Anda di halaman 1dari 15

KONSTIPASI

Definisi

Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat
variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum
adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi
berdasarkan laporan pasien sendiri atau konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada
penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya
sejumlah besar feses memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada
kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.

Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama
berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya
konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang
antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri.

Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu. Secara umum, bila 3
hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan samapi rasa sakit saat BAB.
Konstipasi sering diartikan sebagai. kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per
minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal disertai kesulitan sampai rasa
sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BABnya. Hal ini
mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat masih muda,
dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau perlu dengan menggunakan
pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa
kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan
dapat memperpendek usia. Ada pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila
dalam jangka waktu tertentu tidak dikeluarkan.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di
bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :

a. konsistensi feses yang keras;

b. mengejan dengan keras saat BAB;

c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB;
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi.


Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : 1) konstipasi
fungsional, 2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan
penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir
ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.

Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai international workshop on constipation

No Tipe Kriteria

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam
12 bulan :

1. mengedan keras 25% dari BAB


1. Konstipasi Fungsional
2. feses yang keras 25% dari BAB
3. rasa tidak tuntas 25% dari BAB
4. BAB kurang dari 2 kali per minggu

1. hambatan pada anus lebih dari 25% BAB


Penundaan pada muara 2. waktu untuk BAB lebih lama
2.
rektum 3. perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

Model tinja atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi ringan) dari
Bristol Stool Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.

Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-
otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,
kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis
dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses
BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum untuk
dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter
anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari
sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak
menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk
relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik
persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang
tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas
kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. perubahan patofisiologi yang
menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada
mereka dengan konstipasi.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak
mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari
kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan,
normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut
yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada
mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.
Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling
lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.

Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan
konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya
inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang
saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.

Individu di atas usia 60 tahun jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang
meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan
dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon,
motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan
lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga
menimbulkan kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka
yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3 perubahan patologis pada rektum :

1. Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan
peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi
refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia
rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering
sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada
dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit
daerah anus dan rektum

2. Dis-sinergis Pelvis

Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB.
Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat
mengejan.

3. Peningkatan Tonus Rektum

Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang
spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang
dominan.
Faktor- faktor risiko konstipasi pada usia lanjut

Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor resiko yang berkaitan dengan konstipasi pada usia lanjut
untuk memahami masalah ini. Sebagai contoh, polifarmasi dapat menyebabkan konstipasi karena
beberapa golongan obat mempunyai potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan
endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat.

Faktor-faktor resiko konstipasi pada usia lanjut :

1. Obat-obatan

yaitu golongan obat-obatan :

1. Antikolinergik
2. Narkotik
3. Analgesik
4. Diuretik
5. NSAID
6. Kalsium antagonis
7. Preparat kalsium
8. Preparat besi
9. Antasida alumunium
10. Penyalahgunaan pencahar
11. Kondisi neurologis
1. Stroke
2. Penyakit Parkinson
3. Traauma medulla spinalis
4. Neorupati diabetik
12. Gangguan metabolik

1. Hiperkalsemia
2. Hipokalemia
3. Hipotiroid
13. Kausa Psikologis
1. Psikosis depresi
2. Demensia
3. Kurang privasi untuk BAB
4. mengabaikan dorongan BAB
5. konstipasi imajiner
14. Penyakit-penyakit saluran cerna

1. Kanker kolon
2. Divertikel
3. Illeus
4. Hernia
5. Volvulus
6. Irritable Bowel Syndrome
7. Rektokel
8. Wasir
9. Fistula atau Fissura ani
10. Inersia kolon
15. Lain-lain

1. Diet rendah serat


2. Kurang cairan
3. Imobilitas atau kurang olahraga
4. Bepergian jauh
5. Pasca tindakan bedah perut

Manifestasi klinis

Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi
dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan
berbagai tanda dan keluhan lain yang berhubungan.
Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif.
Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan
tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah :

1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB


2. mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rektum saat BAB
6. Rasa sakit pada perut saat BAB
7. Adanya perembesen feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB

Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun
demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-
kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan
pemerikssaan rongga mulut meliputi gigi gerigi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang
dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.

Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan
atau tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut.
Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta. Pada
perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya
massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau
berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk
penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa tumor di daerah anus dapat
mengganggu proses BAB.

Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi
rektum serta besar dan konsistensi feses.

Colok dubur dapat memberikan informasi tentang :


1. Tonus rektum
2. Tonus dan kekuatan sfingter
3. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
4. Adakah timbunan massa feses
5. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
6. Adakah darah
7. Adakah perlukaan di anus

Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko penyebab


konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan
dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi
dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan
adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan.

Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang
dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat
dilanjutkan dengan barium Enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan
intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil
dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.

Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau
fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, menometri, dan elektromiografi).
Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada konstipasi yang baru tejadi sebagai pprosedur
penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya
darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.

Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan
pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama
ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon
menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi feses
secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi
otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke
dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X.
Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat
proses berlangsung.

Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat
dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. pemerikasaan elektromiografi dapat
mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang
dibuktikan dengan respon sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan
kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-
spesifik.

Komplikasi Konstipasi Pada Usia Lanjut

Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi
untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses.
Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan
rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%),
dan kolon bagian proksimal(10%).

Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko perawatan
di rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang fatal. penampilannya sering
hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis
didapatkan panas sampai 39,5 o, delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta
takipnia karena karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras
menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. dapat terjadi perforasi dan
penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak.

Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih
menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal yang
membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena
impaksi feses di daerah kolorektal.

Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan
berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps
dari rektum.

Penatalaksanaan

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya
untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus
ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama
yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :

1. Pengobatan non-farmakologis

1. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang
disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan
mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya.
dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan
reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita
tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut.
data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi
angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya
divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan
cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan
cairan.
3. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi
jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien,
akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut,
terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

2. Pengobatan farmakologis

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya
dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :

1. memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
2. melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor,
golongan dochusate.
3. golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk
jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon.
Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di
atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang
lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang
diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus,
tidak dilakukan tindakan pembedahan.
BAB I

KONSEP MEDIS

1. DEFENISI

Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tak
normal yang membuat pasasenya kulit dan kadang menimbulkan nyeri. Jenis konstipasi ini disebut
sebagai konstipasi kolonik.

Kebanyakan individu sedikitnya melakukan defekasi sekali dalam sehari. Rentang normal,
rentang normal, adalah tiga kali defekasi dalam sehari atau kurang dalam seminggu. Pada individu yang
mengalami konstipasi, defekasi terjadi secara tidak teratur, disertai feses yang keras. Beberapa orang
yang mengalami konstipasi kadang-kadang menghasilkan feses cair sebagai akibat dari iritasi yang
disebabkan oleh massa feses yang keras dan kering dalam kolon. Feses ini mengandung banyak sekali
mukus, yang disekresi oleh kelenjar dalam kolon dalam responsnya terhadap massa pengiritasi ini.

2. ETIOLOGI

Konstipasi dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis,


antihipertensif, opioid, antasida, dengan aluminium; ganggauan rektal/anal (hemoroid, fisura); obstruksi
(kanker usus); kondisi metabolis, neurologis, dan neuromuskuler (diabetes militus, parkinsonisme,
sklerosis multipel); kondisi endokrin (hipotiroidisme, feokromositoma); keracunan timah; dan gangguan
jaringan penyambung (skleroderma, lupus erimatosus). Konstipasi adalah masalah utama pada pasien
yang menggunakan opioid untuk mengatasi nyeri kronis. Penyakit kolon yang biasanya dihubungkan
dengan konstipasi adalah sindrom usus peka dan penyakit divertikuler.

Faktor penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan


ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah pasase feses,
seperti yang terjadi pada emfisema. Banyak orang yang mengalami konstipasi karena mereka tidak
menyempatkan diri untuk defekasi. Di Amerika Serikat, konstipasi jg tampak sebagai akibat kebiasaan
diet (konsumsi rendah terhadam masukan serat dan kurangnya asupan cairan), kurang latihan teratur,
dan stres.
Konstipasi dirasakan dapat jg menjadi masalah. Ini adalah masalah subjektif yang terjadi
(Dougthy & Jackson, 1993), bila pola eliminasi usus seseorang tidak konsisten dengan apa yang
dirasakan orang tersebut sebagai normal. Penggunaan laksatif kronis dihubungkan dengan masalah ini
dan merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat, khususnya diantara populasi lansia.

Konstipasi dapat juga terjadi sebagai proses akut seperti apenditis. Laksatif yang diberikan
pada situasi ini dapat menimbulkan perforasi dari apendiks yang terinflamasi. Secara umum, katartik
tidak pada saat pasien mengalami demam, mual, atau nyeri semata-mata karena usus gagal untuk
bergerak. Katartik tidak pernah boleh diberikan pada penyakit usus inflamasi.

3. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini, berhubungan dari pengaruh
dari sepertiga fungsi utama kolon:

1. transpor mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon),

2. aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal dan kerja propulsif),

3. proses defekasi.

Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal, melalui empat tahap kerja:
rangsangan refleks penyekat rektoanal. Relaksasi otot sfigter internal, relaksasi sfigter eksternal dan otot
dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses
ini dapat menimbulkan konstipasi.

Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, memran mukosa rektal dan muskulatur menjadi
tidak peka terhadap adanya massa fekal, dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk
menghasilkan dorongan peristaltik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal aini adalah
untuk menimbulkan kepekaan kolon, dimana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya
setelah makan, sehingga menimbbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses
ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak reaponsif
terhadap rangsang normal, akhirnya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan, dan
hal ini dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan.

4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus (gemuruh usus), rasa nyeri dan
tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan
tidak lengkap, mengejan saat defekasi, dan eliminase volume feses sedikit, keras, dan kering.

5. PENATALAKSANAAN

Pengobatan ditujukan pada penyebab dasar konstipase. Penatalaksanaan mencakup


penghentian penyalahgunaan laksatif, menganjurkan memasukkan serat dalam diet dengan peningkatan
asupan cairan, dan pembuatan program latihan rutin untuk memperkuat otot abdomen. Umpan balik
biologis adalah teknik yang dapat digunakan untuk membantu pasien belajar merelaksasi mekanisme
sfingter untuk mengeluarkan feses. Penambahan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam yang tidak
diproses setiap hari kedalam diet sangat dianjurkan, khususnya untuk pengobatan konstipasi pada
lansia. Konseling diet harus harus menganjurkan diet tinggi sisa untuk menimbulkan gerakan yang cepat
pada kolon dan feses dalam jumlah banyak dan lembut.

Apabila penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari berikut ini dapat dilakukan: preparat
pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik, lubrikan, stimulan, atau pelunak feses. Kerja fisologis dan
penyuluhan pasien yang dihubungkan dengan laksatif. Enema dan supositoria rektal secara umum tidak
dianjurkan untuk konstipasi dan harus diberikan untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan usus,
untuk pembedahan atau prosedur diagnostik. Apabila penggunaan laksatif jangka panjang benar-benar
diperlukan, preparat pembentuk-bulk diberikan dalam kombinasi dengan laksatif osmotik.

Terapi obat-obatan khusus dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi motorik intrinsik usus.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan preparat prokinetik seperti Cisaprinde dapat
meningkatkan frekuensi defekasi.

6. KOMPLIKASI

Komplikasi konstipasi mencakup hipertensi arterial, imfaksi fekal, hemoroid dan fisura, serta
megakolon.

Peningkatan tekanan arteri dapat terjadi pada defekasi. Mengejan saat defekasi, yang
mengakibatkan manuver valsava (mengeluarkan nafas dengan kuat sambil glotis tertutup), mempunyai
efek pengerutan pada tekanan darah arteri. Selama mengejan aktif, aliran darah vena di dada untuk
sementara dihambat akibat peningkatan tekanan intratorakal
Imfaksi fekal terjadi apabila suatu akumulasi massa feses kering tidak dapat dikeluarkan. Massa
ini dapat diraba pada pemeriksaan manual, dapat menimbulkan tekanan pada mukosa kolon yang
mengakibatkan pembentukan ulkus, dan dapat menimbulkan rembesan feses cair yang sering.

Hemoroid dan fisura anal dapat terjadi sebagai akibat konstipasi. Fisura anal dapat diakibatkan
oleh pasase feses yang keras malalui anus, merobek lapisan kanal anal. Hemoroid terjadi sebagai akibat
kongesti vaskuler perianal yang disebabkan oleh peregangan.

Megakolon adalah dilatasi dan atoni kolon yang disebkan oleh massa fekal yang menyumbat
pasase isi kolon. Gejala meliputi konstipasi, inkontenensia fekal cair, dan distensi abdomen. Megakolon
dapat menimbulkan perforasi usus.

Anda mungkin juga menyukai