprene) dan DDS

(Dapson/4, 4-diamino-difenil-sulfon) yang telah diterapkan sejak tahun 1981.

Program MDT ini bertujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin

meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,

mengefektifkan waktu pengobatan dan mengeliminasi persistensi basil kusta dalam

jaringan.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang

direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut sebagai berikut;


1. Penderita Paucibaciler (PB) lesi satu
Diberikan dosis tunggal ROM

Rifampisin Ofloxacin Minocyclin


Dewasa 50-70kg 600mg 400mg 100mg
Anak 5-14tahun 300mg 200mg 50mg
Obat diminum didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak

diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT (Released
From Treatment = berhenti minum obat kusta). Dalam program ROM yang tidak

dipergunakan, penderita satu lesi diobati denga regimen selama 6 bulan.


2. Penderita Paucibaciler (PB) lesi 2-5

Dapson Rifampisin
Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan, diawasi
Anak 10-14tahun 50 mg/hari 450mg/bulan, diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka

dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesiya masih aktif. Menurut WHO tidak

ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment

Cure dan pasien tidak ladi dalam pengawasan.


3. Penderita Multibasiler (MB)

Dapson Rifampisin Klofazimin


Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan, 50mg/hari dan

diawasi 300mg/bulan diawasi


Anak 50mg/hari 450mg/bulan, 50mg/ selang sehari
10-14tahun
diawasi dan 150mg/bulan

diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang

diselesaikan dalam waktu maksimal 36bulan. Setelah selesai minum 24 dosis

maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan

pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO pengobatan MB diberikan

untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung

dinyatakan RFT.
F. Asuhan Keperawatan Kusta
1. Pengkajian
a. Biodata. Kaji secara lengkap tentang umur; penyakit kusta dapat menyerang

semua usia, jenis kelamin; rasio pria dan wanita 2,3 : 1,0. Paling sering

terjadi pada daerah dengan sosial ekonomi yang rendah dan insidensinya

meningkat pada daerah tropis/ subtropis. Kaji pula secara lengkap jenis

pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi, risiko trauma

pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.


b. Keluhan utama. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak putih yang tidak

terasa atau datang dengan keluhan kontraktur pada jari-jari.


c. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien,

kaji kapan lesi atau kontraktut tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya,

dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan

lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan gatal, nyeri, panas, atau

rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan

laboratorium. Ini penting juga untuk mengetahui apakah klien pernah

menderita penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat

kulit yang dioles atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat

menimbulkan perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga

ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah,

obat apa yang diminum? Teratur apa tidak?


d. Riwayat penyakit dahulu. Perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau

penyakit lain yang pernah diderita.


e. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan tetapi

jika anggota keluarga menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat

mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggota keluarga yang menderita atau
memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun yang sudah

meninggal.
f. Riwayat psikososial. Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan

menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang

ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan

respons masyarakat disekitar klien.


g. Kebiasaan sehari-hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola

kebiasaan sehari-hari, perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan/nutrisi

klien. Hal ini sangat penting karena faktor gizi berikatan erat degan sistem

imun. Apabila sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan

kemampuan klien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu.

Di samping itu perlu dikaji aktivitas yang dilakukan klien sehari-hari.


h. Pemeriksaan fisik. Seperti pada kasus lain, pemeriksaan fisik harus

dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja.

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan

pemeriksaan secerhana dengan mengunnakan jarum, kapas, tabung reaksi

(masing-masing dengan air panas dan es), pensil tinta dan sebagainya.

Inspeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit, biasanya

dapat ditemukan adanya makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan

eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang

kurangn jelas atau jelas, bergantung pada tipe yang diderita. Pada palpasi,

ditemkan penebalan serabut saraf tergantung pada tipe yang diderita.


Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan sederhana untuk menunjang kepastian

diagnosis penyakit kusta dan juga untuk mengetahui ada/tidaknya anestesia

pada lesi yang kita curigai melalui beberapa pengujian seperti;


1) Uji kulit. Terlebih dahulu penderita diberi tahu dan dijelaskan tentang

prosedur pengujian yang akan dilakukan secara jelas. Penggunaan jarum


untuk mengetahui rasa nyeri. Menggunakan kapas atau bulu ayam untuk

mengetahui sensasi raba. Jika masih belum jelas, dilakukan pengujian

terhadap sensasi suhu yaitu panas dan digin, dengan menggunakan 2

tabung reaksi yang disentuhkan secara bergantian dengan catatan

penderita tidak melihat pada waktu pengujian dilakukan dan menyebutka

rasa apa yang dirasakan.


2) Uji keringat. Pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis karena

rusaknya kelenjar keringat. Uji ini dilakuka dengan cara menggores lesi

dengan pensil tinta mulai dari beberapa cm di luat lesi melewati

permukaan lesi dan keluar batas lsi. Hasilnya, pada bagian luar lesi

goresan pensil akan mengembang berwarna ungu, sedangkan didaerah

lesi tidak.
3) Uji Lepromin. Dilakukan untuk menentkan diagnosis dan klasifikasi

peyakit kusta.
i. Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan bakterioskopik, skin smear atau kerokan kulit adalah

pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil

pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat

Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu

menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.


2) Pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan histopatologi pada penyakit

lepra dilakukan untuk memastikan gambaran klinik atau untuk

menentukan klasifikasi lepra.


3) Pemeriksaan serologis, pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas

terbentuknya antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

Mycobacterium leprae. Pemeriksaan serologis ini dapat membantu


diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik

tidak jelas.
2. Diagnosa Keperawatan
 Nyeri kronik berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera.
 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot.
 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh.
 Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental.
 Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
 Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi in adekuat.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri kronik berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera.

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan o Kaji tingkat nyeri termasuk
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil termasuk
yaitu karakteristik,kualitas,durasidan
o Menyatakan secara verbal pengetahuan frekwensi
tantang cara alternatif untuk meredakan o Observasi tanda-tanda vital.
nyeri o Ajarkan dan anjurkan kilien
o Tidak menunjukkan adanya nyeri melakukan tehnik relaksasi
meningkat o Atur posisi senyaman mungkin.
3. Nyeri teratasi o Kolaborasi dalam penberian
analgetik

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukano Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada
tindakan keperawatan 1x24 jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
jam kriteria hasil yaitu o Berikan perawatan khusus pada daerah yang
1. menunjukkan regenerasi terjadi inflamasi
jaringan o Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi
2. tidak ada lepuh atau inflamasi, perhatikan adakah penyebaran pada
maserasi pada kulit jaringan sekitar.
3. eritema kulit dan eritemao Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu
di sekitar luka minimal direndam.
o Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari
tekanan.
o Konsultasi pada dokter tentang implementsi
pemberian makanan dan nutrisi untuk
meningkatkan potensi penyembuhan luka

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan
1. Kaji tingkat kemampuan klien
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil 2. Anjurkan periode untuk istrahat
yaitu dan aktivitas secara bergantian
1. Menunjukan toleransi aktivitas 3. Bantu klien untuk mengubah posisi
2. Menampilkan aktifitas kehidupan secara berkala
sehari-hari 4.
Lakukan latihan rentang gerak secar
a konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
5. Kolaborasi dengan ahli terapi
dalam memberikan terapi yang
tepat

d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi

tubuh.

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji respon verbal dan nonverbal klien
keperawatan 1x24 jam kriteria terhadap dirinya
hasil yaitu 2. Jelaskan tentang pengobatan,
1. Mampu mengidentifikasi kekuatan perawatan, kemajuan dan prognosis
personal penyakit
2. Menentukan penerimaan
3. Beri dorongan kepeda klien dan
penampilan keluarga untuk mengungkapkan
3. Memelihara interaksi sosial yang perasaannya
dekat dan hubungan personal 4. Bantu klien dalam mengatasi
masalahnya

e. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan 1. Bina hubungan teraupetik dengan
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil pasien yang mengalami kesulitan
yaitu berinteraksi dengan orang lain
1. Menunjukkan keterlibatan sosial 2. Bantu pasien membedakan antara
2. Dapat berinteraksi baik dengan persepsi dan kenyataan
masyarakat 3. Kurangi stigma isolasi dengan
3. Berpartisipasi dalam aktivitas menghormati martabat pasien
dengan orang lain 4. Fasilitasi kemempuan individuuntuk
4. Mengembangkan hubungan satu berinteraksi dengan orang lain
sama lain 5. Fasilitasi dukungan kepada pasien
oleh keluarga, teman, dan komunitas

f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji tingkat kecemasan
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil
2. Gunakan pendekatan yang
yaitu menenangkan
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 3. Jelaskan semua prosedur dan apa
mengungkapkan gejala cemas yang di rasakan selama prosedur
2. Mengidentifikasi , mengungkapkan 4. Dorond pasien untuk
dan menunjukkan tehnik untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan
mengontrol cemas dan persepsi
5. Kolaborasi dalam pemberian obat
penurun cemas

g. 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi in adekuat

Tujuan dak kriteria hasil Intervensi


( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien
keperawatan 1x24 jam kriteria 2. Beri informasi tentang penyakit dan
hasil yaitu pengobatan kepeda pasien
1. Pasien dan keluarga menyatakan 3. Berikan motivasi pada klien tentang
pemahaman tentang penyakit, kesembuhannya
kondisi, prognosis dan program 4. Diskusikan setiap tindakan yang berh
pengobatan
2. Pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang di
jelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang di
jelaskan
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit,

dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.


2. Menurut WHO, kusta dibagi 2 yaitu Tipe Paucibasiler (PB) dan Tipe

.Multibasiler (MB).
3. Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi sebagai berikut;

lesi kulit yang anestesi, penebalan sarag perifer (sensorik, motorik, autonom) da

ditemukan Mycobacterium leprae.


4. Tujuan penatalaksanaan pada penyakit kusta bertujuan untuk menyembuhkan

pasien kusta (lepra) dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai

penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk

menurunkan insiden penyakit.


5. Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO

(1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat

medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofzimin (Lamprene) dan

DDS.
6. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa

pada penyakit kusta sebagai berikut; pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan

histopatologi, pemeriksaan serologis.


h. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien dengan penyakit kusta

sebagai berikut; kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit, nyeri akut

b.d proses inflamasi, gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap

lesi kulit, hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi.

B. Saran
Makalah ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat membantu

bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Kolcaba. 1997. Comfort Theory and Practice. www.thecomfortline.com. Diunduh


tanggal 24 September 2014, jam 20.15

McKenna, Hugh.1997. Nursing Theories and Models. New York: Routledge.

Meleis, Afaf Ibrahim. 2010.Transitionstheory: middle-range and situation specific


theories in nursing research and practice. New York: SpringerPublishingCompany.

Parker,Marilyn E. & Smith, Marlaine Cappelli. 2010. Nursing theories and nursing
practice. 3rd ed. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Peterson,Sandra J. & Bredow, Timothy S.2009. Middle Range Theories, Application to


Nursing Research. Second edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Sieloff, Christina Leibold and Frey, Maureen A. 2007. Middle Range Theory
Development Using King’s Conceptual System. New York: Springer Publishing
Company .

Smith,Mary Jane & Liehr, Patricia R. 2008. Middle range theory for nursing. 2nd ed.
New York: Springer Publishing Company.

Tomey, Alligood. 2006. Nursing Theorist and Their Work. Sixth edition. Toronto: The
CV Mosby Company St. Louis

Anda mungkin juga menyukai