Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia 7.
7. Malu Senantiasa Seiring Dengan Iman, Bila Salah Satunya Tercabut
berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah Hilanglah Yang Lainnya. satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu “Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” hilanglah yang lainnya.”[11] Malu perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1] 8. Malu Akan Mengantarkan Seseorang Ke Surga Imam Ibnul Qayyim “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang “Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), Sehingga setiap kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Neraka.”[12] akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan- Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3] kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu B. Keutamaan Malu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu 1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu [Muttafaq ‘alaihi] kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) 2. Malu Adalah Cabang Keimanan. yang benar. [al-Ahzâb/ 33:53] “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar Iman.”[5] malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah 3. Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu. ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang maka hendaklah dia menutup diri.”[6] mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa 4. Malu Adalah Akhlak Para Malaikat. Jalla dengan sebenar-benar malu.[25] “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para H. Malu Yang Tercela Malaikat merasa malu kepadanya.”[7] Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang 5. Malu Adalah Akhlak Islam. menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8] ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu 6. Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat. karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi “Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9] tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27] berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10] mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar. Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata, َ َلا م ْست احْ يَ ْالعَِْل اَم ياتاعالَّم لا َ م ْست ا ْكبِـرَ او. Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.[28] Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr, ساءَ النِِّ ا ساءَ نِ ْع اَم ار نِ ا َِ ص ََّ ن ْالـ احيااءَ يا ْمنا ْعه اْأل ا ْن ا، ن لاـ َْم َْ ْن فِـي ياتافاقَّ ْهناَ أ ا َِ ال ِدِّي. Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.[29] J. Buah Dari Rasa Malu Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. bersifat wafa’ (setia/menepati janji). Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]