DISUSUN OLEH :
Steffi Eka Nindyastuti Wijaya
(SK115042)
Wasalamu’alaikum Wr.Wb
A. LATAR BELAKANG
Di era yang semakin modern dan berkembang sangat berpengaruh pada kehidupan
manusia. Proses perkembangan dan modernisasi tersebut tak hanya pada IPTEK dan
transportasi saja, melainkan juga pada pola pikir manusia. Hal tersebut dapat kita lihat
pada Negara kita yakni Negara Indonesia. Indonesia merupakan salah satu Negara
berkembang yang memiliki suatu dasar Negara yakni pancasila. Pancasila merupakan
dasar Negara tertinggi yang memuat 5 sila untuk mengatur kehidupan dan cara pandang
rakyatnya agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan. Bangsa Indonesia dalam
menggunakan pancasila sebagai dasar Negara didasarkan pada beberapa landasan, yakni:
landasan historis, landasan kultural, landasan yuridis, dan landasan filosofis. Selain itu
bangsa Indonesia juga memandang pancasila dari berbagai sudut pandang, salah satunya
sebagai paradigma pembangunan hukum.
Bila melihat kenyataan yang terjadi dalam kancah kehidupan bangsa kita, pancasila
sebagai paradigma pembangunan hukum semakin lama semakin terabaikan dengan
berbagai tindakan tidak bermoral. Banyak kasus seperti KKN, pemberontakan, aksi demo
anarki, pertikaian, dll. Hal tersebut seolah mencerminkan pertentangan antara fungsi
pancasila itu sendiri dengan pribadi bangsa. Salah satu upaya agar permasalahan bangsa
tersebut dapat terselesaikan kuncinya terdapat pada kesadaran masyarakata akan
pentingnya menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam pancasila.
Oleh karena itu, kami selaku penyusun mencoba membuat makalah
dengan judul “Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum”. Hal tersebut
dimaksudkan agar membimbing pembaca sehingga dapat mengingat dan memahami
pentingnya pancasila dalam tegaknya keadilan hukum di indoesia dan dapat membekali
mahasiswa PGSD dalam mengajar nanti.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah tujuan pancasila sebagai paradigma reformasi hukum?
2. Mengapa fungsi pancasila digunakan sebagai nilai perubahan hukum?
3. Bagaimankah konsep dan ciri negara hukum?
4. Apa sajakah landasan dan perwujudan negara hukum Indonesia?
5. Apakah tujuan dan aspek pembangunan hukum?
6. Mengapa fungsi pancasila digunakan sebagai sumber tertib hukum RI?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tujuan pancasila sebagai paradigma reformasi hukum
2. Untuk memahami fungsi pancasila sebagai nilai perubahan hukum
3. Untuk mempelajari konsep dan ciri negara hukum
4. Untuk mengetahui landasan dan perwujudan negara hukum Indonesia
5. Untuk mempelajari tujuan dan aspek pembangunan hukum
6. Untuk memahami fungsi pancasila sebagai sumber tertib hukum RI
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam era reformasi, tuntutan rakyat terhadap pembaruan hukum sudah merupakan suatu
keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan
tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini
berdasrkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan
Orde Baru, salah satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama Orde baru adalah
bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh
dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak
mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat
imperative bagi penyelenggara pemerintahan.
Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang
maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang
mengalami kerusakan. Namun, dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara
spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas.
Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Pelaksanaan Hukum
Dalam era Reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan
operasionalnya, Reformasi pada dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi Negara pada
tujuan semula yaitu melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah. Negara pada
hakikatnya secara formal (sebagai Negara hukum formal) harus melindungi hak-hak warganya
terutama hak kodrat sebagai suatu ha asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa
(Sila I dan II). Oleh karena itu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia adalah sebagai
pengingkaran terhadap dasar filosofis Negara, misalnya pembungkaman demokrasi, penculikan
pembatasan berpendapat, berserikat, berunjukrasa dan lain sebagainya dengan sendirinya hal ini
harus disertai dengan tanggung jawab atas kepentingan bersama.
(Sila IV). Maka dalam pelaksanaan hukum harus mengembalikan negara pada supremasi hukum
yang didasarkan atas kekuasaan yang berada pada rakyat bukannya pada kekuasaan
perseorangan atau kelompok. Bagi Negara Indonesia kekuasaan rakyat dilakukan oleh suatu
Majelis yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan melalui suatu pemilihan umum.
Oleh karena itu pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus mendasarkan pada
terwujudnya atas jaminan bahwa dalam suatu Negara kekuasaan adalah di tangan rakyat.
Pelaksanaan umum pada masa Reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negar
demokratis dengan suatu supremasi hukum. Artinya pelaksanaan hukum harus mampu
mewujudkan jaminan atas terwujudnya keadilan (Sila V) , dalam suatu Negara yaitu
keseimbangan antara hak dan wajib bagi setiap warga Negara tidak memandang pangkat,
jabatan, golongan, etinsitas maupun agama. Setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di
muka hukum dan pemerintah (UUD 1945 Pasal 27). Jaminan atau terwujudnya keadilan bagi
setiap warga Negara dalam hidup bersama dalam suatu Negara yang meliputi seluruh unsure
keadilan baik keadilan distributuf, keadilan komutatif, serta keadilan legal. Konsekuensinya
dalam pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung
tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional dan adanya
hierarki jenjang norma hukum (stufenbouwtheorie-nya Hans Kelsen)
2. Sistemnya, yaitu system konstitusi.
UUD 1945 sebagai naskah keseluruhan terdiri dari Pembukaan, Batang tubuh dan Penjelasan
sebagai hukum dasar Negara. UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokoknya saja, sedangkan
peraturan lebih lanjut dibuat oleh organ Negara, sesuai dengan dinamika pembangunan dan
perkembangan serta kebutuhan masyarakat. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan
dibawahnya membentuk kesatuan system hukum.
3. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi
Dapat dilihat dari Pembukaan UUD 1945, Pasal 2 ayat (2) yaitu “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan UUD”.
4. Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945).
5. Ada8nya organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR)
6. Sistem pemerintahannya adalah presidensiil.
7. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain(eksekutif).
8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan hukum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang mencerdaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social.
9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945)
E. PEMBANGUNAN HUKUM
Reformasi secara menyeluruh dan tuntutan agar kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan
republik Indonesia ditegakkan adalah suatu hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh semua
lapisan masyarakat. Oleh sebab itu, perwujudan Negara berdasarkan kepada hukum dan
pemerintahan yang konstutional benar-benar dapat diabadikan untuk memenuhi aspirasi dan
kepentingan rakyat sesuai dengan tujuan Negara. Hukum yang ada di Indonesia saat ini belumlah
menggembirakan karena kesadaran hukum di kalangan supra-struktur dan infra-struktur masih
sangat memprihatinkan. Hukum hanya digunakan sebagai alat kepentinganpolitik pemerintah
untuk mengatur rakyat dan jarang dijadikan pedoman bagi pemerintah itu sendiri, oleh karena itu
gerakan reformasi hukum akan mewujudkan Negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu hukum
yang memperhatikan keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Ada beberapa
masalah tentang hukum di indonesia yang patut dicarikan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut yaitu masalah independensi institusi lembaga peradilan, law enforcement, dan masalah
hak asasi manusia (HAM).
a. Independensi Lembaga Peradilan
Menurut Satya Arinanto berbagai masalah hukum yang menimbulkan kebimbangan saat
ini antara lain adalah permasalahan merosotnya wibawa hukum dan wibawa institusional hukum,
demoralisasi oknum penegak hukum, kebebasan hakim, dan independensi lembaga-lembaga
pengadilan. Permasalahan independensi penegak hukum berkaitan erat dengan kebebasan hakim
dalam memutuskan perkara yang erat dengan pengaruh luar. Oleh karenaitu menurut prof. Sri
Soemantri SH, bahwa pengangkatan seorang hakim oleh presiden sebagai kepala Negara sudah
cukup baik, namun rekrutisasi yang dilakukan perlu dikaji ulang. Persyaratan seorang hakim
yang berkualitas haruslah bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, setia kepada pancasila serta
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Untuk menjamin persyaratan tersebut,
maka rekrutisasi calon hakim harus dilakukan secara objektif.
b. Penegakan Hukum ( Law Enforcement )
Berbicara masalah penegakan hukum dan problematikanya sangat terkait dengan tujuan
hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Menurut Prof. Sudikno
bahwa tujuan hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang trtib, menciptakan ketertiban
dan keseimbangan. Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan keadilan, sedangkan
menurut teori utilities tujuan hukum adalah ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi
manusia dalam jumlah sebanyak-banyaknya.
Tertib hukum dapat ditegakkan, apabila hukum dapat mendatangkan keadilan bagi mereka yang
berkepentingan terhadap keadaan tertib dan damai, karena bagaimanapun hukum melindungi
kepentingan dan cita-cita dasar manusia. Yaitu keamanan jiwa, kebebasan mengurus diri sendiri
dan hak-hak pribadi, dan lain sebagainya. Jika tujuan hukum tidak mengupayakan hal demikian,
manusia akan berusaha untuk memperoleh keadilan bagi dirinya dengan cara apa saja yang kalau
perlu dapat mengorbankan kepentingan umum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa
saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu
hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti
luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya
bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti
sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis
saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah
‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang
dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas,
sebagai pedoman.
1. Penegak Hukum Objektif
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan
dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula
pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri,
kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan
keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti
sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan
dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi
‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan.
Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut
dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri,
melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang
membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.
Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka,
sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran
materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana.
Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan
kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik
dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan
hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan
hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang
bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajibankewajiban yang juga dasar dan
mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia
memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan
keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban
secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi
dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi
manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya
dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan
melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan.
Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan
diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal
dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern
terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga
perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu
ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara
demokrasi yang berdasar atas hokum (constitutional democracy). Dengan perkataan lain, issue
hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan
itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah
penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Yang ditegakkan adalah aturan hukum dan
konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri. Namun,
dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan
istilah penegakan HAM. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan
kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun memang
belum berkembang secara sehat.
2. Aparatur Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat
dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan
petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak
yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau
pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian
sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait
dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan
yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga
proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di
negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya
penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara
Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak
mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja
berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan
hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama,
yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii)
sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of
law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan
(iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh
pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan
administrasi hokum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat
sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of
law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum
itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem
dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan
dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusankeputusan administrasi
negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan
lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas,
bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada
aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hokum
yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan
masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh
dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif
atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai
berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan
contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan
dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).
Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah
agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
(Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979):
a. Undang-undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum,
apabila pembuatnya sama.
e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku
terdahulu.
f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel
bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus
dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu
menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa
halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran
atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia
berinteraksi.
b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi.
d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.
e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
f. Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap-sikap,
sebagai berikut:
1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
3) Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7) Berpegang pada perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia.
9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan hak lain.
10) Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitingan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk
sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka &
Soerjono Soekanto, 1983):
a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.
b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.
c. Yang kurang-ditambah.
d. Yang macet-dilancarkan.
e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan
yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik
buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut ( Purbacaraka & Soerjono soekantu):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan dan nilai kebaruan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam era reformasi pelaksanaan hukum didasarkan pada nilai sebagai landasan operasionalnya,
Reformasi pada dasarnya untuk mengembalikan hakikat dan fungsi Negara pada tujuan semula
yaitu melindungi seluruh bangsa dan seluruh tumpah darah. Dalam pengertiannya, pancasila
berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya
perubahan hukum, atau pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum.
Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas
hukum. Dasar pijakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sekarang ini tertuang
dengan jelas pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “negara Indonesia
adalah negara hukum”. Hubungan antara negara hukum dengan demokrasi dapat dinyatakan
bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. perwujudan negara berdasarkan
kepada hukum dan pemerintahan yang konstutional benar-benar dapat diabadikan untuk
memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat sesuai dengan tujuan negara. Tertib hukum (Legal
Order,Reehtsordnung) adalah keseluruhan peraturan hukum secara bersama yang menunjukkan
atau memenuhi empat syarat. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang sumber tertib
hukum republik Indonesia dan tat urutan peraturan perundang-undangan republik Indonesia,
menyatakan bahwa: pancasila merupakan “sumber dari segala sumber hukum”.
B. Kritik dan Saran
1) Bagi pembaca apabila membaca makalah ini diharapkan dapat memahami dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.
2) Bagi pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat mencegah berbagai masalah yang timbul
pada Negara Indonesia, khusunya masalah pancasila sebagai paradigam pembanguan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Syarbaini, Syahrial. 2002. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Budiyono, Kabul. 2009. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Alfabeta