PENDAHULUAN
Gambar 2.1 Lokasi Simpanan Zat Besi di dalam Tubuh (Gibney et al.,
2008).
Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi daripada laki-laki karena terjadi
menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan dan
kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 mg. Di samping itu kehamilan
memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah
dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Selain itu, ibu hamil
memiliki tingkat metabolisme tinggi. Misalnya , untuk membuat jaringan
tubuh janin, membentuknya menjadi organ, dan juga untuk memproduksi
energi agar ibu hamil bisa tetap beraktivitas normal sehari-hari. Karena itu,
ibu hamil lebih banyak memerlukan zat besi dibanding ibu yang tidak hamil
(Sinsin, 2008; Manuaba, 1998).
Kebutuhan zat besi pada setiap kehamilan yaitu 900 mg dengan rincian
kebutuhan seperti pada gambar 2.2 (Manuaba, 1998).
Commented [a2]: disalin saja
Gambar 2.2 Rincian Kebutuhan Zat Besi Ibu Hamil pada Setiap
Kehamilan(Manuaba, 1998).
Penulis lain mengatakan bahwa pada gestasi tipikal dengan satu janin,
terdapat kebutuhan total ibu akan zat besi yang dipicu oleh kehamilan rata-rata
mendekati 1.000 mg dengan rincian seperti pada gambar 2.3(Leveno, 2009).
Commented [a3]: disalin saja
C. Patofisiologi
Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Hb
adalah komponen dalam sel darah merah (eritrosit) yang berfungsi
menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh. Jika Hb berkurang, jaringan tubuh
kekurangan oksigen. Oksigen diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses
metabolism. Nah, zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah.
Jika jumlah sel darah banyak, jumlah Hb pun banyak. Begitupula sebaliknya
jika kekurangan (Sinsin. 2008).
Ibu hamil mempunyai tingkat metabolism yang tinggi. Misalnya,
untuk membuat jaringan tubuh janin, membentuknya menjadi organ, dan juga
untuk memproduksi energy agar ibu hamil tetap beraktivitas normal sehari-
hari. Karena itu, ibu hamil lebih banyak memerlukan zat besi disbanding ibu
yang tidak hamil(Sinsin. 2008).
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa
tahap. Awalnya, terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi. Lambat laun
hal tersebut mempengaruhi kadah Hb dalam darah. Di dalam tubuh sebagian
zat besi dalam bentuk ferritin di hati. Saat konsumsi zat besi dari makanan
tidak cukup, ferritin inilah yang diambil. Sayangnya daya serap zat besi dari
makanan sangatlah rendah (Sinsin. 2008).
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh
karena perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume
plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi
aldesteron (Sinsin. 2008).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kwantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Metode pemeriksaan Hb adalah mudah,
sederhana dan penting bila prevalensi kekurangan besi tinggi, seperti
pada kehamilan. Keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifisitasnya
kurang. Untuk mengidentifikasi anemia defisiensi besi, pemeriksaan
Hb, dan hematokrit biasanya sekaligus diukur serta haruss diukur
bersama -sama dengan pengujian status besi lain yang lebih selektif,
pemeriksaan Hb sensitifitasnya 80-90 % dan spesifisitasnya 65-99%
(Ruiz, 2000).
b. Penentuan indek eritrosit
Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC),
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan Flow
cytometri atau menggunakan rumus : (Ruiz, 2000)
1) Mean corpusculer volume = MCV (Volume sel rata-rata).
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia
mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi
yang spesifik setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 70 -100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl.
2) Mean corpuscle heamoglobin = MCH
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam 1 eritrosit. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31
pg.
3) Mean corpuscular hemoglobin concentration = MCHC.
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rat-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-
35% dan Hipokrom < 30%.
c. Pemeriksaan hapusan darah perifer.
Pemeriksaan hapusan darah per ifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan lowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada
kolom morfology flag (Ruiz, 2000).
d. Red distribution wide = RDW (Luas distribusi sel merah )
Luas distribusi sel merah adalah parameter sel darah merah masih
relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran
sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara.
Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal
dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh
transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan
naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi,
dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 % (Ruiz, 2000).
e. Eritrosit protoporphirin ( EP )
EP diukur dengan memakai heamatofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tehniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan
besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi diurnal yang
luas. EP secara luas dipakai dalam surve populasi walaupun dalam
praktek klinis masih jarang (Ruiz, 2000).
f. Serum iron = SI (Besi serum)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Variasi
diurnal ditemukan berbeda 100% selama interval 24 jam pada orang
sehat. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan
ukuran mutlak status besi yang spesifik (Ruiz, 2000).
g. Serum transferin ( Tf)
Transferin adalah protein tranport besi, dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Transferin serum bisa diperkirakan dengan
memakai tehnik otomatik dimana kemampuan mengikat besi total
(TffiC) yakni jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan (Ruiz, 2000).
h. Transferrin saturation = TS (jenuh Transferin )
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi
kesumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indek kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. TS dapat menurun pada penyakit peradangan.
Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi (Ruiz, 2000).
i. Serum feritin.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas
dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <
12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti
kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin
menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada
wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada
wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap
stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap
saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60 -70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil
serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II
dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritinadalah reaktan rase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
feritin diukur dengan mudah memakai essay immonoradiometris
(IRMA), Radioimmonoassay (RIA), atau Essay immonoabsorben
(Elisa) (Ruiz, 2000).
j. Reseptor serum t ransferin (TfR)
Reseptor serum transferin adalah pengukuran status besi terbaru untuk
mendeteksi kekurangan besi pada tingkat seluler. Reseptor transferin
ditemukan pada membran-membran sel memungkinkan transferin
yang terikat besi untuk memasuki sel. Apabila suplai besi tidak
memadai maka terjadi up-regulasi reseptor transferin untuk menjamin
sel dapat bersaing lebih efektif demi zat besi. Jumlah reseptor pada
membran sel sebanding dengan reseptor yang ditemukan pada plasma.
Peningkatan reseptor serum terjadi pada penderita kekurangan besi
eritropoisis ataupun kekurangan besi anemia. Reseptor transferin dapat
diukur dengan memakai tehnik Elida monoclonal sensitif. Nilai normal
adalah 3 -9 mg/l. Pria dan wanita sehat rata-rata 5,6 mg/l dan
kekurangan besi adalah 18 mg/l. Serum reseptor transferin
memberikan suatu pengukuran yang lebih stabil dari pada jenuh
transferin. Dimana pada awalnya dipengaruhi oleh perkembangan
kekurangan besi fungsional dari indek hematologis tradisional seperti
eritrosit protophorpirin ataupun MCV. Perbedaan dengan serum
feritin, reseptor transferin tetap saja normal pada penderita peradangan
akut, kronis, dan penyakit hati dan sangat efektif untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronis. Reseptor
transferin secara khusus penting pada wanita hamil, karena merupakan
indikator yang lebih baik terhadap status besi dari pada serum feritin,
eritrioprotophorpirin, ataupun volume sel merah rata-rata (Ruiz, 2000).
1. Pemeriksaan sum-sum tulang
Pemeriksaan histologi sum-sum tulang dapat menentukan dan menilai
jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Dikatakan kekurangan zat
besi jika tidak ditemukan atau tidak ada besi retikuler. Pemeriksaan sum
sum tulang merupakan gold standart untuk penilaian cadangan besi,
namun pemeriksaan ini sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi
karena merupakan teknik invasif dan bersifat subyektif (tergantung pada
keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum tulang yang memadai dan
teknik yang dipergunakan) serta harga pemeriksaan yang mahal
(Supandiman,1997).
E. Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis anemia pada kehamilan berdasarkan gambaran klinis
pada saat anamnesis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah dan
sum-sum tulang. Pada anamnesis akan didapatkan keluhan cepat lelah, sering
pusing, mata berkunang-kunang, dan keluhan mual dan muntah yang parah pada
kehamilan muda (Trimester 1) (Manuaba, 2007).
Untuk memudahkan dan keseragaman Diagnosa Anemia defisiensi Besi,
WHO,2001 menetapkan kriteria sebagai berikut:
Anemia defisiensi
No. Pemeriksaan Kadar normal
besi
1 Hemoglobin
Wanita dewasa
< 11 12 gr/dl
hamil
2 MCHC < 31 32-35%
3 Serum Iron < 50 80-160 ugr%
4 TIBC >400 250-400 ugr%
5 Jenuh Transferin <15 30-35%
6 Feritin Serum <12 12-200 ugr/dl Commented [a5]: mana judul tabelnya?
The Centers for Disease Control and Prevention ( CDC ) sedikit berbeda
dengan WHO, menurut CDC kriteria anemia pada kehamilan adalah Hb kurang
dari 11 gr / dl untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr / dl untuk
trimester II (Gani, 2002).
NHANES II dan III ( National Health And Nutrition Examination Survey)
membuat definisi Defisiensi Zat Besi adalah bila didapati 2 dari 3 pemeriksaan
laboratorium tidak normal, meliputi : (Gani, 2002)
1. Eritrosit Protoporphirin.
2. Jenuh Transferin.
3. Serum Feritin.
F. Rencana Terapi
a. Medika Mentosa
Penatalaksanaan medika mentosa anemia defisiensi besi pada ibu
hamil meliputi beberapa hal, yaitu (Manuaba, 2007):
1. Pemberian preparat besi secara oral contohnya Ferrous fumarate. Per
hari dibutuhkan kurang lebih 200 mg.
2. Pemberian preparat besi secara intravena contohnya Ferrum oksidum
sakkaratum, Ferigen, ferrivenin, proferrin, vitis, sodium dufferat/
ferronascin, dekstran ferrom. Permberian secra intravena jarang
digunakan karena memiliki komplikasi terhadap janin.
3. Bila Hb 5-6 gr % maka dapat dilakukan transfusi darah
menggunakan pack cell.
Pemberian preparat besi secara oral sering menimbulkan
ketidaknyamanan pada saluran pencernaan, mual muntah, nyeri
epigastrium maupun konstipasi jadi apabila diperlukan dapat
menggunakan obat-obatan laksatif (Tucker, 1998). Dosis preparat yang
diberikan pada ibu hamil adalah 1-3 tablet per hari dalam dosis terbagi.
Disarankan pula ketika mengonsumsi preparat besi 1 jam sebelum makan
atau 2 jam setelah makan. Hal ini dikarenakan zat besi diabsorbsi dengan
baik dalam keadaan lambung yang kosong (Morgan, 2009). Commented [a7]: ? daftar pustaka?
G. Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan umumnya baik bagi ibu
dan anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa perdarahan banyak
atau komplikasi lain. Anemia berat yang tidak terobati dalam kehamilan
muda dapat menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan tua dapat
menyebabkan partus lama, perdarahan postpartum, dan
infeksi(Wiknjosastro,2007).
H. Komplikasi
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik
dalam kehamilan, persalinan maupun masa nifas.
1. Komplikasi selama kehamilan
a. Ancaman timbulnya abortus
b. Mudah lelah dan turunnya immature dan premature
c. Ancaman timbulnya persalinan immature dan premature(Wasnidar,
2007).
2. Komplikasi selama persalinan
a. Partus lama karena inertia uteri
b. Pendarahan pasca persalinan
c. Atonia uteri
d. Hipoksia yang dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada
persalinan
e. Infeksi persalinan dan setelah persalinan(Wasnidar. 2007).
3. Komplikasi terhadap janin
a. Kematian prenatal
b. Prematuritas
c. Cacat bawaan(Wasnidar, 2007). Commented [a8]: ? di daftar pustaka?
BAB III
PEMBAHASAN Commented [a9]: referensi?
A. Teori Baru
B. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Saat hamil zat besi dibutuhkan lebih banyak daripada saat tidak hamil.
Pada kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan
plasenta, kebutuhan zat besi pada setiap trimester berbeda. Terutama
pada trimester kedua dan ketiga wanita hamil memerlukan zat besi
dalam jumlah banyak, oleh karena itu pada trimester kedua dan ketiga
harus mendapatkan tambahan zat besi. Oleh karena itu pencegahan
anemia terutama di daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang
tinggi sebaiknya wanita hamil diberi sulfas ferrossus atau glukonas
ferrosus, cukup 1 tablet sehari. Terapinya adalah oral (pemberian ferro
sulfat 60 mg / hari menaikkan kadar Hb 1,00 gr% dan kombinasi 60
mg besi + 500 mcg asam folat) dan parenteral (pemberian ferrum
dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 2 x 50 ml gr
diberikan secara intramuskular pada gluteus maksimus dapat
meningkatkan Hb relatif lebih cepat yaitu 2,00 gr% (dalam waktu 24
jam). Pemberian parentral zat besi mempunyai indikasi kepada ibu
hamil yang terkena anemia berat). Sebelum pemberian rencana
parenteral harus dilakukan test alergi sebanyak 0,50 cc / IC.
2. Non medikamentosa
a. Tingkatkan konsumsi makanan bergizi yang banyak mengandung
zat besi dari bahan makanan hewani (daging, ikan, ayam, hati,
telur) dan bahan makanan nabati (sayur berwarna hijau tua,
kacang-kacangan, tempe, tahu)
b. Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin
C
c. Hati-hati dalam mengkombinasikan makanan, misalnya minum teh
atau kopi bersamaan dengan makan akan mempersulit penyerapan
zat besi sedangkan makanan yang mengandung vitamin c dapat
membantu tubuh menyerap zat besi
D. Harapan
Dari penjelesan mengenai kelebihan serta kekurangan yang ada
pada teori lama dan teori baru dalam penatalaksanaananemia pada ibu
hamil terutama yang disebabkan karena defisiensi besi, semoga
memunculkan gairah dan inisiatifagar segera dilakukan penelitian dan
evaluasi mendalam oleh para tenaga ahli di Indonesia sehingga mampu
menghasilkan faedah seluas-luasnya agar tercapai kemaslahatan bagi
pasien ibu hamil, klinisi, maupun masyarakat pada umumnya.
KESIMPULAN
Gani R.A, Arnan AK. Hemoglobin concentration, transferin saturation and serum Kog tidak ada artikelnya?
Artikel diusahakan mencapai 75% referensi yang dipakai
feeritin in pragnancy. (abstrak). The 29th World Congress of the
International Society of Hematology, Seul 2002.
Gibney, M. J., Margetts, B. M., Kearney, J. M., & Arab, L. (2008). Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Ruiz -Aruelllews GJ. Clinical utility of the laboratory reports provided by blood
cell counters and blood film examination. J Hematol. 2000: 11-13.
Sarwono, Prawirohardjo, 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Sinsin, I. (2008). Seri Kesehatan Ibu dan Anak: Masa Kehamilan dan Persalinan.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Sohimah, 2006. Anemia Dalam Kehamilan dan Penanggulangannya. Jakarta:
Gramedia
Supandiman I.1997.Hematologi Klinik edisi kedua.Bandung:Penerbit Alumni
Varney, H.2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC
Wasnidar, 2007. Buku Saku Anemia Pada Ibu Hamil, Konsep dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info Media
Wiknjosastro, Hanifa.2007. Ilmu Kebidanan.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka
Wintrobe MM, Lee GR, Boggs DR, Bithell TC, Atheus JW , editors. Lee GR.
Iron deficiency and Iron deficiency anemia. In : Clinical Hemotology. 7th
ed, Philadelphia: Lea Febiger; 2005: 621-670.
WHO, 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment, Prevention, and Control,
Aguide for programme managers.
CATATAN: