Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae,
yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring
(bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat
melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau
penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. .
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak – anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan
sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,
Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab
kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui penyebab penyakit Difteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin
spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik
keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit,
sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan
kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang
ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan membran
pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat
dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)

B. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria .Berbentuk batang
gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya
tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri
ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type
variants dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan
type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan
intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-
luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.

2
Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya
menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita
oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin
untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan
dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage
lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe
intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe
lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam
bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan
manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).

C. Klasifikasi
Klasifikasi
Kerajaan : Bacteria

Filum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Famili : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Spesies : C. diphtheria

D. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier . Caranya melalui
pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa
penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan
carier bisa sampai 6 bulan.

3
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri
khasdari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel
darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih
keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di
bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita
yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:


1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

E. Gambaran Klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis,
akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi,
tergantung pada tempat penyakit.
1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan

4
mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit
yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan
leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs
lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-
vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh
pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling
sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang
tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada
bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf
motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena
obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk
difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun,
tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun
terakhir.

2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan
biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir
mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita
suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit
dan terjadi gangguan pernafasan.

5
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh,
bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan
bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau
kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi.
Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara
minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot
jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan
selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan
berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive,


secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana
mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang
tersebar keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah

6
kecil toxin, yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea
pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan
timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut
bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan
jaringan yang rusak membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem
dan pembengkakan pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu,
dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri
dari jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah
berdarah bila membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan
efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui
porsi toxin yang disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin
lainnya,"A" fragment kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah
terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium,
toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty
degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan
miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut
dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya,
yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan
lebih berat.

2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak
yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15

7
tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian
bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi.
Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit
campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000
anak, 1 akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan
dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan
penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih
rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu.
Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai system
kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi
untuk terjangkit penyakit difteri.

2.6 Diagnosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk
mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung)
dapat di lakuka denganElectrocardiogram (ECG).

8
Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya
kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik.
Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.

Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38 °C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai
faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta
toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan
lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.
a. Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian
mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi.
b. Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul
membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria Laring

9
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane.
Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak
khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak
tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).

2.5 Patogenesis
Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan, dalam
luka- luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa
bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka.
Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri
mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama
bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino,
pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, olekul dapat terbagi
menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai
aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel.

10
Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan
menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk
translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom
eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis
reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin di
fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik
toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda,
yaitu :
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan
terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin
difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan
bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek
jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam


luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa
bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu yang peka.
Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri
mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama
bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml
perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino,
pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok. Toksin difteri
adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat mematikan pada dosis

11
0,1 μg/kg. Bila ikatan disulfida dipecah, molekul dapat terbagi menjadi 2 fragmen,
yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak mempunyai aktivitas tersendiri,
tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A ke dalam sel. Fragmen A
menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada NAD) dengan menghentikan
aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini diperlukan untuk translokasi
polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat donor pada ribosom eukariotik.
Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2 dengan mengkatalisis reaksi yang
menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu kompleks adenosin difosfat-ribosa-
EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek nekrotik dan neurotoksik toksin difteria
disebabkan oleh penghentian sintesis protein yang mendadakBiasanya bakteri
berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi
gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh,
bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan
bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara
minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot
jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu
keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang
difteri juga menyerang kulit.
Toksin difteria diabsorbsi ke dalam selaput mukosa dan menyebabkan destruksi
epitel dan respons peradangan superfisial. Epitel yang mengalami nekrosis tertanam
dalam eksudat fibrin dan sel-sel darah merah dan putih, sehingga terbentuk

12
”pseudomembran” yang berwarna kelabu –yang sering melapisi tonsil, faring, atau
laring. Setiap usaha untuk membuang pseudomembran akan merusak kapiler dan
mengakibatkan pendarahan. Kelenjar getah bening regional pada leher membesar,
dan dapat terjadi edema yang nyata di seluruh leher.
Corynebacterium diphtheria dalam selaput terus menghasilkan toksin secara aktif.
Toksin ini diabsorbsi dan menakibatkan kerusakan di tempat yang jauh, khususnya
degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung, hati, ginjal, dan
adrenal, kadang-kadang diikuti oleh pendarahan hebat. Toksin juga mengakibatkan
kerusakan syaraf yang sering mengakibatkan paralisis palatum molle, otot-otot mata,
atau ekstremitas.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput
yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat
amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga
anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.
Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan
dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG (Ditjen P2PL Depkes,
2003).

2.6 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin,
waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalannafas
3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi
gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan

13
tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan
ginjal.

2.7 Pencegahan dan Pengobatan


1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan
tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah
dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier
pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu
dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum
terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif
2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet
yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari

14
1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria
digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.
d. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari
sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak
yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang
dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Keimpulan

15
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc.
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan dan
difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT 1,
DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi
DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian
diulang lagi pada saat usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain
itu juga dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar
dari kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan umumyaitu
dengan isolasi , bed rest2-3 hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna,
protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin
dan membunuh basil dengan antibiotika ( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
- Cakupan imunisasi

16
- Kualitas vaksin
- Lingkungan
- Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
- Akses pelayanan kesehatan yang rendah

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan


dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit) ,2007,
Jakarta.

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,


2003, Jakarta,

Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,


2005,Jakarta

17
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular,
CV. Infomedika, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di


Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,

Profil Kesehatan ,http://www.Bank Data/Depkes.go.id/

Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun 2012.

Anonim, 2003, The Complete Genome Sequence and Analysis of Corynebacterium


diphtheria NCTC 13129, www.google.com, diakses tanggal 7 Mei 2008.

Anonim, 2007, Difteri. www.balita-anda.indoglobal.com/pdf. diakses tanggal 5


Januari 2008.

Anonim, 2007. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi.


www. dinkes.denpasarkota.go.id diakses tanggal 7 Mei 2008.

18
19
20
21
22

Anda mungkin juga menyukai