Anda di halaman 1dari 2

Kami Pecinta Sepak Bola

Sewaktu masih SMP, aku dan teman-temanku suka bermain sepak bola. Kami bermain pada
sore hari, saat matahari tidak terlalu panas. Kadang jika sudah tidak ada aktivitas di rumah,
kami akan bermain lebih awal dan berhenti saat adzan maghrib berkumandang. Kami
mencintai sepak bola, hal ini bisa dilihat saat kami bermain semuanya pasti memakai kostum
tim kesayangan dan meniru gaya pemain yang diidolakan. Tapi sayangnya, kami tidak
bermain di lapangan. Hal ini disebabkan karena pemerintah setempat, sudah menggusur
lapangan kami untuk dijadikan lahan bandara. Hingga suatu sore, Fikri temanku yang baru
pulang sekolah menawari kami untuk bermain di pekarangan samping rumahnya.
“Mending main di rumahku aja!” kata Fikri.
“Emang boleh?” tanya Rais penasaran. Aku dan teman-teman yang lain, menatap ke arah
Fikri dengan penuh harap.
Fikri diam sebentar, berpikir tentang resiko yang akan terjadi. Lalu dengan aksen inggrisnya
yang absurd, dia menjawab, “Of course man, move on!” suasana hening. Kepalaku mendadak
pusing, Rais terbatuk-batuk dan yang lain tertawa. Fikri bertanya dengan wajah heran.
“Kalian kenapa? Ada yang salah?”
Aku yang kesal pun menjawab, “Ya iyalah. Bukan move on tapi come on!”
“Ya, maksud aku juga begitu!” tandas Fikri. Hari itu, kami bermain dengan penuh semangat.
Seusai bermain, Fikri mengeluarkan 2 botol air dingin lengkap dengan sepiring pisang goreng
yang dibuat oleh ibunya.
Seminggu berlalu begitu cepat, kami bertemu lagi dengan masalah tempat. Kali ini,
pekarangan rumah Fikri dijadikan tempat parkir oleh karyawan bandara. Ayah Fikri pun
menjelaskan padaku dan teman-teman agar tidak berkecil hati. Akhirnya, kami memilih
untuk tidak bermain dulu sampai kami menemukan tempat bermain yang baru. Rasa jenuh
dengan aktivitas yang ada di rumah, membuatku dan teman-teman, mulai mencari cara untuk
bermain. Terlebih Rais, yang baru saja membeli sepatu baru, sudah tidak sabar untuk
mencobanya.
Saat pulang sekolah, aku bertemu dengan Ipul dan Amat. Kami pulang bersama-sama dan
berjanji akan bermain sore itu. Sampainya di gang kompleks, kami bertiga bersilang jalan dan
pulang ke rumah masing-masing. Sore harinya, Rais datang dan menungguku di depan
rumah. Saat aku ke luar, Rais menyambutku, “Hallo Rizal, bagaimana penampilanku? Sudah
mirip Messi bukan?” sembari menggoyangkan kakinya. Aku tahu, dia sengaja menanyakan
hal itu agar aku memuji sepatu barunya. Dengan ikhlas aku menjawab.
“Kamu lebih mirip Tessy, hahaha!”
“Terima kasih untuk pujiannya!” jawab Rais dengan wajah kecewa.
Aku dan Rais bergegas menuju ke warung bu Minah, tempat kami biasa berkumpul. Satu per
satu dari kami mulai berdatangan, diskusi pun dimulai.
“Jadi kita main di mana hari ini?” kata Riat membuka pembicaraan. Kami mulai berpikir
mencari solusi untuk tempat yang baru. “Aku punya ide!” cetus Iwan ditengah keheningan
kami. “Gimana kalau kita mainnya di bandara aja!”
“Apa? Di bandara? kalau pesawat turun terus kita ketabrak gimana?” kata Rais dengan kesal.
“Itu kalau mainnya di landasan, maksud aku kita main di dalam bandara. Aku lihat di situ ada
lahan kosong, dekat lapangan tenis!” lanjut Iwan menegaskan.
“Aku setuju, aku pernah lihat banyak pula orang sering jogging di situ, bagus kali tempatnya,
aman!” sambung Parman dengan logat bataknya yang kental.
Tanpa membuang waktu, kami segera pergi ke tempat yang dimaksud. Setelah puas bermain,
kami duduk dekat trotoar menghadap ke arah landasan. Rais kembali membuat sensasi,
“Sepatuku ini punya kelebihan!” katanya padaku.
“Mana buktinya?”
“Lihat ya, aku akan mengitari jalan ini dalam waktu 1 menit,” kata Rais sambil bersiap.
Bagiku dan teman-teman, cepat atau tidak Rais berlari bukan masalah. Yang jadi
kekhawatiran kami adalah, jalanan bandara sangat sensitif.
Rais berlari sambil bersorak kegirangan, dia terlihat seperti badut sirkus yang kelaparan. Aku
dan teman-teman pun tidak ketinggalan untuk menyemangati. Akhirnya malapetaka terjadi,
Rais kehilangan keseimbangan saat sepatunya menginjak pasir, yang berada di sisi jalan. Hal
ini membuat Rais tersungkur dengan tampan di atas trotoar jalan. Lututnya luka, wajahnya
penuh dengan pasir, dan kami tertawa. “Hahaha makanya jangan sombong!” kata Ipul
sembari membantunya berdiri.
Hari itu kami lalui dengan senang. Persahabatan kami begitu indah untuk dikenang. Dari
kejauhan, sebuah pesawat siap untuk terbang. Aku dan teman-temanku berdiri dari trotoar,
memandangi pesawat yang terbang sampai pesawat itu menghilang di tengah awan. Kami
semua terkagum melihatnya, lalu dalam hati aku bertanya, “Apakah kebersamaan ini akan
terulang lagi?”

Anda mungkin juga menyukai